Dampak Kebodohan dalam Masalah Tauhid Uluhiyah
Dampak Kebodohan dalam Masalah Tauhid Uluhiyah
Sesungguhnya tauhid rububiyah yang telah ditetapkan berdasarkan
penciptaan tidaklah dianggap cukup hanya sampai di situ saja, tetapi Mereka
harus mampu menjelaskan dalilnya. Dengan demikian, sudah semestinya tauhid
tersebut disertai dengan adanya pengakuan akan tauhid uluhiyah yang mengesakan
Allah dalam beribadah. Tauhid ini merupakan pengejawantahan dari makna "laa
ilaaha illallahu" (tiada tuhan selain Allah), karena yang dimaksud dengan Tuhan
di sini adalah Tuhan yang patut disembah karena rasa cinta, penyerahan diri,
pengagungan, dan pemulian-Nya. Oleh karena itu, kalimat "laa ilaaha illallahu"
merupakan puncak segala kebaikan, dan tauhid yang terkandung dalam kalimat "laa
ilaaha illallahu" merupakan sumber sesuatu.
Tauhid uluhiyah ini merupakan hak Allah SWT yang menjadi
kewajiban bagi setiap hamba-Nya. Mereka harus beribadah kepada-Nya den tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam
hadis sahih yang diriwayatkan oleh Mua'dz bin Jabal ra dari Nabi saw yang
bersabda, "Apakah anda tahu apa hak Allah atas hamba-hamba-Nya?" Muadz berkata,
Aku menjawab, "Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui," lalu Nabi saw bersabda, "
Hak Allah atas hamba-hamba-Nya adalah mereka harus menyembah-Nya dan tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Apakah anda tahu apa hak hamba-hamba
atas Allah seandainya mereka mengerjakan hal tersebut di atas? Muadz berkata,
Aku menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui," lalu Nabi saw bersabda,
"Hak mereka adalah Allah tidak akan menyiksa mereka."
Berkenaan dengan tauhid ini, ada keharusan yang berkaitan
dengan lahir dan batin yang terdiri dari beberapa perintah Allah yang diwajibkan
kepada orang-orang yang beriman, yang mengesakan-Nya dalam bentuk beberapa
kewajiban beribadah kepada Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa, yang memiliki
sifat-sifat sempurna dan agung. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah SWT
dalam firman-Nya, "Katakanlah: 'Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau
berikan kerajaan kepada orang Yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan
dari orang Yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki
dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala
kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha kuasa atas segala sesuatu'." (Ali Imran:
26).
Dalam ayat yang lain Allah berfirman, "Dan apa saja nikmat
yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh
kemudharatan, maka hanya kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan." (An-Nahl:
53).
Allah SWT berfirman, "Jika Allah menimpakan suatu
kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia
sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas
tiap-tiap sesuatu." (Al-An'aam: 17).
Allah SWT berfirman, "Jika Allah menimpakan suatu
kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia.
Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tidak ada yang dapat menolak
karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di
antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(Yunus: 107).
Allah SWT berfirman, "Dan sungguh ketika kamu bertanya
kepada mereka: 'Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?' niscaya mereka
menjawab, 'Allah.' Katakanlah, 'Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu
seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah
berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan-kemudharatan itu, atau
jika Allah hendak memberikan rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan
rahmat-Nya? Katakanlah, 'Cukuplah Allah bagiku.' Kepada-Nyalah orang-orang yang
berserah diri bertawakkal." (Az-Zumar: 38).
Allah SWT berfirman, "Katakanlah: 'Serulah mereka yang kamu
anggap (sebagai tuhan) selain Allah, mereka tidak memiliki kekuasaan seberat
dzarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai saham pun dalam
(penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang
menjadi pembantu bagi-Nya." Dan tidaklah berguna syafaat di sisi Allah melainkan
bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafaat itu?." (Saba': 22 --
23).
"Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, tuhan
apa pun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia.
Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nyalah segala penentuan, dan
hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan." (Al-Qashash: 88).
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus,
dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat, dan yang demikian
itulah agama yang lurus." (Al-Bayyinah: 5).
