Bahaya Sikap Tergesa-gesa dalam Mengafirkan Seorang Muslim
Bahaya Sikap Tergesa-gesa dalam Mengafirkan Seorang Muslim
Pada hakikatnya mengafirkan seseorang adalah hak Allah SWT
semata, sehingga tidak diperbolehkan mendahului ketentuan-Nya, kecuali dengan
izin Allah SWT dan berdasarkan pengetahuan, atau berdasarkan nash-nash Alquran
dan Sunnah Nabi saw serta hujjah (dalil) yang pasti dan tidak diragukan. Hal
demikian karena, iman dan kafir terdapat dalam hati, dan tidak ada seorang pun
yang mengetahui apa yang ada dalam hati seseorang, kecuali Allah SWT.
Tanda-tanda lahiriyah yang terdapat pada seseorang tidak secara
meyakinkan dan pasti menunjukkan apa yang terdapat dalam hati, tetapi hanya
bersifat dugaan. Sementara, Islam melarang mengikuti dugaan (prasangka)
sebagaimana terdapat pada banyak nash Alquran dan Sunnah, dan dilarang pula
hanya mencari -cari alasan atau pertanda atas suatu tuduhan, terutama dalam
persoalan-persoalan akidah. Allah SWT berfirman, "Wahai orang-orang yang
beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu
adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain...."
(Al-Hujurat: 12).
Oleh karena itu, Rasulullah saw memperingatkan Usamah bin Zaid
yang membunuh seseorang yang telah mengucapkan 'Laa Ilaha Illallahu' (Tiada
Tuhan selain Allah), sebagaimana pula Allah memperingatkan para sahabat yang
hendak pergi berperang agar tidak membunuh seseorang yang memberi salam kepada
mereka berdasarkan prasangka mereka bahwa ia mengucapkan salam tersebut hanya
kemunafikan dan ketakutannya, maka Allah SWT berfirman, "Wahai orang-orang
yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan
janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan 'salam' kepadamu, 'kamu
bukan seorang mukmin' (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda
kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah
keadaan kamu terdahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka
telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."
(An-Nisaa': 94)
Dengan demikian, adalah suatu keharusan mengetahui ketentuan
hukum tentang seorang muslim yang keluar dari Islam dan masuk dalam kekafiran.
Seorang muslim tidak dapat mengafirkan seseorang, kecuali berdasarkan petunjuk
yang jelas seperti matahari di siang hari. Adapun bahaya dari sikap mengafirkan
seorang muslim tanpa petunjuk yang jelas dapat menimbulkan beberapa akibat buruk
yang menimpanya, di antaranya:
- Perlindungan terhadap darah dan hartanya menjadi hilang, sehingga tidak ada
hukum qishash bagi pelakunya, tetapi hanya diasingkan.
- Memisahkan dirinya dengan pasangan (istrinya) dan memutuskan sebab warisan
antara dirinya dan pasangannya.
- Kekuasaannya pada anak-anaknya menjadi hilang, karena tidak ada kepercayaan
mereka kepadanya.
- Kepemimpinannya atas kaum muslimin putus dan harus dimusuhi.
- Terjadi pembunuhan atas dirinya.
- Tidak dimandikan dan tidak pula dikafani, serta tidak dapat dikuburkan di komplek pemakaman kaum muslimin.
Dan, akibat-akibat lain yang berbahaya yang muncul akibat klaim
pengafiran yang tergesa-gesa tanpa berdasarkan bukti yang jelas. Jika
bukti-buktinya banyak dan jelas, maka hilanglah bahaya pengafiran tersebut.
Sebagaimana dituntutnya bukti-bukti pengafiran dan tidak adanya halangan untuk
memutuskannya, maka diwajibkan pula penelitian dan pembahasan yang mendalam
sebelum dikeluarkannya hukum pengafiran tersebut, terutama terhadap orang-orang
yang telah menyatakan keislaman mereka dengan mengucapkan syahadat 'Laa Ilaha
Illallahu Muhammadur Rasuulullahi' (Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad utusan
Allah).
