Sikap Ahli Sunnah wal Jamaah terhadap Ahli Bid'ah (Bagian Pertama)
Sikap Ahli Sunnah wal Jamaah terhadap Ahli Bid'ah (Bagian Pertama)
Pertimbangan Ahli Sunnah wal Jamaah dalam Bermuamalah dengan
Ahli Bid'ah
Ahli Sunnah wal Jamaah memiliki kewajiban utama terhadap ahli
bid'ah dalam hal menjelaskan posisi mereka dan memperingatkan umat terhadap
bahaya mereka, termasuk menzahirkan sunnah dan memberikan pengertian kepada kaum
muslimin. Kemudian mencegah meluasnya pengaruh bid'ah dan menolak timbulnya
kezaliman serta permusuhan dari pelakunya. Hal itu demi menegakkan keadilan dan
hukum berdasarkan Alquran dan sunnah.
Itulah sikap Ahli Sunnah, dan aku (Syekh Islam Ibnu Taimiyyah)
selalu berlapang dada menghadapi penentang paham Ahli Sunnah yang aku yakini.
Maka, jika seseorang melampui batas aturan Allah dalam mengkafirkan, menuduh
fasik, mengada-ada, atau fanatis jahiliyah, dalam hal ini aku tidak membalasnya
dengan sikap yang sama. Bahkan, aku berusaha agar ucapan dan perbuatanku selalu
selaras dengan mizan (parameter) keadilan. Aku menjadikan ucapan dan perbuatanku
itu sempurna dengan kitab yang Allah turunkan, yang menjadi petunjuk bagi umat
manusia, menjadi hakim bagi mereka yang berselisih paham.
Seseorang yang menyaksikan kabar yang menyakitkan atau yang
merupakan celaan terhadap sikap keadilan dan diennya, maka barulah disebut
menyaksikan jika ia mengetahui seorang saksi melalui berita yang tersebar, atau
bukan hanya melalui pendengaran dan penglihatan langsung, dan hal itu menjadi
celaan yang bersifat syar'i. Dan aku tidak mengetahui hal ini diperselisihkan di
antara manusia. Sesungguhnya yang kaum muslimin saksikan pada masa kami, seperti
halnya terjadi pada diri Umar bin Abdul Aziz dan Hasan Basri serta ahlul 'adli
wad dien lainnya, hanyalah melalui berita-berita yang tersebar. Demikian juga
yang mereka ketahui tentang Hajjaj bin Yusuf, Mukhtar bin Abu 'Ubaid, Amru bin
'Ubaid, Ghailan al-Qadri, Abdullah bin Ubay (seorang Rafidli), dan pelaku
kezaliman serta bid'ah lainnya, hanyalah melalui berita-berita yang tersebar.
Dalam hal ini, jika yang dimaksudkan adalah menuduh mereka fasik, maka tertolak
kesaksian dan perwalian mereka. Tetapi, jika dimaksudkan hanya sebagai
peringatan dan usaha menjauhkan kejahatan mereka, cukuplah kesaksian mereka.
Orang yang menyerukan bid'ah wajib mendapat hukuman berdasarkan
kesepakatan kaum muslimin. Dan bentuk hukuman itu bisa dengan dibunuh atau
dengan cara yang lain. Andaikata dia tidak patut dihukum atau tidak mungkin
dihukum, maka haruslah dijelaskan bid'ahnya dan hendaklah berhati-hati
terhadapnya. Sesungguhnya hal ini termasuk amar ma'ruf nahi munkar yang
diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Dan juga pelaku bid'ah tersebut dapat
digolongkan sebagai ahlul ahwa' (pengumbar hawa nafsu), atau yang dikenal di
kalangan ahli ilmu sunnah sebagai penentang kitab dan sunnah, seperti Khawarij,
Rawafidh, Qadariyah dan Murj'iah, maka Abdurrahman bin Mahdi berkata, "Kedua
bid'ah ini harus diwaspadai, yaitu Jahamiyah dan Rafidhah karena termasuk bid'ah
yang paling jahat."
