Ilmu yang Wajib Diketahui Mukallaf
Ilmu yang Wajib Diketahui Mukallaf
Syekh Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, "Diwajibkan
kepada setiap mukallaf mengetahui perintah-perintah Allah, sehingga ia
mengetahui perintah-Nya supaya beriman kepada-Nya, dan perintah yang berkaitan
dengan ilmunya sehingga ketika ia diwajibkan mengeluarkan zakat, ia wajib
mempelajari ilmu tentang zakat, jika ia diwajibkan melaksanakan haji, ia wajib
pula mempelajari ilmu tentang haji, dan demikian seterusnya. Kemudian,
diwajibkan pula kepada seluruh umat pada umumnya mengetahui semua ajaran yang
dibawa oleh Rasulullah saw supaya ilmu yang disampaikan beliau tidak hilang dari
umatnya, yaitu segala sesuatu yang telah disyaratkan Alquran dan sunnah. Akn
tetapi, kadar yang lebih atas kebutuhan yang diperlukan oleh orang-orang
tertentu merupakan fardhu kifayah, kewajiban yang gugur atas orang lain apabila
ada sebagian orang yang telah melaksanakannya." (Majmu al-Fatawa, juz 3,
h. 328 -- 329).
Kemudian muncul persoalan bahwa kadar pengetahuan dan kemampuan
manusia berbeda-beda, sebagian mereka mengetahuinya (alim) dan sebagian yang
lain tidak mengetahuinya atau bodoh (jahil), dan ada pula tingkatan di antara
keduannya. Oleh karena itu, kewajiban yang diperintahkan kepada setiap individu
pun berbeda-beda pula. Pengetahuan yang wajib diketahui, keyakinan dan perbuatan
yang wajib dilaksanakan oleh orang alim (yang mengetahui) berbeda dengan yang
diperintahkan kepada oran jahil (yang tidak mengetahui).
Para nabi sebagai orang-orang pilihan yang lebih mengetahui
Allah Sang pencipta menganggung kewajiban yang tidak diwajibkan kepada manusia
lain pada umumnya. Rasulullah saw umpaanya, beliau diwajibkan mendirikan salat
malam, dan itu (salat malam) tidak diwajibkan kepada sahabat-sahabat beliau atau
kaum muslimin sesudahnya. Syekh Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata,
"Berdasarkan hal di atas, keyakinan yang diwajibkan kepada para ulama berbeda
dengan keyakinan yang diperintahkan kepada masibng-masing individu umat ini pada
umumnya. Demikian pula kewajiban yang diperintahkan kepada orang-orang yang
hidup di lingkunganperkembangan ilmu dan keimanan (daar 'ilm wal iman)
berbeda dengan kewajiban yang diperintahkan kepada orang-orang yang hidup di
lingkungan kebodohan (daar jahl)." (Majmu al-Fatawa, juz 3, hh.
328).
Dengan demikian, tidak diwajibkan kepada setiap muslim untuk
mengetahui semua khabar dn semua perintah yang terdapat di dalam Alquran dan
sunnah, dan mengetahui seluruh maknanya. Inilah bentuk bentuk kemudahan dan
toleransi Islam, sebagaimana Allah SWT menjelaskan di dalam firman-Nya,
"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu." (Al-Baqarah: 185). Berdasarkan ayat ini, setiap perintah yang
diwajibkan kepada mukallaf adalah perintah yang sesuai dengan kemampuannya, baik
dalam tataran pengetahuan maupun praktik, sedangkan perintah yang di luar
kemampuannya tidak menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan.
Maka, kewajiban yang harus dilaksanakan seorang muslim yang
benar-benar memperhatikan keselamatannya di akhirat kelak adalah mencurahkan
segala kemampuannya untuk mempelajari semua perintah Allah hingga ibadahnya
benar, tidak terjebak kepada kejahilan dan menggantungkan harapan kepada Allah.
Hal demikian disebabkan karena ibadah akan diterima jika telah memenuhi dua
syarat, yaitu ikhlas dan taat.
Ikhlas menuntut pengetahuan yang sempurna tentang Allah SWT
dengan menjadikan keridhaan Allah sebagai tujuan dari semua tindakannya. Hal ini
tidak dapat dicapai tanpa pengetahuan yang benar tentang Allah, sebagaimana Dia
berfirman, "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya
hanyalah ulama." (Fathir: 28).
Taat dalam konteks ini menuntut pengetahuan tentang petunjuk
dan syariat yang diajarkan Rasulullah saw, hingga seorang hamba dapat mengikuti
beliau, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman, "Sesungguhnya telah ada pada
(diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut
Allah." (Al-Ahzab: 21).
Ibnu Taimiyah mengatakan, "Setiap mukmin hendaknya tidak
berbicara mengenai apa pun dari masalah agama kecuali dengan mengikuti apa-apa
yang tleah diajarkan oleh Rasulullah saw dan tidak melebih-lebihkannya, tetapi
dengan sabda Rasulullah saw, dan perbuatannya sesuai dengan perintah beliau.
Demikian yang dilakukan para sahabat dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka
dari golongan tabi'in dan imam-imam kaum muslimin. Oleh karena itu, tidak ada
seorang pun di antara merekayang bertentangan dengan nash-nash wahyu dan tidak
pula mendirikan agama selain agama yang telah diajarkan Rasululah saw. Jika
mereka hendak mengetahui sesuatu dari agama dan berbicara mengenai hal itu,
mereka akan melihat firman Allah dan sabda Rasulullah, belajar darinya dan
berbicara berdsarkan beritanya, berpikir dan berdalil berdasarkan padanya.
Inilah pokok Ahlu Sunnah." (Al-Furqan Baina al-Haq wa al-Bathil, h.
85).
Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan di atas adalah
bahwa mencari ilmu tentang pokok-pokok agama sebagaiamana yang telah dijelaskan
oleh para ulama adalah wajib bagi setiap muslim yang mampu belajar, baik secara
otodidak (belajar sendiri) maupun melalui orang-orang yang ahli di bidangnya,
sebagaiamana firman Allah SWT menyebutkan, "Maka bertanyalah kepada orang yang
mempunyai mengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (An-Nahl: 43).
Menolak untuk mencari ilmu dan tetap dalam kebodohan tidak
dapat dijadikan alasan meninggalkan ajaran agama bagi siapa pun. Ketika
kebodohan merupakan kendala yang dapat dihilangkan dan bukan karakter dasar
manusia yang tidak dapat dicegah, maka kebodohan tersebut tidak dapat dijadikan
alasan secara mutlak, karena dapat dihilangkan dengan mencari ilmu. Oleh karena
itu, banyak dari kalangan ulama yang berbicara tentang pembagian kebodohan dan
bagian yang dapat dijadikan alasan dan yang tidak. Pandangan ini didasarkan pada
berbagai pertimbangan, yang terpenting di antaranya ialah kebodohan yang dapat
dicegah dan dihilangkan oleh mukallaf dengan cara mencari ilmu dan
penjelasannya. Dari permasalahan ini, sebagian para ulama telah mengemukakan
kriteria tentang kebodohan yang dapat dimaafkan dan yang tidak dapat dimaafkan.
Hal itu dilakaukan sebagai upaya memelihara syariat dari penyelewengan dan
pengrusakan.
Post a Comment