Hukum Orang yang Keliru dalam Memahami Berbagai Macam Syirik karena Ketidaktahuannya
Hukum Orang yang Keliru dalam Memahami Berbagai Macam Syirik karena Ketidaktahuannya
Terdapat perbedaan yang cukup tajam di antara masing-masing
orang dalam memahami agama Islam ini. Penyebabnya banyak sekali, tetapi sebab
yang paling berpengaruh adalah lingkungan tempat dia tinggal. Selain itu, ada
sebab yang lain lagi yaitu perbedaan tingkat SDM masing-masing orang.
Kemudian, setelah itu muncul kekeliruan yang dilakukan oleh
mereka sebagai dampak dari kesamaran yang dilakukan oleh orang-orang yang
menyimpang dari jalan yang lurus yang terdiri dari orang-orang yang menggunakan
ilmunya untuk kezaliman dan permusuhan, yang mereka memposisikan dirinya sebagai
penyeru kebid'ahan, penyimpangan, dan penumpas agama yang benar dan penganutnya.
Tetapi, sebagaian dari mereka yang melakukan kekeliruan itu disebabkan oleh
pemahamannya yang keliru dan mengikuti para syekh (guru). Padahal, guru-gurunya
itu salah, sehingga hal itu menimbulkan malapetaka bagi diri mereka dan bagi
orang awam yang mengikutinya.
Sebagian besar penyebab timbulnya kemusyrikan itu adalah
ketidaktahuan tentang rincian sesuatu yang diwajibkan oleh Allah SWT, berupa
keikhlasan dalam beribadah, dan penyebabnya bukanlah adanya keinginan untuk
menyembah selain Allah, atau adanya keyakinan bahwa sesuatu selain Allah itu
berhak untuk disembah selain menyembah Allah. Misalnya, seandainya penyembah
berhala itu ditanya, mengapa dia menyembah berhala? Maka, dia akan menjawab,
"Karena berhala-berhala itu dapat mendekatkan diri kepada Allah," sebagaimana
yang dikatakan oleh orang-orang musyrik pada masa Rasulullah saw. Seandainya ada
seorang muslim di kalangan orang awam yang melakukan kekeliruan, sehingga
menganggap perbuatan syirik itu sebagai ibadah, lalu ditanyakan kepadanya,
mengapa kamu menyembah kuburan? Maka dengan serta merta dia akan menjawab, "Aku
berlindung kepada Allah dari beribadah kepada selain Allah, dan dengan cepat
akan mengucapkan 'Laa Ilaaha Illallahu, Muhammadur Rasuulullahi'."
Perbuatan yang terakhir ini merupakan sesuatu yang lazim
terjadi di kalangan umat Islam yang mengaku bertauhid dan membebaskan diri dari
ibadah kepada selain Allah. Hal ini merupakan sesuatu yang membedakan dari
penyembah berhala sebelum masa kenabian Muhammad saw. yang secara tegas menolak
ketauhidan, melakukan kemusyrikan, dan membagi-bagi ibadah antara Allah dengan
berhala-berhala.
Dengan demikian, hukuman yang harus ditetapkan kepada mereka
yang melakukan kekufuran karena kekeliruan dalam memahami berbagai macam
kemusyrikan termasuk sesuatu yang tidak boleh ditetapkan secara serampangan,
melainkan harus ditetapkan secara teliti dan saksama, harus memenuhi beberapa
persyaratan yang telah ditetapkan, dan tidak adanya hal-hal yang menghalangi
untuk ditetapkannya hukuman tersebut. Yaitu, tidak boleh mengabaikan kemestian
yang bersifat umum yang menjadi tuntunan dari ketauhidan (yang dapat memelihara
darah dan harta) yang ditetapkan melalui ucapan dua kalimat syahadat, di
sela-sela kekeliruan yang dilakukan oleh pelakunya karena merasa samar dalam
memahami perbuatannya yang bertentangan dengan kemestian yang bersifat umum dari
ketauhidan itu. Bahkan, kekeliruan dalam memahami perbuatan yang bertentangan
dengan perbuatan yang disyariatkan itu muncul dalam hatinya. Oleh karena itu,
yang paling penting dalam menetapkan hukumannya adalah hilangnya kesamaran dalam
memahami suatu dalil.
Sebab-Sebab yang Menghalangi Ditetapkannya Hukuman Kafir
terhadap Orang yang Keliru dalam Melakukan Suatu Perbuatan yang Dikategorikan
sebagai Perbuatan Syirik
1. Ketidaktahuan yang disebabkan karena baru masuk Islam, atau
karena hidup di daerah pedalaman yang sangat jauh dari sentuhan ilmu
pengetahuan.
Dari Abu Waqi' al-Laitsi r.a. seraya berkata, "Kami bepergian
bersama Rasulullah saw. ke Hunain, dan termasuk orang yang baru terbebas dari
kekufuran (mereka masuk Islam pada masa Fathu Makkah/Penaklukan kota
Mekah) lalu beliau menjelaskan, 'Kami melewati sebuah pohon, maka kami berkata,
'Wahai Rasulullah saw., jadikanlah bagi kami tempat bergantung sebagaimana
mereka (orang-orang kafir) memiliki tempat bergantung, di mana pada waktu itu
orang-orang kafir memiliki sebuah pohon yang digunakan sebagai tempat i'tikaf
oleh mereka, dan dijadikan sebagai tempat menggantungkan senjata mereka, di mana
pohon tersebut biasa mereka sebut sebagai pohon yang memiliki tempat
bergantung.' Ketika Kami mengatakan hal tersebut kepada Nabi saw., maka beliau
dengan serta merta bersabda, 'Allahu Akbar, Demi Zat yang mengusai diriku,
perkataanmu itu sama seperti yang dikatakan Bani Israel kepada Musa, 'wahai
Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala), sebagaimana mereka mempunyai
beberapa tuhan (berhala).' Lalu Musa menjawab: 'Sesungguhnya kami ini adalah
kaum yang mengetahui (sifat-sifat Tuhan).' Maka, akankah kamu melakukan
perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang sebelummu'."
