Bagian Mu'amalah (Hubungan Pekerjaan)
Bagian Mu'amalah (Hubungan Pekerjaan)
ALLAH menciptakan manusia dengan suatu sifat saling membutuhkan antara satu
dengan lainnya. Tidak ada seorangpun yang dapat menguasai seluruh apa yang
diinginkan. Tetapi manusia hanya dapat mencapai sebagian yang dihajatkan itu.
Dia mesti memerlukan apa yang menjadi kebutuhan orang lain.
Untuk itu Allah memberikan inspirasi (ilham) kepada mereka untuk mengadakan
pertukaran perdagangan dan semua yang kiranya bermanfaat dengan cara jual-beli
dan semua cara perhubungan. Sehingga hidup manusia dapat berdiri dengan lurus dan irama hidup ini
berjalan dengan baik dan produktif.
Nabi Muhammad s.a.w.
diutus, sedang waktu itu bangsa Arab memiliki aneka macam perdagangan dan
pertukaran. Oleh karena itu sebagian yang mereka lakukan dibenarkan oleh Nabi,
sepanjang tidak bertentangan dengan syariat yang dibawanya. Sedang sebagiannya
dilarang yang kiranya tidak sesuai dengan tujuan dan jiwa syariat.
Larangan ini berkisar
dalam beberapa sebab, di antaranya:
1. Karena
ada usaha untuk membantu perbuatan maksiat.
2.
Karena
ada unsur-unsur penipuan.
3. Karena
ada unsur-unsur pemaksaan.
4. Karena
adanya perbuatan zalim oleh salah satu pihak yang sedang mengadakan perjanjian,
dan sebagainya.
1 Menjual Sesuatu yang Haram, Hukumnya Haram
Apapun kebiasaan yang
berlaku, jika membawa kepada perbuatan maksiat adalah dilarang oleh Islam. Atau
kalau ada sesuatu yang bermanfaat bagi ummat manusia, tetapi dia itu satu macam
daripada kemaksiatan, maka membeli ataupun memperdagangkan hukumnya haram
misalnya: babi, arak, makanan dan minuman yang diharamkan secara umum, patung,
salib, lukisan dan sebagainya. Karena memperdagangkan barang-barang tersebut
dapat menimbulkan perbuatan-perbuatan maksiat, dapat membawa orang berbuat
maksiat atau mempermudah dan mendekatkan manusia untuk menjalankan maksiat.
Sedang dengan diharamkannya memperdagangkan hal-hal tersebut dapat melambankan
perbuatan maksiat dan dapat mematikan orang untuk ingat kepada kemaksiatan
serta menjauhkan manusia dari perbuatan maksiat.
Untuk itu, maka
Rasulullah s.a.w. bersabda sebagai berikut:
"Sesungguhnya
Allah dan RasulNya telah mengharamkan memperdagangkan arak, bangkai, babi dan
patung." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
"Sesungguhnya
Allah apabila mengharamkan sesuatu, maka Ia haramkan juga harganya."
(Riwayat Ahmad dan Abu Daud)
2 Menjual Barang yang Masih Samar, Terlarang
Setiap aqad perdagangan
ada lubang yang membawa pertentangan, apabila barang yang dijual itu tidak
diketahui atau karena ada unsur penipuan yang dapat menimbulkan pertentangan
antara si penjual dan pembeli atau karena salah satu ada yang menipu. Justru
itu cara ini dilarang oleh Rasulullah s.a.w, sebagai usaha menutup pintu
perbuatan maksiat (saddud dzara'ik).
Justru itu pula,
dilaranglah menjual bibit binatang yang masih ada di dalam tulang rusuk
binatang jantan, atau menjual anak yang masih dalam kandungan, atau menjual
burung yang terbang di udara, atau menjual ikan yang masih dalam air dan semua
macam jual-beli yang terdapat unsur-unsur penipuan.2
Ini semua justru karena
tidak diketahuinya secara pasti benda yang dijualnya itu.