Imam as-Syaukani ra mengatakan, "Memutuskan kekafiran seseorang
haruslah dengan keterbukaan dan dengan ketenangan hati serta kedamaian jiwa,
sehingga tidak ada keputusan yang diterima dari dugaan kemusyrikan, terutama
jika tidak mengetahui adanya penyimpangan dari jalan Islam. Juga tidak ada
anggapan seseorang melakukan perbuatan kafir selama ia tidak keluar dari Islam
dan menjadi kafir, dan tidak juga dapat ditentukan seseorang itu kafir hanya
berdasarkan ucapannya yang menunjukkan ucapan seorang kafir, sedang ia tidak
meyakini maknanya.
Maka, tidak setiap perbuatan atau perkataan yang menunjukkan
kekafiran dapat menyebabkan pelakunya menjadi kafir, jika ia seorang muslim dan
tidak mengetahui maksudnya. Akan tetapi, jika maksudnya sudah jelas dan hujjah
(dalil) telah ditegakkan baginya dengan penjelasan bahwa perbuatan demikian
dapat menjadikannya kafir, tetapi ia tetap melakukannya, maka ia adalah kafir.
Jika kenyataan itu belum jelas, maka tidak diperbolehkan tergesa-gesa menuduhnya
kafir.
Penjelasan di atas telah ditegaskan banyak nash yang melarang
keras mengafirkan seorang muslim tanpa bukti yang jelas. Di antaranya sabda
Rasulullh saw, "Orang yang mengatakan kepada saudaranya, 'Hai kafir', maka
hal itu akan menyebabkan salah seorang di antara keduanya terbunuh." ( HR
al-Bukhari). Sabda beliau yang lain, "Orang yang memanggil seseorang kafir,
atau berkata, 'musuh Allah', sedangkan orang tersebut tidak demikian, maka ia
telah sesat." (HR Muslim)
Ibnu Hajar berkata, "Hadis tersebut dimaksudkan untuk mencegah
seorang muslim mengatakan demikian kepada saudaranya sesama muslim...."
Disebutkan bahwa hadis ini menjelaskan seseorang yang mengafirkan saudaranya,
kekurangan, dan dosanya dikembalikan kepadanya. Pengertian demikian ini dapat
diterima. Disebutkan pula bahwa tindakan tersebut dikhawatirkan akan terus
berlanjut pada kekafiran, seperti dikatakan bahwa perbuatan dosa adalah jalannya
kekafiran, sehingga dikhawatirkan orang yang melakukannya akan mengalami suu'ul
khatimah (meninggal dalam keadaan yang jelek).
Dari semua pendapat tersebut, saya menegaskan bahwa orang yang
menyebut kafir saudaranya yang tidak diketahuinya kecuali keislamannya dan tidak
ada keraguan dalam tuduhannya, maka ia adalah kafir. Ia menjadi kafir karena
mengafirkan saudaranya. Jadi, pengertian hadis ini adalah bahwa pengafiran
tersebut kembali kepada orang yang mengafirkan saudaranya, dan pendapat yang
kuat adalah pengafiran dan bukannya kekafiran, seakan-akan ia mengafirkan
dirinya, karena ia mengafirkan seseorang yang seperti dirinya, dan siapa yang
tidak mengafirkannya selain orang kafir yang tidak mempercayai kebenaran agama
Islam.
Di dalam hadis-hadis seperti ini juga terdapat peringatan keras
untuk tidak tergesa-gesa mengafirkan sesama muslim, karena tindakan demikian
mengandung ancaman terhadap kehormatan seorang muslim yang telah tegas
keislamannya berdasarkan keyakinan. Oleh karena itu, tidak dibolehkan menuduh
seseorang kafir, kecuali setelah mendapatkan bukti yang pasti akan kekafirannya
secara meyakinkan.
Berdasarkan penjelasan di atas, hadis-hadis demikian merupakan
tameng bagi manusia untuk tidak melakukan tuduhan tanpa alasan kepada sesamanya.
Tuduhan kafir kepada sesama muslim akan menyebabkannya terjerumus ke dalam
perbuatan-perbuatan yang merupakan bagian dari kekafiran atau kemusyrikan ketika
hukum diberlakukan baginya.
Post a Comment