Mentaati Orang Tua
Mentaati Orang Tua
وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنْ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ . وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ(لقمان : 14-15)
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Luqman: 14-15)
Ayat ini Allah selipkan di tengah-tengah pesan Luqman al Hakim
kepada anaknya, para ahli tafsir menyebutnya sebagai jumlah i’tiradhiyah.
Keterangannya begini: ketika Luqman berpesan agar anaknya menjauhi syirik (sikap
menyekutukan Allah) Allah segera mengingatkan dengan ayat di atas bahwa
keharusan meninggalkan syirik adalah satu hal yang sangat mendasar. Tidak bisa
ditawar-tawar. Sampaipun ajakan untuk bertindak syirik datangnya dari orang tua
-yang harus ditaati dan dicintai- seorang anak harus tetap bersikap tegas pada
pendiriannya, dengan tanpa melukai perasaannya.
Imam Ibn Katsir menyitir sebab turunnya ayat tersebut: Sa’ad
bin Abi Waqqas bercerita: “Saya adalah seorang yang selalu mengabdi kepada ibu.
Ketika saya masuk Islam ibu saya berkata: Agama apa yang kamu ikuti itu? Saya
minta agar kamu tinggalkan agama tersebut. Jika tidak saya tidak akan makan dan
minum sampai mati, sehingga orang berkata bahwa kamu adalah pembunuh saya. Saya
lalu berkata: wahai ibu jangan kau lakukan itu. Sampai kapanpun saya tidak akan
pernah meninggalkan agama ini. Tapi ibu benar-benar melakukan itu, lanjut Sa’ad.
Hari pertama, lalu hari kedua, sampai hari ketiga. Kondisinya benar-benar
mengerikan. Saya langsung segera mendekatinya: Ketahuilah wahai ibu, -kata saya
lebih lanjut- seandainya kau mempunyai seratus jiwa, dan satu persatu jiwa
tersebut pergi, saya tidak akan pernah meninggalkan agamaku ini. Jika ibu mau
makanlah, jika tidak teruskan saja menahan lapar. Karena ketegaran pendirian
saya tersebut, ibu lalu makan. Maka turunlah ayat di atas.
Kewajiban Menghormati Orang Tua
Berbuat baik kepada kedua orang tua adalah ajaran yang selalu
Allah pesankan tidak hanya kepada Rasulullah SAW, melainkan juga kepada
nabi-nabi terdahulu. Dalam surat Al Baqarah: 83 Allah berfirman: Dan (ingatlah),
ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah
selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak…”. Dalam An Nisa’ 36:
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan
berbuat baiklah kepada ibu-bapa…” Dalam Al An’am:151: Katakanlah: “Marilah
kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu
mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap ibu bapa…”.
Ketika menafsirkan ayat yang kita bahas di atas, Imam Az
Zamakhsyary dalam karya monumentalnya Al Kasysyaf menyingkap rahasia mengapa
Allah menyebutkan secara khsusus gambaran capeknya seorang ibu saat-saat
mengandung sang anak “hamalathu ummuhuu wahnan ‘alaa wahnin”. Di sini kata Az
Zamakhsyary: mengandung suatu penekanan agar sang anak kelak benar-benar
menghormati ibunya. Bahwa hak seorang ibu kepada anaknya adalah sangat agung.
Rasulullah SAW ketika ditanya oleh salah seorang sahabat mengenai kepada siapa
ia harus berbuat baik, ia menjawab: “ibumu”, “ibumu”, “ibumu”, lalu “bapakmu”.
(Al Kasysyaf, Az Zamakhsyary: vol: 3, h. 494-495)
Cinta dan pengorbanan seorang ibu memang sangat tergambar dalam
ungkapan: “hamalathu ummuhuu wahnan alaa wahnin”, tetapi seringkali sang anak
tidak merasakannya. Karena waktu itu ia masih dalam kandungan dan kalaupun telah
lahir selama dua tahun disusui, anak belum bisa menangkap kesan secara sempurna.
Karena itulah Allah sebutkan dalam ayat di atas supaya nampak betapa besarnya
kasih sayang sang ibu. Dan bahkan semua itu tidak kalah pentingnya bila
dibandingkan dengan perjuangan sang ayah dalam mencari nafkah.
