Hikmah Puasa Ramadan
Hikmah Puasa Ramadan
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu kebahagian negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu
dari kenikmatan dunia." (Qashas: 77).
Hikmah yang diperoleh dari ajaran berpuasa Ramadan, nilai
kesalehan selalu berada pada jaringan sosial masyarakat, dilandasi oleh kualitas
iman dan takwa. Sehingga, dalam kalbu kita tumbuh pribadi yang kuat, senantiasa
ikhlas beramal dan bukan pribadi yang selalu menjadi beban orang lain.
Kondisi sekarang, kesalehan sosial yang berwujud rasa peduli
terhadap merebaknya kemiskinan, terlihat jelas konteksnya. Seperti tidak
menentunya kondisi perekonomian rakyat, anjloknya nilai rupiah, yang dirasakan
pahit bagi masyarakat golongan bawah. Situasi perekonomian yang tidak jelas
juntrungnya di berbagai aspek kehidupan, menumbuhkan nafsu egoistis di kalangan
masyarakat tingkat menengah ke atas, menjauhkan diri dari nilai-nilai
kemanusiaan, menggiringnya ke sikap apatisme.
Esensi ajaran Islam tidak mengajarkan manusia bersikap masa
bodoh terhadap masyarakat lingkungan, lebih-lebih terhadap mereka yang hidup
kekurangan dan miskin. Islam tidak boleh membiarkan umatnya hidup serba
kekurangan, melainkan dijadikan manusia itu menjadi mahluk yang hidup dalam
keseimbangan antara keperluan duniawiyah dan ukhrawiyah.
Karena itu, hikmah puasa Ramadan secara kondusif melahirkan dua
dimensi keberkahan kehidupan dunia dan akhirat. Secara fisik, dengan berpuasa
seseorang harus mampu mengendalikan nafsu sekularitas, hedonistis, egoistis
maupun sikap hidup kompetitif konsumtif, agar hidup ini senantiasa dihayati
sebagai rahmat dan nikmat dari Allah SWT. Mereka harus menahan rasa lapar dan
haus, tidak melakukan hubungan badan dengan istri dari waktu fajar hingga
matahari tenggelam di petang hari, serta tidak melakukan perbuatan jahat, tidak
mengeluarkan kata-kata kotor, menahan emosi dan nafsu amarah serta berbagai
perbuatan tercela lainnya.
Secara psikologis, seseorang yang berpuasa Ramadan menyatukan
dirinya dalam kondisi penderitaan akibat rasa lapar dan haus, yang selama itu
lebih banyak diderita oleh fakir miskin, yang dalam hidupnya selalu terbelenggu
oleh kemiskinan.
Esensi puasa Ramadan juga memberikan nilai ajaran, agar orang
yang beriman dan bertakwa mengikuti tuntunan Nabi saw, yang hidupnya amat
sederhana dan selalu bersikap lugu dalam segala aspek kehidupannya. Beliau
menganjurkan kepada umat Islam, "berhentilah kamu makan sebelum kenyang." Contoh
sederhana tsb mudah didengar, tapi terasa berat dilaksanakan, jika seseorang
tengah bersantap dengan makanan lezat. Memang, itulah tuntunan yang memiliki
bobot kesadaran diri tinggi terhadap lingkungan masyarakat miskin yang berada di
lingkungannya.
Di bagian lain, Nabi saw mencontohkan, "berbuka puasalah kamu
dengan tiga butir kurma dan seteguk air minum, setelah itu bersegeralah salat
magrib." Kaitannya dengan itu, Nabi Saw menganjurkan agar selalu gemar memberi
makan (berbuka) untuk tetangga yang miskin.
Fenomena kesadaran fitrah di atas, dalam puasa Ramadan saat
ini, diharapkan mampu membentuk rasa keterikatan jiwa dan moral untuk memihak
kepada kaum dhuafa, fakir miskin. Pendekatan ini harus diartikulasikan pada pola
pikir dan pola tindak ke dalam bingkai amal saleh, mampu melebur ke dalam pola
kehidupan kaum mustadh'afin. Seperti dicontohkan Nabi SAW saat membebaskan
budak, masyarakat kecil dan golongan lemah yang tertindas dengan membangkitkan
'harga diri' dan nilai kemanusiaan. Nabi SAW bisa hidup di tengah mereka, dalam
kondisi sama-sama lapar, tidur di atas pelepah daun kurma.
Begitu dekatnya Nabi Saw dengan orang-orang miskin,
sampai-sampai beliau mendapat julukan Abul Masakin (Bapak orang miskin). Ketika
ada seorang sahabat bertanya terhadap keberadaan dirinya, beliau menjawab,
"carilah aku di tengah orang-orang yang lemah di antara kalian." Isyarat yang
diberikan Nabi Saw ini menggugah seorang pemikir Islam dari Turki, Hilmi H.
Isyik mengatakan, "Orang yang bersikap masa bodoh terahdap orang-orang miskin di
sekitarnya, tidak mungkin ia menjadi seorang muslim yang baik."
Pengertian di atas mengambil esensi dari Sabda Nabi Saw yang
maksudnya, setiap orang muslim jangan mengabaikan dasar pokok iman, ibadah dan
akhlak. Kalau hal itu terabaikan, amal atau muamalat duniawi akan menyimpang,
tidak terkontrol, nafsu kemurkaannya tidak terkendali, sehingga orang akan
berperilaku sekehendaknya sendiri, tanpa memperdulikan lingkungan dan
penderitaan orang lain. Dampaknya, dapat menghancurkan sikap toleransi dan
solidaritas sesama umat Muslim.
Nabi Saw bersabda, "Barangsiapa tidak merasa terlibat dengan
permasalahan umat Islam, dia bukanlah dari golonganku." Ini jelas
memperingatkan, permasalahan umat Muhammad yang tumbuh di dunia bukan hanya
ibadah salat dan puasa saja, juga luluh ke dalam nasib penderitaan sesama umat.
Konteksnya dengan puasa Ramadan, Nabi saw menegaskan, "begitu
banyak orang berpuasa, tapi yang dihasilkannya hanya rasa lapar dan haus
semata-mata."
Sabda ini mengandung arti, hikmah puasa Ramadan bukan sekadar
menahan rasa lapar dan haus, menahan nafsu dan keinginan hedonistis, melainkan
secara esensial mengandung makna penghayatan rohani amat yang dalam, yakni
ekspresi jiwa dan konsentrasi mental secara utuh dan solid, di mana sendi-sendi
mental dan jiwa terperas ke dalam fitrah diri, meluruskan disiplin pribadi
dengan baik.
Semua rangkuman di atas merupakan intisari dari firman Allah
Swt, "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa,
sebagaimana di wajibkan atas orang-orang sebelum kami, agar kamu bertakwa."
(Al-Baqarah: 183).
Di sinilah kekuatan iman dan takwa seorang Muslim, diuji.
Sehingga, jelas nilai takwa seorang Muslim terangkat pada derajat hidup manusia
ke dalam orientasi kehidupan duniawi, sekaligus memperoleh justifikasi etis
keakhiratan.
Allah Swt berfirman, "Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu kebahagian negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan kebahagiaanmu dari kenikmatan dunia." (QS. Qashas : 77).
Dari sana pula pendekatan yang fleksibel sesama umat dijalin
dengan batas pengertian tertentu, yakni berpegang pada pokok akidah yang kita
yakini, sehingga upaya mengangkat kemiskinan terwujud dengan semangat
kebersamaan dan solidaritas yang tinggi dalam implementasi wadah puasa Ramadan
yang penuh rahmat, ampunan dan barakah.
Post a Comment