Hikmah Diharamkannya Riba
Hikmah Diharamkannya Riba
Islam dalam memperkeras
persoalan haramnya riba, semata-mata demi melindungi kemaslahatan manusia, baik
dari segi akhlaknya, masyarakatnya maupun perekonomiannya.
Kiranya cukup untuk
mengetahui hikmahnya seperti apa yang dikemukakan oleh Imam ar-Razi dalam
tafsirnya sebagai berikut:
1. Riba adalah suatu perbuatan mengambil harta kawannya tanpa ganti. Sebab
orang yang meminjamkan uang 1 dirham dengan 2 dirham, misalnya, maka dia dapat
tambahan satu dirham tanpa imbalan ganti. Sedang harta orang lain itu merupakan standard hidup dan
mempunyai kehormatan yang sangat besar, seperti apa yang disebut dalam hadis
Nabi:
Oleh karena itu mengambil harta kawannya tanpa ganti, sudah pasti haramnya.
2. Bergantung kepada riba dapat menghalangi manusia dari kesibukan bekerja.
Sebab kalau si pemilik uang yakin, bahwa dengan melalui riba dia akan beroleh
tambahan uang, baik kontan ataupun berjangka, maka dia akan mengentengkan
persoalan mencari penghidupan, sehingga hampir-hampir dia tidak mau menanggung
beratnya usaha, dagang dan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Sedang hal semacam
itu akan berakibat terputusnya bahan keperluan n-tasyarakat. Iran satu hal yang
tidak dapat disangkal lagi, bahwa kemaslahatan dunia seratus persen ditentukan
oleh jalannya perdagangan, pekerjaan, perusahaan dan pembangunan.
(Tidak diragukan lagi, bahwa hikmah ini pasti dapat diterima, dipandang
dari segi perekonomian).
3. Riba akan menyebabkan terputusnya sikap yang baik (ma'ruf) antara sesama
manusia dalam bidang pinjam-meminjam. Sebab kalau riba itu diharamkan, maka
seseorang akan merasa senang meminjamkan uang satu dirham dan kembalinya satu
dirham juga. Tetapi kalau riba itu dihalalkan, maka sudah pasti kebutuhan orang
akan menganggap berat dengan diambilnya uang satu dirham dengan diharuskannya
mengembalikan dua dirham. Justru itu, maka terputuslah perasaan belas-kasih dan
kebaikan.
(Ini suatu alasan yang dapat diterima, dipandang dari segi ethik).
4. Pada umumnya pemberi piutang adalah orang yang kaya, sedang peminjam
adalah orang yang tidak mampu. Maka pendapat yang membolehkan riba, berarti
memberikan jalan kepada orang kaya untuk mengambil harta orang miskin yang
lemah sebagai tambahan. Sedang
tidak layak berbuat demikian sebagai orang yang memperoleh rahmat Allah.
(Ini ditinjau dari segi sosial).
Ini semua dapat diartikan, bahwa riba terdapat unsur pemerasan terhadap
orang yang lemah demi kepentingan orang kuat (exploitasion de l'home par l'hom)
dengan suatu kesimpulan: yang kaya bertambah kaya, sedang yang miskin tetap
miskin. Hal mana akan mengarah kepada membesarkan satu kelas masyarakat atas
pembiayaan kelas lain, yang memungkinkan akan menimbulkan golongan sakit hati
dan pendengki; dan akan berakibat berkobarnya api terpentangan di antara
anggota masyarakat serta membawa kepada pemberontakan oleh golongan ekstrimis
dan kaum subversi.
Sejarah pun telah mencatat betapa bahayanya riba dan si tukang riba
terhadap politik, hukum dan keamanan nasional dan internasional.
Pemberi Riba dan Penulisnya
Pemakan riba ialah pihak pemberi piutang yang memiliki uang dan meminjamkan
uangnya itu kepada peminjam dengan rente yang lebih dari pokok. Orang yang
semacam ini tidak diragukan lagi akan mendapat laknat Allah, dan laknat seluruh
manusia. Akan tetapi Islam, dalam tradisinya tentang masalah haram, tidak hanya
membatasi dosa itu hanya kepada yang makan riba, bahkan terlibat dalam dosa
orang yang memberikan riba itu, yaitu yang berhutang dan memberinya rente
kepada piutang. Begitu
juga penulis dan dua orang saksinya. Seperti yang dinyatakan dalam hadis Nabi:
"Allah akan melaknat pemakan riba, yang memberi makan, dua orang
saksinya dan jurutulisnya." (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Tarmizi, Nasa'i dan
Ibnu Majah)
Tetapi apabila di situ ada suatu keharusan yang tidak dapat dihindari dan
mengharuskan kepada si peminjam untuk memberinya rente, maka waktu itu dosanya
hanya terkena kepada si pengambil rente saja.
