Lukisan dan Ukiran
Lukisan dan Ukiran
Demikianlah pendirian Islam terhadap gambar yang bertubuh, yakni yang
sekarang dikenal dengan patung atau monumen. Tetapi bagaimanakah hukumnya
gambar-gambar dan lukisan-lukisan seni yang dilukis di lembaran-lembaran,
seperti kertas, pakaian, dinding, lantai, uang dan sebagainya itu?
Jawabnya: Bahwa hukumnya tidak jelas, kecuali kita harus melihat gambar itu
sendiri untuk tujuan apa? Di mana dia itu diletakkan? Bagaimana diperbuatnya?
Dan apa tujuan pelukisnya itu?
Kalau lukisan seni itu berbentuk sesuatu yang disembah selain Allah,
seperti gambar al-Masih bagi orang-orang Kristen atau sapi bagi orang-orang
Hindu dan sebagainya, maka bagi si pelukisnya untuk tujuan-tujuan di atas,
tidak lain dia adalah menyiarkan kekufuran dan kesesatan. Dalam hal ini
berlakulah baginya ancaman Nabi yang begitu keras:
"Sesungguhnya orang yang paling berat siksaannya nanti di hari kiamat
ialah orang-orang yang menggambar." (Riwayat Muslim)
Imam Thabari berkata: "Yang dimaksud dalam hadis ini, yaitu orang-orang
yang menggambar sesuatu yang disembah selain Allah, sedangkan dia mengetahui
dan sengaja. Orang yang berbuat demikian adalah kufur. Tetapi kalau tidak ada
maksud seperti di atas, maka dia tergolong orang yang berdosa sebab menggambar
saja."
Yang seperti ini ialah orang yang menggantungkan gambar-gambar tersebut
untuk dikuduskan. Perbuatan seperti ini tidak pantas dilakukan oleh seorang
muslim, kecuali kalau agama Islam itu dibuang di belakang punggungnya.
Dan yang lebih mendekati persoalan ini ialah orang yang melukis sesuatu
yang tidak biasa disembah, tetapi dengan maksud untuk menandingi ciptaan Allah.
Yakni dia beranggapan, bahwa dia dapat membuat dan menciptakan jenis terbaru
seperti ciptaan Allah. Orang yang melukis dengan tujuan seperti itu jelas telah
keluar dari agama Tauhid. Terhadap orang ini berlakulah hadis Nabi yang
mengatakan:
"Sesungguhnya orang yang paling berat siksaannya ialah orang-orang
yang menandingi ciptaan Allah." (Riwayat Muslim)
Persoalan ini tergantung pada niat si pelukisnya itu sendiri.
Barangkali hadis ini dapat diperkuat dengan hadis yang mengatakan:
"Siapakah orang yang lebih berbuat zalim selain orang yang bekerja
membuat seperti pembuatanku? Oleh karena itu cobalah mereka membuat biji atau
zarrah." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Allah mengungkapkan firmanNya di sini dengan kata-kata "dzahaba
yakhluqu kakhalqi" (dia bekerja untuk membuat seperti pembuatanku), ini
menunjukkan adanya suatu kesengajaan untuk menandingi dan menentang kekhususan
Allah dalam ciptaannya dan keindahannya. Oleh karena itu Allah menentang mereka
supaya membuat sebutir zarrah. Ia memberikan isyarat, bahwa mereka itu
benar-benar bersengaja untuk maksud tersebut. Justru itu Allah akan membalas
mereka itu nanti dan mengatakan kepada mereka: "Hidupkan apa yang kamu
cipta itu!" Mereka dipaksa untuk meniupkan roh ke dalam lukisannya itu,
padahal dia tidak akan mampu.
Termasuk gambar/lukisan yang diharamkan, yaitu gambar/lukisan yang
dikuduskan (disucikan) oleh pemiliknya secara keagamaan atau diagung-agungkan
secara keduniaan.
Untuk yang pertama: Seperti gambar-gambar Malaikat dan para Nabi, misalnya
Nabi Ibrahim, Ishak, Musa dan sebagainya. Gambar-gambar ini biasa dikuduskan
oleh orang-orang Nasrani, dan kemudian sementara orang-orang Islam ada yang
menirunya, yaitu dengan melukiskan Ali, Fatimah dan lain-lain.
