Ketika Nusyuz dan Bersengketa
Ketika Nusyuz dan Bersengketa
Karena
seorang laki-laki adalah kepala rumahtangga sebagai konsekuensi yang
diperolehnya karena dialah pembinanya, mempersediakannya, meletakkan
rumahtangga ini dalam kehidupan, membayar mahar dan memberi nafkah, maka seorang
isteri tidak diperkenankan menentang suami dan lari dari kekuasaan suami. Hal
mana akan merusak persekutuan dan akan menggoncangkan bahtera rumahtangga,
bahkan mungkin akan menenggelamkannya selama rumahtangga itu tidak ada
pengemudinya.
Dan
kalau seorang suami menjumpai isterinya ada tanda-tanda nusyuz (durhaka) dan
menentangnya; maka dia harus berusaha mengadakan islah dengan sekuat tenaga,
diawali dengan kata-kata yang baik, nasehat yang mengesan dan bimbingan yang
bijaksana.
Kalau
cara ini tidak lagi berguna, maka boleh dia tinggalkan dalam tempat tidur
sebagai suatu usaha agar instink kewanitaannya itu dapat diajak berbicara.
Kiranya dengan demikian dia akan radar dan kejernihan akan kembali.
Kalau
ini dan itu tidak lagi berguna, maka dicoba untuk disadarkan dengan tangan,
tetapi harus dijauhi pukulan yang berbahaya dan muka. Ini suatu obat mujarrab
untuk sementara perempuan dalam beberapa hal pada saat-saat tertentu.
Maksud
memukul di sini tidak berarti harus dengan cambuk atau kayu, tetapi apa yang
dimaksud memukul di sini ialah salah satu macam dari apa yang dikatakan Nabi
kepada seorang khadamnya yang tidak menyenangkan pekerjaannya. Nabi mengatakan
sebagai berikut:
"Andaikata
tidak ada qishash (pembalasan) kelak di hari kiamat, niscaya akan kusakiti kamu
dengan kayu ini." (Riwayat Ibnu Saad dalam Thabaqat)
Tetapi
Nabi sendiri tidak menyukai laki-laki yang suka memukul isterinya. Beliau
bersabda sebagai berikut:
"Mengapa
salah seorang di antara kamu suka memukul isterinya seperti memukul seorang
hamba, padahal barangkali dia akan menyetubuhinya di hari lain?!" (Riwayat
Anmad, dan dalam Bukhari ada yang mirip dengan itu)
Terhadap
orang yang suka memukul isterinya ini, Rasulullah s.a.w. mengatakan:
"Kamu
tidak jumpai mereka itu sebagai orang yang baik di antara kamu." (Hadis
ini dalam Fathul Bari
dihubungkan kepada Ahmad, Abu Daud dan Nasa'i dan disahkan oleh Ibnu Hibban dan
Hakim dari jalan Ayyas bin Abdillah bin Abi Dzubab)
Ibnu
Hajar berkata: "Dalam sabda Nabi yang mengatakan: orang-orang baik di
antara kamu tidak akan memukul ini menunjukkan, bahwa secara garis besar
memukul itu dibenarkan, dengan motif demi mendidik jika suami melihat ada
sesuatu yang tidak disukai yang seharusnya isteri harus taat. Tetapi jika
dirasa cukup dengan ancaman adalah lebih baik.
Apapun
yang mungkin dapat sampai kepada tujuan yang cukup dengan angan-angan, tidak
boleh beralih kepada suatu perbuatan. Sebab terjadinya suatu tindakan, bisa
menyebabkan kebencian yang justru bertentangan dengan prinsip bergaul yang baik
yang selaiu dituntut dalam kehidupan berumahtangga. Kecuali dalam hal yang
bersangkutan dengan kemaksiatan kepada Allah.
Imam
Nasa'i meriwayatkan dalam bab ini dari Aisyah r.a' sebagai berikut:
"Rasulullah
s.aw. tidak pernah memukul isteri maupun khadamnya samasekali; dan beliau
samasekali tidak pernah memukul dengan tangannya sendiri, melainkan dalam
peperangan (sabilillah) atau karena larangan-larangan Allah dilanggar, maka
beliau menghukum karena Allah."
