Dampak Kebodohan terhadap Tauhid
Dampak Kebodohan terhadap Tauhid
Tauhid menurut ulama Ahli Sunnah wal Jama'ah dapat dibagi
menjadi tiga bagian. Sebagaimana hal ini dikemukakan oleh Imam Ibnu Abi al-'Izz
ra, "Sesungguhnya tauhid itu mencakup tiga bagian, yaitu:
- Tauhid yang menjelaskan sifat-sifat Allah.
- Tauhid rububiyyah, yaitu tauhid yang menjelaskan bahwa hanya Allah
SWT pencipta segala sesuatu.
- Tauhid uluhiyyah, yaitu tauhid yang menjelaskan bahwa hanya Allah SWT Tuhan yang berhak disembah dan tidak ada sekutu bagi-Nya.
Dari pembagian tersebut yang akan menjadi perhatian kita dalam
pembahasan ini adalah toleransi (pemberian maaf) karena kebodohan
(ketidaktahuan) tentang hal-hal yang berkaitan dengan masing-masing bagian dari
ketiga bagian tersebut di atas yang secara keseluruhan merupakan hakikat tauhid
yang dibawa oleh Rasulullah saw.
Batasan Toleransi (Pemberian Maaf) karena Kebodohan
(ketidaktahuan) yang Berkaitan dengan Tauhid Rububiyah
Berkenaan dengan tauhid ini, maka tidak satu kelompok pun dari
keturunan Adam (manusia) yang menentangnya. Bahkan, pengakuan hati yang suci
tentang hal ini jauh lebih besar dibandingkan dengan pengakuannya kepada yang
lainnya. Hal itu sebagaimana yang telah dikatakan oleh para rasul--semoga
keselamatan tercurah kepada mereka-- dalam permasalahan yang telah dijelaskan
oleh Allah SWT yang berkaitan dengan mereka, "Berkata rasul-rasul mereka:
'Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi'?"
(Ibrahim: 10).
Orang yang sangat terkenal kebodohannya yang mengingkari
keberadaan Allah sebagai pencipta adalah Fir'aun, walaupun dalam hatinya dia
meyakini-Nya, sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi Musa as, "Musa menjawab:
'Sesungguhnya kamu telah mengetahui bahwa tiada yang menurunkan
mukjizat-mukjizat itu kecuali Tuhan Yang Memelihara langit dan bumi sebagai
bukti-bukti yang nyata." (Al-Isra': 102). Allah SWT berfirman berkenaan
dengan nabi Musa as dan kaumnya, "Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman
dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)-Nya."
(An-Naml: 14).
Tidak pernah ada satu kelompok pun yang mengatakan,
sesungguhnya alam ini memiliki dua pencipta yang memiliki kesamaan dalam sifat
dan perbuatannya. Sedangkan aliran dualisme dari kalangan Majusi dan para
penyembah benda-benda hanya mengatakan tentang dua sumber, yaitu cahaya dan
kegelapan, dan alam ini keluar dari keduanya, di mana mereka sepakat bahwa
cahaya itu lebih utama dari kegelapan, dan dia merupakan tuhan yang terpuji,
sementara kegelapan itu merupakan kejelekan yang tercela. Mereka berbeda
pendapat dalam masalah kegelapan ini, apakah ia merupakan sesuatu yang qadim
(sudah ada sejak dulu dan keberadaannya itu tidak didahului dan diakhiri dengan
ketiadaan) atau hadits (adanya itu baru dan keberadaannya itu didahului dan
diakhiri dengan ketiadaan)? Mereka tidak pernah menetapkaan adanya dua tuhan
yang serupa (memiliki kesamaan dalam sifat dan perbuatannya).
Adapun orang-orang Nasrani yang mengatakan tentang trinitas,
sebenarnya mereka tidak menetapkan bahwa alam ini memiliki tiga tuhan yang
terpisah antara yang satu dengan lainnya. Bahkan, mereka sepakat untuk
menetapkan bahwa pencipta alam ini adalah satu. Mereka mengatakan bahwa tuhan
bapak, tuhan anak, dan roh yang qudus itu adalah tuhan yang satu.
Sedangkan orang-orang musyrik Arab mengakui tentang tauhid
rububiyah ini, di mana mereka menetapkan bahwa tuhan pencipta langit dan bumi
itu adalah satu. Hal ini sebagaimana telah disinyalir oleh Allah SWT dalam
firman-Nya, "Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah
yang menciptakan langit dan bumi?' Tentu mereka akan menjawab, 'Allah'."
(Luqman: 25). Allah SWT berfirman, "Katakanlah: 'Kepunyaan siapakah bumi ini,
dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?' Mereka akan menjawab:
'Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak ingat?" (Al-Mukminun: 84
-- 85).