Sedang untuk yang kedua: Seperti gambar raja-raja, pemimpin-pemimpin dan
seniman-seniman. Ini dosanya tidak seberapa kalau dibandingkan dengan yang
pertama tadi. Tetapi akan meningkat dosanya, apabila yang dilukis itu
orang-orang kafir, orang-orang yang zalim atau orang-orang yang fasik. Misalnya
para hakim yang menghukum dengan selain hukum Allah, para pemimpin yang
mengajak umat untuk berpegang kepada selain agama Allah atau seniman-seniman
yang mengagung-agungkan kebatilan dan menyiarnyiarkan kecabulan di kalangan
umat.
Kebanyakan gambar-gambar/lukisan-lukisan di zaman Nabi dan sesudahnya,
adalah lukisan-lukisan yang disucikan dan diagung-agungkan. Sebab pada umumnya
lukisan-lukisan itu adalah buatan Rum dan Parsi (Nasrani dan Majusi). Oleh
karena itu tidak dapat melepaskan pengaruhnya terhadap pengkultusan kepada
pemimpin-pemimpin agama dan negara.
Imam Muslim meriwayatkan, bahwa Abu Dhuha pernah berkata sebagai berikut:
Saya dan Masruq berada di sebuah rumah yang di situ ada beberapa patung. Kemudian
Masruq berkata kepadaku: Apakah ini patung Kaisar? Saya jawab: Tidak! Ini
adalah patung Maryam.
Masruq bertanya demikian, karena menurut anggapannya, bahwa lukisan itu
buatan Majusi dimana mereka biasa melukis raja-raja mereka di bejana-bejana. Tetapi
akhirnya ketahuan, bahwa patung tersebut adalah buatan orang Nasrani.
Dalam kisah ini Masruq kemudian berkata: Saya pernah mendengar Ibnu Mas'ud
menceriterakan apa yang ia dengar dari Nabi s.a.w., bahwa beliau bersabda:
"Sesungguhnya orang yang paling berat siksaannya di sisi Allah, ialah para
pelukis."
Selain gambar-gambar di atas, yaitu misalnya dia menggambar/melukis
makhluk-makhluk yang tidak bernyawa seperti tumbuh-tumbuhan, pohon-pohonan,
laut, gunung, matahari, bulan, bintang dan sebagainya. Maka hal ini sedikitpun
tidak berdosa dan tidak ada pertentangan samasekali di kalangan para ulama.
Tetapi gambar-gambar yang bernyawa kalau tidak ada unsur-unsur larangan
seperti tersebut di atas, yaitu bukan untuk disucikan dan diagung-agungkan dan
bukan pula untuk maksud menyaingi ciptaan Allah, maka menurut hemat saya tidak
haram. Dasar daripada pendapat ini adalah hadis sahih, antara lain:
"Dari Bisir bin Said dari Zaid bin Khalid dari Abu Talhah sahabat
Nabi, bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya Malaikat tidak akan
masuk rumah yang di dalamnya ada gambar." (Riwayat Muslim)
Bisir berkata: Sesudah itu Zaid mengadukan. Kemudian kami jenguk dia,
tiba-tiba di pintu rumah Zaid ada gambarnya. Lantas aku bertanya kepada
Ubaidillah al-Khaulani anak tiri Maimunah isteri Nabi: Apakah Zaid belum pernah
memberitahumu tentang gambar pada hari pertama? Kemudian Ubaidillah berkata:
Apakah kamu tidak pernah mendengar dia ketika ia berkata: "Kecuali gambar
di pakaian."
Tarmizi meriwayatkan dengan sanadnya dari Utbah, bahwa dia pernah masuk di
rumah Abu Talhah al-Ansari untuk menjenguknya, tiba-tiba di situ ada Sahal bin
Hanif. Kemudian Abu Talhah menyuruh orang supaya mencabut seprei yang di
bawahnya (karena ada gambarnya). Sahal lantas bertanya kepada Abu Talhah:
Mengapa kau cabut dia? Abu Talhah menjawab: Karena ada gambarnya, dimana hal
tersebut telah dikatakan oleh Nabi yang barangkali engkau telah mengetahuinya. Sahal
kemudian bertanya lagi: Apakah beliau (Nabi) tidak pernah berkata:
"Kecuali gambar yang ada di pakaian?" Abu Talhah kemudian menjawab:
Betul! Tetapi itu lebih menyenangkan hatiku." (Kata Tarmizi: hadis ini
hasan sahih)
Tidakkah dua hadis di atas sudah cukup untuk menunjukkan, bahwa gambar yang
dilarang itu ialah yang berjasad atau yang biasa kita istilahkan dengan patung?
