Tathayyur (Merasa Sial)
Tathayyur (Merasa Sial)
Merasa
sial karena sesuatu, tempat, waktu, seseorang dan sebagainya adalah termasuk
ramalan yang sangat laku di pasaran, secara berkelompok atau perorangan.
Di zaman
dahulu pernah juga terjadi demikian, misalnya tentang kaum Nabi Saleh, mereka
ini berkata kepadanya:
"Kami
merasa sial sebab kamu dan orang-orang yang bersamamu." (an-Naml: 47)
Fir'aun
dan kaumnya apabila ditimpa suatu musibah, mereka menganggap kesialannya itu
karena Musa dan orang-orang yang bersamanya.1
Dan
banyak pula orang-orang kafir yang sesat itu kalau mendapat bala' dari Allah,
mereka kemudian berkata kepada para juru da'wah dan Rasul:
"Kami
merasa sial sebab kamu semua." (Yasin:18)
Tetapi
para Rasul itu kemudian menjawab:
"Kesialanmu
itu sebab kamu sendiri." (Yasin: 19)
Yakni
sebab-sebab kesialanmu itu ada pada kamu sendiri, yaitu lantaran kamu kufur,
ingkar dan memusuhi Allah dan RasulNya.
Orang-orang
Arab jahiliah dalam segi ini mempunyai doa yang panjang dan bermacam-macam
kepercayaan. Sehingga datanglah Islam kemudian dihapusnya dan mereka
dikembalikan untuk mengikuti jalan fikiran yang lurus.
Rasulullah
merangkaikan ramalan dan sihir dalam satu susunan, seperti sabdanya:
"Bukan
dari golongan kami siapa yang merasa sial, atau minta diramalkan kesialannya,
atau menenung, atau minta ditenungkan, atau mensihir, atau minta
disihirkan." (Riwayat Thabarani)
Dan
sabdanya pula:
"Membuat
garis di tanah, menganggap sial karena alamat dan melempar kerikil karena ada
suatu kepercayaan, adalah termasuk menyembah selain Allah." (Riwayat Abu
Daud, Nasa'i dan Ibnu Hibban)
Tathayyur,
satu hal yang berdiri tanpa landasan ilmu pengetahuan atau suatu kenyataan yang
benar. Tathayyur, hanya berjalan mengikuti kelemahan dan membenarkan dugaan
yang salah (waham). Kalau tidak demikian, apa artinya seorang yang berakal
percaya mendapat sial karena seseorang, atau karena tempat, karena dengkurnya
suara burung, geraknya mata atau terdengarnya suatu perkataan?!
Apabila
nalurinya manusia itu ada kelemahan, maka akan mengalir pada dirinya suatu
anggapan sial karena sesuatu. Seharusnya dia tidak mau menerima kelemahan ini.
Lebih-lebih apabila dia sudah sampai pada fase bekerja dan pelaksanaan.
Rasulullah
s.a.w. pernah bersabda:
"Ada tiga perkara yang
tidak akan bisa selamat satupun, yaitu: menuduh, tathayyur dan hasud. Oleh
karena itu kalau kamu menuduh jangan kamu nyatakan, dan kalau merasa sial
jangan surut (jangan kamu gagalkan pekerjaanmu), dan kalau kamu hasud, jangan
lanjutkan." (Riwayat Thabarani)
Oleh
karena ketiga perkara ini hanya semata-mata perasaan yang tidak berpengaruh
pada suatu sikap dan perbuatan, maka dimaafkannya oleh Allah.
Dan
diriwayatkan pula dari Ibnu Mas'ud, Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Tathayyur
(merasa sial) adalah syirik." 3 kali.
Dan Ibnu
Mas'ud sendiri berkata: " ...tetapi Allah akan menghilangkannya dengan
tawakkal." (Riwayat Abu Daud dan Tarmizi)
Apa yang
dimaksudkan oleh Ibnu Mas'ud itu, ialah: setiap orang di antara kita ini ada
perasaan-perasaan seperti itu, tetapi perasaan semacam ini akan hilang lenyap
dari hati orang yang selalu tawakkal dan tidak membiarkan perasaannya itu
tinggal dalam hati.
Memerangi Tradisi Jahiliah
Sebagaimana
Islam memberantas pengikut-pengikutnya yang mengikuti kepercayaan-kepercayaan
jahiliah dan ramalannya, karena akan berbahaya pada rasio, pekerti dan tingkahlaku,
maka begitu juga Islam akan memerangi tradisi-tradisi jahiliah yang selalu
menghidup-hidupkan ashabiyah, kecongkakan, kesombongan dan membangga-banggakan
golongan.
