Pandangan Ahli Sunnah wal Jamaah terhadap Ahli Bid'ah yang Menyalahi Sunnah dan Para Pengikutnya


Pandangan Ahli Sunnah wal Jamaah terhadap Ahli Bid'ah yang Menyalahi Sunnah dan Para Pengikutnya
Ahli Sunnah wal Jamaah berpendapat bahwa bid'ah yang menentang sunnah terjadi dalam perkara-perkara yang samar, dan ada kalanya terjadi berkenaan dengan perkara-perkara prinsip utama. Oleh sebab itu, pelaku-pelaku bid'ah bersama pendukungnya mempunyai tingkat penyimpangan yang berbeda-beda terhadap Sunnah. Sebagian mereka berselisih dalam soal lafaz dan asma'(sebatas nama), sebagian lagi berselisih dalam soal makna dan hakikat segala sesuatu. Berdasarkan hal tersebut, Ahli Sunnah wal Jamaah membagi bid'ah dalam beberapa bagian.

  1. Bid'ah yang tidak menyebabkan pelakunya kafir. Mengenai hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama, seperti bid'ah yang dilakukan kelompok Murji'ah dan Syi'ah Mufadhillah.
  2. Bid'ah yang di dalamnya masih terdapat perselisihan di kalangan para ulama, soal kafir atau tidaknya terhadap para pelakunya, seperti bid'ah yang dilakukan Khawarij dan Rafidhah.
  3. Bid'ah yang para pelakunya dikafirkan berdasarkan kesepakatan ulama, misalnya bid'ah yang dilakukan Jahmiyah murni.
Kelompok-kelompok yang menisbatkan diri kepada orang-orang yang mengakui prinsip-prinsip agama dan kalam (teologi) juga bertingkat-tingkat. Di antara mereka ada yang menyalahi sunnah dalam persoalan prinsip utama, dan ada yang menentang Sunnah dalam persoalan samar (bukan ushul).