Adapun gambar-gambar ataupun lukisan-lukisan di papan, pakaian, lantai, tembok
dan sebagainya tidak ada satupun nas sahih yang melarangnya.
Betul di situ ada beberapa hadis sahih yang menerangkan bahwa Nabi
menampakkan ketidak-sukaannya, tetapi itu sekedar makruh saja. Karena di situ
ada unsur-unsur menyerupai orang-orang yang bermewah-mewah dan penggemar
barang-barang rendahan.
Imam Muslim meriwayatkan dari jalan Zaid bin Khalid al-Juhani dari Abu
Talhah al-Ansari, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Malaikat tidak akan masuk rumah yang di dalamnya ada anjing dan
patung. Saya (Zaid) kemudian bertanya kepada Aisyah: Sesungguhnya ini (Abu
Talhah) memberitahuku, bahwa Rasulullah s.a.w. telah bersabda. Malaikat tidak
akan masuk rumah yang di dalamnya ada anjing dan patung. Apakah engkau juga
demikian? Maka kata Aisyah: Tidak! Tetapi saya akan menceriterakan kepadamu apa
yang pernah saya lihat Nabi kerjakan, yaitu: Saya lihat Nabi keluar dalam salah
satu peperangan, kemudian saya membuat seprei korden (yang ada gambarnya) untuk
saya pakai menutup pintu. Setelah Nabi datang, ia melihat korden tersebut. Saya
lihat tanda marah pada wajahnya, lantas dicabutnya korden tersebut sehingga
disobek atau dipotong sambil ia berkata: Sesungguhnya Allahi tidak menyuruh
kita untuk memberi pakaian kepada batu dan tanah. Kata Aisyah selanjutnya:
Kemudian kain itu saya potong daripadanya untuk dua bantal dan saya penuhi
dengan kulit buah-buahan, tetapi Rasulullah sama sekali tidak mencela saya
terhadap yang demikian itu." (Riwayat Muslim)
Hadis tersebut tidak lebih hanya menunjukkan makruh tanzih karena
memberikan pakaian kepada dinding dengan korden yang bergambar.
Imam Nawawi berkata: hadis tersebut tidak menunjukkan haram, karena hakikat
perkataan sesungguhnya Allah tidak menyuruh kita itu tidak dapat dipakai untuk
menunjukkan wajib, sunnat atau haram.
Yang semakna dengan ini diriwayatkan juga oleh Imam Muslim dari jalan
Aisyah pula, ia berkata:
"Saya mempunyai tabir padanya ada gambar burung, sedang setiap orang
yang masuk akan menghadapnya (akan melihatnya), kemudian Nabi berkata kepadaku:
Pindahkanlah ini, karena setiap saya masuk dan melihatnya maka saya ingat
dunia."(Riwayat Muslim)
Dalam hadis ini Rasulullah s.a.w. tidak menyuruh Aisyah supaya memotongnya,
tetapi beliau hanya menyuruh memindahkan ke tempat lain. Ini menunjukkan
ketidaksukaan Nabi melihat, bahwa di hadapannya ada gambar tersebut yang dapat
mengingatkan kebiasaan dunia dengan seluruh aneka keindahannya itu; lebih-lebih
beliau selalu sembahyang sunnat di rumah. Sebab seprai-seprai dan korden-korden
yang bergambar sering memalingkan hati daripada kekhusyu'an dan pemusatan
menghadap untuk bermunajat kepada Allah. Ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dari jalan Anas, ia mengatakan: Bahwa korden Aisyah dipakai untuk
menutupi samping rumahnya, kemudian Nabi menyuruh dia dengan sabdanya:
"Singkirkanlah korden itu dariku, karena gambar-gambarnya selalu
tampak dalam sembahyangku." (Riwayat Bukhari)
Dengan demikian jelas, bahwa Nabi sendiri membenarkan di rumahnya ada
tabir/korden yang bergambar burung dan sebagainya.