Namun dalam hal ini
diperlukan beberapa syarat:
1. Adanya suatu keadaan dharurat yang
benar-benar, bukan hanya sekedar ingin kesempurnaan kebutuhan. Sedang apa yang
disebut dharurat, yaitu satu hal yang tidak mungkin dapat dihindari, apabila
terhalang, akan membawa kebinasaan. Seperti makanan pokok, pakaian
pelindung dan berobat yang mesti dilakukan.
2. Kemudian
perkenan ini hanya sekedar dapat menutupi kebutuhan, tidak boleh lebih. Maka
barangsiapa yang kiranya cukup dengan $9,- (9 pounds) misalnya, tidak halal
hutang $10,-.
3.
Dari segi lain, dia harus terus berusaha mencari jalan
untuk dapat lolos dari kesulitan ekonominya. Dan rekan-rekan seagamanya pun
harus membantu dia untuk inengatasi problemanya itu. Jika tidak ada jalan lain
kecuali dengan meminjam dengan riba, maka barulah dia boleh melakukan, tetapi
tidak boleh dengan kesengajaan dan melewati batas. Sebab Allah adalah Maha Pengampun dan
Penyayang.
4.
Dia
berbuat begitu, tetapi harus dengan perasaan tidak senang. Begitulah sehingga
Allah memberikan jalan keluar kepadanya.
Rasulullah Selalu Minta Perlindungan pada Allah dari Berhutang
Satu hal yang perlu diketahui oleh setiap muslim tentang hukum agamanya,
yaitu agama menyuruh supaya dia berlaku lurus dan sederhana dalam hidup dan
kehidupannya.
Firman Allah:
"Dan jangan kamu berlebih-lebihan sesungguhnya Allah tidak suka kepada
orang yang berlebih-lebihan." (al-An'am: 141)
"Jangan kamu boros, karena sesungguhnya orang yang boros adalah kawan
syaitan." (al-Isra': 26-27)
Kalau al-Quran menuntut kepada orang-orang mu'min supaya menginfaqkan harta
kekayaannya, maka al-Quran tidak menuntut kepada mereka melainkan supaya
menginfaqkan sebagian harta, bukan semuanya. Sebab siapa yang mendermakan
sebagian hartanya, maka sedikit sekali dia akan berkekurangan,
Dengan kesederhanaan ini maka seorang muslim tidak lagi perlu berhutang,
lebih-lebih Nabi sendiri tidak suka seorang muslim membiasakan berhutang. Sebab
hutang dalam pandangan seorang muslim yang baik, adalah merupakan kesusahan di
malam hari dan suatu penghinaan di siang hari. Justru itu Nabi selalu minta
perlindungan kepada Allah dari berhutang. Doa Nabi itu sebagai berikut:
"Ya Tuhanku! Aku berlindung diri kepadamu dari terlanda hutang dan
dalam kekuasaan orang lain." (RiwayatAbu Daud)
Dan ia bersabda pula:
"Aku berlindung diri kepada Allah dari kekufuran dan hutang. Kemudian
ada seorang laki-laki bertanya: Apakah engkau menyamakan kufur dengan hutang ya
Rasulullah? Ia menjawab: Ya!" (Riwayat Nasa'i dan Hakim)
Dan kebanyakan doa yang dibaca di dalam sembahyangnya ialah:
"Ya Tuhanku! Aku berlindung diri kepadaMu dari berbuat dosa dan
hutang. Kemudian ia ditanya: Mengapa Engkau banyak minta perlindungan dari
hutang ya Rasulullah? Ia menjawab: Karena seseorang kalau berhutang, apabila
berbicara berdusta dan apabila berjanji menyalahi." (Riwayat Bukhari)
Ia menjelaskan, bahwa dalam hutang itu ada suatu bahaya besar terhadap
budipekerti seseorang.
Beliau tidak mau menyembahyangi janazah, apabila diketahui bahwa waktu
meninggalnya itu dia masih mempunyai tanggungan hutang padahal dia tidak dapat
melunasinya, sebagai usaha untuk menakut-nakuti orang lain dari akibat hutang. Sehingga
apabila dia mendapat ghanimah, maka beliau sendiri yang menyelesaikan hutangnya
itu.