  1. Para pelaku bid'ah yang tidak dikafirkan menurut kesepakatan para ulama.
    Adapun kelompok Murji'ah bukanlah termasuk bid'ah yang berat, bahkan telah masuk ke dalam paham mereka sejumlah ahli fikih dan ahli ibadah. Mereka masih digolongkan Ahli Sunah wal-Jamaah sebelum sampai pada tingkatan pemahaman bid'ah yang berat. Manakala kaum tersohor itu menisbatkan diri kepada irja' dan tafdhil, barulah para imam as-sunnah yang terkenal berbicara dengan nada mencela Murji'ah al-Mufadhilah untuk menjauhkan paham mereka.
    Tidak ada teks yang disampaikan Imam Ahmad bin Hambal yang mengafirkan Murji'ah, karena bid'ah mereka termasuk jenis ikhtilaf fuqaha dalam persoalan furu' (cabang). Di samping itu, kebanyakan perselisihan mereka kembali kepada perselisihan yang menyangkut lafaz dan asma'. Oleh sebab itu, pembicaraan mereka disebut dengan Bab al-Asma', dan hal ini termasuk peselisihan para fuqaha, tetapi berkaitan dengan prinsip-prinsip ad-dien. Maka, siapa yang menentangnya, dialah pembuat bid'ah.
    Demikian juga Syi'ah yang menganggap Ali lebih utama daripada Abu Bakar, mereka tidak dikafirkan, dan dalam hal ini tidak ada perselisihan di kalangan para ulama, karena hal itu merupakan pendapat para fuqaha, sekalipun mereka membuat bid'ah.
    Adapun Salaf dan para imam tidak berselisih dalam hal tidak mengkafirkan Murji'ah dan Syi'ah Mufadhalah dan semisalnya. Juga tidak ada teks-teks Imam Ahmad bin Hambal yang mengkafirkan mereka.
  2. Bid'ah-bid'ah yang di dalamnya masih terdapat perselisihan di kalangan para ulama, soal benar atau tidaknya pengkafiran terhadap para pelakunya.
    Adapun Qadariyah yang mengakui ilmu, Rafidhah yang tidak ekstrem, Jahmiyah dan Khawarij, mengenai pengkafiran mereka terdapat dua riwayat dari Imam Ahmad, dan ini sebenarnya pendapat beliau yang mutlak. Meskipun sudah diketahui bahwa beliau bersikap netral dalam mengkafirkan Qadariyah yang mengakui ilmu dan Khawarij dengan berkata, "Saya tidak mengetahui satu kaum yang lebih jahat dari Khawarij." Sedangkan mengenai pengkafiran orang-orang yang tidak mengkafirkan mereka, terdapat dua riwayat dari beliau. Tetapi, yang lebih shahih adalah bahwa beliau (Imam Ahmad) tidak mengkafirkan. Kadang kala terjadi perbedaan pendapat di antara mereka dalam hal pengkafiran yang tidak mengkafirkan secara mutlak, namun hal ini merupakan kekeliruan semata-mata.
    Sedangkan menurut mayoritas ulama Salaf, seperti Abdullah bin Mubarak, Yusuf bin Asbath, kelompok pendukung Imam Ahmad, dan lainnya, Jahmiyah tidak termasuk ke dalam 72 golongan firqah yag berpecah-belah di dalam umat ini. Akan tetapi, pokok firqah menurut ulama Salaf adalah Khawarij, Syi'ah, Murji'ah, dan Qadariyah. Inilah yang ma'tsur (diriwayatkan) oleh Imam Ahmad dan imam-imam sunnah dan hadits. Mereka berkata, "Barangsiapa yang mengatakan bahwa Alquran adalah makhluk, berarti dia kafir. Dan barangsiapa yang mengatakan bahwa Allah tidak bisa dilihat pada hari akhirat, dia juga kafir."
    Kemudian Abu an-Nashr as-Sajzi menceritakan dari mereka dua pendapat mengenai masalah ini. Pertama, ia adalah kufur, berpindah agama. Ia berkata bahwa ini pendapat mayoritas. Kedua, ia adalah kufur, tetapi tidak berpindah agama. Karena itu, al-Khattabi berkata, "Sesungguhnya yang mereka katakan ini dalam rangka memberatkan." Demikian pula perselisihan yang terjadi di kalangan generasi Muta'akhirin dari para pendukung kami perihal kekalnya mereka di dalam neraka. Pendapat ini merupakan mayoritas. Sebagaimana hal itu disebutkan dari kelompok ulama hadits terdahulu, seperti Abu Hatim, Abu Zur'ah dan lainnya, sebagian dari mereka menolak pendapat yang menetapkan kekalnya mereka di neraka.
  3. Bid'ah-bid'ah yang tidak ada Ikhtilaf di kalangan ulama terhadap pengkafiran para pelakunya secara mutlak.
    Pada umumnya mazhab Ahmad bin Hambal dan imam-imam sunnah mengkafrkan Kelompok Jahmiyah karena mengingkari sifat-sifat Allah Yang Rahman. Mereka jelas-jelas menolak apa-apa yang dibawa Rasulullah dan rasul-rasul lain dari kitab. Disamping itu, pendapat mereka pada hakikatnya mengingkari Yang Maha Pencipta, termasuk ingkar kepada Allah sebagai Rabb. Mereka ingkar pula terhadap berita-berita yang datang dari Allah melalui lisan para rasul-Nya. Oleh karena itu, Abdullah bin al-Mubarok berkata, "Sungguh kami ceritakan pembicaraan tentang Yahudi dan Nasrani, tetapi kami tidak bisa menceritakan pembicaraan Jahmiyah." Ia pun berkata, "Tidak seorang pun dari imam-imam sunnah yang menolak mengatakan bahwa Jahmiyah itu lebih kafir daripada Yahudi dan Nasrani." Oleh karena itu, mereka mengkafirkan orang yang mengatakan bahwa Alquran itu makhluk, bahwa Allah tidak bisa dilihat pada hari Akhirat, Allah tidak berada di atas Arsy, Allah tidak mempunyai ilmu, tidak berkuasa, tidak mempunyai rahmat dan kemurkaan, serta sifat-sifat yang lain.
