Al-Kufru al-Asghar (kafir Kecil)
Al-Kufru al-Asghar (kafir Kecil)
Al-Kufru al-Asghar (kafir kecil) ialah sesuatu yang tidak 
bertentangan dengan pokok iman dan tidak mengeluarkan pelakunya dari agama 
(Islam), tidak menyebabkannya kekal di dalam neraka, meskipun ia tetap mendapat 
siksaan dan ancaman jika ia melakukannya. 
Ibnu Qayyim ra mengatakan, "Al-Kufru al-Ashghar (kafir kecil) 
menyebabkan seseorang mendapatkan siksaan, tetapi ia tidak kekal di dalam 
neraka, sebagaimana firman Allah SWT -ayat ini hukumnya di nasakh, tetapi masih 
berlaku bacaannya, "Janganlah kamu sekalian membenci nenek moyang kami, karena 
hal itu adalah kafir," dan sabda Rasulullah saw, "Ada dua perkara pada umatku 
yang merupakan kekafiran, yaitu menjelaskan silsilah keluarga dan membunuh 
seorang muslim." Demikian pula sabda Nabi saw dalam sunan Abu Daud, "Orang yang 
menggauli istrinya dalam keadaan haidh atau dari duburnya, maka ia telah 
mengufuri apa yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad saw." Dan dalam hadis 
lain disebutkan,"Orang yang mendatangi dukun atau paranormal dan ia mempercayai 
apa yang telah diucapkannya, maka ia telah mengufuri apa yang telah diturunkan 
Allah kepada Muhammad saw." Sabdanya lagi, "Janganlah kamu kembali kepada 
kekafiran setelah aku, di mana sebagian dari kamu akan membunuh (memenggal) 
sebagian yang lain."
Berikut ini, penafsiran dari Ibnu Abbas dan para sahabat pada 
umumnya tentang firman Allah SWT, "Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa 
yang telah diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." 
(Al-Maidah: 44). Ibnu Abbas ra berkata, "Hal ini bukanlah kekafiran yang dapat 
memindahkan seseorang menjadi agama lain (keluar dari Islam), tetapi jika ia 
melakukannya, ia menjadi kafir, tapi tidak sama dengan orang yang kafir kepada 
Allah dan hari akhir." Thawus juga berkata demikian.
Atha' berkata, "Orang yang melakukan demikian adalah kafir di 
bawah kafir, dzalim di bawah dzalim dan fasik di bawah fasik."
Berdasarkan ini pulalah, ketaatan di sebut iman, sebagaimana firman Allah SWT: " ...dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu." (Al-Baqarah: 143). Maksud iman dalam ayat ini adalah salat menghadap ke Baitul Maqdis (Yerussalem), seperti bunyi ayat ini secara lengkap, "Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menjadikan Kiblat yang menjadi Kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi beberapa orang yang telah diberi petunjuk Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia." (Al-Baqarah: 143). Dalam ayat ini disebutkan pemindahan kiblat dari Baitul Maqdis (Palestina) ke Ka'bah (Mekah).
Berdasarkan ini pulalah, ketaatan di sebut iman, sebagaimana firman Allah SWT: " ...dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu." (Al-Baqarah: 143). Maksud iman dalam ayat ini adalah salat menghadap ke Baitul Maqdis (Yerussalem), seperti bunyi ayat ini secara lengkap, "Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menjadikan Kiblat yang menjadi Kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi beberapa orang yang telah diberi petunjuk Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia." (Al-Baqarah: 143). Dalam ayat ini disebutkan pemindahan kiblat dari Baitul Maqdis (Palestina) ke Ka'bah (Mekah).
Adapun perbuatan dosa disebut 'kufur', seperti pada beberapa 
penjelasan di muka, dalam konteks penjelasan Ibnu Qayyim umpamanya, tetapi apa 
yang di sebut kafir dalam konteks ini bukanlah kafir yang menyebabkan seseorang 
keluar dari Islam.
Beberapa hal yang mengindikasikan hal tersebut adalah 
disebutkannya ungkapan perbuatan dosa, seperti saling bunuh, mendatangi dukun, 
dan lain-lain. Adapun dalam keadaan tertentu, dosa (ma'siat) mencakup kafir dan 
selain kafir, seperti firman Allah SWT menyebutkan, "Dan barangsiapa yang 
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya baginyalah neraka Jahannam, 
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya." (Al-Jinn: 23). Dengan disebutkannya 
perbuatan dosa, dapatlah diketahui sejauh mana hal itu dapat menghilangkan pokok 
tauhid, dan pada umumnya jika bukan sebagai perbuatan dosa, maka hal itu adalah 
syirik yang nyata atau salah satu dari macam-macam kafir, yang termasuk kafir 
kecil sebagaimana disepakati secara bulat (sesuai Ijma') oleh ulama Ahlus Sunnah 
wal Jamaah.
