NASEHAT MENJELANG IDUL FITRI

NASEHAT MENJELANG IDUL FITRI

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى(14) وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى(15) بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا(16) وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى(17) (الاعلى: 14-17)
Artinya: “Sungguh beruntunglah orang yang mensucikan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia mengerjakan shalat. Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal”  (QS. Al-A’la: 14-27).
Dari Ibnu Mas`ud ra., bahwa Nabi SAW bersabda: “Apabila mereka itu berpuasa bulan Ramadhan dan keluar untuk menunaikan Shalat ‘Id (shalat hari raya), maka Allah Ta`ala berfirman: “Hai para malaikat Ku, tiap-tiap orang yang beramal akan mendapatkan upahnya; dan para hamba-Ku yang berpuasa pada bulan Ramadhan dan keluar menunaikan Shalat ‘Id ,juga mengharapkan pahalanya. Maka oleh karena itu saksikanlah, bahwa sesungguhnya Aku telah mengampuni mereka”.
Banyak orang yang salah kaprah dalam menyikapi Idul-Fithri. Secara lahiriah seolah-olah hari raya adalah pesta pora, bersenang-senang bahkan berpoya-poya. Lebaran Idul-Fithri dilakukan dengan “lebar kabeh”, yakni habis semuanya, menghambur-hamburkan uang dan menghambur-hamburkan waktu untuk bersenang-senang. Padahal tidaklah demikian cara umat Islam dalam merayakan Idul-Fithri. Dari Wahab bin Munabbib bahwa Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Raja Iblis berteriak-teriak marah ketika hari raya Idul-Fithri, hingga suaranya memenuhi seantero langit dan bumi. Mendengar teriakan itu seluruh pengikut dan kawan si Raja Iblis berkumpul, mereka bertanya: “Wahai baginda, siapa yang telah membuat anda marah?, akan kami musnahkan ia”. Si Raja Iblis menjawab: “bukan apa-apa, akan tetapi Allah Ta’ala telah mengampuni umat Islam pada hari Idul-Fithri ini, sehingga aku sangat jengkel dan bingung”. Kemudian Raja Iblis menugaskan kepada seluruh pengikutnya: “Wahai pengikutku, tugas kalian semua adalah membuat umat Muhammad lalai kembali, goda mereka dengan berbagai kelezatan, kenikmatan syahwat, terlena dengan kegembiraan dan bahkan minuman keras sehingga Allah akan murka lagi dengan mereka”. Jadi apabila kita berlebarang dengan kesia-siaan, terlena, melupakan ibadah dan berfoya-foya maka justeru Iblis yang berlebaran. Coba kita renungkan kelalaian kita, salah satu contohnya, banyak orang yang berbondong-bondong mendatangi shalat sunah Idul-Fithri, namun melupakan shalat wajib lima waktu. Padaha tidak ikut serta dalam shalat ‘Id tidaklah berdosa, sedangkan tidak ikut serta shalat lima waktu sekali saja sama seperti kehilangan langit dan bumi dan seiisinya.
Pada hari raya Idul-Fithri kita memang mesti bahagia karena pada hari itu umat Islam mendapatkan ampunan dari Allah Ta’ala. Untuk merayakannya kita dianjurkan oleh Nabi SAW untuk memakai baju baru, saling berkunjung maaf-memaafkan, bahkan boleh (atau jaiz) menghidangkan makanan atau kue kepada saudara muslim yang datang berkunjung. Tetapi kita juga harus bersedih di hari raya Idul Fithri jika ternyata kita belum mendapatkan ampunan dari Allah. Ada beberapa golongan manusia yang tidak akan mendapatkan ampunan pada hari raya Idul-Fithri, yakni antara lain: (1) Orang yang memelalaikan shalat lima waktu; (2) Orang yang tidak berpuasa pada bulan Ramadhan; (3) Orang yang tidak menunaikan zakat; (4) Orang yang meminum khamer (minuman keras); (5) Orang yang durhaka dan belum berbakti kepada kedua orang tua; (8) Orang yang memutuskan tali silaturahmi dan suka bermusuhan; (9) Orang yang enggan memaafkan; dan (10) Orang yang ucapan dan tingkah lakunya suka menyakiti orang lain. Jika kita termasuk diantara kesepuluh golongan tersebut maka kita seharusnya bersedih dan meraung menangis pada hari raya Idul-Fithri. Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ جِبْرَئِيْلَ عَرَضَ لِى فَقَالَ: بَعُدَ مَنْ اَدْرَكَ رَمَضَانَ فَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ, قُلْتُ: آمِيْنَ.
