Menipiskan Alis, Menyambung Rambut, Semir Rambut
Menipiskan Alis
Salah satu cara berhias
yang berlebih-lebihan yang diharamkan Islam, yaitu mencukur rambut alis mata
untuk ditinggikan atau disamakan. Dalam hal ini Rasulullah pernah
melaknatnya, seperti tersebut dalam hadis:
"Rasulullah s.a.w. melaknat perempuan-perempuan yang mencukur alisnya
atau minta dicukurkan alisnya." (Riwayat Abu Daud, dengan sanad yang
hasan. Demikian menurut apa yang tersebut dalam Fathul Baari)
Sedang dalam Bukhari disebut:
Rasulullah s.a.w. melaknat perempuan-perempuan yang minta dicukur alisnya.
Lebih diharamkan lagi, jika mencukur alis itu dikerjakan sebagai simbol
bagi perempuan-perempuan cabul.
Sementara ulama madzhab Hanbali berpendapat, bahwa perempuan diperkenankan
mencukur rambut dahinya, mengukir, memberikan cat merah (make up) dan
meruncingkan ujung matanya, apabila dengan seizin suami, karena hal tersebut
termasuk berhias.
Tetapi oleh Imam Nawawi diperketat, bahwa mencukur rambut dahi itu
samasekali tidak boleh. Dan dibantahnya dengan membawakan riwayat yang tersebut
dalam Sunan Abu Daud: Bahwa yang disebut namishah (mencukur alis) sehingga
tipis sekali. Dengan demikian tidak termasuk menghias muka dengan menghilangkan
bulu-bulunya.
Imam Thabari meriwayatkan dari isterinya Abu Ishak, bahwa satu ketika dia
pernah ke rumah Aisyah, sedang isteri Abu Ishak adalah waktu itu masih gadis
nan jelita. Kemudian dia bertanya: Bagaimana hukumnya perempuan yang menghias
mukanya untuk kepentingan suaminya? Maka jawab Aisyah: Hilangkanlah
kejelekan-kejelekan yang ada pada kamu itu sedapat mungkin.18
Menyambung Rambut
Termasuk perhiasan perempuan yang terlarang ialah menyambung rambut dengan
rambut lain, baik rambut itu asli atau imitasi seperti yang terkenal sekarang
ini dengan nama wig.
Imam Bukhari meriwayatkan dari jalan Aisyah, Asma', Ibnu Mas'ud, Ibnu Umar
dan Abu Hurairah sebagai berikut:
"Rasulullah s.a.w. melaknat perempuan yang menyambung rambut atau
minta disambungkan rambutnya."
Bagi laki-laki lebih diharamkan lagi, baik dia itu bekerja sebagai tukang
menyambung seperti yang dikenal sekarang tukang rias ataupun dia minta
disambungkan rambutnya, jenis perempuan-perempuan wadam (laki-laki banci)
seperti sekarang ini.
Persoalan ini oleh Rasulullah s.a.w, diperkeras sekali dan digiatkan untuk
memberantasnya. Sampai pun terhadap perempuan yang rambutnya gugur karena sakit
misalnya, atau perempuan yang hendak menjadi pengantin untuk bermalam pertama
dengan suaminya, tetap tidak boleh rambutnya itu disambung.
Aisyah meriwayatkan:
"Seorang perempuan Anshar telah kawin, dan sesungguhnya dia sakit
sehingga gugurlah rambutnya, kemudian keluarganya bermaksud untuk menyambung
rambutnya, tetapi sebelumnya mereka bertanya dulu kepada Nabi, maka jawab Nabi:
Allah melaknat perempuan yang menyambung rambut dan yang minta disambung rambutnya."
(Riwayat Bukhari)
Asma' juga pernah meriwayatkan:
"Ada seorang perempuan bertanya kepada Nabi s.a.w.: Ya Rasulullah,
sesungguhnya anak saya terkena suatu penyakit sehingga gugurlah rambutnya, dan
saya akan kawinkan dia apakah boleh saya sambung rambutnya? Jawab Nabi: Allah
melaknat perempuan yang menyambung rambut dan yang minta disambungkan
rambutnya." (Riwayat Bukhari)
Said bin al-Musayib meriwayatkan:
"Muawiyah datang ke Madinah dan ini merupakan kedatangannya yang
paling akhir di Madinah, kemudian ia bercakap-cakap dengan kami. Lantas
Muawiyah mengeluarkan satu ikat rambut dan ia berkata: Saya tidak pernah
melihat seorangpun yang mengerjakan seperti ini kecuali orang-orang Yahudi,
dimana Rasulullah s.a.w. sendiri menamakan ini suatu dosa yakni perempuan yang
menyambung rambut (adalah dosa)."