Kalau
semua ini tidak lagi berguna dan sangat dikawatirkan akan meluasnya
persengketaan antara suami-isteri, maka waktu itu masyarakat Islam dan para
cerdik-pandai harus ikut campur untuk mengislahkan, yaitu dengan mengutus
seorang hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan
yang baik dan mempunyai kemampuan. Diharapkan dengan niat yang baik demi
meluruskan ketidak teraturan dan memperbaiki yang rusak itu, semoga Allah
memberikan taufik kepada kedua suami-isteri.
Perihal
ini semua, Allah s.w.t. telah berfirman dalam al-Quran sebagai berikut:
"Dan
perempuan-perempuan yang kamu kawatirkan kedurhakaannya, maka nasehatlah mereka
itu, dan tinggalkanlah di tempat tidur, dan pukullah. Apabila mereka sudah taat
kepadamu, maka jangan kamu cari-cari jalan untuk menceraikan mereka, karena
sesungguhnya Allah Maha Tinggi dan Maha Besar. Dan jika kamu merasa kawatir
akan terjadinya percekcokan antara mereka berdua, maka utuslah hakim dari
keluarga laki-laki dan seorang hakim lagi dari keluarga perempuan. Apabila
mereka berdua menghendaki islah, maka Allah akan memberi taufik antara
keduanya; sesungguhnya Allah Maha Tinggi dan Maha Mengetahui." (an-Nisa': 34-35)
Cerai
Di sini,
yakni sesudah tidak mampunyai lagi seluruh usaha dan cara, maka di saat itu
seorang suami diperkenankan memasuki jalan terakhir yang dibenarkan oleh Islam,
sebagai satu usaha memenuhi panggilan kenyataan dan menyambut panggilan darurat
serta jalan untuk memecahkan problema yang tidak dapat diatasi kecuali dengan
berpisah. Cara ini disebut thalaq.
Islam,
sekalipun memperkenankan memasuki cara ini, tetapi membencinya, tidak
menyunnatkan dan tidak menganggap satu hal yang baik. Bahkan Nabi sendiri
mengatakan:
"Perbuatan
halal yang teramat dibenci Allah, ialah talaq." (Riwayat Abu Daud)
"Tidak
ada sesuatu yang Allah halalkan, tetapi Ia sangat membencinya, melainkan
talaq." (Riwayat Abu Daud)
Perkataan
halal tapi dibenci oleh Allah memberikan suatu pengertian, bahwa talaq itu
suatu rukhshah yang diadakan semata-mata karena darurat, yaitu ketika
memburuknya pergaulan dan menghajatkan perpisahan antara suami-isteri. Tetapi
dengan suatu syarat: kedua belah pihak harus mematuhi ketentuan-ketentuan Allah
dan hukum-hukum perkawinan.
Dalam
satu pepatah dikatakan: "kalau tidak ada kecocokan, ya perpisahan."
Tetapi firman Allah mengatakan:
"Dan
jika (terpaksa) kedua suami-isteri itu berpisah, maka Allah akan memberi
kekayaan kepada masing-masing pihak dari anugerah-Nya." (an-Nisa': 130)
Talaq Sebelum Islam
Bukan
Islam saja satu-satunya agama yang membenarkan adanya talaq, bahkan sebelum
Islam, talaq sudah merata di dunia, apabila kita mau kecualikan satu ummat atau
dua ummat, yaitu: apabila seorang suami sedang marah kepada isterinya, maka
isterinya itu diusir dari rumah dengan tangan hampa, atau tidak ada kekuasaan
sedikitpun. Si perempuan tidak ada wewenang untuk membela diri, mendapat ganti
atau hak-hak lain.
Dan
ketika bangsa Yunani mulai bangkit dan kebudayaan mulai menanjak, maka
persoalan talaq telah merata di kalangan masyarakat, tanpa suatu ikatan dan
persyaratan.
Talaq bagi
orang-orang Romawi dinilai dari eksistensi perkawinan itu sendiri. Sehingga
para hakim pun dapat membatalkan perkawinan, walaupun kedua belah pihak telah
berjanji tidak akan bercerai. Padahal perkawinan secara keagamaan menurut
generasi pertama tidak membenarkan adanya talaq. Tetapi pada waktu itu juga
seorang suami diberinya kekuasaan penuh, tanpa batas (absolut) terhadap
isterinya. Sehingga dalam beberapa hal dia dibenarkan membunuh isterinya.
