Hubungan Antara Orang Tua Dan Anak
Hubungan Antara Orang Tua Dan Anak
1 Islam Memelihara Nasab
Anak
adalah rahasia orang tua dan pemegang keistimewaannya. Waktu orang tua masih
hidup, anak sebagai penenang, dan sewaktu ia pulang ke rahmatullah, anak
sebagai pelanjut dan lambang keabadian.
Anak
mewarisi tanda-tanda kesamaan orang tua, termasuk juga ciri-ciri khas, baik
maupun buruk, tinggi maupun rendah. Dia adalah belahan jantungnya dan potongan
dari hatinya.
Justru
itu Allah mengharamkan zina dan mewajibkan kawin, demi melindungi nasab,
sehingga air tidak tercampur, anak bisa dikenal siapa ayahnya dan ayah pun
dapat dikenal siapa anaknya.
Dengan
perkawinan, seorang isteri menjadi hak milik khusus suami dan dia dilarang
berkhianat kepada suami, atau menyiram tanamannya dengan air orang lain. Oleh
karena itu setiap anak yang dilahirkan dari tempat tidur suami, mutlak menjadi
anak suami itu, tanpa memerlukan pengakuan atau pengumuman dari seorang ayah;
atau pengakuan dari seorang ibu, sebab setiap anak adalah milik yang seranjang.
Begitulah menurut apa yang dikatakan oleh Rasulullah s.a.w.26
2 Ayah Tidak Boleh Mengingkari Nasab Anaknya
Dari
sini seorang suami tidak boleh mengingkari anak yang dilahirkan oleh isterinya
yang seranjang dengan dia dalam perkawinan yang sah. Pengingkaran seorang suami
terhadap nasab anaknya akan membawa bahaya yang besar dan suatu aib yang sangat
jelek, baik terhadap isteri maupun terhadap anaknya itu sendiri. Justru itu
seorang suami tidak boleh mengingkari anaknya karena suatu keraguan, atau
dugaan atau karena ada berita tidak baik yang mendatang.
Adapun
apabila seorang isteri mengkhianati suami dengan beberapa bukti yang dapat
dikumpulkan dan beberapa tanda (qarinah) yang tidak dapat ditolak, maka syariat
Islam tidak membiarkan seorang ayah harus memelihara seorang anak yang menurut
keyakinannya bukan anaknya sendiri; dan memberikan waris kepada anak yang
menurut keyakinannya tidak berhak menerimanya; atau paling tidak anak yang
selalu diragukan identitasnya sepanjang hidup.
Untuk
memecahkan problem ini, Islam membuat jalan ke luar, yang dalam ilmu fiqih
dikenal dengan nama li'an. Maka barangsiapa yakin atau menuduh, bahwa isterinya
telah membasahi ranjangnya dengan air orang lain kemudian si isteri itu
melahirkan seorang anak padahal tidak ada bukti yang tegas, maka waktu itu
suami boleh mengajukan ke pengadilan, kemudian pengadilan mengadakan mula'anah
(sumpah dengan melaknat) antara kedua belah pihak, yang penjelasannya
sebagaimana diterangkan dalam al-Quran:
"Para suami yang menuduh isterinya padahal mereka tidak
mempunyai saksi melainkan dirinya sendiri, maka kesaksian tiap orang dari
mereka ialah empat kali kesaksian dengan nama Allah, bahwa ia termasuk
orang-orang yang benar. Sedang yang kelimanya ialah, bahwa laknat Allah akan
menimpa kepadanya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Dan dihilangkan
dari perempuan itu siksaan (dera) lantaran dia bersaksi empat kali kesaksian
dengan nama Allah, bahwa dia (laki-laki) termasuk orang-orang yang berdusta.
Sedang yang kelimanya: bahwa murka Allah akan menimpa kepadanya (perempuan) jika
dia (laki-laki) itu termasuk orang-orang yang benar." (an-Nur: 6-9)
Sesudah
itu keduanya diceraikan untuk selama-lamanya, dan anaknya ikut kepada ibunya.
3 Mengambil Anak Angkat Hukumnya Haram dalam Islam
Kalau
seorang ayah sudah tidak dibolehkan memungkiri nasab anak yang dilahirkan di
tempat tidurnya, maka begitu juga dia tidak dibenarkan mengambil anak yang
bukan berasal dari keturunannya sendiri.