Dengan demikian, maka tidak perlu diragukan lagi bahwa
keimananan itu ditujukan hanya kepada Allah semata dan tidak ada sekutu
bagi-Nya, dan hanya Dia (Allah)-lah yang berhak atas ketuhanan yang merupakan
fitrah manusia sejak mereka berada di alam benih. Sebagaimana hal ini dijelaskan
oleh Allah SWT dalam frman-Nya: "Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka
menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang
demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami
(bani Adam) adalah orang-oang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)." Atau
agar kamu tidak mengatakan; "Sesungguhnya orang-orang tua kami telah
mempersekutukan Tuhan sejak dulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan
yang (datang) sesudah mereka. Maka Engkau akan membinasakan kami karena
perbuatan orang-orang yang sesat dulu." (Al-A'raf: 172 -- 173).
Al-Hafidz Ibnu katsir ra berkata: "... Allah SWT telah
menunjukkkan bahwa fitrah yang dimiliki oleh manusia itu memiliki kecenderungan
untuk mengesakan-Nya.
Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi saw
, "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah
yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi."
Ibnu Abi Al-'Izz ra berkata: "Tidak dapat dikatakan bahwa
pengertian hadis tersebut menunjukkan bahwa anak itu dilahirkan dalam keadaan
polos yang tidak mengetahui perbedaan tauhid dan syirik, sebagaimana yang
dikatakan oleh sebagian orang.
Selain itu, Nabi saw bersabda, "Allah SWT berfirman, 'Aku
telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan fitrah (suci), lalu setan
mengotorinya ...'."
Bertitik tolak dari keterangan di atas yang bersumber dari
dalil-dalil syariah dan bukti-bukti yang bersifat realitas menunjukkan bahwa
manusia itu diciptakan dengan memiliki kecenderungan untuk mengesakan Allah.
Sehingga, dapat dikatakan bahwa dalil yang menunjukkan akan keesaan Allah SWT
dan menunjukkan kemadirian-Nya dari makhluk sudah sangat jelas bagi mereka,
yaitu dalil yang menolak seseorang yang mengingkari ketuhanan Allah SWT atau
menyekutukan-Nya dengan sesuatu atau dengan lainnya atau mengaku tidak
mengetahui tentang hal itu.
Dengan demikian, maka jika kita bermaksud membatasi batasan
sampainya dalil kepada manusia dalam masalah tauhid rububiyah ini, maka kita
mesti mengambil ungkapan yang pasti tentang permasalahan ini, dan bahwa tauhuid
rububiyah ini merupakan sesuatu yang fitrah. Karena itulah, maka perlu
didatangkan dalil syar'i untuk mengingatkan akidah yang bersifat fitrah ini.
Demikian juga halnya dengan dalil menciptakan yang sesuai dengan dalil-dalil
yang menunjukkan tentang keesaan Allah sebagai Pencipta dan Pengatur.
Ibnu Qayyim ra berkata berkenaan dengan ayat pengakuan di dalam
surah Al-A'raaf: "Ketika ayat Al-A'raaf ini dikategorikan sebagai ayat makiyah
(yang diturunkan di Mekah), maka di dalamnya diceritakan perjanjian dan
pengakuan yang bersifat umum bagi seluruh orang mukallaf (dewasa) yang termasuk
dari orang-orang yang mengakui kerububiyan Allah, ke-Esa-an-Nya, dan batalnya
perbuatan syirik. Perjanjian dan pengakuan yang dimaksud adalah perjanjian dan
pengakuan yang menunjukkan dalil bagi mereka, putusnya toleransi (pemberian
maaf), patutnya mendapatkan siksaan dan berhaknya mendapatkan kehancuran bagi
orang yang menentangnya. Dengan demikian, maka sudah semestinya bagi orang-orang
mukallaf untuk mengingat dan mengetahuinya, karena hal itu merupakan sesuatu
yang telah diciptakan oleh Allah bagi mereka, berupa pengakuan akan
kerububiyahan (ketuhanan) Allah, dan mengakui-Nya sebagai Tuhan dan yang
menciptakan mereka, serta mereka harus mengakui bahwa mereka itu merupakan
makhluk yang diatur oleh-Nya. Selanjutnya, Allah mengutus para rasul kepada
mereka yang bertugas untuk mengingatkan mereka tentang sesuatu yang sesuai
dengan fitrah dan akal mereka, dan memberitahukan mereka tentang perintah,
larangan, janji, dan ancaman Allah SWT.
