Arti Allah Menjadikan Kaum Muslim Sebagai Ummatan Wasathan (Sikap Tengah)


Arti Allah Menjadikan Kaum Muslim Sebagai Ummatan Wasathan (Sikap Tengah)

Sejak zaman dahulu orang mengatakan bahwa keutamaan terletak di tengah dua hal yang sama-sama buruk. Lepas apakah perkataan itu hanya sekadar buah bibir atau tidak, namun yang jelas ialah bahwa kebenaran hilang karena terialu dilebih-lebihkan atau karena terlampau dikurang-kuraiigi. Manusia akan banyak menderita kesukaran karena sikapnya yang terlampau berlebih-lebihan (ekstrem) atau karena sikapnya yang terlampau meremehkan segala hal. Pada zaman kelahiran Islam, orang-orang Yahudi terkenal amat membesar-besarkan kehidupan dunia dan sangat kuat kecintaannya kepada harta kekayaan. Mereka terkenal mempunyai kebiasaan serakah lainnya, yaitu mencari kekayaan dengan jalan riba dan cara lain yang jahat. Sebaliknya, kaum Nasrani, mereka berpendapat bahwa ketakwaan kepada Tuhan terletak pada cara hidup meninggalkan soal-soal keduniaan, menjauhkan diri dan segala macam kenikmatan dan kesenangan serta meremehkan harta kekayaan, sehingga dalam Kitab Suci mereka dikatakan: Unta lebih mempunyai kemungkinan dapat masuk ke lubang jarum daripada kemungkinan orang kaya dapat memasuki kerajaan langit.
Agama Islam menolak dua macam sikap tersebut di atas. Islam memandang harta kekayaan hanya sebagai suatu sarana, tidak lebih dari itu. Rasulullah SAW telah bersabda:
"Harta kekayaan itu adalah sesuatu yang manis. Kenikmatannya bagi seorang Muslim ialah jika ia memberikan sebagian dari harta kekayaannya kepada anak yatim, kaum fakir miskin dan orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan jauh. Orang yang mengambil harta kekayaan tanpa hak, sama dengan orang makan yang tak akan kenyang, dan harta yang diambilnya itu kelak akan menjadi saksi atas perbuatannya pada hari kiamat."
Kekerasan dan kekejaman merupakan dua hal yang menjadi tekanan ajaran kaum Yahudi. Mereka menganggap ketakwaan itu seolah-olah suatu hukuman yang telah ditetapkan bagi setiap dosa, dan menganggap keridhaan llahi seakan-akan tidak dapat diperoleh dengan sempurna kecuali dengan melakukan kewajiban-kewajiban yang keras dan kaku. Kemudian datanglah Nabi Isa a.s. Beliau selalu berbicara tentang hati yang lembut dan manusia lemah yang senantiasa membutuhkan ampunan Tuhan. Konon kepada Nabi Isa a.s. dihadapkan seorang perempuan yang dituduh berbuat dosa agar dihukum. Nabi Isa a.s. berkata kepada orang-orang Yahudi yang menghadapkan perempuan itu: "Barangsiapa di antara kalian merasa tidak pernah berdosa, hendaknya maju untuk merajam (perempuan itu)."
Islam datang menolak peribadatan yang disertai riya ' dan takabur. Islam mempermudah tobat bagi orang yang telah melakukan perbuatan memalukan, bahkan memerintahkan supaya ditutup dan tidak disebarluaskan. Islam menetapkan hukuman beraf bagi orang yang membangga-banggakan kejahatan dan mengganggu masyarakat serta menghasut orang banyak. Itu berarti bahwa Islam tidak membenarkan ketaatan yang terlalu dibesar-besarkan, memaafkan orang yang menyesal karena telah berbuat durhaka, dan menghendaki supaya orang mau memperbaiki diri dengan sikap rendah hati. 'Ali ibn Abi Thalib r.a. mengatakan:
"Orang yang benar-benar memahami hukum agama (ahli fiqh yang terbaik) ialah yang tidak membuat orang putus asa mengharapkan rahmah Allah dan tidak membuatnya bertobat karena terpaksa!"
Memang benar bahwa Nabi Isa a.s. tidak memandang enteng dosa perzinaan. Namun, sebagaimana dikatakan oleh Imam Malik dalam
kitabnya, bahwa Nabi Isa a.s. pernah berkata:
"Janganlah kalian mencari-cari dosa orang lain seakan-akan kalian itu tuan-tuan yang berkuasa, tetapi cariiah dosa kalian sendiri seolah-olah kalian itu budak. Manusia itu ada yang terjerumus ke dalam dosa dan ada pula yang selamat. Karena itu kasihilah orang yang terjerumus ke dalam dosa dan bersyukurlah kepada Tuhan atas keselamatan kalian."