Manusia memang cendrung berterimaksih kepada orang yang
bantuannya nampak di depan matanya dan ia rasakan secara langsung. Perjuangan
seorang ayah ketika mencari nafkah dan membiayai kebutuhan rumah tangga, memang
sangat nampak dan terasa secara langsung bagi sang anak. Maka sebelum persepsi
negatif muncul, bahwa sang ibu tidak berbuat apa-apa, dan supaya sikap
merendahkan peranan ibu tidak terjadi Allah segera mengingatkan akan pengorbanan
yang sangat agung ini. Dan hebatnya lagi, peringatan ini datangnya langsung dari
Allah. Suatu indikasi yang menggambarkan betapa besar jasa kedua orang tua,
terutama sang ibu, dan bahwa menghormati dan mengabdi kepada keduanya bukan
hanya suatu sikap yang sangat penting dan mendasar melainkan suatu
kewajiban.
Lebih dari itu Allah tidak bosan-bosan mengulang-ngulang pesan
keharusan berbuat baik kepada kedua orang tua di berbagai kesempatan dalam Al
Qur’an. Mengapa? Mari kita lihat bahwa ternyata kecintaan dan tanggung jawab
orang tua kepada anak adalah fitrah yang Allah tanamkan dalam diri setiap orang
tua. Makanya, capek bagaimanapun orang tua tetap berjuang untuk mengandung,
menyusui dan membesarkan anaknya. Bahkan mereka seringkali merasa senang
sekalipun harus mengorbankan waktu tidurnya di tengah malam saat enak-enaknya
tidur. Ini adalah sunnatullah yang sudah Allah tetapkan demi berlangsungnya
kehidupan di bumi. Tetapi kecintaan dan ketaatan seorang anak kepada orang tua,
butuh kesadaran. Untuk mencapai kesadaran ini butuh peringatan yang
terus-menerus bahwa mentatati orang tua adalah suatu kewajiaban. Dari sini
Nampak rahasia mengapa sampai sebegitu rupa Allah menggambarkan getir perjuangan
seorang ibu terhadap anaknya. Itu tidak ada lain, agar anak tersentuh lalu
tersadar, dan seteleh itu tergerakkan untuk menjalankan kewajibannya kepada
kedua orangtuanya dengan sungguh-sungguh.
Sebagai suatu kewajiban maka tentu tidak ada perbedaan fiqih
dalam hal ini. Semua ulama bersepakat akan wajibnya mengabdi kepada kedua orang
tua. Kecuali jika suatu saat kelak salah seorang dari kedua orang tua
memerintahkan untuk berbuat syirik, maka kartu hak untuk ditaati seperti yang
kita sebutkan tadi tidak bisa dipergunakan. Dan dalam kontek inilah ayat di atas
di selipkan. Supaya tidak menimbulkan paham bolehnya mengkultuskan orang tua
sampai ketingkat keharusan mentaatinya sekalipun harus melanggar ajaran Allah
SWT. Tidak, orang tua memang harus dihormati dan ditaati, tetapi dalam hal
pilihan antara mengikuti ajaran Allah dan RasulNya atau ajakan orang tua kepada
kemusyrikan, maka yang harus diutamakan adalah tetap ajaran Allah dan RasulNya.
Sikap Sa’ad ra. seperti yang telah disebutkan tadi adalah cerminan yang
menguatkan pemahaman ini.
Sikap keharusan mengutamakan ajaran Allah kian terlihat ketika
Allah berfirman pada ayat selanjutnya: anisykurly waliwalidayka, di sini
keharusan bersyukur kepada Allah lebih di dahulukan penyebutannya. Kata
anisykurly artinya “kau harus bersyukur kepadaKu”. Perhatikan ketegasan ungkapan
ini, mengapa li (untuk Allah) didahulukan atas waliwalidaykum (untuk orang
tuamua)? Allah adalah pemberi nikmat hakiki dan apa yang diberikan orang tua
kepada anaknya tidak lebih dari karunia Allah kepadanya. Benar, orang tua telah
sangat berjasa dan berbuat baik kepada anaknya. Tetapi semua jasa baik itu
adalah karena karunia Allah. Seandainya Allah tidak menghendaki hal itu, tentu
akan terjadi yang sebaliknya. Bukankah sudah banyak buktinya bahwa seorang ibu
membunuh cabang bayinya. Seorang ayah membunuh anaknya dan lain sebagainya. Dari
sini jelas bahwa sikap baik orang tua bagaimanapun adalah karena karunia Allah.
