Perkosaan dan Penipuan, Hukumnya Haram
Perkosaan dan Penipuan, Hukumnya Haram
Demi menjaga ketidak
adanya campur tangan orang lain yang bersifat penipuan, maka dilarangnya juga
oleh Rasulullah apa yang dinamakan najasyun (menaikkan harga) yang menurut
penafsiran Ibnu Abbas, yaitu: "Engkau bayar harga barang itu lebih dari
harga biasa, yang timbulnya bukan dari hati kecilmu sendiri, tetapi dengan
tujuan supaya orang lain menirunya." Cara ini banyak digunakan untuk
menipu orang lain.
Kemudian agar pergaulan
kita itu jauh dari sifat-sifat pemerkosaan dan pengelabuhan tentang harga, maka
Rasulullah s.a.w. melarang mencegat barang dagangan sebelum sampai ke pasar.9
Dengan demikian, maka
barang sebagai bahan baku
masyarakat akan mencerminkan harga yang sesuai, selaras dengan penawaran dan
permintaan. Tetapi kadang-kadang si pemilik barang akan tertipu jika dia tidak
mengetahui harga pasar. Justru itu oleh Nabi ditetapkannya penawaran itu
dilakukan setelah barang sampai di pasar.10
Siapa yang Menipu, Bukan dari Golongan Kami
Islam mengharamkan
seluruh macam penipuan, baik dalam masalah jual-beli, maupun dalam seluruh
macam mu'amalah.
Seorang muslim dituntut
untuk berlaku jujur dalam seluruh urusannya, Sebab keikhlasan dalam beragama,
nilainya lebih tinggi daripada seluruh usaha duniawi.
Rasulullah s.a.w.
pernah bersabda:
"Dua orang yang
sedang melakukan jual-beli dibolehkan tawar-menawar selama belum berpisah; jika
mereka itu berlaku jujur dan menjelaskan (ciri dagangannya), maka mereka akan
diberi barakah dalam perdagangannya itu; tetapi jika mereka berdusta dan
menyembunyikan (ciri dagangannya), barakah dagangannya itu akan dihapus."
(Riwayat Bukhari)
Dan beliau bersabda
pula:
"Tidak halal
seseorang menjual suatu perdagangan, melainkan dia harus menjelaskan ciri
perdagangannya itu; dan tidak halal seseorang yang mengetahuinya, melainkan dia
harus menjelaskannya." (Riwayat Hakim dan Baihaqi)
Pada suatu hari
Rasulullah s.a.w. pernah melalui seorang laki-laki yang sedang menjual makanan
(biji-bijian). Beliau sangat mengaguminya, kemudian memasukkan tangannya ke
dalam tempat makanan itu, maka dilihatnya makanan itu tampak basah, maka
bertanyalah beliau: Apa yang diperbuat oleh yang mempunyai makanan ini? Ia
menjawab: Kena hujan. Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Mengapa tidak kamu letakkan yang basah itu di atas, supaya orang lain
mengetahuinya?! Sebab barangsiapa menipu kami, bukanlah dari golongan
kami." (Riwayat Muslim)
Dalam salah satu riwayat dikatakan:
"Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah melalui suatu (tumpukan)
makanan yang oleh pemiliknya dipujinya, kemudian Nabi meletakkan tangannya pada
makanan tersebut, tetapi tiba-tiba makanan tersebut sangat jelek, lantas Nabi
bersabda: 'Juallah makanan ini menurut harga yang pantas dan ini menurut harga
yang pantas; sebab barangsiapa menipu kami, bukanlah dari golongan kami." (Riwayat
Ahmad)
Begitulah yang dikerjakan oleh orang-orang Islam zaman dahulu, dimana
mereka itu menjelaskan cacat barang dagangannya dan samasekali tidak pernah
merahasiakannya. Mereka selalu berbuat jujur dan tidak berdusta, ikhlas dan
tidak menipu.
Ibnu Sirin pernah menjual seekor kambing, kemudian dia berkata kepada si
pembelinya: 'Saya akan menjelaskan kepadamu tentang ciri kambingku ini, yaitu
kakinya cacat.'
Begitu juga al-Hassan bin Shaleh pernah menjual seorang hamba perempuan
(jariyah), kemudian ia berkata kepada si pembelinya: "Dia pernah
mengeluarkan darah dari hidungnya satu kali."
