Sinopsis Pembahasan Kitab "Ahlu Sunnah wal Jama'ah Maalimul Inthilaaqah al-Kubraa" (Bagian II)


Sinopsis Pembahasan Kitab "Ahlu Sunnah wal Jama'ah Maalimul Inthilaaqah al-Kubraa" (Bagian II)
Lanjutan dari tulisan terdahulu untuk kajian kitab yang sama.

  1. Firqah-firqah yang menyalahi Ahlu Sunnah wal Jama'ah adalah Murji'ah, Khawarij, Rafidhah, Qadariyah dan Jahmiyah.
    1. Murji'ah. Golongan ini yang pertama kali berpendapat bahwa amal perbuatan tidak termasuk iman. Pada umumnya, perselisihan mereka dalam masalah lafazh, bukan masalah hukum. Kemudian pendapat-pendapat mereka meningkat lebih berat, hingga menyepakati pengabaian nilai-nilai amalan. Sebagian mereka tidak wajib melaksanakan faraidh (kewajiban) dan tidak perlu menjauhi hal-hal yang diharamkan. Mereka menganggap cukup dengan mengatakan beriman.
    2. Khawarij. Prinsip mazhab mereka adalah mengagungkan Alquran dan menuntut untuk diikutinya, tetapi mereka keliru dalam memahaminya dan keluar dari Sunnah dan Jama'ah. Di samping itu, mereka membenarkan bahwa Nabi berbuat dzalim. Mereka tidak mematuhi hukum-hukumnya dan tidak pula hukum-hukum para imam sesudahnya. Mereka tidak mengikuti Sunnah yang mereka anggap bertentangan dengan Alquran, seperti hukum rajam, menolak kadar nishab untuk hukuman potongan tangan bagi si pencuri, dan lainnya. Mereka juga mengafirkan orang yang menyalahi pendapat mereka. Karena, menurut mereka, barangsiapa yang menyalahi Alquran patut dikafirkan, meskipun ia hanya keliru atau merasa berbuat dosa, padahal ia meyakini kewajiban dan keharamannya. Mereka juga menghalalkan darah penentangnya karena dianggap murtad. Akan tetapi, mereka justru tidak menghalalkan darah orang kafir. Bid'ah mereka, dalam mengafirkan kaum muslimin karena dosa-dosa dan kekeliruannya, merupakan bid'ah pertama yang muncul dalam Islam.
    3. Rafidhah atau Syi'ah. Pokok pendapat mereka adalah bahwa sesungguhnya Nabi telah mengangkat Ali dengan pengangkatan yang tak terbantahkan. Sebagian dari mereka (golongan mufadhdhilah) berpendapat bahwa Ali ra lebih utama daripada Abu Bakar dan Umar. Golongan Sabah (pencaci maki) membolehkan mencaci maki Abu Bakar dan Umar, sedangkan golongan ekstrim (ghulah) berkeyakinan secara berlebihan hingga mempertuhankan Ali ra.
      Rafidhah berpendapat bahwa Ali itu ma'shum (terpelihara dari dosa dan kesalahan) dan menganggap kafir orang yang menentangnya. Mereka menganggap bahwa para sahabat Muhajirin dan Anshar telah menyembunyikan nash tentang pengangkatan Ali, mengingkari keimamannya yang ma'shum, mengikuti hawa nafsu mereka, mengganti agama, mengubah syariat, berlaku aniaya, dan melampui batas. Mereka menganggap bahwa para sahabat itu kafir, kecuali sedikit dari mereka. Mereka juga berpendapat bahwa para imam mereka ma'shum, mengetahui segala sesuatu, dan merupakan sumber kebenaran dan ilmu, bukan Alquran dan as-Sunnah.
      Mereka termasuk golongan yang paling berdusta dan yang paling banyak mengidap banyak kedengkian terhadap Ahlu Sunnah wal Jama'ah. Jumhur mereka menyebut dan memvonis, Ahlu Sunnah lebih kafir dari Yahudi dan Nashrani, sebab, menurut mereka Ahli Sunnah itu murtad. Oleh karena itu, mereka bersekongkol dengan orang-orang kafir, orang-orang musyrik, dan Ahli Kitab untuk melawan Ahlu Sunnah wal Jama'ah. Mereka merupakan golongan bid'ah yang jauh dari Alquran dan Sunnah, mereka sangat berbahaya bagi Islam dan pemeluknya. Dari merekalah lahir induk-induk zindik dan munafik, seperti al-Qaramithah, al-Bathiniyah dan sejenisnya. Sebagian besar imam mereka juga adalah zindiq yang menampakkan sikap penolakan terhadap Islam, karena ini merupakan cara untuk menjatuhkan Islam.
    4. Qadariyah atau Mu'tazilah. Akal mereka tak berdaya menyatukan iman dengan takdir, iman dengan perintah serta larangan, janji serta ancaman, dan mereka menyangka bahwa hal demikian tidak mungkin. Oleh sebab itu, mereka berkeyakinan bahwa Allah SWT tidak menghendaki kecuali apa yang diperintahkan dan tidak menciptakan amalan para hamba sama sekali, sehingga menafikan kekuasaan, kehendak serta ilmu Allah. Mereka menyerupai Majusi dalam berbuat syirik rububiyah dengan menjadikan selain Allah sebagai Pencipta. Mereka menamakan Jama'ah dan as-Sawaadul A'dzam dari Ahlu Sunnah wal Jama'ah sebagai orang awam atau rakyat jelata.
      Prinsip-prinsip ajaran mereka ada lima:
      • Tauhid: Prinsip ini, menurut mereka, mencakup pengingkaran dan penolakan tentang sifat-sifat Allah.

