ANTISIPASI TUMBUHNYA GENERASI TAK SHALAT


ANTISIPASI TUMBUHNYA GENERASI TAK SHALAT

Anak-anak sampai umur tujuh tahun biasanya lebih terpengaruh oleh kebiasaan dan didikan orang tuanya. Namun setelah mulai masuk sekolah, ia akan terbina oleh gurunya dan terpengaruh oleh teman-temannya di sekolah. Kalau pembinaan guru-gurunya baik, dan pengaruh teman-temannya pun baik, maka insya Allah jiwa anak terbina dengan baik. Sebaliknya, kalau pembinaan dari guru-gurunya hanya sekadarnya (seperti keadaan rata-rata sekarang) dan pengaruh teman-temannya buruk, maka si anak terbentuk (terformat) dalam pola yang kurang baik.
Di saat seperti itu, pembinaan ataupun kebiasaan kedua orang tuanya yang ditanamkan kepada si anak selama 7 tahun itu lambat laun terkikis, lama-lama bisa habis. Sedang pembinaan dari orang tua belum tentu berlanjut, atau setidak-tidaknya tak ada peningkatan. Karena orang tua merasa anaknya sudah disekolahkan, pasti telah dibina oleh guru-gurunya di sekolah. Wal hal guru-guru belum tentu membina si anak dengan baik/ intensip. Apalagi kebanyakan pendidikan selama ini kurikulumnya hanya sekadar menyampaikan pelajaran yang sasarannya hanya membekali otak dengan ilmu, teori, dan itupun sifatnya lebih menjurus kepada materi keduniaan. Sedikit sekali yang menyangkut pembinaan rohani, akhlaq, jiwa, hati, keimanan, keikhlasan atau akhlaq secara keseluruhan. Sehingga aspek ukhrawi justru terabaikan.
Pincangnya dunia pendidikan (hanya memen-tingkan aspek duniawi dan mengabaikan aspek ukhrawi) itu sendiri sudah menjadi masalah besar lagi berat bagi setiap orangtua Muslim. Masih pula pengaruh dari teman-teman si anak di sekolah yang belum tentu baik. Ditambah lagi kesibukan-kesibukan orang tua, hingga tak instensip dalam mengontrol si anak. Belum lagi pengaruh-pengaruh yang kurang baik dari tayangan-tayangan televisi, bacaan-bacaan yang merusak moral dan aqidah. Anak yang belum dibina fitrah Islamnya dengan baik itu sudah langsung menghadapi aneka pengaruh negatif yang tidak mendukung fitrahnya alias akan membredel fitrahnya.
Secara Islami, anak-anak wajib dibina fitrahnya agar menjadi Muslim yang shalih. Maka ketika anak umur 7 tahun, orang tuanya disuruh oleh Nabi ` untuk memerintah anak-anaknya shalat. Nabi ` bersabda: "Perintahkanlah anak itu (mendirikan) shalat ketika ia telah sampai (umur) tujuh tahun. Dan jika telah sampai sepuluh tahun maka pukullah dia" (kalau meninggalkan shalat dengan sengaja). (Hadits Riwayat At-Tirmidzi dan Al-Hakim, shahih atas syarat Muslim).
Dalam Hadits lain Rasulullah ` bersabda: "Perintahkanlah anak-anakmu sekalian shalat sedang mereka (berumur) tujuh tahun, dan pukullah mereka (kalau meninggalkan shalat dengan sengaja) ketika (berumur) sepuluh tahun, dan pisahkanlah mereka tempat tidurnya" (pada umur 10 tahun itu). (Hadits Shahih Riwayat Ahmad (2/187) dan Abu Daud (495).
