Pandangan Ahli Sunnah wal Jamaah terhadap Ahli Bid'ah yang Menyalahi Sunnah dan Para Pengikutnya (Bagian II)
Pandangan Ahli Sunnah wal Jamaah terhadap Ahli Bid'ah yang Menyalahi Sunnah dan Para Pengikutnya (Bagian II)
Mazhab Ahli Sunnah wal Jamaah dalam Menghukumi Orang
Tertentu
Ahli Sunnah wal Jamaah memisahkan antara hukum mutlak bagi
pelaku-pelaku bid'ah yang disertai maksiat, fasik, atau kufur dengan para pelaku
bid'ah tertentu--orang yang menetapkan keislamannya dengan yakin--yang darinya
lahir sejenis bid'ah dikarenakan maksiat, fasik, atau kafir. Mereka tidak
menghukumi orang-orang tersebut sebelum benar-benar jelas ucapannya bertentangan
dengan sunnah. Itu pun harus dengan hujjah yang akurat dan menghilangkan
syubhat, sebagaimana halnya mereka juga memisahkan antara nash-nash ancaman yang
mutlak dengan yang mesti diterima seseorang di akhirat kelak dalam hal ancaman
(hukuman) ini.
Sesungguhnya aku termasuk orang yang paling tidak suka
menjatuhkan hukuman kepada seseorang sebagai kafir, fasik, atau maksiat. Kecuali
jika telah diketahui dengan jelas hujjah yang menyatakan bahwa siapa yang
menentangnnya adalah kafir, terkadang fasik, atau mungkin maksiat. Aku mengakui
bahwa Allah telah mengampuni umat ini dari kekeliruannya, baik meliputi
perkara-perkara khabariyah qouliyah (informasi dengan lisan) maupun amaliyah
(perbuatan).
Riwayat yang diambil dari salaf dan imam-imam yang mengafirkan
siapa yang mengatakan begini dan begitu, memang benar. Tetapi, dalam hal ini
harus dibedakan antara yang ithlaq (secara umum) dan ta'yin (secara khusus).
Inilah awal permasalahan yang menimbulkan perselisihan umat mengenai persoalan
prinsip yang besar, yakni ancaman. Sebenarnya nash-nash Alquran tentang ancaman
adalah mutlak, sebagaimana firman Allah, "Sesunguhnya orang-orang yang
memakan harta anak yatim secara zalim...." (An-Nisa': 10).
Begitu pula nash-nash yang lain, seperti barangsiapa
mengerjakan begini, maka baginya patut mendapatkan begini. Maka, hal ini
merupakan kebiasaan mutlak. Demikian juga begi orang-orang tertentu bisa
terbebas dari ancaman (hukuman) karena taubatnya, karena kebaikan-kebaikan yang
dapat menghapuskannya, karena musibah-musibah yang dialaminya yang dapat menebus
dosa-dosanya, atau karena syafa'at yang dia terima. Dalam hal ini, pengkafiran
itu termasuk ancaman, karena meskipun ucapan itu mendustakan sabda Nabi saw,
namun boleh jadi orang tersebut baru masuk Islam atau hidup di kampung yang jauh
terpencil.
Maka, orang seperti itu tidak bisa dikafirkan berdasarkan
pengingkaran ucapannya, kecuali ditegakkan hujjah kepadanya. Bisa jadi orang itu
tidak mendengar nash-nash tersebut, atau mendengarnya tetapi tidak tetap
(tsabit) menurutnya. Atau menurutnya ada yang menyangkalnya dari pihak lain
sehingga ia harus melakukan takwil atasnya.
Pada prinsipnya, ucapan yang dianggap kufur terhadap
kitabullah, sunnah, dan ijma adalah perkataan kufur yang diucapkan secara
mutlak, sebagaimana hal itu ditunjukkan oleh dalil-dali syar'iyyah (agama). Tak
ada seorang pun yang patut menghukum berdasarkan sangkaan dan hawa nafsu mereka.
Juga tidak patut bagi seseorang menghukumi orang lain dengan ucapan kafir
sebelum jelas kuat persyaratan yang membenarkan kekafirannya.
Ada dua prinsip penting yang harus dicermati dalam mengafirkan
orang, yaitu:
- Ilmu, Iman, dan petunjuk merupakan hal-hal yang dibawa oleh rasul. Maka, orang yang menentang hal tersebut adalah kafir secara mutlak. Mengingkari sifat-sifat Allah adalah kafir. Demikian juga mendustakan kebenaran yang menyatkan bahwa Allah bisa dilihat pada hari akhir. Mendustakan bahwa dia di atas Arasy, mendustakan bahwa Alquran itu kalam-Nya, mendustakan bahwa Dia telah berbicara kepada Musa, mendustakan bahwa Dia telah menjadikan Ibrahim sebagai khalil (kekasih) atau yang semakna dengan itu semua, maka yang demikian itu adalah kufur. Inilah makna pembicaraan imam-imam sunnah dan ahli hadis.
- Bahwa pengafiran secara umum, seperti ancaman yang bersifat umum, harus ditetapkan secara mutlak dan umum. Adapun hukuman atas seseorang bahwa dia kafir atau masuk neraka haruslah didukung dengan dalil tertentu. Karena itu, penghukuman harus didukung oleh ketetapan-ketetapan persyaratannya dan peniadaan halangan-halangannya.
