| | | “Yang diharamkan tidak hanya memandang auratnya, bahkan seluruhnya dilarang.”
Demikian jawaban Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah. Beliau lanjutkan: “Karena
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam Al-Qur`an:
قُلْ
لِلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُ
فُرُوْجَهُمْ...
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman (kaum
mukminin): “Hendaklah mereka menundukkan sebagian dari pandangan mereka dan
hendaklah mereka menjaga kemaluan mereka….” (An-Nur: 30) Sekalipun wanita itu
terbuka wajahnya, tidaklah berarti boleh memandang wajahnya. Karena terdapat
perintah untuk menundukkan pandangan. Laki-laki menundukkan pandangannya dari
melihat wanita. Demikian pula sebaliknya, wanita diperintahkan menundukkan
pandangannya dari melihat laki-laki.
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ
مِنْ أَبْصَارِهِنَّ...
“Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman
(kaum mukminat): ‘Hendaklah mereka menundukkan sebagian dari pandangan
mereka…’.” (An-Nur: 31) Apabila seorang wanita berjalan di pasar, ia melihat
laki-laki, melihat gelang yang dipakai laki-laki, melihat wajah mereka, tangan
dan betis mereka, ini memang bukan aurat laki-laki. Namun bersamaan dengan itu,
si wanita harus menundukkan pandangannya walaupun si lelaki tidak membuka
auratnya. Karena hal ini merupakan penutup jalan menuju kerusakan (saddun
lidz-dzari’ah). Tatkala Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kaum mukminin
untuk menundukkan pandangan dari melihat wajah-wajah wanita yang mungkin
terbuka, demikian pula ketika Dia memerintahkan para wanita untuk menundukkan
pandangan mereka dari melihat laki-laki, bukanlah karena permasalahan yang
berkaitan dengan hukum syar’i tentang aurat semata. Namun semuanya itu
menegaskan ditutupnya jalannya menuju kerusakan. Karena dikhawatirkan bila si
lelaki memandangi wajah seorang wanita lantas mengagumi kecantikannya, akan
menyeret si lelaki kepada perbuatan nista. Sebagaimana disebutkan dalam
hadits:
إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ
الزِّنَا...
“Sesungguhnya Allah menetapkan atas anak Adam bagiannya dari
zina2...” Demikian pula wanita diperintahkan menundukkan pandangannya dari
lelaki karena khawatir ia akan terfitnah dengan keelokan wajah si lelaki,
besarnya ototnya, lurusnya lengannya dan bagian-bagian tubuh lain yang dapat
membuat fitnah. Maka datanglah perintah yang melarang masing-masing jenis dari
melihat lawan jenis (yang bukan mahramnya) dalam rangka menutup jalan menuju
kerusakan. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.” (Al-Hawi min Fatawa Asy-Syaikh
Al-Albani, hal. 461-462)
1 HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya 2
Haditsnya secara lengkap adalah:
إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ
حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا أَدْرَكَ ذلِكَ لاَ مَحَالَةَ، فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ،
وَزِنَا اللِّسَانِ الْمَنْطِقُ، وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالْفَرْجُ
يُصَدِّقُ ذلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ
“Sesungguhnya Allah menetapkan atas anak
Adam bagiannya dari zina, dia akan mendapatkannya, tidak bisa tidak. Maka zina
mata adalah dengan memandang (yang haram), dan zina lisan adalah dengan
berbicara. Sementara jiwa itu berangan-angan dan berkeinginan, sedangkan
kemaluan yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Al-Bukhari no.
6243 dan Muslim no. 2657 dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu) Dalam riwayat
Muslim disebutkan:
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبَهُ مِنَ الزِّنَا،
مُدْرِكُ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظْرُ،
وَاْلأُذُنَانِ زِنَاهُمَا اْلإِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانِ زِنَاهُ الْكَلاَمُ،
وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى
وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ
“Ditetapkan
atas anak Adam bagiannya dari zina, akan diperoleh hal itu, tidak bisa tidak.
Kedua mata itu berzina dan zinanya dengan memandang (yang haram). Kedua telinga
itu berzina dan zinanya dengan mendengarkan (yang haram). Lisan itu berzina dan
zinanya dengan berbicara (yang diharamkan). Tangan itu berzina dan zinanya
dengan memegang. Kaki itu berzina dan zinanya dengan melangkah (kepada apa yang
diharamkan). Sementara hati itu berkeinginan dan berangan-angan, sedangkan
kemaluanlah yang membenarkan semua itu atau
mendustakannya.” |
|
|
Post a Comment