Orang-orang
Arab di masa jahiliah dan begitu juga bangsa-bangsa lainnya, banyak yang
menisbatkan orang lain dengan nasabnya dengan sesukanya, dengan jalan mengambil
anak angkat.
Seorang
laki-laki boleh memilih anak-anak kecil untuk dijadikan anak, kemudian
diproklamirkan. Maka si anak tersebut menjadi satu dengan anak-anaknya sendiri
dan satu keluarga, sama-sama senang dan sama-sama susah dan mempunyai hak yang
sama.
Mengangkat
seorang anak seperti ini sedikitpun tidak dilarang, kendati si anak yang
diangkat itu jelas jelas mempunyai ayah dan nasabnya pun sudah dikenal.
Islam
datang, sedang masalah pengangkatan anak ini tersebar luas di masyarakat Arab,
sehingga Nabi Muhammad sendiri mengangkat seorang anak, yaitu Zaid bin Haritsah
sejak zaman jahiliah. Zaid waktu itu seorang anak muda yang ditawan sejak kecil
dalam salah satu penyerbuan jahiliah, yang kemudian dibeli oleh Hakim bin Hizam
untuk diberikan bibinya yang bernama Khadijah, dan selanjutnya diberikan oleh
Khadijah kepada Nabi Muhammad s.a.w. sesudah beliau kawin dengan dia.
Setelah
ayah dan pamannya mengetahui tempatnya, kemudian mereka minta kepada Nabi,
tetapi oleh Nabi disuruh memilih. Namun Zaid lebih senang memilih Nabi sebagai
ayah daripada ayah dan pamannya sendiri. Lantas oleh Nabi dimerdekakan dan
diangkatnya sebagai anaknya sendiri dan disaksikan oleh orang banyak.
Sejak
itu Zaid dikenal dengan nama Zaid bin Muhammad, dan dia termasuk pertama kali
bekas hamba yang memeluk Islam.
3.1 Bagaimana Pandangan Islam Terhadap Peraturan Jahiliah Ini?
Islam
berpendapat secara positif, bahwa pengangkatan anak adalah suatu pemalsuan
terhadap realita, suatu pemalsuan yang menjadikan seseorang terasing dari
lingkungan keluarganya. Dia dapat bergaul bebas dengan perempuan keluarga baru
itu dengan dalih sebagai mahram padahal hakikatnya mereka itu samasekali orang
asing. Isteri dari ayah yang memungut bukan ibunya sendiri, begitu juga anak
perempuannya, saudara perempuannya atau bibinya. Dia sendiri sebenarnya orang
asing dari semuanya itu.
Anak
angkat ini dapat menerima waris dan menghalangi keluarga dekat asli yang
mestinya berhak menerima. Oleh karena itu tidak sedikit keluarga yang
sebenarnya merasa dengki terhadap orang baru yang bukan dari kalangan mereka
ini yang merampas hak milik mereka dan menghalang pusaka yang telah menjadi
harapannya.
Kedengkian
ini banyak sekali membangkitkan hal-hal yang tidak baik, dapat menyalakan api
fitnah dan memutus famili dan kekeluargaan.
Justru
itu al-Quran menghapus aturan jahiliah ini dan diharamkan untuk selama-lamanya
serta dihapusnya seluruh pengaruh-pengaruhnya.
Firman
Allah:
"Allah
tidak menjadikan anak-anak angkatmu itu sebagai anak-anakmu sendiri, yang
demikian itu adalah omongan-omonganmu dengan mulut-mulutmu, sedang Allah
berkata dengan benar dan Dialah yang menunjukkan ke jalan yang lurus.
Panggillah mereka (anak-anak) itu dengan bapa-bapa mereka, sebab dia itu lebih
lurus di sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapa-bapa mereka, maka mereka
itu adalah saudaramu seagama dan kawan-kawanmu." (al-Ahzab: 4-5)
Baiklah
kita renungkan ungkapan al-Quran yang bersih ini, yaitu kalimat: "Allah
tidak menjadikan anak-anak angkatmu itu sebagai anak-anakmu sendiri, yang
demikian itu adalah omongan-omonganmu dengan mulut-mulutmu."