Syekh al-Hukami Rahimahullahu berkata berkenaan dengan
penjelasan tentang berbagai macam perjanjian yang telah dibuat oleh Allah SWT
dengan Bani Adam (manusia), sehingga dapat ditentukan mengenai batasan sampainya
dalil kepada manusia, seraya beliau berkata: "? seluruh perjanjian ini telah
diciptakan oleh Alquran dan Sunnah:
- Perjanjian yang diambil oleh Allah SWT dari manusia ketika mereka
dikeluarkan dari tulang punggung bapaknya yaitu Nabi Adam as dan mereka bersaksi
kepada diri mereka sendiri: "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul
(Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." Inilah perjanjian yang dikatakan oleh
mayoritas mufasir dalam ayat ini, sedangkan perjanjian yang didasarkan kepada
nash hadis sebagaimana terdapat dalam hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Muslim terdapat pula dalam hadis-hadis lainnya.
- Perjanjian yang bersifat fitrah, di mana Allah SWT telah menjadikan manusia
sebagai saksi atas perjanjian yang diambil-Nya dari mereka berkenaan dengan
perjanjian yang pertama tadi. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam
firman-Nya, "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah);
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah Allah." (Ar-Ruum: 30).
- Perjanjian yang dibawa oleh para rasul dan yang dikandung oleh kitab-kitab suci Allah dengan tujuan untuk memperbaharui perjanjian yang pertama dan mengingatkannya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya: "(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (An-Nisaa': 165).
Dengan demikian, maka orang yang menemukan perjanjian ini dan
dia tetap pada fitrahnya, yang mengakui sesuatu yang telah ditetapkan pada
perjanjian yang pertama, maka dia akan menerima perjanjian tersebut sejak awal
dan tidak akan berhenti, karena hal itu akan sesuai dengan sesuatu yang ada
dalam fitrahnya dan sesuatu yang Allah telah ciptakan baginya. Sehingga, dengan
hal tersebut, keyakinannya akan semakin bertambah dan keimanannya akan semakin
kuat, tanpa melalui proses pertimbangan yang seksama dan keraguan. Sedangkan
orang yang menemukan perjanjian tersebut, sementara fitrahnya sudah
mengalamiperubahan dari sesuatu yang Allah ciptakan, berupa pengakuan terhadap
sesuatu yang telah ditetapkan perjanjian yang pertama disebabkan disesatkan oleh
setan atau diyahudikan, dinasranikan, dan dimajusikan oleh kedua orang tuanya,
maka jika Allah SWT memperbaikinya dengan cara memberikan rahmat-Nya, niscaya
dia akan kembali kepada fitrahnya dan membenarkan sesuatu yang dibawa oleh para
rasul dan yang dikandung oleh kitab-kitab suci, sehingga perjanjian yang pertama
dan yang kedua akan memberikan manfaat baginya. Akan tetapi, jika dia
mendustakan perjanjian yang ini, niscaya dia pun akan mendustakan perjanjian
yang pertama, sehingga pengakuannya pada hari di mana perjanjian itu diminta
pertangungjawabannya oleh Allah darinya, maka tidak akan memberikan manfaat
baginya sekiranya dia menjawab "benar," sebagai jawaban atas firman Allah SWT:
"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" dan telah disampaikannya dalil Allah kepadanya,
telah ditetapkan penderitaan yang akan menimpanya, dan telah ditetapkannya
siksaan baginya. Karena, orang yang dihinakan oleh Allah, niscaya tidak akan ada
seorang pun yang akan memuliakannya dan sesungguhnya Allah akan melaksanakan
sesuatu yang dikehendaki-Nya.
Adapun orang yang tidak menemukan perjanjian tersebut
dikarenakan dia meninggal ketika masih kecil sebelum dikenai kewajiban, maka dia
dianggap meninggal berdasarkan perjanjian pertama menurut fitrahnya. Seandainya
dia termasuk seorang anak dari orang-orang muslim, maka dia disertakan beserta
orang tuanya (dihukumi sebagai orang Islam), dan seandainya dia seorang anak
dari orang-orang musyrik, maka Allah Maha Mengetahui tentang perbuatan yang akan
dilakukan anak tersebut seandainya dia menemui perjanjian tersebut. Sebagaimana
hal ini dijelaskan dalam hadis sahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
dari Ibnu Abbas ra seraya berkata, "Rasulullah saw ditanya mengenai anak-anak
dari orang-orang musyrik, maka beliau menjawab: 'Allah SWT yang telah
menciptakan mereka Maha Mengetahui terhadap apa yang akan diperbuat oleh
mereka'."