Walaupun hanya sekali, tetapi 'jiwa seorang mu'min merasa tidak enak kalau
tidak menyebutkan cacatnya itu, sekalipun berakibat menurunnya harga.
Banyak Sumpah
Lebih keras lagi haramnya, jika tipuannya itu diperkuat dengan sumpah
palsu. Oleh karena itu Rasulullah melarang keras para saudagar banyak
bersumpah, khususnya sumpah palsu.
Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Sumpah itu menguntungkan perdagangan, tetapi dapat menghapuskan
barakah." (Riwayat Bukhari)
Beliau sangat membenci banyak sumpah dalam perdagangan, karena:
·
Memungkinkan
terjadinya suatu penipuan.
·
Menyebabkan hilangnya perasaan membesarkan asma'
Allah dari hatinya.
Mengurangi Takaran dan Timbangan
Salah satu macam penipuan ialah mengurangi takaran dan timbangan. Al-Quran
menganggap penting persoalan ini sebagai salah satu bagian dari mu'amalah, dan
dijadikan sebagai salah satu dari sepuluh wasiatnya di akhir surat al-An'am,
yaitu:
"Penuhilah takaran dan timbangan dengan jujur, karena Kami tidak
memberi beban kepada seseorang melainkan menurut kemampuannya." (al-An'am: 152)
"Penuhilah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan jujur
dan lurus, yang demikian itu lebih baik dan sebaik-baik kesudahan. (al-Isra': 35)
"Celakalah orang-orang yang mengurangi, apabila mereka itu menakar
kepunyaan orang lain (membeli) mereka memenuhinya, tetapi jika mereka itu
menakarkan orang lain (menjual) atau menimbang untuk orang lain, mereka
mengurangi. Apakah mereka itu tidak yakin, bahwa kelak mereka akan dibangkitkan
dari kubur pada suatu hari yang sangat besar, yaitu suatu hari di mana manusia
akan berdiri menghadap kepada Tuhan seru sekalian alam?!" (al-Muthafifin: 1-6)
Oleh karena itu setiap muslim harus berusaha sekuat tenaga untuk berlaku adil
(jujur), sebab keadilan yang sebenarnya jarang bisa diujudkan. Justru itu
sesudah perintah memenuhi timbangan, al-Quran kemudian berkata:
"Kami tidak memberi beban kepada seseorang, melainkan menurut
kemampuannya."
Al-Quran juga telah mengisahkan kepada kita tentang ceritera suatu kaum
yang curang dalam bidang mu'amalah dan menyimpang dari kejujurannya dalam hal
takaran dan timbangan. Kepunyaan orang lain selalu dikuranginya. Kemudian oleh
Allah dikirimnya seorang Rasul untuk mengembalikan mereka itu kepada kejujuran
dan kebaikan disamping dikembalikannya kepada Tauhid.
Mereka yang dimaksud ialah kaumnya Nabi Syu'aib. Nabi Syu'aib menyeru dan
sekaligus memberikan saksi kepada mereka sebagai berikut:
"Penuhilah takaran dan jangan kamu menjadi orang yang suka mengurangi;
dan timbanglah dengan jujur dan lurus, dan jangan mengurangi hak orang lain dan
jangan kamu berbuat kerusakan di permukaan bumi." (As-Syu'ara': 181-183)
Mu'amalah seperti ini suatu contoh yang harus dilaksanakan oleh setiap
muslim dalam kehidupannya, pergaulannya dan mu'amalahnya. Mereka tidak
diperkenankan menakar dengan dua takaran atau menimbang dengan dua timbangan;
timbangan pribadi dan timbangan untuk umum; timbangan yang menguntungkan diri
dan orang yang disenanginya, dan timbangan untuk orang lain. Kalau untuk
dirinya sendiri dan pengikutnya dia penuhi timbangan, tetapi untuk orang lain
dia kuranginya.