Oleh sebab itu Allah-lah Pemberi karunia yang hakiki. Dan Karena itu Ia harus
diutamakan di atas segala-galanya. Sampaipun harus melanggar keinginan orang tua
atau seorang Ibu yang telah mengandung dan menyusuinya selama beberapa waktu
tertentu sesuai dengan takdirNya.
Berapa Lama Seorang Ibu Harus Mengandung Cabang
Bayinya?
Pernyataan ayat: hamalathu ummuhuu wahnan ‘alaa wahnin
menggambarkan perjuangan seorang ibu pada saat-saat mengandung sang cabang bayi.
Para ulama Fiqh menetapkan bahwa batas minimal waktu kehamilan adalah enam
bulan. Ini berdasarkan ayat: wahamluhuu wafishaluhuu tsalaatsuuna syahra (ibunya
mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan) (QS. Al Ahqaf:15), dan
ayat: wafishaaluhuu fii ‘aamain (ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah
yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun) (QS. Luqman:14). Dari
kedua ayat ini terlihat bahwa paling sedikitnya tenggang waktu kehamilan itu
enam bulan. Makna ini dikuatkan lagi oleh sebuah riwayat: bahwa seorang wanita
menikah lalu pada bulan keenam melahirkan, lalu dilaporkan ke Khalifah Utsman
supaya dirajam (dengan asumsi ia telah berbuat zina). Melihat kejadian itu Ibn
Abbas lalu menyebutkan kedua ayat di atas dan berkata: maka kehamilan itu
minimalnya enam bulan dan menyusuinya duapuluh empat bulan. Atas dasar itu
Utsman tidak jadi merajamnya. Setelah menyebutkan riwayat tersebut Ibnul Araby
dalam tafsirnya Ahkamul Qur’an mengisyaratkan bahwa Ali bin Abi Thalib mendukung
pendapat tersebut, lalu berkata: itu suatu kesimpulan hukum yang sangat tajam
dan mengagumkan.
Batas Waktu Menyusui Berapa Lama?
Para ahli fiqh menyebutkan bahwa batas waktu menyusui maksimal
dua tahun. Dalillnya ayat di atas: wafishaaluhuu fii ‘aamain. Fishal artinya
fithaam (menyusui). Diperkuat lagi dengan ayat: “Para ibu hendaklah menyusukan
anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan
penyusuan” (QS. Al Baqarah: 233). Pendapat ini didukung oleh Mayoritas ulama
fiqh: Imam Malik, Imam Sayafi’ie dan Imam Ahmad. Kecuali Imam Abu Hanifah yang
melihat bahwa batas maksimal menyusui adalah dua tahun setengah. Dalillnya:
wahamluhuu wafishaaluhuu tsalaatsuuna syahra. Di sini Abu Hanifa menafsirkan
kata wahamluhu bukan dengan masa kehamilan, melainkan hamluhuu ‘alal yadain min
ajlil irdha’ (memangku sang bayi untuk menyusuinya). Hanya saja pendapat ini
ditolak oleh kedua muridnya: Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad. Maka dengan ini
pendapat yang pertama tentu lebih kuat, tidak saja dari segi kualitas dalil
melainkan juga dukungan mayoritas termasuk Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad.
Penemuan ilmu pengetatahuan moderen mengungkap rahasia
kewajiabn menyusui ini lebih dalam lagi. Bahwa air susu seorang ibu mengandung
protein dan segala yang dibutuhkan sang bayi dalam masa perkembangannya selama
dua tahun. Tempratur hangatnya pun sangat pas dengat tempartur sang bayi yang
setiap saat selalu berubah-ubah. Lebih dari itu dalam air susu ibu Allah
bekalkan bahan yang membantu kekebalan tubuh sang bayi dari berbagai penyakit,
di mana semuanya ini tidak akan pernah bisa diwakili dengan hanya minum susu
buatan. Proses ini sebagaimana ketentuan Al Qur’an di atas dibatasi sampai dua
tahun. Setelah itu kondisi tubuh sang bayi tidak mebutuhkan lagi bantuan air
susu ibu dengan kandungannya yang sangat mengagumkan itu. (lihat Dr. Abdul Hamid
Diyab dkk, Maath thibbi fil Qur’an, h.99-103)
Bolehkah Mentaati Perintah Orang Tua Dalam Hal Yang
Dilarang Allah?