      • Adil: Menurut mereka, adil ini mencakup pengingkaran terhadap takdir Allah, bahkan golongan ekstrim dari mereka menafikan ilmu Allah yang qadim.

      • Manzilah bainal Manzilatain: Menurut mereka, orang fasik tidak bisa disebut orang beriman pada satu aspek, dan tidak pula disebut orang kafir, maka mereka menempatkannya pada posisi di antara dua kedudukan.

      • Pelaksanaan ancaman siksa: Menurut mereka, orang Islam yang berbuat fasik kekal di dalam neraka, dan tidak akan dikeluarkan karena syafaat atau lainnya, sama dengan pendapat kaum khawarij.

      • Amar ma'ruf nahi munkar: Menurut mereka, prinsip ini meliputi diperbolehkannya keluar menentang para Imam dan memerangi mereka dengan pedang.
    5. Jahmiyah. Mereka menganggap bahwa qadar itu menyalahi syari'at, sehingga mereka menolak kebijaksanaan dan keadilan Allah. Mereka mengatakan bahwa sesungguhnya seorang hamba tidak memiliki perbuatan dan kekuatan sama sekali, yang berbuat dan berkuasa hanyalah Allah semata-mata. Oleh karena itu, Allah hanya mempunyai sifat kuasa (Qadir) tanpa sifat-sifat lainnya.
      Mereka berkata: "Tidak ada perbedan antara yang diperintahkan dan yang dilarang Allah. Seluruhnya sama. Demikian juga, antara para wali (kekasih) dan musuh-musuh-Nya, serta antara yang dicintai dan yang dibenci-Nya. Dia hanya membedakan antara dua hal yang serupa semata-mata berdasarkan masyi'ah (kehendak-Nya). Dia memerintahkan ini dan melarang ini."
      Mereka mengingkari perbedaan dan pembagian antara tauhid dan syirik, antara iman dan kufur, antara ketaatan dan kemaksiatan, serta antara halal dan haram. Mereka menjadikan iman hanya sebagai pengetahuan semata-mata.
      Menurut mereka, tidak ada perbedaan antara beribadah kepada Allah dan beribadah kepada selain-Nya. Bahkan mereka membolehkan beribadah kepada selain-Nya, sebagaimana halnya mereka membolehkan beribadah kepada-Nya.. Sehingga puncak tauhid mereka adalah ketauhidan orang musyrik. Orang arif, menurut mereka, adalah orang yang tidak menganggap buruk sesuatu yang buruk, mereka juga mengingkari syariat dan nubuwwah (kenabian). Secara batin mereka adalah munafik, dan musyrik lahir dan batin.