Demikian juga bagi orang yang mengkafirkan kaum muslimin atau
menghalalkan darah dan harta mereka. Terhadap bid'ah seperti ini, yang tidak
terdapat dalam kitabullah dan sunnah rasul, ia wajib meninggalkannya, dan
hukumannya disesuaikan dengan kejahatan yang diperbuatnya, sekalipun dengan
pembunuhan atau peperangan. Jika orang yang melampaui batas dihukum dan
orang-orang yang bertakwa dimuliakan, maka hal ini merupakan sebab terpenting
yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya meridhainya dan menjadikan maslahah bagi
urusan kaum muslimin.
Jika pada diri seseorang berhimpun kebaikan dan kejahatan,
kedurhakaan dan ketaatan, maksiat, sunnah dan bid'ah, maka patut baginya
mendapatkan hak muwalah (dikasihi Allah) dan pahala sesuai dengan kebaikan yang
ada padanya. Dia juga berhak menerima mu'adah (permusuhan) dan hukuman sesuai
dengan kejahatan yang ada padanya. Oleh karena itu, pada seseorang terdapat
sebab-sebab kemuliaan dan kehinaan, sehingga padanya berhimpun "ini" dan
"itu".
Hal yang perlu diketahui dalam pembahasan ini adalah bahwa
syariat telah memerintahkan kepada kita untuk menegakkan aturan bagi seseorang
di dunia, apakah dengan hukum bunuh, dera, atau lainnya, sehingga di akhirat
kelak tidak akan disiksa. Seperti membunuh orang melakukan bughat
(pembangkangan) dan orang yang melakukan takwil, dengan tetap memperhatikan
prinsip keadilan. Atau, menegakkan hukuman bagi orang yang bertaubat setelah
memenuhi kriteria taubat yang benar, berbeda dengan orang yang tidak melakukan
takwil.
Kita pun mengetahui bahwa seseorang tidak dihukum di dunia,
namun dia dihukum bersama orang-orang kafir di akhirat kelak. Seperti ahli
zimmah (orang kafir yang dilindungi negara Islam) yang mau membayar jizyah
(upeti) atas kekafiran mereka. Juga seperti orang-orang munafik yang menampakkan
Islam secara lahiriyah (namun batinnya kufur), maka pada diri mereka berlaku
hukum-hukum Islam di dunia. Akan tetapi, di akhirat mereka tetap sebagai
orang-orang kafir yang patut disiksa.
Hal ini disebabkan karena balasan pada hakikatnya tak lain
hanya ada di kampung akhirat yang memang merupakan "Daaruts Tsawab wal 'Iqab"
(medan balasan dan hukuman). Adapun di dunia, Allah hanya mensyariatkan adanya
hukum untuk mencegah tindak kezaliman dan permusuhan. Jika demikian, maka
hukuman dunia tidaklah mengharuskan adanya hukuman akhirat, dan tidak pula
sebaliknya. Oleh karena itu, mayoritas ulama salaf memerintahkan untuk membunuh
orang yang menyeru kepada bid'ah yang bisa menyesatkan manusia dan merusak
agama. Hal ini, menurut mereka, sama saja apakah dia kafir atau bukan kafir.
Adapun mengenai imam-imam bid'ah dari golongan yang berpaham
menyalahi kitab dan sunnah, atau ibadah-ibadah yang menyalahi kedua hal itu,
maka menjelaskan perihal mereka dan memperingatkan umat dari bahaya mereka
adalah wajib berdasarkan kesepakatan (ijma') kaum muslimin. Seseorang
bertanya kepada Ahmad bin Hanbal, "Ada orang berpuasa, salat, dan beri'tikaf,
mana yang lebih Anda cintai daripada orang yang membincangkan ahli bid'ah?" Ia
pun menjawab, "Jika seseorang salat dan i'tikaf, maka apa yang ia lakukan itu
untuk dirinya sendiri, sedangkan jika ia berbicara tentang ahli bid'ah, maka hal
itu menyangkut kaum muslimin, hal ini lebih utama." Oleh karena itu, jelaslah
bahwa manfaat ini bersifat umum bagi kaum muslimin dalam agama mereka, termasuk
jihad di jalan Allah. Karena hal ini dapat membersihkan jalan Allah,
agama, manhaj (pedoman hidup), serta syari'at-Nya, disamping mencegah kezaliman
dan pelanggaran mereka.
