Al-Wala' wa al-Barra' (Loyalitas dan Berlepas Diri)
Al-Wala' wa al-Barra' (Loyalitas dan Berlepas Diri)
Konsekuensi dari ikrar dua kalimat syahadah adalah sikap
al-wala' wa al-barra'. Al-Wala' berarti loyalitas. Tinjauan etimologi
kata ini merujuk kepada rumpun asal kata waw, lam, dan ya,
yang mempunyai pengertian 'dekat'. Dari rumpun asal kata tersebut, berkembang
menjadi beberapa istilah yang kesemuanya bermuara pada satu benang merah:
kedekatan. Ketika muncul dalam bentuk subjek, ia bisa berarti pelindung,
penolong, pemimpin, atau kawan setia. Loyalitas menyiratkan makna dekat.
Adapun barra' berarti berlepas diri. At-Taubah: 1,
Az-Zukhruf: 26, Mumtahanah: 4, dan Al-Qamar: 43 menyebutkan makna itu.
Wala' dan barra' adalah sikap yang harus diambil
oleh setiap muslim setelah ia mengucapkan syahadatain. Ia loyal kepada Islam,
yang berarti taat kepada seluruh ajarannya, dan menjadi pelindung dari semua
gangguan yang menerpanya. Dan, ia berlepas diri dari semua hal kontra
syahadatain, baik berupa wacana ataupun perbuatan nyata.
Syekh Abdurrahman bin Hasan dalam risalahnya menjelaskan bahwa
tauhid (pengesaan Allah) tidak akan dapat tercapai kecuali dengan berlepas diri
dari kemusyrikan dan memutuskan hubungan dengan orang musyrik, baik lahir maupun
batin.
Allah SWT secara tegas memerintahkan hal tersebut kepada para
rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, seraya memuji mereka yang melakukan
tindakan itu. Ada sekitar 12 ayat merujuk kepadanya, antara lain Al-An'am: 14,
78 -- 79, Az-Zukhruf: 26, Al-Baqarah: 135, An-Nahl: 120, 123.
Pengertian wala' dan barra' mengandung suatu
aksioma bahwa sebuah cinta dan benci timbul semata-mata karena agama. Seorang
muslim akan mencintai dan melindungi saudaranya yang muslim karena
'keislamannya', bukan kedekatan keluarga atau tempat tinggal. Pun, ketika ia
membenci orang kafir atau musyrik. Hal demikian disebabkan kekufuran,
kemusyrikan, dan kebencian orang itu terhadap Islam, meski ia termasuk orang tua
atau saudaranya. "Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada
Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang
Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak, atau
saudara-saudara, ataupun keluarga mereka." (Al-Mujadilah: 22).
Maka, jika kemudian seorang muslim membela dan melindungi
orang-orang kafir atau musyrik, lalu malah membenci dan memusuhi saudaranya
sesama muslim, kita wajib mempertanyakan keislamannya. Demikian halnya ketika ia
lebih mempercayai orang-orang kafir/musyrik untuk menjadi penolongnya. Bukankah
Allah SWT telah berfirman, "Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah,
Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan
zakat, seraya tunduk (kepada Allah)." (Al-Maidah: 55). Malah, perbuatan itu
dapat menyebabkan kekukufuran. "Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka
menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka."
(Al-Maidah: 51).
Adapun menjalin hubungan yang tidak ada kaitannya dengan
masalah-masalah agama, tidak termasuk dalam konsekuensi wala' dan
barra' yang mesti dipenuhi. Namun, hal itu dapat mengurangi kesempurnaan
bertauhid dan bisa jadi mendorong pelakunya kepada situasi yang bertentangan
dengan konsekuensi wala' dan barra'.
Pendapat Syekh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul
Wahab mungkin perlu diperhatikan. Ia mengatakan, "Seorang muslim wajib meyakini
bahwa Allah SWT mengharuskannya berkonfrontasi dengan orang-orang musyrik dan
tidak menjalin persahabatan dengan mereka. Allah mengabarkan bahwa hal itu
sebagai bagian dari syarat-syarat iman. Dan, keimanan akan hilang dari seseorang
yang berkasih sayang dengan penentang Allah dan Rasul-Nya, meski ia masih
kerabatnya. Ini merupakan realisasi dan konsekuensi dari makna la ilaaha
illallaah. Allah tidak menuntut kita untuk berlarut-larut dalam membahasnya.
Yang Ia minta hanya agar kita tahu dan yakin bahwa Ia telah memerintahkan hal
itu kepada kita, dan kita wajib melaksanakannya. Bila seseorang melaksanakannya,
niscaya mendapatkan kebaikan dan akan bertambah kebaikannya."
Insya Allah kita akan melanjutkan serial pembahasan
wala' dan barra' pada edisi selanjunya. (Katib).
Sumber: Al-Jahl bi Masailil I'tiqad wa Hukmuhu, Abdur
Razzaq bin Thahir bin Ahmad Ma'asy
Post a Comment