Fase-Fase dan Keadaan Golongan yang Selamat
Fase-Fase dan Keadaan Golongan yang Selamat
Banyak nash yang memerintahkan agar berpegang teguh pada 
Jamaah, sebagaimana dijabarkan dalam pembahasan-pembahasan terdahulu. 
1. Di antaranya terdapat nash-nash yang memerintahkan agar 
berpegang pada mazhab Ahli Sunnah wal Jamaah, seperti dalam hadis-hadis mengenai 
perpecahan umat dan hadis berikut, "Senantiasa ada segologan dari umatku yang 
tetap membela kebenaran." Juga dalam hadis yang memerintahkan untuk 
mengikuti Sunnah Rasulullah saw dan Sunnah Khulafaur Rasyidin al-Mahdiyyin 
setelah sepeninggal Nabi saw.
2. Di dalamnya terdapat pula nash-nash yang memerintahkan untuk 
mengikuti Jamaah yang mempunyai pemimpin. Hadis mengenai hal tersebut antara 
lain, "Barangsiapa melihat sesuatu (yang tidak disukainya) dari seorang 
penguasa, hendaklah dia bersabar. Sebab, barangsiapa memisahkan diri dari Jamaah 
walaupun sejengkal, maka ia akan mati dalam keadaan Jahiliyah." Juga hadis 
berikut: "Barangsiapa menginginkan sorga, hendaklah berpegang teguh pada 
Jama'ah." Perintah-peritah seperti ini masih terdapat pada hadis-hadis yang 
lain.
3. Terdapat pula nash-nash yang berkaitan dengan rincian 
perintah agar berpegang teguh pada Jamaah kaum muslimin beserta Imam mereka jika 
keduanya ada. Jika tidak ada, hendaklah meninggalkan firqah-firqah yang ada. Hal 
ini ditunjukkan oleh hadis Hudzaifah dengan berbagai riwayat yang 
berbeda-beda.
Nash-nash seperti ini menunjukkan kepada kita bahwa Firqah 
an-Naajiyah (gologan yang selamat) atau Ahli Sunnah wal Jamaah mempunyai keadaan 
yang berbeda-beda:
Pertama, Terdapat Imam yang sah (Imam Syar'i) yang 
sekaligus menjadi Imam Ahli Sunnah wal Jamaah dengan mengikuti mazhab mereka, 
menyeru kepadanya, menjalankannya, serta mewaspadai siapa saja yang menentangnya 
dan memerangi pengikut aliran sesat dan bid'ah. Keadaan seperti ini terjadi pada 
masa khulafaur-rasyidin. Pada masa itu berhimpun dua makna sekaligus dalam 
Jamaah. Al-Jamaah adalah orang-orang yang berhimpun mengikuti Imam, dan 
al-Jamaah adalah Ahli Sunnah wal Jamaah.
Keadaan seperti inilah yang tertinggi, keadaan yang diidam-idamkan oleh setiap muslim pada masa kini agar terwujud di dalam umat ini. Pada kondisi seperti ini, wajib bagi setiap muslim untuk mengikuti al-Jamaah, dan mengikuti pemimpin serta memenuhi seruannya.
Keadaan seperti inilah yang tertinggi, keadaan yang diidam-idamkan oleh setiap muslim pada masa kini agar terwujud di dalam umat ini. Pada kondisi seperti ini, wajib bagi setiap muslim untuk mengikuti al-Jamaah, dan mengikuti pemimpin serta memenuhi seruannya.
Kedua, Ada seorang Imam, namun ia pelaku bid'ah, tidak 
iltizam kepada mazhab Ahli Sunnah wal Jamaah, bahkan sering mengikuti mazhab 
ahli bid'ah. Akan tetapi, di kalangan umat masih terdapat sekelompok atau 
individu yang terpencar-pencar yang tetap lantang menyerukan mazhab Ahli Sunnah. 
Mereka juga siap memikul beban apa pun dalam rangka menempuh jalan tersebut, 
sekalipun harus menerima ujian dan cobaan berat. Keadaan seperti ini terjadi 
pada masa al-Ma'mun yang mengambil mazhab Mu'tazilah dan memaksa rakyatnya untuk 
mengikutinya. Demi kepentingan itu, ia tak segan-segan melakukan penyiksaan 
terhadap mereka. Al-Ma'mun adalah seorang Imam yang melakukan bid'ah. Namun, 
pada masa kekuasaanya masih terdapat jamaah Ahli Sunnah yang menentang bid'ah 
dan iltizaam (berpegang teguh) pada mazhab Ahli Sunnah wal Jamaah. Mereka tidak 
menaati khalifah untuk mengikuti Mu'tazilah.
Dalam kondisi seperti ini, setiap muslim mempunyai dua 
kewajiban:
(a) Hendaknya mengikuti Imam, dalam pengertian tidak memberontak kepadanya sekalipun Imam itu seorang fasik, sebagaimana ajaran Ahli Sunnah wal Jamaah. Akan tetapi, ia tidak boleh menaatinya dalam maksiat kepada Allah, seperti yang diserukannya itu. Sebab, seorang amir wajib ditaati selama ia tidak memerintahkan maksiat. Tidak ada ketaatan dalam hal maksiat.
(b) Agar tetap berpegang pada mazhab Ahli Sunnah wal Jamaah dan memihak kepada jama'ah yang menyeru kepada kebaikan. Di samping itu, hendaknya ia berjuang melawan bid'ah. Ia harus menyerukan kebenaran sebagaimana seruan mereka kepadanya. Hal ini didukung oleh sabda Rasul saw kepada Hudzaifah, "Ikutilah Jamaah kaum muslimin dan Imam mereka."