  2. Ahli Sunnah membedakan antara bid'ah yang ringan dan perselisihan yang lafdziyah dengan bid'ah berat dan perselisihan mengenai hakikat, makna, serta prinsip-prinsip besar. Oleh karena itu, mereka membagi bid'ah menjadi bermacam-macam:

    1. Bid'ah yang pelakunya tidak dikafirkan, seperti Murji'ah dan Syiah Mufadhilah.

    2. Bid'ah yang pelakunya masih diperselisihkan kekafirannya, seperti Khawaij dan Rafidhah.

    3. Bid'ah yang pelakunya dikafirkan secara umum, bukan terhadap kelompok tertentu, seperti Jahmiyah murni.
    Akan tetapi, selain itu mereka juga membedakan antara hukum umum atas pelaku-pelaku bid'ah dengan tuduhan maksiat, fasik, atau kafir dengan hukum terhadap pribadi tertentu -bagi orang yang menetapkan Islamnya secara yakin- yang melakukan salah satu dari bid'ah-bid'ah tersebut dengan tuduhan maksiat, fasik atau kafir. Dengan demikian, terhadap pribadi-pribadi tertentu mereka tidak menghukuminya, sampai pendapatnya jelas bertentangan dengan Sunnah berdasarkan hujjah yang kuat, tanpa keraguan. Sebagaimana mereka membedakan antara nash-nash ancaman yang bersifat umum dengan patut atau tidaknya seseorang dikenai ancaman tersebut di akhirat. Karena ada kalanya hukum ancaman itu tidak dikenakan kepada orang-orang tertentu disebabkan ia telah bertaubat, atau mempunyai kebaikan-kebaikan yang dapat menghapus dosa-dosanya, atau ditimpa musibah yang dapat menutupi dosa-dosanya, atau karena mendapat syafaat. Oleh karena itu, seseorang tidak bisa ditetapkan apakah ia masuk sorga atau neraka, kecuali disertai dalil-dali khusus.
    Pengafiran termasuk hukuman. Oleh sebab itu, perkataan atau pendapat pelaku bid'ah yang mendustakan sabda Nabi bisa diampuni. Karena, boleh jadi orang tersebut baru masuk Islam (muallaf), atau ia dibesarkan di kampung yang terpencil, atau ia tidak mendapatkan nash-nash yang jelas, atau ia menghadapi kesulitan sehingga ia harus menakwilkannya, tetapi keliru. Maka orang yang berijtihad dan melakukan takwil dalam rangka mengikuti Rasul, serta orang awam yang bertaklid demi mengikuti qudwah Nabi, diampuni kesalahan-kesalahannya.
    Ahlu Sunnah tidak mengafirkan seorang pun dari kaum muslimin, sekalipun ia melakukan kesalahan, sampai diperoleh hujjah risaliyah yang menjelaskan bahwa ia menentang Rasul. Karena, menentukan hukum itu diperlukan syarat-syarat yang kuat dan tidak ada sesuatu yang menghalangi. Barangsiapa telah jelas keislamannya, maka tidaklah dapat digugurkan dengan alasan yang meragukan. Dia tetap muslim, kecuali diperoleh hujjah yang kuat, dan tidak ada kesamaran yang menunjukkan ketidakislamannya. Ahlu Sunnah tidak membolehkan mengafirkan atau menganggap fasik seseorang, bahkan mereka tidak menganggap berdosa ulama yang keliru dalam melakukan ijtihad atau melakukan takwil terlalu jauh, lebih-lebih masalah dzanniyah (dalil-dalil yang bersifat dugaan) yang diperselisihkan.
    Mereka membedakan antara pelaku bid'ah dari ahli kiblat -sekalipun bid'ah mereka berat- dengan orang yang diketahui kekafirannya melalui kacamata Dinul Islam seperti kaum musyrikin dan ahli kitab. Maka mereka terapkan hukum Islam yang dzahir kepada pelaku bid'ah itu, meskipun mereka tahu bahwa diantara mereka terdapat orang-orang munafik yang berada di dasar neraka dan kafir di dalam batin. Dan jika diketahui keadaannya, maka ia pun kafir secara lahiriyah.
