Pencangkokan Sperma (Bayi Tabung)
Pencangkokan Sperma (Bayi Tabung)
Kalau
Islam telah melindungi keturunan, yaitu dengan mengharamkan zina dan
pengangkatan anak, sehingga dengan demikian situasi keluarga selalu bersih dari
anasir-anasir asing, maka untuk itu Islam juga mengharamkan apa yang disebut
pencangkoan sperma (bayi tabung), apabila ternyata pencangkoan itu bukan sperma
suami. Bahkan situasi demikian, seperti kata Syekh Syaltut, suatu perbuatan
zina dalam satu waktu, sebab intinya adalah satu dan hasilnya satu juga, yaitu
meletakkan air laki-laki lain dengan suatu kesengajaan pada ladang yang tidak
ada ikatan perkawinan secara syara' yang dilindungi hukum naluri dan syariat
agama. Andaikata tidak ada pembatasan-pembatasan dalam masalah bentuk
pelanggaran hukum, niscaya pencangkoan ini dapat dihukumi berzina yang oleh
syariat Allah telah diberinya pembatasan; dan kitab-kitab agama akan menurunkan
ayat tentang itu.
Apabila
pencangkoan yang dilakukan itu bukan air suami, maka tidak diragukan lagi
adalah suatu kejahatan yang sangat buruk sekali, dan suatu perbuatan mungkar
yang lebih hebat daripada pengangkatan anak. Sebab anak cangkokan dapat
menghimpun antara pengangkatan anak, yaitu memasukkan unsur asing ke dalam
nasab, dan antara perbuatan jahat yang lain berupa perbuatan zina dalam satu
waktu yang justru ditentang oleh syara' dan undang-undang, dan ditentang pula
oleh kemanusiaan yang tinggi, dan akan meluncur ke derajat binatang yang tidak
berperikemanusiaan dengan adanya ikatan kemasyarakatan yang mulia.27
Menisbatkan Anak Kepada Selain Ayahnya Sendiri Menyebabkan Laknat
Sebagaimana
Islam telah mengharamkan seseorang ayah mengingkari anaknya tanpa suatu alasan
yang dapat dibenarkan, maka begitu juga Islam tidak membenarkan seorang anak
menyandarkan nasabnya kepada orang lain; dan dipanggil bukan dengan panggilan
ayahnya sendiri. Nabi menilai perbuatan tersebut sebagai kemungkaran yang
menyebabkan laknat dari Allah dan manusia.
Hal ini
telah diriwayatkan dari atas mimbar oleh Ali r.a. dari suatu lembaran yang ada
padanya, dari Rasulullah s.a.w., ia bersabda:
"Barangsiapa
mengaku ayah bukan ayahnya sendiri atau membangsakan dirinya kepada keluarga
lain, maka dia akan mendapat laknat Allah, Malaikat dan manusia semuanya,Allah
tidak akan menerima daripadanya nanti di hari kiamat, taubat maupun
tebusan." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dan dari
Saad bin Abu Waqqash dari Rasulullah s.a.w., ia bersabda:
"Barangsiapa
mengaku ayah bukan ayahnya sendiri, sedang dia tahu bahwa dia itu bukan
ayahnya, maka sorga tidak mau menerima dia." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Jangan Membunuh Anak
Sesudah
Islam melindungi masalah nasab dengan cara demikian, kemudian Islam juga
menetapkan untuk anak dan orang tua, masing-masing mempunyai hak, sesuai dengan
kedudukannya sebagai orang tua dan anak. Di samping itu Islam juga mengharamkan
beberapa hal kepada mereka masing-masing, demi melindungi dan menjaga hak-hak
tersebut.
Anak
mempunyai hak hidup. Ayah dan ibu tidak boleh merenggut hidupnya si anak, baik
dengan membunuh ataupun dengan menanam hidup-hidup, sebagaimana yang biasa
dilakukan orang-orang Arab di zaman jahiliah. Ketentuan ini berlaku untuk anak
laki-laki maupun wanita.