Membeli Barang Rampokan dan Curian sama dengan Perampas dan Pencuri
Di antara bentuk yang
diharamkan Islam sebagai usaha untuk memberantas kriminalitas dan membatasi
keleluasaan pelanggaran oleh si pelanggar, ialah tidak halal seorang muslim
membeli sesuatu yang sudah diketahui, bahwa barang tersebut adalah hasil
rampokan dan curian atau sesuatu yang diambil dari orang lain dengan jalan yang
tidak benar. Sebab kalau dia berbuat demikian, sama dengan membantu perampok,
pencuri dan pelanggar hak untuk merampok, mencuri dan melanggar hukum.
Rasulullah s.a.w.
pernah bersabda sebagai berikut:
"Barangsiapa
membeli barang curian, sedang dia mengetahui bahwa barang tersebut adalah
curian, maka dia bersekutu dalam dosa yang cacat." (Riwayat Baihaqi)
Dosa ini tidak dapat
terhapus karena lamanya barang yang dicuri dan dirampok itu, sebab lamanya
waktu dalam pandangan syariat Islam tidak dapat menjadikan sesuatu yang haram
menjadi halal. Hak pemilik yang asli tidak dapat gugur lantaran berlalunya
waktu. Demikian menurut ketetapan ahli-ahli hukum sipil.
Riba adalah Haram
Islam membenarkan
pengembangan uang dengan jalan perdagangan. Seperti firman Allah:
"Hai orang-orang
yang beriman! Jangan kamu makan harta kamu di antara kamu dengan cara yang
batil, kecuali dengan jalan perdagangan dengan adanya saling kerelaan dari
antara kamu." (an-Nisa': 29)
Islam sangat memuji
orang yang berjalan di permukaan bumi untuk berdagang. Firman Allah:
"Sedang yang lain
berjalan di permukaan bumi untuk mencari anugerah Allah." (al-Muzammil: 20)
Akan tetapi Islam
menutup pintu bagi siapa yang berusaha akan mengembangkan uangnya itu dengan
jalan riba. Maka diharamkannyalah riba itu sedikit maupun banyak, dan mencela
orang-orang Yahudi yang menjalankan riba padahal mereka telah dilarangnya.
Di antara ayat-ayat
yang paling akhir diturunkan ialah firman Allah dalam surat al-Baqarah:
"Hai orang-orang
yang beriman! Takutlah kepada Allah, dan tinggalkanlah apa yang tertinggal
daripada riba jika kamu benar-benar beriman. Apabila kamu tidak mau berbuat
demikian, maka terimalah peperangan dari Allah dan Rasul-Nya, dan jika kamu
sudah bertobat, maka bagi kamu adalah pokok-pokok hartamu, kamu tidak boleh
berbuat zalim juga tidak mau dizalimi." (al-Baqarah:
278-279)
Allah telah
memproklamirkan perang untuk memberantas riba dan orang-orang yang meribakan
harta serta menerangkan betapa bahayanya dalam masyarakat, sebagaimana yang
diterangkan oleh Nabi:
"Apabila riba dan zina sudah merata di suatu daerah, maka mereka telah
menghalalkan dirinya untuk mendapat siksaan Allah." (Riwayat Hakim; dan
yang seperti itu diriwayatkan juga oleh Abu Ya'la dengan sanad yang baik)
Dalam hal ini Islam bukan membuat cara baru dalam agama-agama samawi
lainnya. Dalam agama Yahudi, di Perjanjian Lama terdapat ayat yang berbunyi:
"Jikalau kamu memberi pinjam uang kepada ummatku, yaitu baginya sebagai
penagih hutang yang keras dan jangan ambil bunga daripadanya." (Keluaran 22:25).
Dalam agama Kristen pun terdapat demikian. Misalnya dalam Injil Lukas
dikatakan: "Tetapi hendaklah kamu mengasihi seterumu dan berbuat baik dan
memberi pinjam dengan tiada berharap akan menerima balik, maka berpahala
besarlah kamu..." (Lukas 6: 35).
Sayang sekali tangan-tangan usil telah sampai pada Perjanjian Lama,
sehingga mereka menjadikan kata Saudaramu --yang dalam terjemahan di atas
diartikan Hambaku pent.-- dikhususkan buat orang-orang Yahudi, sebagaimana
diperjelas dalam fasal Ulangan 23:20
"Maka daripada orang lain bangsa boleh kamu mengambil bunga, tetapi
daripada saudaramu tak boleh kamu mengambil dia ..."
10.Riwayat Muslim
Post a Comment