Dan sabdanya:
"Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya melainkan
hutang." (Riwayat Muslim)
Berdasar penjelasan ini, maka seorang muslim tidak boleh berhutang kecuali
karena sangat perlu. Dan kalaupun dia terpaksa harus berhutang, samasekali
tidak boleh melepaskan niat untuk membayar. Sebab dalam hadis Rasulullah s.a.w.
disebutkan:
"Barangsiapa hutang uang kepada orang lain dan berniat akan
mengembalikannya, maka Allah akan luluskan niatnya itu; tetapi barangsiapa
mengambilnya dengan Niat akan membinasakan (tidak membayar), maka Allah akan
merusakkan dia." (Riwayat Bukhari)
Kalau seorang muslim tidak dibolehkan hutang tanpa rente, padahal hutang
adalah mubah, kecuali karena dharurat, dan didesak oleh suatu keperluan, maka
bagaimana lagi kalau hutangnya itu bersyarat harus dibayar dengan rente?!
4.2.12.4 Menjual Kredit dengan Menaikkan Harga
Termasuk yang perlu untuk disebutkan di sini, yaitu sebagaimana
diperkenankan seorang muslim membeli secara kontan, maka begitu juga dia
diperkenankan menangguhkan pembayarannya itu sampai pada batas tertentu, sesuai
dengan perjanjian.
Rasulullah s.a.w. sendiri pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan
tempo, untuk nafkah keluarganya. Begitu juga beliau pernah menggadaikan baju
besinya kepada orang Yahudi.12
Sekarang apabila si
penjual itu menaikkan harga karena temponya, sebagaimana yang kini biasa
dilakukan oleh para pedagang yang menjual dengan kredit, maka sementara fuqaha'
ada yang mengharamkannya dengan dasar, bahwa tambahan harga itu justru
berhubung masalah waktu. Kalau begitu sama dengan riba.
Tetapi jumhurul ulama
membolehkan, karena pada asalnya boleh, dan nas yang mengharamkannya tidak ada;
dan tidak bisa dipersamakan dengan riba dari segi manapun. Oleh karena itu
seorang pedagang boleh menaikkan harga menurut yang pantas, selama tidak sampai
kepada batas pemerkosaan dan kezaliman. Kalau sampai terjadi demikian, maka
jelas hukumnya haram.
Imam Syaukani berkata:
"Ulama Syafi'iyah, Hanafiyah, Zaid bin Ali, al-Muayyid billah dan Jumhur
berpendapat boleh berdasar umumnya dalil yang menetapkan boleh. Dan inilah yang
kiranya lebih tepat."13
Salam
Sebalik di atas, yaitu
seorang muslim dibenarkan membayar uang lebih dahulu untuk barang yang akan
diterimanya kemudian.
Cara semacam ini dalam
fiqih Islam disebut salam.
lni salah satu macam
mu'amalah yang waktu itu biasa berlaku di Madinah. Akan tetapi Nabi Muhammad
s.a.w. ikut mencampuri persoalan tersebut dengan memberikan beberapa pedoman
dan persyaratan, untuk disesuaikan dengan tuntunan syariat Islam.
Ibnu Abbas
meriwayatkan: bahwa ketika Rasulullah s.a.w. tiba di Madinah, orang-orang pada
menjalankan pengikat untuk. buah-buahan dalam jangka waktu setahun dan dua
tahun. Kemudain Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Barangsiapa
mencengkerami buah-buahan, maka cengkeramilah dengan suatu takaran tertentu,
dan timbangan tertentu pada batas waktu tertentu." (Riwayat Jam'ah)
Dengan membatas
takaran, timbangan dan jangka waktu ini, maka akan hilanglah pertentangan dan
kesamaran. Tetapi di samping itu mereka juga mengadakan ikatan untuk jenis buah
korma yang masih di pohon, maka dilarangnyalah hal itu oleh Nabi s.a.w. karena
terdapat unsur-unsur kesamaran. Sebab kadang-kadang potion korma itu akan terserang
hama sehingga
tidak bisa berbuah.
Jadi bentuk yang paling
selamat dan aman dalam mu'amalah seperti ini, yaitu tidak bersyarat dengan
jenis kormanya atau jenis gandumnya, tetapi yang penting ialah syarat takaran
dan timbangan.
Tetapi kalau di situ
terdapat unsur-unsur pemerkosaan (exploitation) yang terang-terangan oleh pihak
pemilik kebun, sehingga karena didorong oleh keperluan, terpaksa si pemberi
ikatan harus menerima perjanjian tersebut, maka waktu itu dapat dihukumi haram.
12.Bukhari.
13.N. Authar 5: 153
Post a Comment