Di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah bahwa 
Rasulullah saw menyebut pertikaian di kalangan kaum muslimin sebagai kekafiran 
sebagaimana tergambar dalam sabdanya, "Janganlah kamu menjadi kafir setelahku, 
di mana sebagian kamu akan membunuh (memenggal) sebagian yang lain."
Allah SWT juga berfirman, "Sesungguhnya ada dua golongan di 
antara orang-orang yang beriman yang saling membunuh...."
Dengan demikian, kekafiran yang dimaksud dengan hadis ini 
bukanlah kekafiran yang mengeluarkan seseorang dari Islam, jika tidak demikian, 
mengapa Allah menyebut orang-orang yang saling membunuh sebagai orang-orang 
beriman? Karena, mustahil apabila Sunnah bertentangan dengan Alquran, tetapi 
Sunnah merupakan penjelas bagi Alquran sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. 
Maka, hadis tersebut cenderung mengandung pengertian yang tidak bertentangan 
dengan Alquran dengan menyebut orang-orang beriman yang saling membunuh.
Perbuatan ma'siat (dosa) kadang-kadang juga disebut sebagai 
perbuatan jahiliyah, karena keburukannya dan hal itu tidak menjadikan kafir 
pelakunya, kecuali kemusyrikan. Imam al-Bukhari ra berkata, "Perbuatan dosa 
merupakan perbuatan jahiliyah, tetapi hal itu tidak menyebabkan pelakunya 
menjadi kafir, kecuali kemusyrikan." Hal ini berdasarkan hadis rasululah saw, 
"Sesungguhnya di dalam dirimu terdapat perbuatan jahiliyah," dan firman Allah 
SWT, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni 
segala dosa yang selain (syirik) bagi siapa yang dikehendaki-Nya." (An-Nisa': 
48). Kemudian al-Bukhari mengemukakan hadis dari Abu Dzarr tentang seseorang 
yang mencela orang lain dan ia mengejek ibunya dan Rasulullah saw menyebutkan 
hadis di atas.
Imam Badruddin al-'Aini mengatakan, "Aspek dalil yang 
ditunjukkan oleh hadis tersebut adalah bahwa beliau berkata kepada orang 
tersebut: 'Tindakanmu yang mengejek ibunya', hal itu merupakan perbuatan yang 
dilakukan orang-orang jahiliyah, dan bukan semata-mata kamu orang jahil (bodoh). 
Seandainya perbuatan tersebut merupakan suatu kekafiran, maka rasulullah saw 
akan menjelaskannya kepada Abu Dzarr dan tidak akan cukup dengan mengatakan: 
"Sesungguhnya di dalam dirimu terdapat perbuatan jahiliyah," sebagaimana 
dipahami dari hadis ini bahwa yang dimaksudkannya bukanlah jahiliyah itu 
sendiri, sebab jahiliyah pada masanya adalah kekafiran, tetapi tindakannyalah 
yang merupakan perilaku jahiliyah.
Ibnu Hajar ra mengatakan, "Barangsiapa di dalam dirinya 
terdapat salah satu sifat dari sifat-sifat jahiliyah selain syirik, ia tidaklah 
keluar dari iman, baik dosa kecil maupun besar."
Maksudnya adalah bahwa sesuatu yang dikategorikan sebagai 
kekafiran tidak selamanya menyebabkan seseorang keluar dari Islam hingga 
terlihat hakikatnya dari segi bentuk kekafiran tersebut, kecil atau besar. Syekh 
Islam Ibnu Taymiyyah mengatakan, "Tidak setiap orang yang melakukan salah satu 
bagian dari kekafiran menjadi kafir mutlak sampai jelas hakikat kekafiran yang 
dilakukannya."
Sebagaimana kekafiran terbagi menjadi kecil dan besar, maka 
demikian pula halnya dengan kezaliman, kefasikan dan kemunafikan. Yang besar 
dari semua dosa tersebut menyebabkan pelakunya keluar dari agama dan kekal di 
dalam neraka, serta sinonim dengan kekafiran yang besar, sedangkan yang kecil, 
ia tidak menyebabkan hilangnya pokok keimanan dan tidak menghapuskannya secara 
keseluruhan, tetapi ia hanya mengurangi kesempurnaannya dan bagian-bagiannya, 
yang secara syara' menjadikan orang tersebut tercela. Jika terdapat hukum-hukum 
yang berlaku bagi kaum muslimin, maka hukum-hukum tersebut diberlakukan pula 
baginya, karena ia tidak keluar dari Islam.
Adapun ciri-ciri dari kezaliman, kefasikan, dan kemunafikan 
yang kecil adalah sebagaimana ciri-ciri kafir kecil seperti yang telah 
dijelaskan sebelumnya. Syekh al-Hakami ra mengatakan, "Tidak ada sesuatu yang 
dihilangkan dari seseorang karena perbuatannya yang termasuk kefasikan atau 
pelakunya sebagai fasik dan ia dapat tetap dikatakan muslim serta diberlakukan 
baginya hukum-hukum kaum muslimin. Sebab, tidak setiap kefasikan menyebabkan 
kafir, dan tidak setiap yang dinamakan kafir atau zalim mengeluarkan seseorang 
dari Islam, sampai jelas bukti-bukti dan tanda-tandanya. Hal demikian disebabkan 
karena setiap kekafiran, kezaliman, kefasikan, dan kemunafikan (sebagaimana 
dijelaskan dalam nas-nas yang ada) terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
- Kategori besar, yang mengeluarkan pelakunya dari agama, karena menghilangkan pokok iman secara mendasar.