Al-'Alqami dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi (2/445) dalam syarah Al-Jami'ush Shaghir berkata: "Hen-daklah (orang tua/ wali) mengajarkan mereka (anak-anak) hal-hal yang diperlukan mengenai shalat, di antaranya tentang syarat-syarat dan rukun shalat. Dan memerintahkan mereka untuk mengerjakan shalat setelah belajar." Dia katakan juga bahwa: "Diperintah-kannya memukul itu hanyalah terhadap yang telah berumur sepuluh tahun karena saat itu ia telah mampu menahan derita pukulan pada umumnya. Dan yang dimaksud dengan memukul itu pukulan yang tidak mem-bahayakan, dan hendaknya menghindari wajah dalam memukul."
Kapan Anak Diajari Shalat?
Tidak boleh tidak, anak-anak mesti diajari cara-cara (kaifiyyat) shalat sebelum diperintah menger-jakannya. Kalau tidak, bagaimana kita menyuruh untuk mengerjakan sesuatu yang ia tidak tahu. Ibnu Abid Dunya v berkata: "Telah menceritakan kepada kami Ali bin Al-Ja'd, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-Hajjaj, dari Nafi' dari Ibnu 'Umar, ia berkata, bahwa: "Dulu ia mengajar anak untuk shalat ketika anak itu tahu (membedakan) kanan dari kirinya." (Riwayat Thabrani).
Jundub bin Abi Tsabit berkata: "Dulu mereka mengajari anak-anak shalat ketika mereka (mampu) menghitung 20." (Al-'Iyal 1/473). Pendidikan orang tua yang mengenalkan pada anaknya cara-cara shalat lalu mempraktekkannya pada umur tujuh tahun itu semestinya berlanjut. Hingga anak-anak itu terbiasa menjalankan shalat.
Pada umur tujuh tahun anak-anak mulai masuk sekolah, dia mendapatkan pelajaran dan kebiasaan dari guru-gurunya serta pengaruh dari teman-temannya. Didikan orang tua selama 7 tahun itu akan sinkron, sejalan dengan pendidikan di sekolah bila sekolah mengajarkan shalat dan mempraktekannya berjama'ah. Namun sayang sekali, sangat sedikit sekolahan yang demikian. Sebab, anak-anak kelas satu dan dua biasanya waktu belajarnya hanya sampai pukul 10 atau 11 siang. Tidak ada praktek shalat berjama'ah. Bahkan selama bersekolah di SD (Sekolah Dasar) 6 tahun rata-rata mereka tidak digerakkan untuk menyelenggarakan shalat berjama'ah. Kebanyakan sekolah Dasar tidak ada mushollanya, apalagi masjid. Bahkan tempat wudhu' pun rata-rata tiada. Sehingga, didikan shalat dari orang tua itu seakan hanya praktek informal di keluarga, menurut perasaan anak-anak. Sedang didikan yang dirasa "wajib" diikuti secara disiplin hanyalah yang produk atau perintah dari sekolahan, dari guru. Hingga, anak-anak merasa takut kalau tidak mengerjakan PR (pekerjaan rumah) yang diwajibkan gurunya, namun tidak ada rasa takut ketika meninggalkan shalat. Karena, ketika tidak mengerjakan PR, si anak langsung mendapatkan teguran, hukuman, bahkan pengurangan nilai dari gurunya. Sedang meninggalkan shalat tidak ditanya apa-apa oleh gurunya. Rata-rata anak tumbuh dalam perasaan dan suasana seperti itu. Itupun kalau orang tuanya mendidik shalat pada anak-anaknya. Bisa kita bayangkan, lebih-lebih lagi kalau orang tuanya tidak mendidik dan tak mencontohkan shalat kepada anak-anaknya. Padahal, generasi yang orang-orang tua mereka rajin shalat pun lama-lama keturunannya meninggalkan shalat dan bahkan mengikuti syahwat. Allah I telah memper-ingatkan kasus itu: "Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka bersimpuh dengan bersujud dan menangis. Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan. Kecuali orang yang bertaubat , beriman dan beramal shaleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun." (QS Maryam /19:58, 59, 60).