Dari hadis-hadis itu pula, sementara ulama salaf berpendapat: "Bahwa
gambar yang dilarang itu hanyalah yang ada bayangannya, adapun yang tidak ada
bayangannya tidak menqapa."27
Pendapat ini diperkuat
oleh hadis Qudsi yang mengatakan: "Siapakah yang terlebih menganiaya
selain orang yang bekerja untuk membuat seperti ciptaanKu? Oleh
karena itu cobalah mereka membuat zarrah, cobalah mereka membuat beras
belanda!" (Riwayat Bukhari).
Ciptaan Allah sebagaimana kita lihat, bukan terlukis di atas dataran tetapi
berbentuk dan berjisim, sebagaimana Dia katakan:
"Dialah Zat yang membentuk kamu di dalam rahim bagaimanapun Ia
suka." (ali-Imran: 6)
Tidak ada yang menentang pendapat ini selain hadis yang diriwayatkan
Aisyah, dalam salah satu riwayat Bukhari dan Muslim, yang berbunyi sebagai
berikut:
"Sesungguhnya Aisyah membeli bantal yang ada gambar-gambarnya, maka
setelah Nabi melihatnya ia berdiri di depan pintu, tidak mau masuk. Setelah
Aisyah melihat ada tanda kemarahan di wajah Nabi, maka Aisyah bertanya: Apakah
saya harus bertobat kepada Allah dan RasulNya, apa salah saya? Jawab Nabi:
Mengapa bantal itu begitu macam? Jawab Aisyah: Saya beli bantal ini untuk
engkau pakai duduk dan dipakai bantal. Maka jawab Rasulullah pula: Yang membuat
gambar-gambar ini nanti akan disiksa, dan akan dikatakan kepada mereka:
Hidupkanlah apa yang kamu buat itu. Lantas Nabi melanjutkan pembicaraannya:
Sesungguhnya rumah yang ada gambarnya tidak akan dimasuki Malaikat. Dan Imam
Muslim menambah dalam salah satu riwayat Aisyah, ia (Aisyah) mengatakan:
Kemudian bantal itu saya jadikan dua buah untuk bersandar, dimana Nabi biasa
bersandar dengan dua sandaran tersebut di rumah. Yakni Aisyah membelah bantal
tersebut digunakan untuk dua sandaran." (Riwayat Muslim)
Akan tetapi hadis ini, nampaknya, bertentangan dengan sejumlah hal-hal
sebagai berikut:
1) Dalam riwayat yang berbeda-beda nampak bertentangan. Sebagian
menunjukkan bahwa Nabi s.a.w. menggunakan tabir/korden yang bergambar yang
kemudian dipotong-potong dan dipakai bantal. Sedang sebagian lagi menunjukkan,
bahwa beliau samasekali tidak menggunakannya.
2) Sebagian riwayat-riwayat itu hanya sekedar menunjukkan makruh. Sedang kemakruhannya
itu karena korden tembok itu bergambar yang dapat menggambarkan semacam
berlebih-lebihan yang ia (Rasulullah) tidak senang. Oleh karena itu dalam
Riwayat Muslim, ia berkata: ''Sesungguhnya Allah tidak menyuruh kita supaya
memberi pakaian pada batu dan tanah."
3) Hadis Muslim yang diriwayatkan oleh Aisyah itu sendiri menggambarkan di
rumahnya ada tabir/korden yang bergambar burung. Kemudian Nabi menyuruh
dipindahkan, dengan kata-katanya: "Pindahkanlah, karena saya kalau
melihatnya selalu ingat dunia!" Ini tidak menunjukkan kepada haram secara
mutlak.
4) Bertentangan dengar: hadis qiram (tabir) yang ada di rumah Aisyah juga,
kemudian oleh Nabi disuruhnya menyingkirkan, sebab gambar-gambarnya itu selalu
tampak dalam shalat. Sehingga kata al-Hafidh: "Hadis ini dengan hadis di
atas sukar sekali dikompromikan (jama'), sebab hadis ini menunjukkan Nabi
membenarkannya, dan beliau shalat sedang tabir tersebut tetap terpampang,
sehingga beliau perintahkan Aisyah untuk menyingkirkannya, karena melihat
gambar-gambar tersebut dalam shalat dan dapat mengingatkan yang bukan-bukan,
bukan semata-mata karena gambarnya itu an sich.