Di zaman Nabi pernah
terjadi beberapa orang menjual buah-buahan yang masih di pohon dan belum nampak
tua. Sesudah aqad, terjadilah suatu musibah yang tidak diduga-duga, maka
rusaklah buah-buahan tersebut. Akhirnya terjadilah pertentangan antara si
penjual dan si pembeli, Si penjual mengatakan: saya sudah menjualnya dan sudah
ada persetujuan. Sedang si pembeli mengatakan: kamu menjual kepadaku
buah-buahan tetapi nyatanya kini buah itu tidak ada, Waktu itulah Nabi kemudian
melarang menjual buah-buahan sehingga jelas sudah masak/tua,3 kecuali dengan syarat buah-buahan tersebut dipetik seketika itu
juga.
Beliau melarang juga
menjual biji-bijian yang masih dalam tangkai, kecuali apabila sudah nampak
memutih dan selamat dari musibah.4 Kemudian
beliau bersabda:
"Apakah kamu
beranggapan kalau Allah sudah melarang buah-buahan, kemudian salah seorang di
antara kamu menganggap halal untuk makan harta saudaranya?" (Riwayat
Bukhari)
Tidak semua yang masih
samar itu terlarang. Sebab sebagian barang ada yang tidak dapat dilepaskan dari
kesamaran. Misalnya orang yang akan membeli sebuah rumah, tidak mungkin dia
dapat mengetahui fondasi dan apa yang ada di dalam temboknya itu. Tetapi yang
dilarang ialah kesamaran yang ada unsur-unsur kejahatan yang memungkinkan dapat
membawa kepada permusuhan dan pertentangan atau memakan harta orang lain dengan
cara batil.
Kalau kesamaran itu
tidak seberapa, dan dasarnya ialah urfiyah, maka tidaklah haram, misalnya
menjual barang-barang yang berada di dalam tanah, seperti wortel, lobak, brambang dan sebagainya; dan seperti menjual
buah-buahan, misalnya mentimun, semangka dan sebagainya.
Begitulah menurut
madzhab Malik, yang membolehkan menjual semua yang sangat dibutuhkan yang
kiranya kesamarannya itu tidak banyak dan memberatkan di waktu terjadinya aqad.5
3 Mempermainkan Harga
Islam memberikan
kebebasan pasar, dan menyerahkannya kepada hukum naluri yang kiranya dapat
melaksanakan fungsinya selaras dengan penawaran dan permintaan. Justru itu kita
lihat Rasulullah s.a.w. ketika sedang naiknya harga, beliau diminta oleh orang
banyak supaya menentukan harga, maka jawab Rasulullah s.a.w.:
"Allahlah yang
menentukan harga, yang mencabut, yang meluaskan dan yang memberi rezeki. Saya
mengharap ingin bertemu Allah sedang tidak ada seorang pun di antara kamu yang
meminta saya supaya berbuat zalim baik terhadap darah maupun harta benda."
(Riwayat Ahmad, Abu Daud, Tarmizi, Ibnu Majah, ad-Darimi dan Abu Ya'la)
Rasulullah s.a.w.
menegaskan dalam hadis tersebut, bahwa ikut campur dalam masalah pribadi orang
lain tanpa suatu kepentingan yang mengharuskan, berarti suatu perbuatan zalim,
di mana beliau ingin bertemu Allah dalam keadaan bersih samasekali dari
pengaruh-pengaruh zalim itu.
Akan tetapi jika
keadaan pasar itu tidak normal, misalnya ada penimbunan oleh sementara
pedagang, dan adanya permainan harga oleh para pedagang, maka waktu itu
kepentingan umum harus didahulukan daripada kepentingan perorangan. Dalam
situasi demikian kita dibolehkan menetapkan harga demi memenuhi kepentingan
masyarakat dan demi menjaga dari perbuatan kesewenang-wenangan dan demi
mengurangi keserakahan mereka itu. Begitulah menurut ketetapan prinsip hukum.
Dengan demikian, apa
yang dimaksud oleh hadis di atas, bukan berarti mutlak dilarang menetapkan
harga, sekalipun dengan maksud demi menghilangkan bahaya dan menghalang setiap
perbuatan zalim. Bahkan menurut pendapat para ahli, bahwa menetapkan harga itu
ada yang bersifat zalim dan terlarang, dan ada pula yang bijaksana dan halal.
Oleh karenanya, jika
penetapan harga itu mengandung unsur-unsur kezaliman dan pemaksaan yang tidak
betul; yaitu dengan menetapkan suatu harga yang tidak dapat diterima, atau
melarang sesuatu yang oleh Allah dibenarkan, maka jelas penetapan harga semacam
itu hukumnya haram.
