Talaq Harus Dijatuhkan Bertahap
Talaq Harus Dijatuhkan Bertahap
Islam
memberikan kepada seorang muslim tiga talaq untuk tiga kali, dengan suatu
syarat tiap kali talaq dijatuhkan pada waktu suci, dan tidak disetubuhinya.
Kemudian ditinggalkannya isterinya itu sehingga habis iddah. Kalau tampak ada
keinginan merujuk sewaktu masih dalan iddah, maka dia boleh merujuknya. Dan
seandainya dia tetap tidak merujuknya sehingga habis iddah, dia masih bisa
untuk kembali kepada isterinya itu dengan aqad baru lagi. Dan kalau dia tidak
lagi berhasrat untuk kembali, maka si perempuan tersebut diperkenankan kawin
dengan orang lain.
Kalau si
laki-laki tersebut kembali kepada isterinya sesudah talaq satu, tetapi
tiba-tiba terjadi suatu peristiwa yang menyebabkan jatuhnya talaq yang kedua,
sedang jalan-jalan untuk menjernihkan cuaca sudah tidak lagi berdaya, maka dia
boleh menjatuhkan talaqnya yang kedua, dengan syarat seperti yang kami sebutkan
di atas; dan dia diperkenankan merujuk tanpa aqad baru (karena masih dalam
iddah) atau dengan aqad baru (karena sesudah habis iddah).
Dan
kalau dia kembali lagi dan dicerai lagi untuk ketiga kalinya, maka ini
merupakan suatu bukti nyata, bahwa perceraian antara keduanya itu harus
dikukuhkan, sebab persesuaian antara keduanya sudah tidak mungkin. Oleh karena
itu dia tidak boleh kembali lagi, dan si perempuan pun sudah tidak lagi halal
buat si laki-laki tersebut, sampai dia kawin dengan orang lain secara syar'i.
Bukan sekedar menghalalkan si perempuan untuk suaminya yang pertama tadi.
Dari
sini kita tahu, bahwa menjatuhkan talaq tiga dengan satu kali ucapan, berarti
menentang Allah dan menyimpang dari tuntunan Islam yang lurus.
Tepatlah
apa yang diriwayatkan, bahwa suatu ketika Rasulullah s.a.w. pernah diberitahu
tentang seorang laki-laki yang mencerai isterinya tiga talaq sekaligus.
Kemudian Rasulullah berdiri dan marah, sambil bersabda:
"Apakah
dia mau mempermainkan kitabullah, sedang saya berada di tengah-tengah kamu?
Sehingga berdirilah seorang laki-laki lain, kemudian dia berkata: Ya
Rasulullah! apakah tidak saya bunuh saja orang itu!" (Riwayat Nasa'i)
Kembali dengan Baik atau Melepas dengan Baik
Kalau
seorang suami mencerai isterinya dan iddahnya sudah hampir habis, maka suami
boleh memilih satu di antara dua:
1.
Mungkin
dia merujuk dengan cara yang baik; yaitu dengan maksud baik dan untuk
memperbaiki, bukan dengan maksud membuat bahaya.
2.
Mungkin
dia akan melepasnya dengan cara yang baik pula; yaitu dibiarkanlah dia sampai
habis iddahnya dan sempurnalah perpisahan antara keduanya itu tanpa suatu
gangguan dan tanpa diabaikannya haknya masing-masing.
Tidak
dihalalkan seorang laki-laki merujuk isterinya sebelum habis iddah dengan
maksud jahat yaitu guna memperpanjang masa iddah; dan supaya bekas isterinya
itu tidak kawin dalam waktu cukup lama. Begitulah apa yang dilakukan oleh
orang-orang jahiliah dulu.
Perbuatan
jahat ini diharamkan Allah dalam kitabNya dengan suatu uslub (gaya bahasa) yang cukup menggetarkan dada dan
mendebarkan jantung. Maka berfirmanlah Allah:
"Apabila
kamu mencerai isterimu, kemudian telah sampai pada batasnya, maka rujuklah
mereka itu dengan baik atau kamu lepas dengan baik pula; jangan kamu rujuk dia
dengan maksud untuk menyusahkan lantaran kamu akan melanggar. Barangsiapa
berbuat demikian, maka sungguh dia telah berbuat zalim pada dinnya sendiri. Dan
jangan kamu jadikan ayat-ayat Allah sebagai permainan; dan ingatlah akan nikmat
Allah yang diberikan kepadamu dan apa yang Allah turunkan kepadamu daripada
kitab dan kebijaksanaan yang dengan itu Dia menasehati kamu. Takutlah kepada
Allah; dan ketahuilah, bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu." (al-Baqarah: 231)
Dengan
memperhatikan ayat ini, maka kita dapati di dalamnya mengandung tujuh butir
yang antara lain berisikan ultimatum, peringatan dan ancaman. Kiranya cukup merupakan
peringatan bagi orang yang berjiwa dan mau mendengarkan.