Tidak Ada Ashabiyah dalam Islam
Pertama
kali yang diperbuat oleh Islam dalam persoalan ini, yaitu: Islam tidak mengakui
ashabiyah dengan segala macamnya, dan mengharamkan kaum muslimin
menghidup-hidupkan setiap perasaan atau apa saja yang mengajak kepada
ashabiyah.
Rasulullah
sendiri telah mengumandangkan pernyataan, bahwa orang yang berbuat demikian
tidak akan diakui sebagai ummatnya.
Sabda
Nabi:
"Bukan
dari golongan kami siapa saja yang mengajak kepada ashabiyah, bukan pula dari
golongan kami orang yang berperang karena ashabiyah, dan tidak juga termasuk
golongan kami orang yang mati karena ashabiyah." (Riwayat Abu Daud)
Tidak
ada keistimewaan khusus karena warna kulit, karena jenis dan karena tanah air.
Dan tidak halal seorang muslim merasa fanatik (ta'asshub) karena warna kulitnya
melebihi kulit orang lain, karena golongannya melebihi golongan lain dan karena
daerahnya melebihi daerah orang lain.
Dan
tidak halal pula seorang muslim membela golongannya karena ta'asshub baik dalam
kebenaran, kebatilan, keadilan dan kecongkakan.
Wailah
bin al-Asqa' pernah bertanya kepada Rasulullah: "Apakah yang disebut
ashabiyah itu?" Maka jawab Nabi: "Yaitu kamu membela golonganmu pada
kezaliman." (Riwayat Abu Daud)
Dan
Allah telah juga berfirman:
"Hai
orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan sebagai saksi karena
Allah sekalipun terhadap diri-dirimu sendiri, atau terhadap kedua orang tua dan
kerabatmu." (an-Nisa': 135)
"Dan
jangan sampai karena kebencianmu terhadap suatu kaum menyebabkan kamu tidak
berlaku adil." (al-Maidah: 8)
Rasulullah
menterjemahkan mafhum kalimat ini yang sudah sangat popular di kalangan orang
jahiliah dan diartikan menurut lahiriahnya. Maka sabda beliau:
"Tolonglah
saudaramu yang menganiaya ataupun yang dianiaya."
Setelah
Rasulullah menyampaikan terjemahan ini kepada para sahabatnya yang sesudah
lebih dahulu meresapkan iman ke dalam hati mereka, karena apa yang diucapkan
oleh Rasulullah itu ada maksud lain, maka para sahabatnya merasa heran dan
tercengang. Justru itu mereka kemudian bertanya:
"Ya
Rasulullah! Kami bisa saja menolong saudara kami yang dizalimi, tetapi
bagaimana kami harus menolong saudara kami yang berbuat zalim?" Maka jawab
Nabi: "Yaitu kamu tahan dia dari berbuat zalim. Yang demikian itu berarti
suatu pertolongan buat dia." (Riwayat Bukhari)
Dari
sini kita dapat mengetahui, bahwa setiap anjuran di kalangan kaum muslimin
kepada fanatik daerah seperti ajakan untuk fanatik chauvinisme, atau ajakan
untuk fanatik kepada golongan sentris seperti nasionalisme, adalah propaganda
jahiliah yang samasekali tidak diakui oleh Islam, oleh Rasulullah dan oleh al-Quran.
Islam
samasekali tidak mau mengakui setiap loyalitas yang di luar kepercayaan Islam.
Tidak juga mengakui setiap perserikatan yang bukan ukhuwah Islamiah. Dan tidak
pula mengakui setiap ciri yang membedakan manusia, selain ciri iman dan kafir.