Tetapi jika penetapan
harga itu penuh dengan keadilan, misalnya dipaksanya mereka untuk menunaikan
kewajiban membayar harga mitsil dan melarang mereka menambah dari harga mitsil,
maka hal ini dipandang halal, bahkan hukumnya waiib.
Dalam bagian pertama,
masuk apa yang disebut oleh hadis di atas. Jadi kalau orang-orang menjual
barang dagangannya menurut cara yang lazim tanpa ada sikap-sikap zalim dari
mereka, kemudian harga naik, mungkin karena sedikitnya barang atau karena
banyaknya orang yang membutuhkan, sesuai dengan hukum penawaran dan permintaan,
maka naiknya harga semacam itu kita serahkan kepada Allah. Tetapi kalau
orang-orang dipaksa menjual barangnya dengan harga tertentu, ini namanya suatu
pemaksaan yang tidak dapat dibenarkan.
Adapun dalam bagian
kedua, yaitu misalnya si penjual tidak mau menjual barangnya, padahal sangat
dibutuhkan orang banyak, melainkan dengan tambahan harga yang ditentukan, maka
di sinilah timbulnya suatu keharusan memaksa mereka untuk menjual barangnya itu
dengan harga mitsil.6
Pengertian menetapkan
harga dalam hal ini hanyalah suatu pemaksaan untuk menjualnya dengan harga
mitsil, dan suatu penetapan dengan cara yang adil sebagai memenuhi perintah
Allah.7
4 Penimbun Dilaknat
Sekalipun Islam
memberikan kebebasan kepada setiap orang dalam menjual, membeli dan yang
menjadi keinginan hatinya, tetapi Islam menentang dengan keras sifat ananiyah
(egois) yang mendorong sementara orang dan ketamakan pribadi untuk menumpuk
kekayaan atas biaya orang lain dan memperkaya pribadi, kendati dari bahan baku yang menjadi
kebutuhan rakyat.
Untuk itu Rasulullah
s.a.w. melarang menimbun dengan ungkapan yang sangat keras.
Sabda Rasul:
"Barangsiapa
menimbun bahan makanan selama empat puluh malam, maka sungguh Allah tidak lagi
perlu kepadanya." (Riwayat Ahmad, Hakim, Ibnu Abu Syaibah dan Bazzar)
Dan sabdanya pula:
"Tidak akan
menimbun kecuali orang berbuat dosa." (Riwayat Muslim)
Perkataan khathiun
(orang yang berbuat dosa) bukan kata yang ringan. Perkataan ini yang dibawakan
oleh al-Quran untuk mensifati orang-orang yang sombong dan angkuh, seperti
Fir'aun, Haaman dan konco-konconya. Al-Quran itu mengatakan:
"Sesungguhnya
Fir'aun dan Haaman dan bala tenteranya, adalah orang-orang yang berbuat
salah/dosa." (al-Qashash: 8)
Rasulullah s.a.w.
menegaskan tentang kepribadian dan ananiyah orang yang suka menimbun itu
sebagai berikut:
"Sejelek-jelek
manusia ialah orang yang suka menimbun; jika dia mendengar harga murah, merasa
kecewa; dan jika mendengar harga naik, merasa gembira." (hadis ini
dibawakan oleh Razin dalam Jami'nya)
Dan sabdanya pula:
"Saudagar itu
diberi rezeki, sedang yang menimbun dilaknat." (Riwayat Ibnu
Majah dan Hakim)
Ini semua bisa terjadi, karena seorang pedagang bisa mengambil keuntungan
dengan dua macam jalan:
1. Dengan
jalan menimbun barang untuk dijual dengan harga yang lebih tinggi, di saat
orang-orang sedang mencari dan tidak mendapatkannya, kemudian datanglah orang
yang sangat membutuhkan dan dia sanggup membayar berapa saja yang diminta,
kendati sangat tinggi dan melewati batas.
2.
Dengan jalan memperdagangkan sesuatu barang, kemudian
dijualnya dengan keuntungan yang sedikit. Kemudian ia membawa dagangan lain
dalam waktu dekat dan dia beroleh keuntungan pula. Kemudian dia berdagang lainnya pula
dan beroleh untung lagi. Begitulah seterusnya.