Sikap Ahli Sunnah terhadap Ulama Kaum Muslimin yang
Melakukan Ijtihad dan Takwil
Ahli Sunnah sangat berhati-hati dalam mengafirkan atau menuduh
fasik terhadap tokoh-tokoh bid'ah sebelum ditegakkan hujjah dan dihilangkan
keraguan. Oleh sebab itu, mereka tidak membolehkan mengafirkan atau menuduh
fasik atau bahkan menuduh ulama-ulama kaum muslimin berdosa karena kekeliruan
ijtihad atau terlalu jauh dalam menakwil, khususnya yang menyangkut
persoalan-persoalan zhanniyah (dugaan) yang diperselisihkan.
Ahli Sunnah wal Jamaah telah sepakat bahwa ulama kaum muslimin
tidak boleh dikafirkan karena kekeliruan semata-mata. Bahkan, setiap orang
(ulama) boleh diambil dan ditinggalkan perkataannya, kecuali Rasulullah. Tidak
patut bagi orang yang bisa ditinggalkan sebagian perkataannya karena kekeliruan
dihukumi kafir, fasik, bahkan berdosa.
Telah dimaklumi bahwa larangan mengafirkan ulama kaum muslimin
yang berbicara tentang persoalan ini--ma'shumnya para nabi--bahkan penolakan
pengafiran terhadap ulama-ulama muslimin merupakan langkah paling tepat dari
tujuan syar'iyyah. Maka, bagaimana mungkin ulama-ulama muslimin dapat dikafirkan
dalam persoalan-persoalan yang bersifat sangkaan? Bagaimana mungkin jumhur ulama
muslimin atau jumhur imam-imam salaf serta tokoh-tokoh ulama bisa dikafirkan
tanpa adanya hujjah sama sekali?
Pandangan Ahli Sunnah terhadap Pelaku Bid'ah Berbeda dengan
terhadap Orang yang Telah Jelas Diketahui Kekufurannya
Ahli Sunnah wal Jamaah memisahkan antara pelaku bid'ah dan ahli
kiblat--betapapun bentuk bid'ah itu--dengan orang yang telah jelas diketahui
kekufurannya dari dienul Islam, seperti kaum musyrikin dan ahli kitab. Ini
menurut hukum lahiriyah pada umumnya, meskipun sebagian besar diketahui termasuk
munafik dan berlaku zindiq di dalam batin. Maka, orang yang keliru di dalam
sebagian persoalan ini (maksudnya persoalan akidah, seperti tentang sifat-sifat
Allah, qadar, iman, ancaman, serta lainnya) adakalanya dikaitkan dengan kaum
kafir musyrikin dan ahli kitab, sekalipun menyangkut prinsip keimanan pada
umumnya. Adakalanya dikaitkan juga dengan orang yang melakukan kesalahan dalam
persoalan-persoalan kewajiban dan pengharaman, sekalipun hal itu juga berkaitan
dengan persoalan prinsip keimanan.
Maka, sesungguhnya iman itu dilengkapi dengan
kewajiban-kewajiban yang jelas mutawatir, disamping adanya sejumlah pengharaman
terhadap barang-barang haram yang jelas mutawatir yang merupakan prinsip
keimanan dan tonggak-tonggak agama terbesar. Bagi orang yang mengingkari hal
tersebut adalah kafir berdasarkan kesepakatan, meskipun seorang Mujtahid dalam
sebagian permasalahan prinsip tidak bisa dihukumi kafir karena kekeliruannya
berdasarkan kesepakatan.
Jika demikian halnya, maka haruslah mengaitkan permasalahan ini
dengan salah satu dari kedua golongan tersebut. Telah dimaklumi bahwa
orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya yang melakukan kekeliruan di
antaranya ada yang mirip dengan orang-orang musyrik dan Ahli kitab. Maka, orang
semacam ini diserupakan dengan mereka. Terhadap hal ini telah berlalu perbuatan
umat, baik masa dahulu maupun masa sekarang, yang menunjukkan bahwa umumnya pada
diri mereka (mukmin yang melakukan kekeliruan) berlaku hukum-hukum Islam yang
juga berlaku atas orang selain mereka. Hal ini karena diketahui bahwa kebanyakan
pelaku bid'ah adalah orang-orang munafik yang melakukan nifak besar. Merekalah
orang kafir yang kelak ditempatkan di dasar neraka. Mereka kafir secara
batiniyah, dan jika diketahui perilakunya, maka ia pun kafir secara
lahiriyah.
Setiap orang yang beriman kepada ajaran Muhammad saw lebih baik
daripada orang yang kufur terhadapnya, sekalipun yang disebutkan lebih awal
melakukan perbuatan bid'ah, baik bid'ah Khawarij, Syi'ah, Murji'ah, maupun
Qadariyah. Maka, sesungguhnya orang Yahudi dan Nashrani adalah orang-orang kafir
yang telah pasti kekafirannya menurut ukuran dienul Islam. Adapun bagi pelaku
bid'ah (jika memang masih tergolong bersesuaian dengan Rasulullah saw dan
padanya tidak ada hal yang menyalahi), maka ia tidak boleh dihukumi kafir.
Andaikan dia dapat dikriteriakan kafir, maka kekafirannya tidak seperti orang
yang mendustakan Rasululllah saw.
Post a Comment