Tidak Boleh Menghalang-Halangi Perempuan yang Dicerai, Untuk Kawin dengan Laki-Laki Lain
Kalau si
perempuan yang dicerai itu sudah habis iddahnya, maka tidak diperkenankan
suaminya, walinya atau yang lain menghalang-halangi perempuan tersebut kawin
dengan laki-laki lain. Mereka tidak boleh mengaral jalan selama pihak laki-laki
(khathib) dan pihak perempuan (makhthubah) sudah sama-sama senang menurut cara-cara
yang dibenarkan syara' maupun adat.
Apa yang
dilakukan oleh sementara bekas suami untuk berusaha berbagai kemungkinan yang
sifatnya demi melikwidir bekas isterinya, serta memberikan beberapa ultimatum,
baik secara langsung ataupun via keluarganya apabila si perempuan tersebut hendak
kawin. Cara semacam itu tidak lain adalah perbuatan orang-orang bodoh
(jahiliah).
Dan yang
senada dengan itu ialah tidak ada usahanya keluarga perempuan atau walinya
untuk merujukkan perempuan tersebut kepada bekas suaminya, sedang kedua belah
pihak sudah sama-sama senang dan ingin memperbaiki keretakan antara keduanya,
padahal berdamai adalah lebih baik seperti apa yang difirmankan Allah dalam
al-Quran:
"Dan
apabila kamu mencerai isterimu dan mereka itu sudah sampai pada batas iddahnya,
maka janganlah kamu menghalang-halangi mereka kawin dengan (calon) suami mereka
apabila mereka sudah sama-sama senang antara mereka dengan cara yang baik. Yang
demikian itu dijadikan nasehat untuk orang yang beriman kepada Allah dan hari
akhir di antara kamu. Yang demikian itu lebih bersih dan lebih suci bagi kamu;
dan Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui. (al-Baqarah:
232)
Hak Isteri yang Tidak Suka
Seorang
perempuan apabila tidak suka kepada suaminya tidak sanggup bergaul bersama,
maka diperkenankan menebus dirinya dan membeli kemerdekaannya dengan
mengembalikan harta yang pernah diberikan oleh suami kepadanya berupa maskawin,
atau hadiah dengan sedikit berkurang atau lebih menurut kesepakatan bersama.
Akan tetapi yang lebih baik si laki-laki tidak mengambil lebih dari apa yang
pernah diberikan.
Firman
Allah:
"Jika
kamu kawatir mereka berdua tidak dapat menegakkan batas-Batas ketentuan Allah,
maka tidak dosa atas keduanya tentang sesuatu yang ia menebus dengannya." (al-Baqarah: 229)
Isteri
Tsabit bin Qais pernah datang kepada Nabi s.a.w. mengadukan:
"Ya
Rasulullah! Sesungguhnya Tsabit bin Qais tidak saya cela budi dan agamanya,
tetapi saya tidak tahan marahnya. Kemudian Nabi bertanya tentang apa yang
pernah dia ambil dari suaminya itu. Ia menjawab: Kebun. Lantas Nabi bertanya
lagi., Apakah kamu mau mengembalikan kebun itu kepadanya? Ia menjawab: Ya. Maka
bersabdalah Nabi kepada Tsabit: Terimalah kebun itu dan cerailah dia."
(Riwayat Bukhari dan Nasa'i)
Kendati
demikian, seorang isteri tidak dibenarkan cepat-cepat minta cerai tanpa alasan
yang dapat dibenarkan dan tanpa suatu pendorong yang dapat diterima yang
kiranya bisa membawa kepada perceraian antara keduanya. Sebab Rasulullah s.a.w.
pernah bersabda sebagai berikut:
"Siapa
saja perempuan yang minta cerai kepada suaminya tanpa suatu sebab yang dapat
dibenarkan, maka dia tidak akan mencium bau sorga." (Riwayat Abu Daud)
Menyusahkan Isteri Hukumnya Haram
Seorang
suami tidak boleh menyusahkan dan berbuat yang tidak baik dalam pergaulannya
dengan isteri, dengan maksud supaya isterinya itu mau menebus dirinya; yaitu
dengan mengembalikan semua atau sebagian harta yang pernah diberikan kepadanya,
selama si isteri itu tidak berbuat jahat.
