Keteguhan Prinsip dan Fleksibilitas dalam Islam
Keteguhan Prinsip dan Fleksibilitas dalam Islam
Apakah yang menyebabkan Islam memiliki resistensi tinggi
menghadapi tantangan zaman yang menyebabkannya senantiasa survive dan estabilish
sehingga cocok untuk setiap zaman dan menembus batas teritorial ?. Tidak lain
karena Islam memiliki karakteristik teguh dalam prinsip dan fleksibel dalam
mensikapi perkembangan sehinga ia menjadi sebuah harmoni keseimbangan yang
indah. Islam telah menempatkan masing-masing dari keduanya dalam posisi yang
benar, maka ia menjaga keteguhan prinsip pada hal-hal yang kekal dan lestari
serta memberikan keleluasaan dan fleksibilitas serta kelenturan dalam hal-hal
yang menerima perubahan dan perkembangan aktual.
Karakteristik ini tidak terdapat pada risalah samawi lainnya
maupun pada ajaran agama yang lain di dunia karena syari'at samawi selain Islam
hanya diperuntukkan serta cocok untuk suatu zaman tertentu tidak pada yang
lainnya, sehingga biasanya mewakili kekerasan prinsip atau bahkan kejumudan dan
sikap statis yang kaku. Sejarah mencatat tokoh-tokoh agama samawi dengan
sikapnya yang tidak menerima perkembangan sains, dan anti terhadap gerakan
ilmiah, serta apatis terhadap hal-hal yang baru dalam bidang pemikiran hukum
atau manajemen.
Keteguhan prinsip dalam Islam akan kita dapati pada hal-hal
yang penting yang sifatnya kekal dan tidak akan pernah berubah selamanya yaitu
:
- Rukun Iman yang kesemuanya berkaitan dengan aqidah (keyakinan)
- Rukun Islam yang merupakan pondasi utama amal Islami
- Hal-hal yang diharamkan secara tegas seperti sihir, membunuh, zina, riba dan
lain sebagainya.
- Nilai-nilai utama keluhuran budi pekerti seperti kejujuran, amanah, 'iffah
(menjaga kesucian diri), sabar, malu dan sebagainya.
- Syari'at Islam yang Qoth'i dalam pernikahan, talak, warisan, hudud, qishash dan sebagainya yang kesemuanya tetap dengan dalil-dalil qoth'i.
Oleh karena itu kita dapati contoh dalam sejarah, ketika
Rasulullah Sallallahu'alaihi wasallam ditawari sebuah kompromi dalam masalah
aqidah dengan menyembah Allah selama setahun dan setahun berikutnya menyembah
berhala, Allah menjawabnya dengan menurunkan surat Al Kafirun yang menjelaskan
akan keteguhgan prinsip dalam hal keyakinan yang tak bisa ditawar-tawar lagi.
Ini berbeda pada saat Rasulullah mengadakan perjanjian di
Hudaibiyyah. Kita dapat melihat sikap fleksibilitas Rasulullah tampak jelas
dalam gambaran yang paling indah. Hal itu tampak pada ucapan beliau di hari itu
:
"Demi Allah, tidaklah kaum Quraisy mengajakku hari ini kepada suatu garis kerjasama dimana mereka memintaku untuk menyambung silaturahmi kecuali saya memberikannya kepada mereka."
"Demi Allah, tidaklah kaum Quraisy mengajakku hari ini kepada suatu garis kerjasama dimana mereka memintaku untuk menyambung silaturahmi kecuali saya memberikannya kepada mereka."
Penerimaan beliau Sallallahu'alaihi wasallam untuk menulis
naskah perjanjian damai : "Dengan nama-Mu ya Allah" (Bismikallahumma) sebagai
ganti "Dengan nama-Mu Ya Allah yang maha pengasih lagi Maha Penyayang"
(Bismillahirrahmanirrahiim) yang merupakan pengatasnamaan yang ditolak oleh kaum
Quraisy.
Juga penerimaan beliau untuk menghapus kata Rasulullah setelah namanya yang mulia, pada saat Ali Radiallahu anhu justru menolak untuk menghapusnya sampai Rasulullah sendiri yang menghapusnya. Serta pada penerimaan beliau terhadap sarat-sarat yang diajukan oleh Quraisy pada perjanjian tersebut.
Juga penerimaan beliau untuk menghapus kata Rasulullah setelah namanya yang mulia, pada saat Ali Radiallahu anhu justru menolak untuk menghapusnya sampai Rasulullah sendiri yang menghapusnya. Serta pada penerimaan beliau terhadap sarat-sarat yang diajukan oleh Quraisy pada perjanjian tersebut.
Rahasia dari fleksibilitas dalam hal ini serta keteguhan
prinsip dalam sikap sebelumnya adalah ; bahwa sikap-sikap pertama berkaitan
dengan prinsip dan aqidah, maka kompromi dalam hal ini tidak dapat diterima,
sementara pada sikap yang terakhir adalah berkaitan dengan urusan parsial,
politik temporal ataupun penampilan lahir simbolis, maka beliau bersikap longgar
dan fleksibel.
Adapun wilayah fleksibilitas dalam Islam mencakup hal-hal
berikut :
- Wilayah kekosongan hukum, yaitu wilayah yang dibiarkan oleh nash ntuk
diserahkan pada ijtihad para penguasa muslim, ulama dan para ahli ijtihad.
Seperti kewajiban Syura dalam Islam, bagaimanakah mekanisme syura itu diserahkan
kepada ijtihad berdasarkan maslahat umat, 'Urf (adat) dalam batasan yang tidak
bertentangan dengan syari'at.
- Wilayah Nash interpretatif, yang menampung lebih dari satu penafsiran. Maka didisitu terdapat keluasan bagi orang yang menginginkan tarjih (preferensi), perbandingan (komparasi) serta pendapat yang paling dekat kepada kebenaran.
Perubahan fatwa dengan perubahan zaman, kondisi, dan Adat
Istiadat
Dari sini para peneliti dari ulama fiqih belum menemukan di
berbagai masa suatu kenaifan atau keberatan apapun dalam menyatakan keharusan
berubahnya fatwa dengan perubahan zaman, tempat tradisi dan kondisi.
Ibnu 'Abidin, salah seorang ulama abad ketiga belas,
menyebutkan dalam risalahnya, bahwa kebanyakan hukum berbeda-beda dengan
perbedaan zaman karena perubahan tradisi generasinya, atau karena terjadinya
kebutuhan darurat, atau karena kerusakan generasi zaman itu, dimana kalau hukum
itu tetap seperti semula niscaya mengakibatkan kesulitan dan berbahaya bagi
manusia, dan niscaya akan menyalahi kaidah-kaidah syari'ah yang dibangun
berdasarkan keringanan, kemudahan, dan mencegah bahaya dan kerusakan.
Post a Comment