  3. Bid'ah-bid'ah pengikut hawa nafsu dikenal menyalahi Alquran dan Sunnah, seperti bid'ah yang dilakukan kaum Khawarij, Rafidhah, Qadariyah, Murji'ah dan Jahamiyah. Barangsiapa menentang Kitabullah, Sunnah dan Ijma' ulama salaf, maka ia diperlakukan sebagai ahli bid'ah.
    Tujuan utama Ahlu Sunnah terhadap ahli bid'ah ialah menjelaskan perihal mereka dan memperingatkan umat agar berhati-hati terhadap pendapat-pendapat mereka yang merusak, disamping menjelaskan Sunnah dan memperkenalkannya. Kemudian memerangi bid'ah dan menolak kezaliman serta pelanggaran pelakunya.
    Para Imam Sunnah sepakat bahwa bid'ah yang berat lebih buruk daripada dosa-dosa yang diakui oleh pelakunya. Untuk itulah, wajib menghentikan ahli bid'ah dan menolak kejahatan mereka meskipun dengan memerangi dan membunuh mereka jika kejahatannya tidak dapat dihentikan kecuali dengan cara seperti itu. Ulama salaf memerintahkan membunuh penyeru bid'ah yang dapat menyesatkan umat manusia, mengingat bahayanya terhadap Islam, baik mereka yang dianggap kafir maupun tidak. Sebab disyariatkannya hukum di dunia ini untuk menolak atau menghentikan tindak kedzaliman dan pelanggaran, sekalipun menghilangkan madharat dan kerusakan. Hukuman duniawi tidaklah mengharuskan adanya hukuman akhirat, bahkan sebaliknya.
    Terkadang seseoang yang melakukan bid'ah karena keliru dalam melakukan ijtihad atau karena melakukan takwil yang jauh, lalu mencampuradukkan Sunnah dengan bid'ah, dengan kebaikan dan keburukan. Perbuatan Sunnah dan kebaikan yang dilakukannya patut mendapat dukungan dan pahala, sedangkan perbuatan bid'ah dan kejelekannya patut dibenci dan dihukum.
    Adakalanya Imam dan ahli ilmu serta Ahli Din tidak menyalati jenazahnya untuk memperingatkan orang lain agar tidak melakukan bid'ah seperti yang dilakukannya. Tetapi, mereka membolehkan orang lain menyalatkannya dan memohonkan ampun secara rahasia (batin). Barangsiapa yang diketahui kemunafikannya, seperti kaum Rafidhah yang ekstrem dari golongan Nushairiyah, Ismailiyah dan yang lainnya, dan seperti orang-orang yang melampui batas terhadap guru-gurunya, yang menyembah orang hidup dan yang sudah mati, orang yang menyembah kuburan-kuburan dan kubah-kubah, serta seperti pengikut faham wahdatul wujud, hulul dan ittihad. Mereka adalah orang-orang murtad yang lebih buruk daripada orang murtad biasa, dan lebih kafir dibandingkan dengan orang kafir asli dan ahli kitab. Oleh karena itu, tidak dihalalkan menikahi wanita mereka dan memakan sembelihan mereka. Mereka juga tidak boleh tinggal tetap di tengah-tengah kaum muslimin, tidak dipungut jizyah (pajak), dan tidak dilindungi. Jika mereka tidak mau kembali ke jalan yang benar, mereka wajib diperangi sebagaimana halnya kaum murtad.
    Ahlu Sunnah membedakan antara ahli bid'ah yang aktif menyerukan bid'ahnya dan yang pasif. Ahli bid'ah yang menyeru kepada bid'ah dan menampakkan perbuatannya kepada khalayak, maka ia patut dihukum dengan hukuman pengasingan, ditolak kesaksiannya, dilarang salat dibelakangnya, tidak boleh mengambil darinya, dan tidak boleh mengawinkan muslimah dengannya. Ini merupakan hukuman baginya, hingga ia menghentikan seruannya. Sedangkan bagi yang menyembunyikan dan menutupi bid'ahnya -yang tidak dikafirkan- maka paling jauh ia ditempatkan pada kedudukan seperti orang munafik yang sikap lahiriyahnya diterima oleh Nabi dan isi hatinya beliau serahkan kepada Allah. Ia diingkari secara diam-diam jika bahayanya tidak menimpa orang lain dan tidak dikhawatirkan menyesatkan manusia. Meskipun begitu, keadaan mereka perlu dijelaskan kepada umat agar hati -hati dan mewaspadainya.