Mencari keuntungan
dengan jalan kedua ini lebih dapat membawa kemaslahatan dan lebih banyak
mendapatkan barakah serta si pemiliknya sendiri --insya Allah-- akan beroleh
rezeki, sebagaimana spirit yang diberikan oleh Nabi s.a.w.
Di antara hadis-hadis
penting yang berkenaan dengan masalah penimbunan dan permainan harga ini, ialah
hadis yang diriwayatkan oleh Ma'qil bin Yasar salah seorang sahabat Nabi.
Ketika dia sedang menderita sakit keras, didatangi oleh Abdullah bin Ziad
--salah seorang gubernur dinasti Umaiyah-- untuk menjenguknya. Waktu itu
Abdullah bertanya kepada Ma'qil: Hai Ma'qil: Apakah kamu menduga, bahwa aku ini
seorang yang memeras darah haram? Ia menjawab: Tidak. Ia bertanya lagi: Apakah
kamu pernah melihat aku ikut campur dalam masalah harga orang-orang Islam? Ia
menjawab: Saya tidak pernah melihat. Kemudian Ma'qil berkata: Dudukkan aku! Mereka
pun kemudian mendudukkannya, lantas ia berkata: Dengarkanlah, hai Abdullah! Saya
akan menceriterakan kepadamu tentang sesuatu yang pernah saya dengar dari
Rasulullah s.a.w., bukan sekali dua kali.
Saya mendengar
Rasulullah s.a.w. bersabda demikian:
"Barangsiapa ikut
campur tentang harga-harga orang-orang Islam supaya menaikkannya sehingga
mereka keberatan, maka adalah menjadi ketentuan Allah untuk mendudukkan dia itu
pada api yang sangat besar nanti di hari kiamat." Kemudian Abdullah
bertanya: "Engkau benar-benar mendengar hal itu dari Rasulullah
s.a.w.?!" Ma'qil menjawab: "Bukan sekali dua kali." (Riwayat
Ahmad dan Thabarani)
Dari nas-nas hadis
tersebut dan mafhumnya, para ulama beristimbat (menetapkan suatu hukum), bahwa
diharamkannya menimbun adalah dengan dua syarat:
1. Dilakukan
di suatu negara di mana penduduk negara itu akan menderita sebab adanya
penimbunan.
2. Dengan
maksud untuk menatkkan harga sehingga orang-orang merasa payah, supaya dia
beroleh keuntungan yang berlipat-ganda.
5 Mencampuri Kebebasan Pasar dengan Memalsu
Dapat dipersamakan dengan menimbun yang dilarang oleh Rasulullah s.a.w.,
yaitu: seorang kota menjualkan barang milik orang dusun. Bentuknya --sebagai
yang dikatakan oleh para ulama-- adalah sebagai berikut: Ada seorang yang masih
asing di tempat itu membawa barang dagangan yang sangat dibutuhkan orang banyak
untuk dijual menurut harga yang lazim pada waktu itu. Kemudian datanglah
seorang kota (penduduk kota tersebut) dan ia berkata: Serahkanlah barangmu itu
kepada saya, biarkan sementara di sini untuk saya jualkan dengan harga yang
tinggi. Padahal seandainya si orang dusun itu sendiri yang menjualnya, sudah
barang tentu lebih murah dan dapat memberi manfaat pada kedua daerah dan dia
sendiri akan mendapat untung juga.
Bentuk semacam ini, waktu itu sudah biasa terjadi di masyarakat,
sebagaimana yang dikatakan oleh sahabat Anas r.a.:
"Kami dilarang orang kota menjualkan barang orang dusun, sekalipun dia
itu saudara kandungnya sendiri." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian, mereka bisa belajar: bahwa kemaslahatan umum harus lebih
diutamakan dari kepentingan pribadi.
Sabda Nabi:
"Tidak boleh orang kota menjualkan untuk orang dusun; biarkanlah
manusia, Allah akan memberikan rezeki kepada mereka itu masing-masing." (Riwayat
Muslim)
Dari kata-kata Nabi yang singkat biarkanlah manusia, Allah akan memberikan
rezeki kepada mereka itu masing-masing kita dapat membuat satu rumusan sebagai
prinsip yang sangat penting dalam dunia perdagangan, yaitu: kiranya masalah
pasar, harga dan pertukarannya dibiarkan mengikuti selera fitrah dan
faktor-faktor tabi'i, tanpa dicampuri oleh suatu pemalsuan dari sementara
orang.