(a) Hendaknya mengikuti Imam, dalam pengertian tidak memberontak kepadanya sekalipun Imam itu seorang fasik, sebagaimana ajaran Ahli Sunnah wal Jamaah. Akan tetapi, ia tidak boleh menaatinya dalam maksiat kepada Allah, seperti yang diserukannya itu. Sebab, seorang amir wajib ditaati selama ia tidak memerintahkan maksiat. Tidak ada ketaatan dalam hal maksiat.
(b) Agar tetap berpegang pada mazhab Ahli Sunnah wal Jamaah dan memihak kepada jama'ah yang menyeru kepada kebaikan. Di samping itu, hendaknya ia berjuang melawan bid'ah. Ia harus menyerukan kebenaran sebagaimana seruan mereka kepadanya. Hal ini didukung oleh sabda Rasul saw kepada Hudzaifah, "Ikutilah Jamaah kaum muslimin dan Imam mereka."
Ketiga, Tidak terdapat pemimpin yang sah, baik yang adil 
maupun yang zalim, sebagaimana terjadi pada sebagian umat Islam. Namun demikian, 
masih terdapat Ahli Sunnah wal Jamaah, baik dalam bentuk individu maupun 
kelompok. Dalam keadaan seperti ini wajib bagi seorang muslim mengikuti jamaah 
tersebut dan bersatu menyerukan kepada jalan Allah. Hendaknya mereka juga 
berperan aktif dalam rangka menegakkan kewajiban mereka, yaitu menegakkan ad-din 
dan menyerukan mazhab Ahli Sunnah. Hal ini ditunjukkan oleh sabda Rasul saw, 
"Ikutilah jama'ah kaum muslimin dan imam mereka."
Hudzaifah berkata, "Jika tidak tedapat jamaah dan imam ...." 
Maksudnya, jika terdapat jamaah kaum muslimin, tetapi tidak terdapat Imam yang 
sah, maka wajib seorang muslim untuk mengikuti jamaah ini.
Keempat, Di kalangan kaum muslimin tidak ada imam dan 
jama'ah, yang menyeru kepada mazhab Ahli Sunnah. Keadaan seperti lazim terjadi 
pada masa-masa berkecamuknya fitnah besar, seorang muslim yang iltizam terhadap 
mazhab Ahli Sunnah menjadi sangat asing, tidak ada seorang pun yang membela dan 
melindunginya, kecuali ahli bid'ah.
Pada kondisi seperti ini, seorang muslim wajib mencari jamaah 
yang mengikuti mazhab Ahli Sunnah. Jika ia tidak menemukannya, haruslah menyeru 
kepada kebenaran dan berusaha membentuk jamaah seperti itu. Kaum salaf dahulu 
menyerukan orang lain di negeri-negeri yang jauh untuk menegakkan mazhab Ahli 
Sunnah dan membentuk jamaah. Ibnu Wadlah meriwayatkan dari beberapa orang bahwa 
Asad Ibnu Musa menulis surat kepada Asad bin Furat, "Ketahuilah wahai saudaraku, 
bahwa yang mendorongku untuk menulis surat kepada Anda adalah cerita penduduk 
negeri Anda tentang sikap Anda yang baik terhadap orang lain. Dan keadaan Anda 
yang baik dalam menzahirkan sunnah dan mencela ahli bid'ah. Cerita Anda yang 
banyak tentang mereka beserta kecaman terhadap mereka. Allah menaklukkan mereka 
dengan perantara Anda, karena Anda pula Ahli Sunnah menjadi eksis dan kuat. 
Allah telah memberikan kekuatan kepada Anda, sehingga mampu menangkap cacat dan 
cela mereka. Hingga Allah menghinakan dan membuat takut mereka. Bergembiralah, 
wahai saudaraku, dengan pahala yang patut Anda terima, dan hitunglah hal itu 
sebagai kebaikan-kebaikan yang lebih utama daripada pahala salat, saum, haji, 
dan jihad. Di manakah letak amal-amal ini dalam rangka menegakkan kitabullah dan 
menghidupkan sunnah Rasul-Nya?" Lalu ia menyebut hadis-hadis tentang dakwah dan 
seruan menghidupkan sunnah, kemudia ia berkata, "Maka peliharalah hal itu dan 
serukan sunnah hingga Anda bisa memperoleh kerukunan dan jamaah yang mampu 
mengganti kedudukan Anda bila terjadi sesuatu terhadap diri Anda. Agar mereka 
menjadi imam-imam setelah Anda, dan Anda patut menerima pahala karena jerih 
payah itu hingga hari kiamat, sebagaimana tersebut dalam hadis. Karena itu, 
bekerjalah dengan mengikuti bashirah (kata hati) dan niat dengan penuh 
perhitungan...." (Ibnu Wadhah dalam al-Bida' wan Nahyu Anha, h. 5-7).
Jika seorang muslim tidak mendapati jamaah dan tidak 
mendengarnya dari seorang pun, maka ia tidak boleh condong kepada seorang pun 
dari ahli bid'ah, bahkan diperintahkan kepadanya untuk menjauhkan diri (uzlah) 
sampai datang keputusan Allah sesuai dengan yang Dia kehendaki, atau ia mati 
pada saat mengasingkan diri (i'tizal). Nabi saw bersabda kepada Hudzaifah 
al-Yamani, "Hai Hudzaifah, lebih baik Engkau mati menggigit akar pepohonan 
daripada Engkau mengikuti salah seorang dari mereka."
Post a Comment