Dalam satu riwayat dikatakan, bahwa Muawiyah berkata kepada penduduk
Madinah:
"Di mana ulama-ulamamu? Saya pernah mendengar sendiri Rasulullah
s.a.w. bersabda: Sungguh Bani Israel rusak karena perempuan-perempuannya
memakai ini (cemara)." (Riwayat Bukhari)
Rasulullah menamakan perbuatan ini zuur (dosa) berarti memberikan suatu
isyarat akan hikmah diharamkannya hal tersebut. Sebab hal ini tak ubahnya
dengan suatu penipuan, memalsu dan mengelabui. Sedang Islam benci sekali
terhadap perbuatan menipu; dan samasekali antipati terhadap orang yang menipu
dalam seluruh lapangan muamalah, baik yang menyangkut masalah material ataupun
moral. Kata Rasulullah s.a.w.:
"Barangsiapa menipu kami, bukanlah dari golongan kami." (Riwayat
Jamaah sahabat)
Al-Khaththabi berkata: Adanya ancaman yang begitu keras dalam
persoalan-persoalan ini, karena di dalamnya terkandung suatu penipuan. Oleh
karena itu seandainya berhias seperti itu dibolehkan, niscaya cukup sebagai
jembatan untuk bolehnya berbuat bermacam-macam penipuan. Di samping itu memang
ada unsur perombakan terhadap ciptaan Allah. Ini sesuai dengan isyarat hadis
Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud yang mengatakan "...
perempuan-perempuan yang merombak ciptaan Allah."19
Yang dimaksud oleh hadis-hadis tersebut di atas, yaitu menyambung rambut
dengan rambut, baik rambut yang dimaksud itu rambut asli ataupun imitasi. Dan
ini pulalah yang dimaksud dengan memalsu dan mengelabui. Adapun kalau dia
sambung dengan kain atau benang dan sabagainya, tidak masuk dalam larangan ini.
Dan dalam hal inf Said bin Jabir pernah mengatakan:
Yang dimaksud [tulisan Arab] di sini ialah benang sutera atau wool yang
biasa dipakai untuk menganyam rambut (jw. kelabang), dimana perempuan selalu
memakainya untuk menyambung rambut. Tentang kebolehan memakai benang ini telah
dikatakan juga oleh Imam Ahmad.21
Semir Rambut
Termasuk dalam masalah perhiasan, yaitu menyemir rambut kepala atau jenggot
yang sudah beruban.
Sehubungan dengan masalah ini ada satu riwayat yang menerangkan, bahwa
orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak memperkenankan menyemir rambut dan
merombaknya, dengan suatu anggapan bahwa berhias dan mempercantik diri itu
dapat menghilangkan arti beribadah dan beragama, seperti yang dikerjakan oleh
para rahib dan ahli-ahli Zuhud yang berlebih-lebihan itu. Namun Rasulullah
s.a.w. melarang taqlid pada suatu kaum dan mengikuti jejak mereka, agar
selamanya kepribadian umat Islam itu berbeda, lahir dan batin. Untuk itulah
maka dalam hadisnya yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah s.a.w.
mengatakan:
"Sesungguhnya orang-orang Yahudi tidak mau menyemir rambut, karena itu
berbedalah kamu dengan mereka." (Riwayat Bukhari)
Perintah di sini mengandung arti sunnat, sebagaimana biasa dikerjakan oleh
para sahabat, misalnya Abubakar dan Umar. Sedang yang lain tidak melakukannya,
seperti Ali, Ubai bin Kaab dan Anas.
Tetapi warna apakah semir yang dibolehkan itu? Dengan warna hitam dan yang
lainkah atau harus menjauhi warna hitam? Namun yang jelas, bagi orang yang
sudah tua, ubannya sudah merata baik di kepalanya ataupun jenggotnya, tidak
layak menyemir dengan warna hitam. Oleh karena itu tatkala Abubakar membawa
ayahnya Abu Kuhafah ke hadapan Nabi pada hari penaklukan Makkah, sedang Nabi
melihat rambutnya bagaikan pohon tsaghamah yang serba putih buahnya maupun
bunganya.