    Dalam menyingkap perihal ahli bid'ah, mengingatkan manusia agar mewaspadainya, termasuk usaha mengingkari dengan lisan, memutuskan hubungan dengan mereka bahkan dengan kekerasan, Ahlu Sunnah menggunakan dua pedoman yang bersifat syar'i:
    Pertama: Landasan mereka adalah keikhlasan kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum muslimin, demi menaati Allah, mengharap kebaikan, menolak kemudharatan, kasih sayang dan kemashlahatan bersama. Selain itu, tidak bercampur dengan sentimen pribadi, permusuhan duniawi, kebencian, kedengkian, dan persaingan jabatan. Karena, adakalanya manusia pada lahirnya menampakkan kejujuran, namun sebenarnya memendam kebencian di dalam hatinya. Kemudian ia merusak kehormatan, harta dan darah orang lain tanpa mendasarkan tindakannya pada aturan Allah serta tanpa tujuan yang benar. Tetapi, semata-mata demi kepentingan pribadinya, bukan demi menegakkan syariat.
    Kedua: Tindakan pengingkaran dengan pemutusan hubungan, dengan tangan, atau dengan lisan sesuai dengan perintah syara' adalah untuk kemaslahatan dan menolak mafsadat sesuai dengan situasi dan kondisi. Jika tidak demikian, maka amalan-amalan tersebut tidak disyariatkan. Pemutusan hubungan misalnya, jika tidak menjadikan pelaku bid'ah jera, bahkan semakin bertambah keadaannya terutama terhadap orang yang lemah, dan kerusakan yang ditimbulkan lebih besar daripada kemaslahatan yang diharapkan, maka pemutusan hubungan seperti itu tidak disyariatkan. Dengan demikian, menyatukan hati sesama pelaku bid'ah akan menjadi lebih baik daripada pemutusan hubungan.
    Prinsip syara' sebenarnya bertujuan melindungi darah, harta, dan kehormatan orang muslmin. Maka jika pelaku bid'ah bercampur dengan yang lainnya, hendaklah diperlakukan sesuai kenyataan lahiriyah dan dipenuhi haknya. Tidak boleh membunuh seseorang karena kesalahan orang lain, dan tidak boleh menolak bid'ah dengan bid'ah lainnya.
    Pada prinsipnya, jika seorang muslim berdiam di suatu tempat yang menjunjung tinggi syi'ar Sunnah, hendaklah ia melakukan salat berjama'ah dan salat jum'ah bersama kaum muslimin lainnya, mendukung mereka, dan tidak memusuhi mereka. Jika melihat sebagian dari mereka menyimpang, hendaklah menunjukkan dan meluruskannya jika mampu. Tetapi, jika tidak mampu melaksanakannya, maka Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya. Dan tidak boleh mengafirkan seorang muslim disebabkan dosa yang diperbuatnya, seperti dalam perkara-perkara yang diperselisihkan ahli kiblat.
    Apabila hawa nafsu telah merajalela, dan orang muslim tidak menyukai salat di belakang orang yang tidak dikenalnya, maka boleh saja ia berbuat demikian dengan tidak mengingkari orang yang berbeda pendapat dengannya dan tidak menyia-nyiakan kewajibannya, seperti salat berjama'ah dan salat jum'at, bagi yang berpendapat bahwa salat jama'ah itu wajib. Sebab, salat di belakang orang yang tidak diketahui keadaannya, diperbolehkan menurut Ahlu Sunnah. Dan barangsiapa yang melarang atau menganggap batal salat di belakang orang yang tidak diketahui keadaannya, maka ia telah menyalahi Ahlu Sunnah wal Jama'ah.
    Seorang muslim tidak diperbolehkan menyalatkan dan mendoakan orang yang jelas-jelas diketahui kemunafikannya. Maka bagi setiap orang yang tidak di ketahui kekufuran dan kemunafikannya, diperbolehkan menyalatkan dan memohonkan ampunan baginya, sekalipun ia berbuat bid'ah dan pelanggaran (dosa).

Tidak ada komentar