Kalimat
ini memberi pengertian, bahwa pengakuan anak angkat itu hanya omongan kosong,
di belakangnya tidak ada realita sedikitpun.
Perkataan
lidah tidak dapat mengganti kenyataan dan tidak dapat mengubah realita, tidak
dapat menjadikan orang luar sebagai kerabat, dan orang asing sebagai pokok
nasab, dan tidak pula anak angkat sebagai anak betul-betul.
Perkataan
mulut tidak dapat mengalirkan darah ke dalam urat dan tidak dapat membentuk
perasaan kebapaan ke dalam hati seseorang, dan tidak pula mengalir dalam kalbu
anak angkat jiwa kehalusan sebagai anak betul; dia tidak dapat mewarisi
keistimewaan-keistimewaan khusus dari ayah angkatnya dan ciri-ciri keluarga,
baik jasmaniah, intelek maupun kejiwaannya.
Islam
telah menghapuskan seluruh pengaruh yang ditimbulkan oleh aturan ini, misalnya
tentang warisan dan dilarangnya kawin dengan bekas isteri anak angkat.
Dalam
masalah warisan, karena tidak ada hubungan darah, perkawinan dan kerabat yang
sebenarnya, maka oleh al-Quran hal itu samasekali tidak bernilai dan tidak
menjadi penyebab mendapat warisan. Bahkan al-Quran mengatakan:
"Keluarga
sebagian mereka lebih berhak terhadap sebagian, menurut kitabullah." (al-Anfal: 75)
Dan
dalam hal perkawinan, al-Quran telah mengumandangkan, bahwa di antara
perempuan-perempuan yang haram dikawin ialah bekas isteri anak betul-betul,
bukan bekas isteri anak angkat.
Firman
Allah:
"Dan
bekas isteri-isteri anakmu yang berasal dari tulang rusukmu sendiri." (an-Nisa': 24)
Oleh
karena itu seseorang dibenarkan kawin dengan bekas isteri anak angkatnya,
karena perempuan tersebut pada hakikatnya adalah bekas isteri orang lain.
Justru itu tidak salah kalau dia mengawininya apabila telah dicerai oleh
suaminya.
3.2 Lembaga Anak Angkat Dihapus dengan praktek, Setelah Dihapusnya dengan Perkataan
Persoalan
ini tidak begitu mudah, sebab masalah anak angkat sudah menjadi aturan
masyarakat dan berakar dalam kehidupan bangsa Arab. Oleh karena itu dalam
kebijaksanaan Allah untuk menghapus dan memusnahkan pengaruh-pengaruh
perlembagaan ini tidak cukup dengan omongan saja, bahkan dihapusnya dengan
omongan dan sekaligus dengan praktek.
Hikmah
kebijaksanaan Allah dalam persoalan ini telah memilih Rasulullah s.a.w. sebagai
pelakunya, untuk menghilangkan setiap keragu-raguan dan demi menolak setiap
keberatan orang mu'min tentang dibolehkannya mengawini bekas isteri anak-anak
angkatnya; dan supaya mereka yakin, bahwa apa yang disebut halal, yaitu semua
yang dihalalkan Allah; dan apa yang disebut haram, yaitu semua yang diharamkan
Allah.
Zaid bin
Haritsah yang kita kenal sebagai Zaid bin Muhammad, telah dikawinkan dengan
Zainab binti Jahsy sepupu Nabi sendiri. Tetapi karena kehidupan mereka berdua selalu
goncang dan Zaid sendiri sudah banyak mengadu kepada Nabi tentang keadaan
isterinya, sedang Nabi sendiri juga mengetahui keinginan Zaid untuk
mencerainya, dan dengan wahyu Allah, Zainab akan dikawin oleh Nabi, tetapi
kelemahan manusia tempoh-tempoh sangat mempengaruhi, maka Nabi takut bertemu
dengn orang banyak. Oleh karena itu dia katakan kepada Zaid: "Tahanlah
isterimu itu dan takutlah kepada Allah!"