Akhirnya al-Hafidh berusaha untuk menjama' hadis-hadis tersebut sebagai
berikut: hadis pertama, karena terdapat gambar binatang bernyawa sedang hadis
kedua gambar selain binatang ... Akan tetapi inipun bertentangan pula dengan
hadis qiram yang jelas di situ bergambar burung.
5) Bertentangan dengan hadis Abu Talhah al-Ansari yang mengecualikan gambar
dalam pakaian. Karena itu Imam Qurthubi berpendapat: "Dua hadis itu dapat
dijama' sebagai berikut: hadis Aisyah dapat diartikan makruh, sedang hadis Abu
Talhah menunjukkan mubah secara mutlak yang sama sekali tidak menafikan makruh
di atas." Pendapat ini dibenarkan oleh al-Hafidh Ibnu Hajar.
6) Rawi hadis namruqah (bantal) ada seorang bernama al-Qasim bin Muhammad
bin Abubakar, keponakan Aisyah sendiri, ia membolehkan gambar yang tidak ada
bayangannya, yaitu seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Aun, ia berkata:
"Saya masuk di rumah al-Qasim di Makkah sebelah atas, saya lihat di
rumahnya itu ada korden yang ada gambar trenggiling dan burung garuda."28
Al-Hafidh Ibnu Hajar
berkata; Barangkali al-Qasim berpegang pada keumuman hadis Nabi yang mengatakan
kecuali gambar dalam pakaian dan seolah-olah dia memahami keingkaran Nabi
terhadap Aisyah yang menggantungkan korden yang bergambar dan menutupi dinding.
Faham ini diperkuat dengan hadisnya yang mengatakan: "Sesungguhnya
Allah tidak menyuruh kita supaya memberi pakaian batu dan tanah." Sedang
al-Qasim adalah salah seorang ahli fiqih Madinah yang tujuh, dia juga termasuk
orang pilihan pada zaman itu, dia pula rawi hadis namruqah itu. Maka jika dia
tidak memaham rukhsakh terhadap korden yang dia pasang itu, niscaya dia tidak
akan menggunakannya.29
Tetapi di samping itu
tampaknya ada kemungkinan yang tampak pada hadis-hadis yang berkenaan dengan
masalah gambar dan pelukisnya, yaitu bahwa Rasulullah s.a.w. memperkeras
persoalan ini pada periode pertama dari kerasulannya, dimana waktu itu kaum
muslimin baru saja meninggalkan syirik dan menyembah berhala serta
mengagung-agungkan patung. Tetapi setelah aqidah tauhid itu mendalam kedalam
jiwa dan akar-akarnya telah menghunjam kedalam hati dan pikiran, maka beliau
memberi perkenan (rukhshah) dalam hal gambar yang tidak berjasad, yang hanya
sekedar ukiran dan lukisan. Kalau tidak begitu, niscaya beliau
tidak suka adanya tabir/korden yang bergambar di dalam rumahnya; dan ia pun
tidak akan memberikan perkecualian tentang lukisan dalam pakaian, termasuk juga
dalam kertas dan dinding.
Ath-Thahawi, salah seorang dari ulama madzhab Hanafi berpendapat: Syara'
melarang semua gambar pada permulaan waktu, termasuk lukisan pada pakaian,
karena mereka baru saja meninggalkan menyembah patung. Oleh karena itu secara keseluruhan
gambar dilarang. Tetapi setelah larangan itu berlangsung lama, kemudian
dibolehkan gambar yang ada pada pakaian karena suatu darurat. Syara' pun
kemudian membolehkan gambar yang tidak berjasad karena sudah dianggap
orang-orang bodoh tidak lagi mengagungkannya, sedang yang berjasad tetap
dilarang.30
28. Lihat Fathul Bari Kitabul Libas.
29. Lihat Fathul Bari Kitabul Libas.
30. Lihat al-Jawabusy Syafi oleh Syekh Bukhait.
Post a Comment