Kemudian agama mereka ini mencabut hak tersebut dan membenarkan adanya talaq
yang juga dibenarkan oleh undang-undang sipil yang berlaku.
Talaq dalam Pandangan Agama Yahudi
Agama
Yahudi menganggap baik persoalan talaq dengan menitik-beratkan peninjauannya
kepada keadaan isteri. Tetapi perkenan itu diperluas. Seorang suami oleh syara'
diharuskan mencerai isterinya kalau ternyata si isteri berbuat fasik, sekalipun
suami telah memaafkannya.
Undang-undang
pun memaksa kepada suami untuk mencerai isterinya kalau perkawinan itu berjalan
20 tahun, tetapi ternyata tidak menghasilkan anak.21
Talaq dalam Pandangan Agama Kristen
Kristen
adalah agama yang menyimpang dari agama-agama yang kami tuturkan di atas,
bahkan bertentangan dengan agama Yahudi itu sendiri. Injil melalui lidah
al-Masih mengharamkan talaq dan mengharamkan mengawini laki-laki atau perempuan
yang ditalaq.
Injil
karangan Matius fasal 5 ayat 31 dan 32 mengatakan: "Barangsiapa mencerai
bininya, hendaklah ia memberi surat
talaq kepadanya. Tetapi aku ini berkata kepadamu: barangsiapa mencerai bininya
lain daripada sebab berzina, ialah menjadi pohon yang sebab perempuan itu
berzina; dan barangsiapa berbinikan perempuan yang diceraikan demikian itu, ia
pun berzina."
Dan
dalam Injil karangan Markus, fasal 10 ayat 11 dan 12 dikatakan:
"Barangsiapa menceraikan bininya, lalu berbinikan orang lain, ialah
berbuat zina terhadap bininya yang dahulu itu. Dan jikalau seorang perempuan
menceraikan lakinya, lalu berlakikan orang lain, ia pun berbuat zina."
Injil
memberikan alasan haramnya talaq yang demikian keras itu karena: "sesuatu
yang telah dijodohkan oleh Allah jangan diceraikan oleh manusia." (Matius 19: 6).
Alasan
ini maksudnya baik. Tetapi menjadikan alasan tersebut untuk melarang perceraian
adalah suatu hal yang sangat ganjil. Sebab maksud Allah menjodohkan antara
suami-isteri itu pengertiannya, bahwa Ia memberi izin dan mengatur jalannya
perkawinan. Oleh karena itu benar kalau menisbatkan penjodohan kepada Allah,
sekalipun pada hakikatnya manusialah yang langsung mengadakan aqad.
Jika
Allah membenarkan dan mengatur perceraian karena sebab dan alasan yang
mengharuskan, maka perceraian waktu itu artinya dari Allah juga, sekalipun pada
hakikatnya manusia itu sendiri yang secara langsung melakukan perceraian.
Dengan
demikian, jelas bukan manusia itu sendiri yang menceraikan apa yang telah dijodohkan
Allah. Bahkan baik yang menjodohkan maupun yang menceraikan adalah Allah.
Bukankah Allah jua yang menceraikan antara suami-isteri lantaran sebab
berzina?! Mengapa Allah tidak boleh menceraikan suami-isteri lantaran sebab
lain yang mengharuskan cerai?!
Pertentangan Sekte Kristen dalam Persoalan Talaq
Sekalipun
Injil mengecualikan larangan talaq selain karena zina, akan tetapi pengikut
sekte Katholik menafsirkan pengecualian ini sebagai berikut: "Di sini
tidak dapat diartikan, bahwa prinsip ini ada beberapa keganjilan, atau ada
sebab-sebab yang membenarkan perceraian. Dalam Kristen sedikitpun tidak ada apa
yang disebut talaq. Perkataan selain karena sebab zina, di sini maksudnya
adalah perkawinan itu sendiri yang tidak sah, sebab diadakan dan disahkannya
perkawinan itu bukan karena yang tampak saja. Jadi zina bukan suatu
pengecualian. Maka dalam situasi seperti ini seorang laki-laki dibenarkan,
bahkan diharuskan meninggalkan isterinya."22
Pengikut
sekte Protestan membolehkan perceraian dalam beberapa hal yang antara lain:
karena isteri berbuat zina, isteri berkhianat kepada suami dan beberapa hal
lagi yang kesemuanya itu menambah-nambah nas Injil. Akan tetapi kendati mereka
membolehkan talaq karena ini dan itu, namun mereka tetap tidak membenarkan
suami-isteri yang sudah bercerai itu untuk menikmati hidup dengan
bersuamikan/beristerikan orang lain.