Firman
Allah:
"Jangan
kamu membunuh anak-anakmu lantaran takut kelaparan, Kamilah yang akan memberi
rezeki kepada mereka maupun kepadamu; sesungguhnya membunuh mereka suatu dosa
besar." (al-Isra': 31)
"Dan
apabila diperiksa anak perempuan yang ditanam hidup-hidup. Sebab dosa apakah
dia dibunuh?" (at-Takwir: 8-9)
Karena
dorongan untuk berbuat yang mungkar ini ada kalanya soal ekonomi, misainya
karena takut kelaparan dan kemiskinan, atau alasan non-ekonomis, misalnya
kaiena takut tercela kalau si anak itu kebetulan perempuan, maka Islam
mengharamkan perbuatan biadab ini dengan sangat keras sekali. Sebab perbuatan
seperti itu dapat memutuskan kekeluargaan dan menyebabkan permusuhan.
Untuk
masalah ini Rasulullah s.a.w. pernah ditanya: dosa apakah yang teramat besar?
Jawab Nabi: yaitu engkau menyekutukan Allah padahal Dialah yang menjadikan
kamu. Kemudian apa lagi? Maka jawabnya: yaitu engkau bunuh anakmu lantaran kamu
takut dia makan bersamamu. (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Rasulullah
s.a.w. pernah juga membai'at orang-orang perempuan sebagaimana halnya ia
membai'at orang laki-laki; yaitu dengan melarangnya perbuatan jahat tersebut
dan supaya dihentikan.
Bai'at
tersebut berbunyi demikian:
"Hendaknya
mereka (perempuan) tidak menyekutukan Allah sedikitpun dan tidak mencuri dan
tidak berzina dan tidak membunuh anak-anak mereka." (al-Mumtahinah: 12)
Dan di
antara hak anak yang harus ditunaikan oleh ayahnya, ialah memberikan nama yang
baik. Seorang ayah tidak boleh memberi nama anaknya dengan nama yang dapat
mengganggu perasaan anak apabila dia sudah cukup dewasa. Dan diharamkan memberi
nama anaknya dengan Hamba Lain Allah misalnya: Abdun Nabi, (hamba Nabi), Abdul
Masih (hamba Isa al-Masih) dan sebagainya.
Di
samping itu anak juga mempunyai hak perlindungan, pendidikan dan nafkah yang
samasekali tidak boleh diabaikan.
Sabda
Nabi:
"Tiap-tiap
kamu adalah pemimpin, dan tiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban tentang
yang dipimpinnya itu." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
"Cukup
berdosa seseorang yang mengabaikan orang yang menjadi tanggungannya."
(Riwayat Abu Daud, Nasa'i dan Hakim)
"Sesungguhnya
Allah akan minta pertanggungjawaban kepada setiap pemimpin terhadap yang
dipimpinnya, apakah dia itu memperhatikan, ataukah mengabaikan, sampai pun Ia
akan minta pertanggungjawaban kepada seorang laki-laki tentang keluarga
rumahnya." (Riwayat Ibnu Hibban)
Persamaan dalam Pemberian Kepada Anak-anak
Seorang
ayah harus menyamakan antara anak-anaknya dalam pemberian, sehingga dengan
demikian mereka akan berbuat baik kepada ayah dengan lama.
Di
samping itu seorang ayah dilarang mengistimewakan pemberiannya kepada salah
seorang di antara mereka tanpa ada suatu kepentingan yang sangat, sebab yang
demikian itu akan menjengkelkan hati yang lain dan akan mengobarkan api
permusuhan dan kebencian sesama mereka.
Ibu
dalam hal ini sama dengan ayah.