Artinya: “Sesungguhnya Jibril telah datang kepadaku lalu berkata: “Celakalah orang yang melewatkan Ramadhan begitu saja, sedangkan dosanya belum diampuni”, aku kemudian mengatakan: “Aamiin” (HR. Al-Bukhari, Al-Hakim, dan Ath-Thabrani).
Bagi kita, yang paling penting adalah menghayati makna Idul-Fithri. Pada dasarnya Idul-Fithri berarti “kembali kepada kesucian” dan “syawal” artinya “peningkatkan”. Jadi makna Idul-Fithri pada bula Syawal ini adalah kembali pada kesucian dengan disertai upaya meningkatkan ketakwaan, ibadah dan amal shaleh. Sebagaimana yang digambarkan dalam salah satu ungkapan utama:
لَيْسَ عِيْدُ لِمَنْ لُبْسُهُ الْجَدِيْدُ, بَلْ عِيْدُ لِمَنْ تَقْوَـهُ الْيَزِيْدُ
Artinya: “Bukanlah hari raya itu untuk orang yang berpakaian baru, tetapi sebenarnya hari raya itu untuk orang yang bertambah ketakwaaannya”.
Untuk memahami hakikat makna Idul-Fithri  mari kita renungkan perkataan Anas bin Malik, beliau mengungkapkan bahwa orang yang beriman itu mempunyai lima hari raya, yakni:
1. Tiap-tiap hari yang dilalui orang yang beriman dan tidak dicatat baginya satu dosa pun, maka hari itu adalah hari raya.
2. Hari ketika seorang mukmin keluar dari dunia, yakni ketika mati dengan berbekal iman, dan amal shaleh, maka hari itu adalah hari raya.
3. Hari ketika seorang mukmin menyeberang  Shirathal Mustaqim dan dia selamat, maka itu adalah hari raya.
4. Hari ketika seorang mukmin masuk kedalam sorga dan selamat dari neraka jahim, maka itu adalah hari raya.
5. Hari ketika seorang mukmin bisa melihat Tuhannya, maka itu adalah hari raya. (dari Kitab Tabîhul Ghafilîn).
Bagi orang yang berakal hendaknya bisa menahan dirinya pada hari raya dari segala macam nafsu-syahwat dan dari semua yang dilarang, bahkan supaya selalu taat. Oleh karena itu Nabi SAW bersabda: “Bersungguh-sungguhlah kamu sekalian berhari raya idul fitri dengan bersedekah dan amalan-amalan yang baik, yakni dengan shalat, zakat, bertasbih, dan tahlil, karena sesungguhnya hari ini Allah ta`ala mengampuni semua dosa kamu sekalian, mengabulkan do`a kalian dan melihat kamu sekalian dengan kasih sayang”.
Mensucikan Diri
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى , “Sungguh beruntunglah orang yang mensucikan diri”
            Ayat tersebut akan menjadi pusat kajian kita pada bagian ini. Untuk meniindak lanjuti hari raya Idul Fithri kita mesti senantiasa mensucikan diri. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-A’la ayat 14-17 yang telah disebutkan diawal. Bahwa sungguh beruntung orang-orang yang senantiasa mensucikan dirinya. Yakni orang-orang yang senantiasa menyebut asma Allah, senantiasa mendirikan shalat, mampu menahan diri di dunia dan senantiasa merindukan kehidupan akherat.
Ada banyak penafsiran terhadap kalimat “qad aflaha man tazakkâ”, “Sungguh beruntunglah orang yang mensucikan diri”. Antara lain yang dimaksud orang yang mensucikan diri adalah: (1) Orang yang meninggalkan kecintaan pada dunia; (2) Orang yang banyak mengingat Allah; (3) Orang yang sabar terhadap musibah; (4) Orang yang berbakti kepada kedua orang tua; (5) Orang yang meninggalkan perbuatan aniaya dan sia-sia; (6) Orang yang meninggalkan ghibah; (7) Orang yang menunaikan zakat; (8) Orang yang senantiasa dituntun oleh Al-Qur’an; (9) Orang yang beramal dengan ikhlas dan (10) Orang yang menahan diri dari hawa nafsu.


Tidak ada komentar