Oleh karena itu setiap orang kafir yang menentang Islam adalah musuh orang
Islam kendati dia bertetangga dan salah seorang dari anggota keluarga, bahkan
kendati dia itu saudara kandung sendiri. Sebab Allah telah berfirman:
"Kamu
tidak dapati kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir itu menaruh cinta
kepada orang yang ingkar kepada Allah dan Rasulnya sekalipun mereka yang ingkar
itu ayah-ayah mereka atau anak-anak mereka atau saudara-saudara mereka atau
keluarga mereka." (al-Mujadalah: 22)
Dan
firmanNya pula:
"Hai
orang-orang yang beriman! Janganlah kamu jadikan ayah-ayah kamu dan
saudara-saudara kamu sebagai kekasih (ketua), jika mereka itu lebih suka kufur
daripada beriman." (at-Taubah: 23)
Tidak Boleh Ada Pertentangan Lantaran Nasab dan Warna
Kulit
Imam
Bukhari meriwayatkan, bahwa Abu Dzar dan Bilal al-Habasyi saling bercaci-maki
sampai memuncak kemarahannya. Kemudian Abu Dzar berkata kepada Bilal: Hai
anaknya perempuan hitam! Mendengar ucapan itu, Bilal mengadu kepada Nabi. Maka
kata Nabi kepada Abu Dzar:
"Hai
Abu Dzar, apakah kau caci dia sebab ibunya? Kalau begitu sungguh kamu seorang
yang masih diliputi perasaan jahiliah." (Riwayat Bukhari)
Dari
Abu Dzar, sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah berkata kepadanya: 'Lihatlah,
sesungguhnya engkau tidak lebih baik daripada orang yang berkulit merah dan
tidak pula lebih dari orang yang berkulit hitam, melainkan kamu lebihkan dirimu
dengan taqwalah.' (Riwayat Ahmad)
Dan
sabdanya pula:
''Semua
kamu keturunan Adam, sedang Adam dicipta dari tanah." (Riwayat Bazzar)
Dengan
demikian, Islam mengharamkan setiap muslim berjalan mengikuti perasaan
jahiliah, dalam persoalan menyombongkan diri karena nasab dan keturunan, karena
ayah dan datuk. Seperti apa yang biasa dikatakan oleh satu sama lain: saya anak
si anu, saya keturunan anu, sedang engkau asal dari keturunan anu. Saya
berkulit putih sedang engkau hitam. Saya orang Arab sedang engkau bukan orang
Arab.
Apa
nilai keturunan ini kalau mereka itu semua juga berasal dari satu keturunan?
Misalkan nasab itu mempunyai nilai, tetapi apa kelebihan seseorang atau apa
pula dosanya kalau dia berasal dari keturunan ayah ini dan ayah itu?
Rasulullah
pernah bersabda:
"Sesungguhnya
nasab-nasabmu ini bukan menjadi sebab kamu boleh mencaci kepada seseorang; kamu
semua adalah anak-cucu Adam ... Tidak ada seorangpun yang melebihi orang lain,
melainkan karena agama dan taqwanya ..." (Riwayat Ahmad)
Dan
sabdanya pula:
"Manusia
seluruhnya berasal dari Adam dan Hawa. Sedang Allah tidak menanyaimu tentang
keturunanmu dan nasabmu nanti pada hari kiamat; sesungguhnya semulia-mulia kamu
di hadapan Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu." (Riwayat
Ibnu Jarir)
Rasulullah
s.a.w. telah menumpahkan kemarahannya kepada orang-orang yang menyombongkan
diri lantaran ayah dan datuk-datuknya, dengan ungkapan yang tajam dan
menggetarkan hati. Beliau mengatakan:
"Hendaklah
orang-orang yang menyombongkan ayah-ayahnya yang sudah mati itu mau berhenti.
Mereka yang demikian itu hanyalah bara neraka. Atau mereka itu lebih rendah di
hadapan Allah daripada kumbang yang mengguling-gulingkan tahi dengan hidungnya;
Allah telah menghapuskan kesombongan jahiliah dan kecongkakannya lantaran ayah.
Seseorang ada yang beriman dan bertaqwa, dan ada juga yang durhaka dan celaka;
manusia seluruhnya anak-cucu Adam, sedang Adam dibuat dari tanah."
(Riwayat Abu Daud, Tarmizi dan Baihaqi dengan sanad hasan)
Hadis
ini merupakan satu peringatan kepada orang-orang yang menganggap besar lantaran
nenek-moyangnya dulu adalah keturunan raja-raja dan kaisar. Mereka yang
demikian itu hanyalah bara neraka jahanam, seperti penegasan Rasulullah s.a.w.
di atas.
Dalam
Haji Wada' yang dihadiri oleh beribu-ribu manusia yang ingin mendengarkan
tentang Islam di bulan haram dan di tanah haram, Rasulullah s.a.w. pernah
menyampaikan pidatonya yang dikenal dengan Khuthbatul Wada' (khutbah
perpisahan). Dalam khutbah itu Rasulullah menegaskan beberapa prinsip, yang
bunyinya sebagai berikut:
"Hai
ummat manusia! Sesungguhnya Tuhanmu hanyalah satu. Ingatlah! Tidak ada
kelebihan bagi orang Arab atas orang lain Arab; tidak pula ada kelebihan bagi
orang lain Arab atas orang Arab; tidak juga ada kelebihan orang yang berkulit
merah atas orang kulit hitam; dan tidak pula orang kulit hitam atas orang kulit
merah, melainkan lantaran taqwa, sebab sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu ialah yang paling bertaqwa kepada Allah." (Riwayat Baihaqi)
Meratapi Orang yang Sudah Mati
Di
antara tradisi yang diberantas oleh Islam, yaitu tradisi jahiliah yang
berkenaan dengan masalah kematian, misalnya: meratap, teriak-teriak dan
berlebih-lebihan dalam melahirkan kesusahan dan kedukaan.