Untuk itu, maka bersabdalah Nabi:
"Ubahlah ini
(uban) tetapi jauhilah warna hitam." (Riwayat Muslim)
Adapun orang yang tidak
seumur dengan Abu Kuhafah (yakni belum begitu tua), tidaklah berdosa apabila
menyemir rambutnya itu dengan warna hitam. Dalam hal ini az-Zuhri pernah
berkata: "Kami menyemir rambut dengan warna hitam apabila wajah masih
nampak muda, tetapi kalau wajah sudah mengerut dan gigi pun telah goyah, kami
tinggalkan warna hitam tersebut."22
Termasuk yang
membolehkan menyemir dengan warna hitam ini ialah segolongan dari ulama salaf
termasuk para sahabat, seperti: Saad bin Abu Waqqash, Uqbah bin Amir, Hasan, Husen, Jarir dan lain-lain.
Sedang dari kalangan para ulama ada yang berpendapat tidak boleh warna
hitam kecuali dalam keadaan perang supaya dapat menakutkan musuh, kalau mereka
melihat tentara-tentara Islam semuanya masih nampak muda.23
Dan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dzar mengatakan:
"Sebaik-baik bahan yang dipakai untuk menyemir uban ialah pohon inai
dan katam." (Riwayat Tarmizi dan Ashabussunan)
Inai berwarna merah, sedang katam sebuah pohon yang tumbuh di zaman
Rasulullah s.a.w. yang mengeluarkan zat berwarna hitam kemerah-merahan.
Anas bin Malik meriwayatkan, bahwa Abubakar menyemir rambutnya dengan inai
dan katam, sedang Umar hanya dengan inai saja.
Memelihara Jenggot
Termasuk yang urgen dalam permasalahan kita ini, ialah tentang memelihara
jenggot. Untuk ini Ibnu Umar telah meriwayatkan dari Nabi s.a.w. yang
mengatakan sebagai berikut:
"Berbedalah kamu dengan orang-orang musyrik, peliharalah jenggot dan
cukurlah kumis." (Riwayat Bukhari)
Perkataan i'fa (pelihara) dalam riwayat lain diartikan tarkuha wa ibqaauha
(tinggalkanlah dan tetapkanlah).
Hadis ini menerangkan alasan diperintahkannya untuk memelihara jenggot dan
mencukur kumis, yaitu supaya berbeda dengan orang-orang musyrik. Sedang yang
dimaksud orang-orang musyrik di sini ialah orang-orang Majusi penyembah api,
dimana mereka itu biasa menggunting jenggotnya, bahkan ada yang mencukurnya.
Perintah Rasulullah ini mengandung pendidikan untuk umat Islam supaya
mereka mempunyai kepribadian tersendiri serta berbeda dengan orang kafir lahir
dan batin, yang tersembunyi maupun yang tampak. Lebih-lebih dalam hal mencukur
jenggot ini ada unsur-unsur menentang fitrah dan menyerupai orang perempuan. Sebab
jenggot adalah lambang kesempurnaan
laki-laki dan tanda-tanda yang membedakan dengan jenis lain.
Namun demikian, bukan berarti samasekali tidak boleh memotong jenggot
dimana kadang-kadang jenggot itu kalau dibiarkan bisa panjang yang menjijikkan
yang dapat mengganggu pemiliknya. Untuk itulah maka jenggot yang demikian boleh
diambil/digunting kebawah maupun kesamping, sebagaimana tersebut dalam hadis
rlwayat Tarmizi. Hal ini pernah juga dikerjakan oleh sementara ulama salaf,
seperti kata Iyadh: "Mencukur, menggunting dan mencabut jenggot
dimakruhkan. Tetapi kalau diambil dari panjangnya atau ke sampingnya apabila
ternyata jenggot itu besar (tebal), maka itu satu hal yang baik."
Dan Abu Syamah juga berkata: "Terdapat suatu kaum yang biasa mencukur
jenggotnya. Berita yang terkenal, bahwa yang berbuat demikian itu ialah
orang-orang Majusi, bahwa mereka itu biasa mencukur jenggotnya."24
Kami berpendapat: Bahwa kebanyakan orang-orang Islam yang mencukur
jenggotnya itu lantaran mereka meniru musuh-musuh mereka dan kaum penjajah
negeri mereka dan orang-orang Yahudi dan Kristen. Sebagaimana kelazimannya,
bahwa orang-orang yang kalah senantiasa meniru orang yang menang. Mereka
melakukan hal itu jelas telah lupa kepada perintah Rasulullah yang menyuruh
supaya mereka berbeda dengan orang-orang kafir. Di samping itu mereka telah
lupa pula terhadap larangan Nabi tentang menyerupai orang kafir, seperti yang
tersebut dalam hadisnya yang mengatakan:
"Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia itu termasuk golongan
mereka." (Riwayat Abu Dawud)
Kebanyakan ahli-ahli fiqih yang berpendapat tentang haramnya mencukur
jenggot itu berdalil perintah Rasul di atas. Sedang tiap-tiap perintah asalnya
menunjukkan pada wajib, lebih-lebih Rasulullah sendiri telah memberikan alasan
perintahnya itu supaya kita berbeda dengan orang-orang kafir. Dan berbeda
dengan orang kafir itu sendiri hukumnya wajib pula.