Islam adalah agama "jalan tengah", memerintahkan umatnya supaya senantiasa hidup di jalan yang lurus, dan mengingatkan jangan sampai menyeleweng ke kanan ataupun ke kiri.
lbnu Mas'ud r.a. pernah ditanya tentang apa arti jalan yang lurus (shirath al-mustaqim). la menjawab:
"Muhammad saw. meninggalkan kita di dekat jalan itu, ujungnya berada di surga, di sebelah kanannya terdapat banyak persimpangan jalan dan di sebelah kirinya pun terdapat banyak persimpangan jalan. Orang-orang yang berada di kanan-kiri jalan itu memanggil-manggil setiap orang yang lewat. Siapa yang mengambil jalan persimpangan di kanan-kiri itu akan sampai ke neraka; sedangkan orang yang tetap menempuh jalan yang lurus akan sampai ke surga."
lbnu Mas'ud kemudian membaca ayat AI-Quran:
"Dan jalan-Ku (jalan Allah) itu adalah jalan yang lurus, maka ikutilah jalan itu dan janganlah kalian mengikuti jalan yang lain, karena (jalan yang lain itu) akan mencerai-beraikan kalian dari jalan Allah."
(Q. S. 6:153)
Sikap ekstrem dalam menghayati agama ada kalanya timbul dari kekeliruan berpikir atau timbul dari tabiat yang tidak lurus, dan sering membuat orang menyimpang dari kebenaran. Pada akhirnya ia akan tergelincir dari agama yang benar, karena itu Allah berfirman kepada Rasul-Nya:
"Katakanlah (Muhammad): "Hai orang-orang Ahl al-Kitab, janganlah kalian berlebih-lebihan dalam (menghayati) agama kalian dengan cara yang tidak benar. Dan janganlah kalian mengikuti hawa-nafsu orang-orang terdahulu yang telah sesat dan menyesatkan orang banyak. Mereka itu adalah orang-orang yang tersesat dari jalan yang lurus."
(Q. S 5:77)
Ada sementara orang yang terlampau berlebih-lebihan dalam beribadah sehingga ia menyeleweng ke kanan dengan mengada-adakan berbagai macam ibadah tambahan dan dengan semangat yang dibuat-buat.
Ada pula sementara orang yang menyeleweng ke kiri dengan sikapnya yang meremehkan ibadah, akhirnya ia terjerumus ke dalam sikap ingkar dan melawan Allah.
Syaikh Muhammad 'Abdullah Diraz mengatakan sebagai benkut:
"Dengan menyebut kata 'kanan' itu seolah-olah ia (lbnu Mas'ud) menunjuk segi berlebih-lebihan dalam penghayatan agama, dan dengan menyebut kata 'kiri' ia menunjuk segi penghayatan agama yang terlampau 'kurang' dan amat 'terbatas'. Dua macam penghayatan agama demikian itu merupakan penyelewengan dari jalan yang lurus dan dari 'jalan tengah' yang tidak cenderung ke kanan dan ke kiri."
"Kalau kita perhatikan berbagai macam bid'ah dan bentuk-bentuk kepercayaan sesat atau bencana syubhat sebagaimana diisyaratkan oleh hadis-hadis tentang perpecahan umat Islam menjadi 60 golongan lebih ; jika kita perhatikan berbagai bid'ah dan bentuk-bentuk pengamalan yang sesat atas dorongan hawa-nafsu sebagaimana yang diisyaratkan oleh hadis-hadis tentang terbukanya pintu kesejahteraan dunia sehingga umat Islam saling bersaing dan berebut, yang satu menindas yang lain, dst. Kita tentu akan dapat mengetahui bahwa semua itu adalah akibat dari dua macam penyelewengan tersebut di atas."
Dalam urusan harta kekayaan, Islam tidak menyukai pemborosan dan kikir. Penggunaan harta atau infak harus wajar dan masuk akal.
Dalam AI-Quran AI-Karim, Allah SWT melukiskan para hamba-Nya yang berkasih-sayang secara benar, dengan firman-Nya:
"(Mereka itu adalah) orang-orang yang bila mempergunakan hartanya tidak berlebih-lebihan (boros) dan tidak kikir, tetapi bersikap di antara keduanya itu (yakni sedang-sedang saja)."
(Q. S. 25: 67)
Di bidang ilmu agama, saya melihat ada sementara orang yang mendalami ilmu fiqh berdasarkan nash dan ijtihad secara luas serta dalil-dalil yang mereka hafal di luar kepala, tetapi hati mereka amat "gersang" atau "tandus". Seorang di antara mereka menjabat sebagai hakim. Pada suatu hari kepadanya dihadapkan seorang perempuan yang dituduh berbuat zina. Dengan berbagai cara hakim itu berusaha keras memancing-mancing hingga perempuan itu mengakui perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Sang hakim lalu menjatuhkan hukuman rajam karena perempuan itu telah bersuami!