Berdasarkan hal tersebut, mencegah kerusakan mereka termasuk
wajib kifayah berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Sebab, andaikan tidak ada
orang yang dibangkitkan Allah untuk mencegah mudharat yang dilakukan seseorang,
tentulah agama Islam ini akan rusak, dan kerusakannya lebih besar daripada
kerusakan yang disebabkan penduduk ahli harbi (kafir yang harus diperangi),
karena ahli harbi jika berkuasa tidak sampai merusak hati dan apa-apa yang ada
di dalam unsur agama, kecuali efek sampingnya, sedangkan ahli bid'ah tujuan
utamanya adalah merusak hati.
Musuh-musuh Islam ada dua golongan, yaitu orang-orang kafir dan
kaum munafik. Oleh karenanya, Allah memerintahkan untuk berjihad memberantas
kedua golongan tersebut. Kaum munafik melakukan bid'ah dengan menyerukan hal-hal
yang bertentangan dengan kitab, dan mereka mencampuradukkan keduanya untuk
disebarkan kepada khalayak manusia, tanpa menjelaskan kepada mereka. Golongan
ini merusak perintah kitab dan mengubah agama, sebagaimana rusaknya agama ahli
kitab sebelum kita, karena adanya berbagai perubahan dan penggantian yang tidak
diingkari oleh kaumnya. Jika kaum itu bukan kaum munafik, paling tidak mereka
adalah orang-orang yang memperdengarkan kaum munafik.
Kelompok ini telah mencampuradukkan persoalan kepada
orang-orang, sehingga mereka menganggap semua pendapat kelompok ini benar,
padahal jelas bertentangan dengan kitab. Maka, jadilah mereka penyeru-penyeru
bid'ah munafikin. Meskipun perihal mereka dijelaskan, tetapi fitnah yang
menyertai mereka lebih besar, karena pada diri mereka terdapat keimanan yang
harus didukung, tetapi mereka telah masuk ke dalam bid'ah-bid'ah munafikin yang
merusak agama. Oleh sebab itu, mereka perlu diwaspadai. Bahkan bila perlu,
disebutkan identitas mereka. Seandainya mereka tidak menerima
bid'ah-bid'ah itu dari orang munafik, tetapi mereka mengatakannya karena mengira
bahwa hal itu adalah petunjuk dan kebaikan bahkan termasuk ad-Dien, maka keadaan
orang seperti ini pun perlu dijelaskan.
Maka, wajib menjelaskan keadaan orang yang melakukan kesalahan
di dalam hadis dan riwayat, termasuk orang yang salah dalam berpendapat dan
berfatwa, juga orang yang salah dalam berzuhud dan beribadah. Jika ia keliru
dalam berijtihad, maka diampunilah kesalahannya serta mendapat pahala dari
ijtihadnya. Dengan demikian, menjelaskan perkataan yang dipandu oleh kitab dan
sunnah merupakan kewajiban, meskipun ada orang yang menentang perkataan dan
perbuatannya. Siapa yang mengetahui kekeliruan ijtihad yang diperbolehkan, maka
tidak boleh mencela dan menganggap dosa, sebab Allah mengampuni kesalahannya,
bahkan wajib mengadakan muwalah (saling mencintai) dan mahabbah (mencintai)
dengannya selama unsur iman dan takwa masih ada pada dirinya. Juga harus
memberikan hak-haknya, seperti pujian, doa, serta lainnya. Jika pada dirinya
diketahui ada anak sifat nifak --sebagaimana diketahui kemunafikan sekelompok
orang pada masa Rasulullah, dan seperti halnya kaum muslimin mengetahui
kemunafikan Rafidhah-- maka ia disebut nifak.
Jika seseorang jelas-jelas melakukan bid'ah, tetapi tidak
diketahui apakah ia seorang yang munafik atau beriman yang keliru menyebutkan
sesuatu karena ketidaktahuannya, maka tidak halal bagi seseorang untuk berbicara
tanpa didukung oleh ilmu. Juga tidak halal baginya kecuali karena ikhlas kepada
Allah, dan hanya menjadikan agar kalimat Allah itu tinggi, serta agar menjadikan
ad-dien ini seluruhnya milik Allah. Maka, barangsiapa membicarakan sesuatu hal
tanpa ilmu atau dengan sesuatu yang ia ketahui penyimpangannya, maka ia menjadi
berdosa.