Islam
mengajar ummatnya, bahwa mati hanyalah sekedar pindah dari satu tempat ke
tempat lain, bukan musnah samasekali, tidak pula hilang begitu saja. Sedang
duka tidak dapat menghidupkan orang yang sudah mati dan tidak dapat menolak
takdir Allah. Oleh karena itu setiap mu'min harus menerima kematian ini
sebagaimana halnya menerima musibah, yaitu harus sabar dengan mencari keridhaan
Allah serta mengambil suatu pelajaran dengan mengharapkan pertemuan abadi di
akhirat, sambil mengulang-ulang kalimat inna lillahi wainna ilaihi raji'un
(sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan kepadaNyalah kami akan kembali).
Adapun
apa yang diperbuat oleh orang-orang jahiliah, adalah mungkar dan haram yang
tidak diakui oleh Rasulullah s.a.w, sebagaimana sabdanya:
"Tidak
termasuk golongan kami orang yang menampar pipi dan merobek-robek pakaian dan
menyeru dengan seruan jahiliah." (Riwayat Bukhari)
Tidak
halal seorang muslim memakai tanda khusus untuk berkabung atau tidak berhias
atau mengganti pakaian dan gerak yang sudah biasa, demi menampakkan perasaan
duka dan sedih. Kecuali isteri karena ditinggal mati oleh suaminya, dia harus
melakukan berkabung selama empat bulan sepuluh hari, guna memenuhi hak suami
dan demi ikatan suci yang telah menghubungkan antara keduanya. Sehingga dia
tidak menampakkan perhiasan dan tidak menjadi sasaran mata orang-orang yang
hendak meminangnya selama dalam iddah itu. Yang oleh Islam dianggap sebagai
melanjutkan beberapa hak suami dalam perkawinannya yang telah terdahulu dan
sebagai anyaman atas perkawinan yang lalu.
Tetapi
kalau yang mati itu kebetulan bukan suami, misalnya ayah, anak atau saudara,
maka tidak halal seorang perempuan berkabung lebih dari tiga hari.
Zainab
binti Abu Salamah meriwayatkan dari Ummu Habibah isteri Nabi s.a.w. ketika
ayahnya, Abu Sufyan meninggal dunia. Dia juga meriwayatkan dari Zainab binti
Jahsy ketika saudaranya yang laki-laki meninggal dunia. Kedua isteri Nabi ini
tidak memakai uangi-uangian, kemudian ia berkata: "Demi Allah, saya tidak
lagi memerlukan uangi-uangian, namun saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Tidak
halal seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berkabung
karena kematian, lebih dari tiga malam, kecuali atas kematian suami, maka harus
berkabung empat bulan sepuluh hari." (Riwayat Bukhari)
Berkabungnya
isteri karena meninggalnya suami adalah wajib yang samasekali tidak boleh
diabaikannya, sebab ada satu riwayat sebagai berikut:
"Telah
datang seorang perempuan kepada Nabi s.a.w. kemudian ia berkata: sesungguhnya
anak perempuanku ditinggal mati oleh suaminya dan matanya menjadi bengkak
(karena menangis), apakah boleh saya suruh dia memakai celak? Maka jawab
Rasulullah: Tidak! Dua kali atau tiga kali, tiap kali ditanya selalu menjawab
tidak." (Riwayat Bukhari dari Ummu Habibah)
Ini
menunjukkan, haramnya berhias dalam waktu yang telah ditentukan.
Adapun
susah tanpa melewati batas dan menangis tanpa teriak-teriak, termasuk masalah
fitrah (pembawaan). Oleh karena itu tidaklah berdosa.
Diriwayatkan,
bahwa Umar Ibnul-khattab pernah mendengar sementara perempuan menangis karena
kematian Khalid bin al-Walid, kemudian ada sementara orang laki-laki yang
hendak melarangnya, maka kepada si laki-laki tersebut, Umar berkata:
"Biarkanlah dia menangis karena kematian Abu Sulaiman ini (Khalid bin
Walid), selama tangisnya itu tidak menabur-naburkan debu di atas kepalanya dan
tidak teriak-teriak."
Post a Comment