Terus terang saya katakan, bahwa cara yang demikian itu adalah cara Yahudi! Sebab RasuluMah saw. sendiri dalam menghadapi kasus
perkara seperti itu selalu memberi petunjuk kepada terdakwa supaya selamat dari hukuman dan meninjau kembali pengakuan yang telah dinyatakan. Beliau menginginkan agar terdakwa dapat pergi dengan aman. Lain halnya dengan hakim itu, ia berusaha keras untuk dapat membunuh atau merajam orang yang bersalah! ltu bukan cara Islam. Alasannya ialah karena pendidikan Islam tidak akan dapat memperbaiki hati orang yang bersalah. Seumpama hakim itu dapat merasakan betapa besar segi kasih-sayang dalam ajaran Islam tentu ia lebih suka menutupi kesalahan orang lain dan memaafkannya. Sebab dengan demikian kesalahan hakim itu sendiri akan ditutup dan dimaafkan Allah SWT.
Keutamaan sikap "tengah" (wasathan) tampak jelas sekali dalam pengarahan Islam di bidang sosial dan ekonomi. Dalam hubungan
antara suami-istri, misalnya, Islam tidak menghendaki seorang istri menjadi "tahanan rumah" atau menjadi "buruan", sehingga dalam
memandang istrinya sang suami merasa sebagai "penjaga bui" atau sebagai "pemburu"! Rumah tangga adalah tempat seorang istri
mengasuh, membesarkan dan mendidik generasi baru dengan pendidikan agama, termasuk tradisi dan tata kramanya. Rumah tangga
bukanlah penjara sebagaimana pengertian tradisional yang masih umum berlaku di kalangan kita. Akan tetapi rumah tangga juga bukan tempat pertermuan antara ayah-ibu dan anak-anaknya sebagaimana yang menjadi kebiasaan orang Eropa yang menganggap kekeluargaan sebagai bentuk kehidupan yang tidak mengandung arti. Wanita tidak dapat dipisahkan sama sekali dari tugas-tugas umum kemasyarakatan. la belajar, mengajar, merawat, menyuruh, melarang, mendukung dan lain lain sebagainya. la turut serta dalam angkatan perang dengan tugas-tugas khusus di bidang kepalang-merahan. Bahkan bila diperlukan, wanita pun dapat turut berperang. Untuk tugas-tugas kemasyarakatan itu wanita perlu mengetahui semua urusan bangsanya, terutama agama dan peradabannya.
Ada orang yang tidak menghendaki semuanya itu atau sebagiannya dinikmati oleh kaum wanita, sementara itu kaum wanita di Barat
terlalu berlebih-lebihan menenggelamkan diri dalam urusan-urusan di luar rumah tangganya, bahkan berlawanan dengan tugas-tugas pokoknya. Sekiranya kita mengambil "jalan tengah", sebagaimana yang diajarkan Islam, tentu lebih diridhai Allah, lebih menguntungkan bangsa dan umat serta lebih baik bagi pria dan wanita.
Di bidang ekonomi, Islam mengakui hak milik individu, namun hak itu dikendalikan dengan persyaratan halal dan haram; dan dikurangi oleh hak-hak kaum lemah dan kaum yang sengsara. Dengan demikian Islam menjamin hak milik menjadi produktif karena banyak perangsangnya, antara lain, menjaga kerukunan masyarakat, sebab dengan terpeliharanya hubungan antara yang kaya dan yang miskin atas dasar rasa kasih sayang timbal-balik, tak akan ada lubang-lubang perpecahan yang tidak segera tertutup. Kecuali itu masyarakat juga dapat diselamatkan dari komunisme yang ateis dan dari kapitalisime yang kejam.
Yang terang ialah bahwa kaum Muslim memperoleh ajaran yang benar itu dari Rasulullah SAW dan mereka saling bantu dalam menerapkannya. Pada Hari Kiamat kelak, Allah akan menuntut tanggung jawab kepada mereka atas pelaksanaan hidayah yang telah disampaikan kepada mereka: Apakah mereka telah menarik manfaat dari hidayah itu dan apakah dengan hidayah itu mereka telah memberi manfaat kepada orang lain? Seluruh umat manusia kelak akan dihadapkan kepada perhitungan seperti itu pada Hari Kiamat.
Mengenai hal itu Allah SWT telah berfirman:
"Maka bagaimanakah kelak apabila Kami datangkan seorang saksi (Nabi) dari
setiap umat, dan engkau (hai Muhammad) Kudatangkan sebagai saksi terhadap
mereka (umatmu)?"

(Q. S. 4:41)
Benarlah, bahwa Muhammad Rasulullah SAW kelak akan menjadi saksi terhadap kaum Muslim, karena dari beliaulah mereka memperoleh ajaran-ajaran mulia. Karena itu beliau sendirilah yang kelak akan tampil sebagai saksi di hadapan Allah SWT. Kemudian kaum Muslim akan ditanya: Apakah mereka telah mengajar orang lain sebagaimana mereka diajar oleh Muhammad saw.? Sesungguhnya kaum Muslim itu telah memahami tentang contoh yang diberikan Nabinya dan mereka dapat memetik manfaat dari hal itu. Dan merekalah yang akhirnya menjadi saksi atas umat lainnya, karena merekalah "umat penengah" dan
pelanjut risalah Nabinya. Inilah makna firman Allah:
". . . Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu."
(Al-Baqarah: 143).

Tidak ada komentar