Di
sinilah ayat al-Quran kemudian turun untuk menegur sikap Nabi. Dan seketika itu
beliau menyingsingkan lengan bajunya untuk tampil ke tengah-tengah masyarakat,
guna menghapus sisa-sisa aturan kuno dan tradisi yang sudah usang yang
mengharamkan seseorang mengawini bekas isteri anak angkatnya yang pada
hakikatnya dia adalah orang asing itu. Maka berfirmanlah Allah:
"Dan
(ingatlah) ketika engkau berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh
Allah dan engkau juga telah memberi kenikmatan kepadanya (Zaid bin Haritsah):
'tahanlah untukmu isterimu dan takutlah kepada Allah', dan engkau
menyembunyikan dalam hatimu apa yang Allah tampakkan, dan engkau takut manusia,
padahal Allahlah yang lebih berhak engkau takutinya. Maka tatkala Zaid
memutuskan untuk mencerai Zainab, kami (Allah) kawinkan engkau dengan dia,
supaya tidak menjadi beban bagi orang-orang mu'min tentang bolehnya mengawini
bekas isteri anak-anak angkatnya apabila mereka itu telah memutuskan
mencerainya, dan keputusan Allah pasti terlaksana." (al-Ahzab: 37)
Kemudian
al-Quran meneruskan untuk melindungi pribadi Nabi Muhammad s.a.w. dalam
perbuatan ini dan memperkuat perkenannya serta menghilangkan anggapan dosa
karena perbuatannya itu. Maka berkatalah al-Quran:
"Tidak
boleh ada keberatan atas diri Nabi dalam hal yang telah diwajibkan oleh Allah
kepadanya menurut sunnatullah pada orang-orang yang telah lalu sebelumnya,
sebab perintah Allah itu suatu ketentuan yang telah ditentukan, (yaitu)
orang-orang yang menyampaikan suruhan Allah dan mereka takut kepadaNya, dan
tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah; dan kiranya cukuplah Allah
sebagai pengira. Tidaklah Muhammad itu ayah bagi seseorang dari laki-laki kamu,
tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup bagi sekalian Nabi, dan Allah Maha
Mengetahui tiap-tiap sesuatu." (al-Ahzab: 38-40)
3.3 Mengangkat Anak dengan Arti Mendidik dan Memelihara
Begitulah
pengangkatan anak yang dihapus oleh Islam; yaitu seorang menisbatkan anak
kepada dirinya padahal dia tahu, bahwa dia itu anak orang lain. Anak tersebut
dinisbatkan kepada dirinya dan keluarganya, dan baginya berlaku seluruh hukum
misalnya: bebas bergaul, menjadi mahram, haram dikawin dan berhak mendapat
waris.
Di sini
ada semacam pengangkatan anak yang diakui oleh beberapa orang, tetapi pada
hakikatnya bukan pengangkatan anak yang diharamkan oleh Islam. Yaitu seorang
ayah memungut seorang anak kecil yatim atau mendapat di jalan, kemudian
dijadikan sebagai anaknya sendiri baik tentang kasihnya, pemeliharaannya maupun
pendidikannya; diasuh dia, diberinya makan, diberinya pakaian, diajar dan
diajak bergaul seperti anaknya sendiri. Tetapi bedanya, dia tidak menasabkan
pada dirinya dan tidak diperlakukan padanya hukum-hukum anak seperti tersebut
di atas.
Ini
suatu cara yang terpuji dalam pandangan agama Allah, siapa yang mengerjakannya
akan beroleh pahala kelak di sorga. Seperti yang dikatakan sendiri oleh
Rasululfah s.a.w. dalam hadisnya:
"Saya
akan bersama orang yang menanggung anak yatim, seperti ini sambil ia menunjuk
jari telunjuk dan jari tengah dan ia renggangkan antara keduanya. (Riwayat
Bukhari, Abu Daud dan Tarmizi)
Laqith
(anak yangdipungut di jalan) sama dengan anak yatim. Tetapi untuk anak seperti
ini lebih patut dinamakan Ibnu Sabil (anak jalan) yang oleh Islam kita
dianjurkan untuk memeliharanya.
Apabila
seseorang yang memungutnya itu tidak mempunyai keluarga, kemudian dia bermaksud
akan memberikan hartanya itu kepada anak pungutnya tersebut, maka dia dapat
menyalurkan melalui cara hibah sewaktu dia masih hidup, atau dengan jalan
wasiat dalam batas sepertiga pusaka, sebelum meninggal dunia.
Post a Comment