    Imam Ahmad telah meriwayatkan--demikian juga imam-imam sunnah yang lainnya--bahwa orang-orang Murji'ah tidak dianggap kafir. Sementara orang yang mengutip pendapat beliau dan imam-imam lainnya mengkafirkan mereka, atau menjadikan mereka termasuk golongan bid'ah yang diperselisihkan kekafirannya sebab telah mencapai bid'ah yang berat. Dikutip dari Imam Ahmad dan yang lainnya, "Sesungguhnya pengkafiran itu hanyalah terhadap Jahmiyah al-Mutasyabbihah dan yang semisal mereka."
    Mazhab Ahli Sunnah wal-Jamaah dalam Menghukumi Orang Tertentu
    Ahli Sunnah wal-Jamaah memisahkan antara hukum mutlak bagi pelaku-pelaku bid'ah yang disertai maksiat, fasik, atau kufur, dengan para pelaku bid'ah tertentu (orang yang menetapkan keislamannya dengan yakin) yang darinya lahir sejenis bid'ah dikarenakan maksiat, fasik, atau kafir. Mereka tidak menghukumi orang-orang tersebut sebelum benar-benar jelas ucapannya bertentangan dengan sunnah. Itu pun harus dengan hujjah yang akurat dan menghilangkan syubhat, sebagaimana halnya mereka juga memisahkan antara nash-nash ancaman yang mutlak dengan yang mesti diterima seseorang di akhirat kelak dalam hal ancaman (hukuman) ini.
    Sesungguhnya aku termasuk orang yang paling tidak suka menjatuhkan hukuman kepada seseorang sebagai kafir, fasik atau maksiat. Kecuali jika telah diketahui dengan jelas hujjah yang menyatakan bahwa siapa yang menentangnnya adalah kafir, terkadang fasik atau mungkin maksiat. Aku mengakui bahwa Allah telah mengampuni umat ini dari kekeliruannya, baik meliputi perkara-perkara khabariyah qouliyah (informasi dengan lisan) maupun amaliyah (perbuatan).
    Riwayat yang diambil dari salaf dan imam-imam yang mengakafirkan siapa yang mengatakan begini dan begitu memang benar. Akan tetapi, dalam hal ini harus dibedakan antara yang ithlaq (secara umum) dan ta'yin (secara khusus). Inilah awal permasalahan yang menimbulkan perselisihan umat mengenai persoalan prinsip yang besar, yakni ancaman. Sebenarnya nash-nash Alquran tentang ancaman adalah mutlak, sebagaimana firman Allah, "Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim. ?" (An-Nisa': 10).
    Begitu pula nash-nash yang lain, seperti barang siapa mengerjakan begini, maka baginya patut mendapatkan begini. Maka hal ini merupakan kebiasaan mutlak. Demikian juga bagi orang-orang tertentu bisa terbebas dari ancaman (hukuman) karena taubatnya, karena kebaikan-kebaikan yang dapat menghapuskannya, karena musibah-musibah yang dialaminya yang dapat menebus dosa-dosanya, atau karena syafa'at yang dia terima. Dalam hal ini, pengkafiran itu termasuk ancaman, karena meskipun ucapan itu mendustakan sabda Nabi SAW, namun boleh jadi orang tersebut baru masuk Islam atau hidup di kampung yang jauh terpencil. Orang seperti itu tidak bisa dikafirkan berdasarkan pengingkaran ucapannya, kecuali ditegakkan hujjah kepadanya. Bisa jadi orang itu tidak mendengar nash-nash tersebut, atau mendengarnya tetapi tidak tetap (tsabit) menurutnya, atau menurutnya ada yang menyangkalnya dari pihak lain sehingga ia harus melakukan takwil atasnya.
    Pada prinsipnya, ucapan yang dianggap kufur terhadap kitabullah, sunnah dan ijma' adalah perkataan kufur yang diucapkan secara mutlak, sebagaimana hal itu ditunjukkan oleh dalil-dali syar'i (agama). Tak ada seorang pun yang patut menghukum berdasarkan sangkaan dan hawa nafsunya, juga tidak patut bagi seseorang menghukumi orang lain dengan ucapan kafir sebelum jelas kuat persyaratan yang membenarkan kekafirannya dan tak ada yang menolak pengkafirannya.
    Dua prinsip penting yang harus dicermati dalam mengkafirkan orang:

    1. Ilmu, Iman, dan petunjuk merupakan hal-hal yang yang dibawa oleh Rasul. Maka, orang yang menentang hal tersebut adalah kafir secara mutlak. Mengingkari sifat-sifat Allah adalah kafir. Demikian juga mendustakan kebenaran yang menyatakan bahwa Allah bisa dilihat pada hari akhir. Mendustakan bahwa dia di atas Arsy; mendustakan bahwa Alquran itu kalam-Nya; mendustakan bahwa Dia telah berbicara kepada Musa; mendustakan bahwa Dia telah menjadikan Ibrahim sebagai Khalil (kekasih) atau yang semakna dengan itu semua, maka yang demikian itu adalah kufur. Inilah makna pembicaraan imam-imam sunnah dan ahli hadis.
    2. Bahwa pengkafiran secara umum (seperti ancaman yang bersifat umum) harus ditetapkan secara mutlak dan umum. Adapun hukuman atas seseorang bahwa dia kafir atau masuk neraka haruslah didukung dengan dalil tertentu. Karena itu, penghukuman harus didukung oleh ketetapan-ketetapan persyaratannya dan peniadaan halangan-halangannya.

Tidak ada komentar