Faktor tumbuhnya generasi jelek
Faktor-faktor tumbuhnya generasi yang jelek (generasi yang meninggalkan shalat dan mengikuti syahwat) di antaranya telah tertanam di dalam jiwa anak-anak sejak umur tujuh tahun, berupa perasaan bahwa shalat itu hanyalah perintah informal, tidak dikerjakan toh tidak ada hukuman . Kalau para orang tua dan wali konsekuen, maka mereka memperhatikan betul shalat-tidaknya anak-anaknya. Hanya saja rata-rata orang tua kurang memahami perasaan anak, yang di dalam jiwanya telah tertanam suatu sikap bahwa shalat itu hanyalah perintah informal keluarga, tidak sewajib perintah guru sekolah seperti keharusan mengerjakan PR. Karena tidak memahami sikap dan jiwa anak, seringkali orang tua melengahkan, bahkan "memaafkan" alias membiarkan anak-anaknya meninggalkan atau melalaikan shalat. Dengan anggapan toh mereka masih anak-anak. Padahal, dalam jiwa anak itu sudah tumbuh rasa dan sikap "meremehkan" kewajiban shalat, akibat didikan guru sekolah yang rata-rata tidak menghiraukan shalat tidaknya anak-anak murid.
Masalah ini serius, tidak bisa dianggap sepele. Hampir setiap anak kini merasakan hal itu. Sedang orang tuanya pun memaafkan dengan longgar tanpa merasa bersalah. Sehingga makin kentallah perasaan si anak bahwa shalat itu hanya urusan kecil, tidak ada sangsi, tidak ada hukuman, tidak ada resiko bagi yang melalaikannya bahkan meninggalkannya. Apalagi kalau si anak melihat ayahnya atau ibunya atau pamannya, bibinya, dan tetangganya tidak shalat, maka perasaan yang meremehkan shalat yang ada pada jiwa si anak itu akan lebih kental lagi.
Anak-anak yang terbebas dari perasaan buruk seperti itu sedikit sekali. Hanyalah anak-anak yang dididik oleh orang tuanya dalam lingkungan Islami yang teguh, disekolahkan/ dipesantrenkan di pendidikan yang mendisiplinkan penegakan shalat berjama'ah.
Jalan keluar
Setelah kita ketahui betapa seriusnya masalah jiwa anak yang meremehkan kewajiban shalat, maka penanggulangannya adalah diadakan kondisi dan situasi bagaimana agar anak-anak tumbuh dengan sikap jiwa yang sadar bahwa shalat itu merupakan kewajiban setiap Muslim, bahkan pembeda antara mukminin dan kafirin. Orang tua mengikuti perintah Nabi `, menyuruh anak-anaknya shalat sejak 7 tahun dengan memberikan kesadaran bahwa perintah itu nilainya justru lebih wajib dibanding sakadar mengerjakan PR tanpa mengajari untuk melengahkan PR.
Para penyelenggara pendidikan hendaknya membimbing anak-anak sejak SD kelas satu untuk shalat dan diselenggarakan shalat berjama'ah. Anak kelas satu dan dua yang kini biasa dipulangkan pukul 10-11, hendaknya dialihkan waktunya sampai anak-anak digerakkan untuk shalat berjama'ah dhuhur di masjid atau mushalla terdekat. Syukur-syukur sekolahan itu sendiri memiliki tempat untuk shalat berjama'ah.
Apabila masalah ini tidak dipecahkan bersama-sama antara pihak orang tua dan sekolah maka sulit bagi ummat Islam untuk menurunkan generasi yang taat shalat. Dan itu merupakan ancaman yang benar-benar sudah menghadang di depan mata kita. Tinggal bagaimana tekad kita untuk memecahkannya, demi mengamalkan perintah Rasulullah `. 
Rujukan: Tarbiyatul Athfal fil Hadits as-Syarif, Khalid Ahmad Al-Syantut, Mathabiur Rasyid, Al-Madinah Al-Munawwarah, 1417H./ 1996M.

Tidak ada komentar