Ibnu Abbas pernah ditanya tentang maksud orang kota tidak boleh menjualkan
untuk orang dusun, kemudian ia berkata: yaitu orang kota tidak menjadi makelar
untuk orang dusun,
Pengertiannya, kalau orang kota itu menunjukkan harga dan memberi nasehat
serta memberitahukan tentang keadaan pasar, tanpa ada maksud mencari keuntungan
seperti yang biasa dilakukan oleh makelar-makelar itu, maka hal semacam ini
tidaklah berdosa. Karena dia memberi nasehat demi mencari keridhaan Allah.
Sedang nasehat adalah salah satu bagian dari agama, bahkan agama itu sendiri
seluruhnya adalah nasehat. Seperti kata Nabi:
"Agama itu adalah nasehat" (Riwayat Muslim)
Dan dalam hadis yang lain beliau bersabda:
"Apabila salah seorang di antara kamu minta nasehat kepada saudaranya,
maka nasehatilah dia." (Riwayat Ahmad)
Makelar secara umum bermaksud mencari keuntungan, yang kadang-kadang dia
lupa terhadap kepentingan umum.
6 Makelar Itu Sendiri Hukumnya Halal
Makelar untuk orang luar daerah tidak berdosa. Sebab makelar semacam ini
salah satu bentuk penunjuk jalan dan perantara antara penjual dengan pembeli,
dan banyak memperlancar keluarnya barang dan mendatangkan keuntungan antara
kedua belah pihak.
Makelar atau katakanlah perantara dalam perdagangan, di zaman kita ini
sangat penting artinya dibandingkan dengan masa-masa yang telah lalu, karena
terikatnya perhubungan perdagangan antara importer dan produser, antara
pedagang kolektif dan antara pedagang perorangan. Sehingga makelar dalam hal ini
berperanan yang sangat penting sekali.
Tidak ada salahnya
kalau makelar itu mendapatkan upah kontan berupa uang, atau secara prosentase
dari keuntungan atau apa saja yang mereka sepakati bersama.
Al-Bukhari mengatakan
dalam kitab Sahihnya: Bahwa Ibnu Sirin, 'Atha', Ibrahim dan al-Hasan menganggap tidak salah kalau makelar itu
mengambil upah. Dan begitu juga Ibnu
Abbas, ia berkata:
Tidak ada salahnya kalau pedagang itu berkata kepada makelar: 'Juallah bajuku
ini dengan harga sekian. Adapun lebihnya (jika ada untungnya) maka buat kamu.'
Dan Ibnu Sirin juga berkata: Apabila pedagang berkata kepada makelar:
'Jualkanlah barangku ini dengan harga sekian, sedang keuntungannya untuk kamu.'
Atau ia berkata: 'Keuntungannya bagi dua.', maka hal semacam itu dipandang
tidak berdosa. Sebab Rasulullah s.a.w. juga pernah bersabda sebagai berikut:
"Orang Islam itu tergantung pada syarat (perjanjian) mereka
sendiri." (Riwayat
Ahmad, Abu Daud, Hakim dan lain-lain)8
3. Riwayat Bukhari dan Muslim.
4. Riwayat Muslim.
5. Ibnu Taimiyah berkata dalam "Al-Qawaidun
Nuraniyah" sebagai berikut: "prinsip-prinsip Iman Malik dalam masalah
perdagangan lebih baik dari lainnya, sebab ia mengambil dari Said bin Musaiyib,
sebab ia lebih ahli dalam hal perdagangan. (hal. 118); dan hampir sama dengan
Imam Malik ialah Imam Ahmad."
6. Harga yang normal berlaku pada waktu itu
(pent.).
7. Bacalah "Risalah Hisbah" oleh Ibnu
Taimiyah dan "ath-Thuruqui Hakimah" oleh Ibnul Qayim.
8. Bukhari menyebutkan hadis tersebut dalam
ta'liqnya.
Post a Comment