Keterangan yang berkaitan dengan permasalahan tersebut di atas
banyak sekali terdapat dalam Alquran, hadis dan ijma para ulama. Di mana menurut
mereka bahwa masalah tauhid (uluhiyah) ini
merupakan ruh agama, sebagaimana dalam kenyataannya.
merupakan ruh agama, sebagaimana dalam kenyataannya.
Dengan demikian, bagi orang mukmin yang bertauhid diwajibkan
mengerjakan amal perbuatan yang berkaitan dengan hati dan anggota badan yang
memanifestasikan hakikat tauhid kepada Allah Azza wa Jalla, dan yang
memanifestasikan hakikat kehambaan dirinya, sehingga keagungan, ketinggian, dan
kecintaan Tuhan (Allah) semakin nyata dalam dirinya, di mana dia akan selalu
berharap akan karunia-Nya dan takut dari siksa-Nya, rela dan berserah diri
kepada-Nya, taat kepada-Nya, dan melakukan amal (kebaikan) yang berkaitan dengan
hati dan anggota badan secara bersamaan.
Di antara amal perbuatan hati yang sangat penting yang
memresentasikan kesempurnaan tauhid ini adalah keridhaan. Berbagai macam
keridhaan ini telah dijelaskan dalam surah Al-An'aam sebagai sebuah surah yang
besar yang berkenaan dengan masalah tauhid. Dalam surah ini terkandung tiga
macam keridhaan yang mencakup tauhid secara keseluruhan, yaitu:
- Ridha mengakui Allah sebagai Tuhan dengan tidak menyekutukan-Nya dalam
mendekatkan diri kepada-Nya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Alquran,
"Katakanlah: 'Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah
Tuhan bagi segala sesuatu." (Al-'An'aam: 164).
- Ridha mengakui Allah SWT sebagai hakim dengan tidak menyekutukan-Nya dalam
menjalankan syariat dan ketaatan. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah SWT
dalam firman-Nya: "Maka, patutkah aku mencari hakim selain Allah, padahal
Dia-lah yang telah menurunkan kitab (Alquran) kepadamu dengan terperinci?"
(Al-'An'aam: 114).
- Ridha mengakui Allah SWT sebagai pelindung (penolong) dengan tidak menyekutukan-Nya dalam mencintai dan menjadikan-Nya sebagai penolong, sebagaimana ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya: "Katakanlah: 'Apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan langit dan bumi'." (Al-An'aam: 14).
Oleh karena itu, Nabi saw bersabda, "Orang yang dapat
merasakan (manisnya) keimanan adalah orang yang ridha mengakui Allah SWT sebagai
Tuhan, Islam sebagai agama, dan Muhammad saw sebagai rasul." (HR
Muslim).
Selanjutnya beliau bersabda, "Barangsiapa yang berkata
ketika mendengar seruan Ilahi (adzan): 'Aku ridha mengakui Allah sebagai Tuhan,
Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul, niscaya dosa-dosanya mesti
diampuni'." (HR Muslim).
Kewajiban lahiriyah yang mempresentasikan tauhid ini adalah
keikhlasan dalam menaati segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
Selain itu, dipresentasikan dengan ketaatan kepada Rasulullh saw dan kewajiban
mengikuti ketentuan syariat. Inilah realisasi yang dituntut oleh dua kalimat
syahadat: "Laa ilaaha illallahu, muhammadur rasuulullahi."
Di antara amal perbuatan hati yang setara dengan posisi ridha
adalah posisi keyakinan dan keikhlasan. Kedua amal perbuatan hati ini merupakan
amal perbuatan hati terbesar dan sumber keimanan yang sangat penting. Posisi
keyakinan ini berada di antara dua posisi keimanan dan kemunafikan, dan posisi
keikhlasan ini berada di antara dua posisi tauhid dan syirik--dalam konteks
pembicaraan hati dan keyakinan (akan kebenaran), atau dalam konteks kehendak dan
niat, dan dalam konteks amal perbuatan--di mana yang menjadi sumber dan
puncaknya adalah pengakuan 'laa ilaaha illallahu'. Pengakuan tersebut tidak akan
diterima, kecuali dengan menyatakannya dalam bentuk keyakinan dan
keikhlasan.