Tidak seorang pun ulama salaf yang meninggalkan kewajiban ini. Tetapi
sementara ulama-ulama sekarang ada yang membolehkan mencukur jenggot karena
terpengaruh oleh keadaan dan memang karena bencana yang telah meluas. Mereka
ini berpendapat, bahwa memelihara jenggot itu termasuk perbuatan Rasulullah
yang bersifat duniawiah, bukan termasuk persoalan syara' yang harus ditaati. Tetapi
yang benar, bahwa memelihara jenggot itu bukan sekedar fi'liyah Nabi, bahkan
ditegaskan pula dengan perintah dan disertai alasan supaya berbeda dengan orang
kafir,
Ibnu Taimiyah menegaskan, bahwa berbeda dengan orang kafir adalah suatu hal
yang oleh syara' ditekankan. Dan menyerupai orang kafir dalam lahiriahnya dapat
menimbulkan perasaan kasih dalam hatinya, sebagaimana perasaan kasih dalam
batin dapat menimbulkan perasaan dalam lahir. Ini sudah dibuktikan sendiri oleh
suatu kenyataan dan diperoleh berdasarkan suatu percobaan.
Selanjutnya ia berkata: Al-Quran, Hadis dan Ijma' sudah menegaskan terhadap
perintah supaya berbeda dengan orang kafir dan dilarang menyerupai mereka
secara keseluruhannya. Apa saja yang kiranya menimbulkan kerusakan walaupun
agak tersembunyi, maka sudah dapat dikaitkan dengan suatu hukum dan dapat
dinyatakan haram. Maka dalam hal menyerupai orang kafir pada lahiriahnya sudah
merupakan sebab untuk menyerupai akhlak dan perbuatannya yang tercela, bahkan
akan bisa berpengaruh pada kepercayaan. Pengaruhnya ini memang tidak dapat
dikonkritkan, dan kejelekan yang ditimbulkan akibat dari sikap menyerupai itu
sendiri kadang-kadang tidak begitu jelas, bahkan kadang-kadang sukar
dibuktikan. Tetapi setiap hal yang menjadi sebab timbulnya suatu kerusakan,
syara' menganggapnya suatu hal yang haram.25
Dari keterangan-keterangan di atas dapat kita simpulkan, bahwa masalah
mencukur jenggot ini ada tiga pendapat:
1. Pendapat
pertama: Hukumnya haram. Yang berpendapat demikian, ialah Ibnu Taimiyah dan
lain-lain.
2.
Pendapat kedua: Makruh. Yang berpendapat demikian ialah
Iyadh, sebagaimana tersebut dalam Fathul Bari. Sedang ulama lain tidak ada yang berpendapat demikian.
3. Pendapat
ketiga: Mubah. Yang berpendapat demikian sementara ulama sekarang.
Tetapi barangkali yang agak moderat dan bersikap tengah-tengah yaitu
pendapat yang menyatakan makruh. Sebab tiap-tiap perintah tidak selamanya
menunjukkan pada wajib, sekalipun dalam hal ini Nabi telah memberikan alasannya
supaya berbeda dengan orang kafir. Perbandingan yang lebih mendekati kepada
persoalan ini ialah tentang perintah menyemir rambut supaya berbeda dengan
orang Yahudi dan Kristen. Tetapi sebagian sahabat ada yang tidak
mengerjakannya. Oleh karena itu perintah tersebut sekedar menunjukkan sunnat.
Betul tidak ada seorang pun ulama salaf yang mencukur jenggot, tetapi
barangkali saja karena mereka tidak begitu memerlukan, karena memelihara
jenggot waktu itu sudah menjadi kebiasaan mereka.
19. Lihat
Fathul Bari, bab Libas.
20. Lihat
Fathul Bari, bab Libas.
21. Lihat
Fathul Bari, bab Libas.
22. Lihat
Fathul Bari.
23. Lihat
Fathul Bari.
24. Lihat
Fathul Bari, bab memelihara jenggot.
25. Lihat kitab Iqtidhaus Shiratil Mustsqim.
Post a Comment