Dalam
hal ini Allah telah berfirman:
"Jangan
kamu berlaku kasar terhadap mereka itu lantaran kamu hendak pergi dengan
membawa sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali
apabila mereka itu berbuat kejahatan yang terang-terangan." (an-Nisa': 19)
Kalau
pihak suami yang tidak suka itu ingin supaya bercerai karena ada hasrat dengan
orang lain, maka dia dilarang mengambil sesuatu dari isterinya. Sebagaimana
firman Allah:
"Dan
apabila kamu berkehendak akan mengganti isteri di tempat seorang isteri,
padahal kamu telah memberi salah seorang dari mereka harta yang banyak, maka
jangan kamu ambil sedikitpun daripadanya, apakah kamu akan mengambilnya dengan
cara yang mengagetkan dan dosa yang terang? Bagaimana kamu akan mengambilnya
padahal sebagian kamu telah bersatu dengan sebagiannya dan mereka itu telah
mengambil daripadamu perjanjian yang keras?" (an-Nisa':
20-21)
Bersumpah Untuk Menjauhi Isteri, Hukumnya Haram
Salah
satu keistimewaan Islam dalam melindungi hak perempuan, yaitu melarang seorang
suami yang marah kepada isterinya kemudian menjauhi tempat tidur dan tidak mau
mendekatinya dalam waktu yang kiranya tidak mungkin dapat ditahan oleh sifat
kewanitaan.
Apabila
meninggalkan tempat tidur ini diperkuat dengan sumpah tidak akan
menyetubuhinya, maka dia diberi masa menunggu selama empat bulan; barangkali
dalamasa menunggu itu hatinya menjadi tenang, berkobarnya kemarahan bisa dingin
dan suara kalbunya itu bisa ditarik kembali.
Kalau
dia bisa kembali kepada tuntunan dan bisa bergaul dengan isterinya sebagaimana
semula, sebelum habis waktu empat bulan atau sudah sampai empat bulan, maka
Allah tetap akan memberi ampunan terhadap keteledorannya itu dan selalu membuka
pintu taubat. Tetapi dengan syarat dia harus membayar kafarah untuk menebus
sumpahnya itu.
Dan
apabila waktu empat bulan itu telah dilaluinya, sedang dia belum menarik diri
dari azamnya, maka dia sudah bebas dari sumpah, tetapi isterinya diceraikan
sebagai hukuman yang sesuai, karena dia tidak menghiraukan hak isteri.
Sementara
ahli fiqih ada yang berpendapat, bahwa dengan berlalunya waktu otomatis talaqnya
jatuh, tanpa menunggu keputusan hakim.
Dan ada
pula yang mensyaratkan diajukannya persoalan tersebut kepada hakim setelah
waktu yang ditentukan itu habis, kemudian hakim akan memberikan afternatif
apakah dia harus mencabut dan isterinya rela, ataukah dia harus mencerainya.
Kemudian dia harus memilih apa yang kiranya manis buat dirinya.
Bersumpah
tidak akan mendekati isteri, di dalam syariat Islam dikenal dengan nama ila.
Yang dalam hal ini Allah telati berfirman:
"Bagi
orang-orang yang bersumpah akan menjauhi isterinya, boleh menunggu empat bulan;
jika mereka telah memenuhinya maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha
Belaskasih. Dan jika mereka bermaksud hendak mencerai, maka sesungguhnya Allah
Maha Mendengar dan Maha Mengetahui." (al-Baqarah:
226-227)
Dibatasinya
masa tunggu empat bulan, karena kesempatan empat bulan itu sudah cukup bagi
seorang suami untuk menarik diri dan kembali ke jalan yang benar. Sebab masa
empat bulan itu secara kebiasaan sudah cukup bagi seorang perempuan bersabar
diri dari berkumpul dengan suaminya.
Dalam
pada itu beberapa ahli tafsir meriwayatkan kisah Umar Ibnul-Khattab ketika
mengadakan ronda malam, tiba-tiba terdengar suara perempuan bersyair:
Sungguh
malam ini sangat panjang, sekelilingnya penuh kelam
Situasinya
menjadikan aku tidak baik, karena tidak ada kekasih yang bisa kuajak bermain
Demi
Allah, andaikata tidak takut akibat Sungguh ranjang ini akan goncang.
Umar
berusaha untuk menyelidiki kisah si perempuan tersebut. Akhirnya diketahui,
bahwa suaminya telah hilang dalam daftar mujahid pada masa yang sudah cukup
lama.
Umar
kemudian menanyakan kepada puterinya Hafsah berapa lama perempuan bisa bersabar
diri dari suaminya? Jawab Hafsah: empat bulan.
Waktu
itulah Umar berniat untuk menetapkan suatu peraturan, bahwa seorang suami tidak
boleh meninggalkan isterinya lebih dari empat bulan.
Post a Comment