Allah SWT membatalkan pengakuan orang-orang munafik yang
menyatakan keimanan dan mengatakan kesaksian mereka, karena tidak adanya
keyakinan dalam hati mereka. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah SWT dalam
firman-Nya: "Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata:
'Kami mengakui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar rasul Allah.' Dan Allah
mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar rasul-Nya, dan Allah mengetahui
bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta."
(Al-Munafiqun: 1).
Demikian juga Allah SWT telah membatalkan prasangka ahli kitab
dan orang-orang musyrik yang menyangka bahwa agama yang mereka anut itu adalah
agama yang benar, karena tidak adanya keikhlasan dalam menerima kebenaran. Hal
ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya: "Orang-orang
kafir, yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak
akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.
(Yaitu) seorang rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran
yang disucikan (Alquran), di dalamnya terdapat (isi) kitab-kitab yang
lurus." (Al-Bayyinah: 1 -- 3).
"Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib
mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih
putra Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak
ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang
mereka persekutukan." (At-Taubah: 31).
Dengan menggunakan ukuran keyakinan dan keikhlasan ini, banyak
sekali pengakuan orang-orang yang beribadah yang dibatalkan, dan banyak sekali
orang-orang yang enggan beribadah yang mengalami kehancuran. Keyakinan,
mengeluarkan setiap orang yang beribadah kepada Allah yang disertai dengan
ibadah kepada selain-Nya, atau mengeluarkan orang yang beribadah kepada selain
Allah yang disertai dengan ibadah kepada-Nya. Hal ini sebagaimana dijelaskan
dalam hadis sahih, "Allah Tabaaraka wa Tata'aala berfirman, 'Aku sangat kaya
dari sekutu (tidak membutuhkan sekutu), maka orang yang melakukan amal perbuatan
dengan menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, niscaya Aku akan meninggalkannya dan
meninggalkan sekutunya'." (HR Muslim).
Dengan demikian, jelaslah bahwa yang menafikan (meniadakan)
tauhid ini adalah menyekutukan Allah SWT. Perbuatan ini banyak sekali ditemukan
dalam kehidupan manusia dewasa ini dengan sebab yang beraneka ragam. Sebab-sebab
ini di antaranya sedikitnya orang-orang yang menyerukan agar mentauhidkan Allah
SWT dalam melakukan ibadah dan ketaatan, keengganan manusia mengetahui
hukum-hukum agama karena kesibukannya mengurusi urusan dunia dan mengikuti hawa
nafsunya, dan merebaknya kebodohan ini di berbagai belahan dunia kaum muslimin,
khususnya kebodohan dalam mengetahui agama yang benar. Jika bukan karena
sebab-sebab tersebut, kesesatan dan perbuatan bidah yang tersebar, dan lembaga
serta organisasi yang menciptakan, menjaga, dan menyebarkannya di kalangan kaum
muslimin, niscaya akan diketahuinya.
Adapun sebab yang paling meresahkan kita semua adalah kebodohan
yang menimpa manusia yang mendorongnya untuk bersikap ekstrem (berlebihan) dalam
memahami hak Pencipta atas mereka, sehingga menjerumuskan mereka ke dalam
berbagai penentangan yang menafikan (meniadakan) tauhid uluhiyah secara
keseluruhan, atau menafikan sebagian rincian dari tauhid ini. Maka, sejauh mana
batasan toleransi ini dapat diberikan berkenaan dengan kebodohan atas tauhid
uluhiyah ini?
Ketentuan hukum dalam masalah ini mesti didasarkan kepada
sejumlah kaidah sebagai berikut:
- Batasan yang jelas mengenai perbuatan yang dapat menafikan tauhid
uluhiyah.
- Jika kita katakan bahwa perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai kekufuran,
dan dihukumi sebagai perbuatan yang tidak berhak mendapatkan siksaan, kecuali
setelah sampainya dalil, sudah semestinya diadakan pembatasan mengenai sampainya
dalil dalam masalah ini, sehingga kita dapat memberlakukan kaidah tersebut dalam
kehidupan nyata.
- Batasan mengenai sesuatu yang dapat dimaafkan dan sesuatu yang tidak dapat dimaafkan.
Sumber: Al-Jahl bi Masaailil I'tiqaad wa Hukmuhu,
Abdurrozzaq bin Thahir bin Ahmad Ma'asy
Post a Comment