Sekelompok orang dari mazhab asy-Syafi'i, Ahmad, dan
lain-lainnya, membolehkan membunuh penyeru bid'ah yang bertentangan dengan kitab
dan sunnah. Demikian juga kebanyakan dari sahabat-sahabat Malik. Mereka berkata,
"Malik dan lainnya membolehkan membunuh Qadariyah semata-mata melihatnya sebagai
perusak di atas bumi, bukan karena segi kemurtadannya." Kemudian mereka
mengajukan dalil, "Manakala pelaku kerusakan tidak bisa dihentikan kecuali
dengan membunuhnya, maka ia harus dibunuh."
Adapun membunuh seseorang dari Khawarij dan Rafidhah telah
diriwayatkan dari Umar dan Ali. Para fuqaha juga membolehkan membunuh kedua
golongan itu sekalipun di antara mereka masih berselisih, asalkan bukan
perselisihan mengenai kewajiban memerangi mereka jika mereka memang
menghalang-halangi. Karena, memerangi itu lebih luas daripada membunuh,
sebagaimana kewajiban memerangi pelaku aniaya dan pembangkang yang melawan,
meskipun ada di antara mereka yang tidak patut dihukum, kecuali berdasarkan
perintah Allah dan Rasul-Nya.
Nash-nash mutawatir tentang khawarij ini berasal dari Nabi saw
dan telah diperluas cakupannya oleh para ulama, hingga meliputi seluruh aliran
sesat yang keluar dari syariat Rasulullah dan jamaah muslimin. Bahkan, mereka
lebih jelek daripada Khawarij al-Hururiyah, seperti al-Khurmiyah, Qaramithah,
dan Nushairiyah. Juga setiap orang yang meyakini manusia sebagai tuhan, atau
menganggap orang lain sebagai nabi, dan juga bagi orang yang membunuh dan
memerangi kaum muslimin. Pemberian sebutan oleh Nabi terhadap Khawarij
al-Hururiyah hanyalah karena mereka merupakan kelompok pertama ahli bid'ah yang
keluar dari barisan kaum muslimin. Bahkan, merekalah kelompok yang paling
pertama keluar dari jamaah pada masa Nabi. Jika beliau menyebut mereka, hanyalah
karena dekatnya mereka dari kehidupannya, sebagaimana juga Allah dan Rasul-Nya
mengkhususkan penyebutan suatu peristiwa pada jaman tersebut. Pengkhususan dalam
penyebutan bukanlah untuk pengkhususan secara hukum, namun demi kejelasan
pembicaraan mereka, ini pun jika tidak menjadikan lafaz-lafaznya mencakup
mereka.
Adapun membunuh seseorang Khawarij --seperti al-Hururiyah,
Rafidhah, dan lainnya-- dalam hal ini ada dua pendapat fuqaha. Kedua pendapat
tersebut diriwayatkan dari Imam Ahmad yang membolehkan membunuh mereka, seperti
membunuh orang yang menyerukan mazhabnya, padahal terdapat kerusakan. Sedangkan
dalam hal mengkafirkan dan menganggap mereka kekal di neraka juga ada dua
pendapat ulama yang masyhur, keduanya diriwayatkan dari Imam Ahmad. Dua pendapat
tersebut berkenaan dengan Khawarij dan para pembangkang dari kalangan Hururiyah,
Rafidhah, dan lainnya. Memang benar bahwa perkataan-perkataan yang diketahui
bertentangan dengan ajaran Rasulullah adalah kufur. Demikian pula perbuatan
mereka yang mengikuti perbuatan orang-orang kafir terhadap kaum muslimin adalah
kufur. Tetapi, mengkafirkan seseorang dari mereka dan menghukumi mereka kekal di
neraka diperlukan persyaratan pengkafiran yang benar dan tertolaknya
penghalang-penghalangnya. Kami mengumumkan pendapat berdasarkan nash-nash janji
ancaman, pengkafiran, dan tuduhan fasik, serta kami tidak menghukumi orang
tertentu yang tergolong umum sehingga tegak ketentuan-ketentuan yang dikehendaki
yang tidak dipertentangkan. Maka, sesungguhnya hukum kufur itu tidaklah terjadi
kecuali setelah sampainya risalah. Kebanyakan mereka tidak mengetahui nash-nash
yang bertentangan dengan pendapat mereka dan tidak mengetahui bahwa Rasul diutus
untuk itu. Jelaslah bahwa perkataan seperti itu kufur, dan kafirlah bagi mereka
yang telah ditegakkkan hujjah padanya, namun mengingkari untuk meninggalkannya.