Rasulullah
s.a.w. pernah bersabda sebagai berikut:
"Berlaku
adillah kamu terhadap anak-anakmu." 3 kali. (Riwayat Ahmad, Nasa'i dan Abu
Daud)
Kisah
timbulnya hadis ini adalah sebagai berikut: Isteri Basyir bin Saad al-Ansari
meminta kepada suaminya supaya memberikan harta dengan istimewa kepada anaknya
yang bernama Nu'man --berupa kebun dan hamba-- dan ia bermaksud akan
mengkukuhkan hibah ini dan ia minta kepada Basyir supaya disaksikan oleh Nabi
s.a.w. Kemudian pergilah Basyir kepada Nabi dan berkata:
"Ya
Rasulullah! Anak perempuan si fulan (isteriku) minta kepadaku supaya aku
memberikan hambaku kepada anaknya. Kemudian Nabi bertanya: Apakah dia mempunyai
saudara? Ia menjawab: Ya. Nabi bertanya lagi: Apakah semuanya kamu beri seperti
apa yang kamu berikan kepadanya? Ia menjawab: Tidak! Kemudian Nabi bersabda:
Yang demikian ini tidak baik, dan saya sendiri tidak akan mau menjadi saksi
kecuali pada hal yang baik." (Riwayat Muslim, Ahmad dan Abu Daud)
Dalam
satu riwayat dikatakan oleh Nabi:
"Jangan
kamu jadikan aku untuk menyaksikan sesuatu dosa. Sesungguhnya anakmu mempunyai
hak yang harus kamu tunaikan, yaitu hendaknya kamu berlaku adil di antara
mereka; sebagaimana kamu mempunyai hak yang harus ditunaikan oleh anak-anakmu,
yaitu hendaknya mereka itu berbuat baik kepadamu." (Riwayat Abu Daud)
Dan
dikatakan pula oleh Nabi:
"Takutlah
kepada Allah dan berlaku adillah terhadap anak-anakmu." (Riwayat Bukhari
dan Muslim)
Imam
Ahmad bin Hanbal berpendapat, bahwa melebihkan itu diperbolehkan jika ada
sebab, misalnya si anak sangat membutuhkan karena suatu kesengsaraan dan
sebagainya yang tidak diderita oleh saudara-saudaranya yang lain.28
Menegakkan Hukum Waris dalam Batas Ketentuan Allah
Termasuk
ketentuan seperti tersebut di atas, ialah dalam hal warisan. Seorang ayah tidak
dibenarkan menghalangi warisan untuk sebagian anaknya. Dia tidak dibenarkan
menghalangi waris untuk anak-anaknya yang perempuan atau menghalang waris untuk
anak-isterinya yang tidak berada di sampingnya.
Begitu
juga seorang kerabat tidak boleh menghalangi kerabatnya yang berhak mendapat
waris, dengan suatu policy (siasat) yang dibuat-buat. Sebab masalah warisan
adalah suatu undang-undang yang telah ditetapkan Allah dengan segala
pengetahuannya, keadilannya dan kebijaksanaannya. Ia akan memberikan haknya
masing-masing dan Ia perintahkan kepada segenap manusia untuk melaksanakannya
menurut garis-garis yang telah ditentukan. Oleh karena itu barangsiapa
menyalahi aturan ini, baik dalam pembagiannya maupun batas-Batas ketentuannya,
sama dengan menuduh jahat kepada Allah.
Persoalan
waris ini telah disebutkan Allah dalam tiga ayat; yang pada penutup ayat
pertama Allah berfirman sebagai berikut:
"Ayah-ayah
kamu dan anak-anak kamu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka itu yang
lebih dekat manfaatnya buat kamu. (Yang demikian itu) adalah satu ketentuan
dari Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana." (an-Nisa': 11)
Dan pada
akhir ayat kedua Ia berfirman:
"(Yang
demikian itu) tidak akan menyusahkan (ahli waris). Sebab sudah menjadi satu
ketentuan dari Allah, sedang Allah Maha Mengetahui dan Maha Sabar. Demikian itu
adalah ketentuan-ketentuan Allah. Oleh karena itu barangsiapa taat kepada Allah
dan rasulNya, maka Ia akan memasukkannya ke dalam sorga-sorga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai, mereka akan kekal abadi di dalamnya; dan yang demikian
itu adalah kebagiaan yang sangat besar. Dan barangsiapa durhaka kepada Allah dan
RasulNya serta melanggar ketentuan-ketentuan Allah, maka Ia akan memasukkannya
ke dalam neraka yang kekal abadi di dalamnya, dan dia akan mendapat siksaan
yang sangat hina, " (an-Nisa': 12-14)
Dan di
akhir ayat ketiga Ia berfirman:
"Allah
menjelaskan kepadamu supaya kamu tidak sesat; dan Allah Maha Mengetahui
tiap-tiap sesuatu." (an-Nisa': 176)
Justru
itu, barangsiapa yang menyalahi hukum Allah dalam masalah warisan ini, berarti
dia telah sesat dari jalan yang benar yang telah dijelaskan oleh Allah sendiri,
dan berarti pula dia melanggar ketentuan-ketentuan Allah, Oleh karenanya
tunggulah hukuman Allah, yaitu: Neraka yang dia akan kekal di dalamnya, dan dia
akan beroleh siksaan yang sangat hina.
28. Al-Mughini 5:605.
Post a Comment