Dengan demikian, maka berkenaan dengan tauhuid rububiyah ini,
dalil yang ada telah memutuskan
adanya toleransi (pemberian maaf). Oleh karena itu, maka inti sari ajaran Muhammad saw itu adalah menyeru kepada kemestian tauhid ini, yaitu tauhid uluhiyah (tauhid yang menjelaskan akan ketuhanan Allah SWT), yang mengajak untuk beribadah hanya kepada Allah SWT semata tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Pada umumnyan manusia itu menyimpang dalam tauhid jenis ini. Karena itulah mereka sudah selayaknya tunduk kepada seruan para rasul yang menyeru mereka untuk beribadah kepada Allah SWT semata tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Allah SWT berfirman: "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): 'Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah taghut itu'." (An-Nahl: 36).
Dalam ayat yang lain Allah berfirman: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku." (Adz-Dzaariyat: 56).
adanya toleransi (pemberian maaf). Oleh karena itu, maka inti sari ajaran Muhammad saw itu adalah menyeru kepada kemestian tauhid ini, yaitu tauhid uluhiyah (tauhid yang menjelaskan akan ketuhanan Allah SWT), yang mengajak untuk beribadah hanya kepada Allah SWT semata tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Pada umumnyan manusia itu menyimpang dalam tauhid jenis ini. Karena itulah mereka sudah selayaknya tunduk kepada seruan para rasul yang menyeru mereka untuk beribadah kepada Allah SWT semata tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Allah SWT berfirman: "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): 'Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah taghut itu'." (An-Nahl: 36).
Dalam ayat yang lain Allah berfirman: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku." (Adz-Dzaariyat: 56).
Syekh Abdurrahman bin Hasan ra berkata, "Yang dimaksud dengan
tauhid di sini bukanlah hanya tauhid rububiyah, di mana seseorang hanya meyakini
bahwa hanya Allah-lah Pencipta alam, sebagaimana yang disangka oleh ahli kalam
dan tasawuf, di mana mereka menyangka bahwa apabila mereka telah menetapkan hal
itu berdasarkan dalil, maka mereka dianggap telah menetapkan tujuan dari tauhid,
dan mereka menyangka bahwa apabila mereka telah mengakui hal ini dan telah
membahasnya dianggap telah membahas tujuan tauhid. Padahal, seandainya seseorang
mengakui tentang sesuatu yang menjadi hak Allah SWT berupa sifat-sifat-Nya dan
membersihkan-Nya dari segala sesuatu yang tidak layak bagi-Nya, serta mengakui
bahwa hanya Allah-lah Pencipta segala sesuatu, maka dia belum disebut sebagi
orang yang bertauhid sehingga dia harus bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah,
lalu dia mengakui bahwa hanya Allah-lah Tuhan yang berhak disembah, dan dia
mengharuskan ibadah itu hanya kepada Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu
apa pun."
Sebagai kesimpulan bahwa walaupun orang-orang musyrik mengakui
tauhid rububiyah, tetapi hanya mengakui sebagian rinciannya, maka yang pantas
diperbuat oleh orang-orang Islam adalah mengakuinya secara menyeluruh. Dengan
demikian, maka tidak layak bagi seorang muslim untuk tidak mengetahui tauhid ini
dan merasa samar dalam sebagian rinciannya, terlebih-lebih tidak layak baginya
seandainya dia mengingkari sesuatu yang menjadi kekhususan bagi Allah SWT
seperti tunggal dalam keesaan-Nya, Pencipta, Pengatur, atau menisbahkan
keagungan dan kemulyaan-Nya kepada kekurangan, seperti menisbahkan anak, teman,
kelemahan, dan kekurangan lainnya kepada-Nya, padahal Allah SWT Maha Tinggi dan
Maha Agung dari penisbahan tersebut atau mencaci Allah SWT. Semuanya ini
merupakan sesuatu yang tidak pantas bagi seorang muslim untuk tidak
mengetahuinya. Oleh karena itu, apabila ada sesuatu dari kekufuran ini yang
keluar dari seorang muslim, dia dikategorikan sebagai orang kafir, dan tidak ada
toleransi baginya, baik karena kebodohannya atau karena sebab yang lainnya. Akan
tetapi, di antara orang-orang Islam itu ada orang yang tidak mengetahui tauhid
uluhiyah. Hal ini merupakan sesuatu yang mungkin terjadi, bahkan bisa jadi telah
terjadi, dan hal ini merupakan sesuatu yang sangat mengkhawatirkan. Karena
itulah kita harus melihat batasan sesuatu yang dapat dimaafkan apabila dilakukan
oleh seorang muslim berkenaan dengan sesuatu yang dianggap bertentangan dengan
tauhid uluhiyah ini.
Post a Comment