Allahu a'lam.
Pelaku bid'ah yang keluar dari sebagian syariat Rasulullah dan
sunnahnya, menghalalkan darah kaum muslimin yang berpegang teguh kepada sunnah
Rasulullah dan syariatnya, serta menghalalkan harta kaum muslimin, mereka lebih
patut diperangi daripada orang fasik, meskipun ia menjadikan hal itu sebagai
cara yang dibenarkan agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Untuk
itulah, para Imam Islam bersepakat bahwa bid'ah-bid'ah yang berat ini lebih
jahat daripada dosa-dosa yang diyakini pelakunya sebagai dosa. Dengan demikian,
berlakulah sunnah Rasulullah yang menyuruh memerangi Khawarij yang keluar dari
sunnah, menyuruh bersabar terhadap kedurhakaan dan kezaliman pemimpin mereka,
juga agar tetap bersalat di belakang mereka sekalipun mereka berdosa. Rasulullah
menyaksikan sebagian para sahabatnya yang terus menerus melakukan sebagian dosa,
padahal ia mencintai Allah dan Rasul-Nya. Dalam hal ini beliau melarang
mengutuknya.
Beliau mengabarkan perihal Dzul Khuwaishirah dan
sahabat-sahabat yang taat dalam beribadah dan kewara'an mereka, tetapi
sesungguhnya mereka telah keluar dari Islam sebagaimana melesatnya anak panah
dari busurnya.
Inilah sunnah Amirul Mukminin Ali dan yang lainnya, yang telah
memerintahkan menghukum tiga golongan Syi'ah. Golongan Syi'ah yang paling ringan
adalah al-Mufadhilah. Ali dan Umar memerintahkan hukuman dera kepada mereka.
Adapun kepada golongan yang ekstrem dijatuhi hukuman bunuh menurut kesepakatan
kaum muslimin. Mereka adalah golongan yang menganggap Ali dan lainnya sebagai
tuhan dan nabi, seperti golongan Nushairiyah dan Ismailiyah, karena mereka
lebih kafir daripada Yahudi dan Nashrani. Jika salah seorang dari mereka
tidak menampakkan tanda-tanda seperti itu, mereka termasuk golongan munafik yang
diancam dengan siksa neraka paling bawah. Sedangkan bagi yang menampakkan hal
itu, ia termasuk sejahat-jahat orang kafir. Oleh karena itu, tidaklah
diperbolehkan untuk menetapkannya sebagai golongan muslim, tidak pula dengan
jizyah maupun zhimmah, dan tidak boleh mengawini wanita-wanita mereka, tidak
memakan sembelihan mereka, sebab mereka termasuk orang-orang murtad yang paling
buruk.
Jika mereka merupakan sekelompok penentang, wajiblah diperangi,
sebagaimana diperanginya kaum murtad, sebagaimana diperanginya para pendukung
dan sahabat-sahabat Musailamah al-Kadzdzab. Jika mereka berada di dusun kaum
muslimin, pisahkan dan tempatkan mereka di antara kaum muslimin setelah
bertaubat. Dan, mereka harus mengikuti syari'at Islam yang diwajibkan kepada
kaum muslimin secara konsekuen. Hukuman ini bukan hanya untuk golongan ekstrem
Rafidhah, tetapi berlaku pula bagi orang yang bertindak berlebih-lebihan
terhadap salah seorang syekh dengan mengatakan bahwa dia yag memberi rezeki
kepadanya. Telah gugur darinya kewajiban salat, dia lebih utama daripada Nabi,
atau dia tidak perlu lagi dengan syari'at Nabi, dia sebagai jalan menuju Allah,
atau menganggap ada salah seorang dari syekhnya yang selalu menyertai Nabi
Muhammad seperti Nabi Khidhir menyertai Nabi Musa. Mereka yang berpendapat
demikian adalah kafir dan wajib diperangi berdasarkan ijma' kaum muslimin, dan
wajib dibunuh satu orang tertentu dari mereka.
Post a Comment