Adapun
pengikut sekte Ortodoks, perguruan-perguruan mereka yang ekstrim di Mesir
membolehkan talaq apabila seorang isteri melakukan zina, persis seperti apa
yang termaktub dalam Injil. Di samping itu mereka juga membenarkan adanya talaq
karena sebab-sebab lain, seperti: karena mandul selama tiga tahun, karena
sakit, karena pertentangan yang berkepanjangan yang tidak dapat diharapkan
kedamaiannya.
Sebab-sebab
ini semua tidak terdapat dalam Injil. Oleh karena itu pengikut-pengikut setia
dari sekte ini tidak mengakui alasan tersebut yang memberi perkenan orang
belakangan mencerai isterinya karena sebab-sebab ini. Begitu juga mereka tidak
mengakui kebenaran bolehnya mengawini laki-laki atau perempuan yang sudah
bercerai dengan alasan apapun.
Dengan
dasar inilah, salah satu mahkamah Kristen di Mesir pernah menolak pengaduan
seorang perempuan Kristen yang minta diceraikan dengan suaminya berhubung
suaminya tidak mampu. Dalam keputusannya itu mahkamah berpendapat:
"Sungguh sangat mengherankan sementara aktivis agama dari kepala-kepala
gereja dan anggota majlis agama tinggi telah berani mengikuti perkembangan
zaman, sehingga mereka mau memenuhi selera orang-orang yang lemah iman dan membolehkan
cerai, justru sebab yang tidak bersandar pada Injil. Padahal syariat Kristen
dengan tegas tidak membolehkan cerai, kecuali karena sebab zina, dengan
konsekwensi bahwa mengawini salah seorang yang telah bercerai itu berkawin
kotor, bahkan dia itu sendiri dihukumi berzina."23
Effek Pengekangan Agama Kristen dalam Persoalan Talaq
Dari
effek pengekangan yang sangat ganjil dari agama Kristen dalam persoalan talaq
dan bertentangan dengan naluri manusia serta faktor vital yang mengharuskan
seseorang bercerai dengan isterinya karena beberapa hal, maka --sebagai akfibat
dari itu semua-- para pengikut agama ini berani melanggar agamanya dan
melepaskan diri dari tuntunan Injil, bagaikan anak panah terlepas dari
busurnya. Akhirnya mereka tidak dapat berbuat lain selain harus memisahkan apa
yang oleh Allah telah dijodohkannya itu.
Orang-orang
Barat yang beragama Kristen sendiri kemudian membuat undang-undang sipil yang
membolehkan keluar dari penjara abadi ini. Dan di balik itu tidak sedikit dari
kalangan mereka, seperti bangsa Amerika, yang berlebih-lebihan dan melepaskan
kendali dalam persoalan dibolehkannya bercerai, yang seolah-olah mereka itu
satu kesatuan dengan Injil. Oleh karena itu, mereka menjatuhkan Injil tersebut
justru kurangnya pengertian; dan para cerdik-pandainya mengadukan situasi yang
krisis ini yang menimpa ikatan perkawinan dan yang mengancam kehidupan
berumahtangga serta tata-tertib keluarga, sehingga sementara hakim urusan talaq
menegaskan: bahwa kehidupan rumahtangga (perkawinan) akan musnah di negeri
mereka dan akan diganti dengan suatu kebebasan perhubungan antara laki-laki dan
perempuan pada waktu yang tidak terlalu lama. Sekarang ini perkawinan
dianggapnya sebagai barang perdagangan yang dihancurkan sendiri oleh dua
pasangan suami-isteri, karena kelemahan sendi-sendinya yang sama sekali berbeda
dengan agama-agama lain, lebih-lebih tidak adanya keyakinan dan kecintaan yang
mengikat antara dua pasangan suami-isteri itu. Tetapi syahwat dan
berganti-ganti pasangan adalah jalan-jalan untuk memuaskan nafsu dan mencapai hidup
senang.
22. Penjelasan dari ahli agama di sekolah Katholik
di Mesir.
23. Harian al-Ahram' tgl. 1-3-1956 .
Post a Comment