- Kategori kecil, yang mengurangi keimanan dan menghilangkan kesempurnaannya, tetapi tidak mengeluarkan pelakunya dari iman, sehingga kategori ini disebut kafir di bawah kafir, zalim di bawah zalim, fasik di bawah fasik, dan munafik di bawah munafik.
- Kategori besar, yang mengeluarkan pelakunya dari agama, karena menghilangkan pokok iman secara mendasar.
- Kategori kecil, yang mengurangi keimanan dan menghilangkan kesempurnaannya, tetapi tidak mengeluarkan pelakunya dari iman, sehingga kategori ini disebut kafir di bawah kafir, zalim di bawah zalim, fasik di bawah fasik, dan munafik di bawah munafik.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan tentang kafir 
kecil di atas adalah sebagai berikut:
- Orang-orang yang berbuat dosa tidak dikatakan mu'min, karena nas-nas tidak 
menyebutkan demikian, dan merupakan suatu keharusan memberlakukan nas-nas 
tersebut dan menetapkannya seperti adanya. Akan tetapi, karena perbuatan 
tersebut, mereka tidak pula dikatakan telah keluar dari agama. Iman yang hilang 
dari mereka adalah iman yang teraplikasikan, bukan fondasi iman, karena pangkal 
iman masih ada pada diri mereka.
Berdasarkan hal di atas, Muhammad bin Nashr al-Marwazi berkata, "Allah dan Rasul-Nya serta jama'ah kaum muslimin menyebut sesuatu dengan sebutan yang secara umum berlaku untuk tindakan tersebut. Maka, orang yang berzina disebut fasik, yang menuduh seseorang berzina disebut fasik dan peminum khamr (minuman keras) itu fasik. Mereka tidak menyebutkan pelaku-pelaku dosa tersebut sebagai orang yang bertakwa dan wara' (menjauhi diri dari dosa, maksiat, dan sesuatu yang syubhat), tetapi kaum muslimin sepakat bahwa di dalam diri mereka yang melakukan dosa masih terdapat pangkal takwa dan wara', dan hal itu menjaganya untuk menjadi kafir atau menyekutukan Allah SWT dengan sesuatu (syirik). Hal itu juga tidak menyebabkan mereka tidak dimandikan jenazahnya atau tidak disalatkan, mereka tetap dimandikan dan disalatkan.... Mereka juga tidak menyebut, orang yang melakukan dosa tersebut sebagai orang yang bertakwa atau wara', karena tindakannya yang melakukan sebagian dosa besar, tetapi mereka menyebutnya sebagai fasik dan fajir (orang berdosa), yang pada saat bersamaan ia juga telah melakukan sebagian dari ketakwaan dan wara, karenanya perbuatan dosa tersebut menghalangi penyebutan takwanya sebagai pujian dan kesucian dan Allah akan memberikan ampunan dan sorga. Kami juga tidak menyebutnya sebagai mukmin, tetapi menyebutnya sebagai orang fasik yang berzina, meskipun di dalam hatinya terdapat pangkal iman. Karena, iman adalah suatu sebutan yang dipuji oleh Allah bagi kaum mu'minin dan iman tersebut menyucikan mereka dan menjanjikan sorga bagi mereka.
 - Sebagaimana diperintahkan Allah dan Rasul-Nya menyebut perbuatan-perbuatan dosa dengan sebutan kafir tanpa menyelewengkannya, sesungguhnya Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan di dalam kitab-Nya (Alquran) dan apa yang diwahyukan kepada Nabi-Nya Muhammad saw. Maka, perbuatan yang disebutnya kafir, kami menyebutnya pula sebagai kafir, demikian pula yang disebut zalim atau fasik, kami menyebutnya zalim atau fasik. Adapun hukum-hukumnya, kami memberlakukannya sesuai dengan tujuan Allah dan Rasul-Nya, maka kafir kecil meskipun disebutkan oleh syar'i (Allah dan Rasul-Nya) sebagai tindakan melakukan sebagian dosa besar, hal itu tidak mengeluarkan seorang hamba dari iman dan tidak memisahkannya dari agama, darahnya, hartanya dan keluarganya pun tidak halal (tidak boleh dibunuh).
 
Oleh karena itu, kafir besar dan kafir kecil harus dibedakan, 
hingga tidak terjerumus pada bahaya dengan menanggalkan iman dari pemiliknya dan 
memberikannya kepada orang yang tidak berhak.
Post a Comment