Hadis tersebut menunjukkan beberapa permasalahan: pertama,
mereka itu termasuk para sahabat yang baru masuk Islam, yakni mereka masih
memiliki keimanan dan ketauhidan yang bersifat umum. Hal ini nampak sekali dari
perkataan mereka yang mengatakan bahwa mereka itu termasuk orang yang baru
terlepas dari kekufuran. Karena itulah, mereka dimaafkan karena ketidaktahuannya
tentang sesuatu yang harus mereka tuntut. Kedua, tuntutan mereka itu mengandung
kemusyrikan. Karena itulah, Nabi saw. bersumpah bahwa apa yang mereka tuntut itu
sama dengan sesuatu yang dituntut oleh Bani Israel dari Nabi Musa as, tetapi
mereka tidak dihukumi kafir dengan melakukan perbuatan itu. Karena, mereka
termasuk orang-orang yang baru terlepas dari kekufuran, dan belum sampai kepada
mereka penjelasan tauhid yang dapat menghindarkan mereka dari perbuatan syirik
tersebut. Ketiga, adanya ketetapan hati untuk tetap melaksanakan perbuatan
syirik setelah dia mengetahui dalil yang menunjukkan akan kekufurannya.
Sekiranya dia bersikukuh melakukan perbuatan syirik, padahal dia telah dilarang
dan telah dijelaskan kepadanya bahwa perbuatannya itu termasuk perbuatan syirik,
tetapi dia tidak menghentikannya, maka orang yang demikian dihukumi sebagai
orang kafir. Sedangkan menghentikan perbuatan syirik dengan cara memenuhi
tuntutan dalil yang menjelaskannya menjadi sebab tidak ditetapkannya hukuman
kafir kepadanya.
Kisah ini mengandung pelajaran yang sangat berharga, karena
seseorang muslim, bahkan seorang ulama sekalipun, terkadang terjerumus ke dalam
perbuatan syirik, dan dia tidak menyadari bahwa perbuatannya itu termasuk
perbuatan syirik. Oleh karena itu, betapa pentingnya ilmu pengetahuan dan
perlunya membebaskan diri dari kebodohan. Pelajaran lainnya adalah bahwa seorang
muslim yang berijtihad jika mengeluarkan perkataan yang mengandung kekufuran,
sementara dia tidak menyadarinya, dan dia diingatkan tentang hal itu, lalu dia
bertobat seketika, maka dia tidak dihukumi sebagai orang kafir. Seperti
perkataan yang dikemukan oleh Bani Israel dan mereka para sahabat yang telah
mengajukan tuntutan kepada Nabi saw.
Imam Ibnu Hazm r.a. berkata mengenai sebagian pengertian hadis
tersebut di atas, "Dalam hadis itu dijelaskan tentang pengampunan yang diberikan
kepada orang yang belum tahu, di mana dia tidak dihukumi keluar dari agama Islam
karena melakukan suatu perbuatan yang apabila perbuatan tersebut dilakukan oleh
orang alim yang telah mengetahui dalilnya, maka dia akan dihukumi sebagai orang
kafir. Karena, mereka yang pandai berbicara itu telah mendustakan Nabi saw.,
sementara membohongi Nabi saw. itu termasuk kekufuran menurut kesepakatan para
ulama, tetapi karena ketidaktahuan mereka dan mereka itu termasuk orang-orang
Arab pedalaman (Baduwi), maka perbuatan yang telah mereka lakukan dimaafkan
karena ketidaktahuannya, sehingga mereka tidak dihukumi sebagai orang-orang
kafir."
Ibnu Taimiyyah berkata, "Banyak sekali manusia yang hidup pada
tempat dan masa yang jauh dari sentuhan ilmu kenabian, dan tidak ada orang yang
menyampaikan sesuatu yang telah diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, yaitu Alquran
dan hadis, sehingga mayoritas di antara mereka tidak mengetahui sesuatu yang
telah diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, dan tidak ada orang yang
menyampaikannya. Apabila dia mengingkari suatu hukum, maka dia tidak dapat
dihukumi dengan orang kafir. Oleh karena itu, para imam telah sepakat bahwa
orang yang hidup di daerah pedalaman yang jauh dari orang lain dan orang yang
beriman, sementara dia sendiri termasuk orang yang baru masuk Islam, lalu dia
mengingkari suatu hukum yang sudah jelas dan periwayatannya bersifat mutawatir,
maka orang tersebut tidak dapat dihukumi sebagai orang kafir, sehingga dia
mengetahui apa yang telah dibawa oleh Rasululah saw. Sebagaimana hal ini
disinyalir dalam suatu hadis: "Akan datang kepada manusia suatu masa di mana
mereka tidak mengetahui hukum salat, zakat, puasa, dan haji, kecuali kakek-kakek
dan nenek-nenek yang sudah lanjut usia, sehingga mereka berkata, 'Kami mendapati
bapak-bapak (nenek moyang) kami mengucapkan, 'Laa Ilaaha Illahu'." Kemudian
Hudzaifah bin al-Yamaan berkata, "Apa manfaat dari kalimat 'Laa Ilaaha Illalhu'
bagi mereka? Beliau menjawab, "Sesuatu yang dapat menyelamatkan mereka dari
neraka." (Katib).
Sumber: Al-Jahl bi Masailil I'tiqad wa Hukmuhu, Abdur
Razzaq bin Thahir bin Ahmad Ma'asy
Post a Comment