Sebuah kaidah yang sangat terkenal perlu ditekankan ketika
harus menjawab pertanyaan ini: la thaata limakhluuqin fii ma’shiyatil khaaliq
(tidak boleh ditaati seorang makhluq (siapapun dia) dalam hal berbuat maksiat
kepada Sang Pencipta). Para ulama ketika menafisrkan ayat di atas:
“wainjaahadaaka alaa antusyrika bii maalayasa laka bihi ilmun falaa tuti’huma”
menguatkan hakikat ini. Mereka menyimpulkan: Bila ternyata mentaati orang tua
dalam melakukan kemusyrikan hukumnya haram, maka mentaatinya untuk melakukan
kemaksiatan apapun juga hukumnya haram. Artinya sekalipun orang tua anda
berupaya keras untuk mempengaruhi agar anda tidak sholat, tidak ada pilihan bagi
anda kecuali harus bertahan pada ajaran Allah. Anda harus tetap tegar menjalani
kewajiban anda, dengan tidak menyakiti keduanya. Imam Al Qurthuby mengatakan:
Wajibnya mentaati orang tua bukan dalam perbuatan dosa, pun bukan dalam
meninggalkan kewajiaban, melainkan dalam mubahaat (yang dibolehkan). Pinjam
istilah Ustadz Sayyid Quthub bahwa ketika orang tua berupaya mengajak kepada
kemusyrikan maka hilanglah pada saat itu kewajiban untuk mentaatinya.
(Fidzilalil Qur’an, vol.5, h.2788-2789)
Hakikat keharusan mengutamakan perintah Allah di atas segala
perintah telah dipahami secara mendalam oleh para pendahulu (salaf) dari umat
ini. Sikap Saad ra. setidaknya membuktikan kenyataan tersebut. Ditambah lagi Abu
Bakar ketika pertama kali menyampaikan ceramah kepemimpinannya, ia menyatakan:
“Wahai manusia, saya telah diangkat sebagai pemimpin kalian, ini bukan berarti
saya lebih baik dari kalian. Maka bila saya berbuat baik, bantulah, tetapi jika
saya berbuat salah, perbaiki. Taatilah selama saya mentaati Allah dalam
menjalankan amanah kalian, namun jika saya berbuat maksiat kepada Allah, maka
hilanglah kewajiban kalian untuk mentaati saya”.
Jika Kedua Orang Tua Tidak Beriman, Wajibkah Kita
Berbuat Baik?
Ayat: “washahibhuma fiddunya ma’ruufa” mengandung perintah
untuk selalu berbuat baik kepada kedua orang tua sekalipun keduanya tidak
beriman. Bukan hanya itu, bahkan sekalipun keduanya berusaha untuk mengajak
kepada kemusyrikan, kewajiban berbuat baik ini tetap harus dipertahankan.
Sebatas mana perbuatan baik tersebut? Sebatas tidak melanggar ajaran Allah dan
tidak keluar dari wilayah iman. Ketika salah satu dari keduanya sakit misalnya,
anak wajib mebantunya, melayani keperluannya dan lain sebgainya.
Bahkan berdasarkan ayat “washahibhuma fiddunya ma’ruufa”
tersebut, ada sebagian ulama fiqh yang menyimpulkan bahwa seorang anak tidak
berhak menuntut qishah jika salah seorang dari keduanya melemparkan tuduhan zina
(qadzaf). Pun juga keduanya tidah berhak dipaksa atau didenda secara pidana jika
suatu saat tidak membayar hutang yang ditanggungnya. Sebab kewajiban seorang
anak memberikan nafkah atasnya.
Haruskah Kita Mengikuti Jejak orang Saleh?
Ayat di atas memerintahkan agar kita mengikuti jejak
orang-orang saleh, seperti para nabi, para sahabat, para tabi’in dan
tabi’eittabien. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar mengikuti tuntutuan
Allah. Karenanya mereka sukses dan bahagia: wattabi’ sabiila man anaaba (dan
ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku).
Anaaba artinya raj’a ilaa syai’ (kembali kepada sesuatu). Para
ahli tafsir mengatakan: maksudnya adalah meninggalkan kemusyrikan dan kembali ke
jalan Islam. Dengan kata lain mereka kembali kepada Allah dengan kepribadian
yang senantiasa istiqamah menjalani kewajiban kehambaanNya kepada Allah. Mereka
benar-benar menyadari bahwa mereka kelak akan dikembalikan kepada Allah, untuk
mempertanggungjawabkan sekecil apapun yang telah merela lakukan selama hidup di
dunia. Perhatikan bunyi ayat selanjutnya: “Kemudian hanya kepada-Kulah
kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.
Ketika menafsirkan ayat ini Dr Wahbah Az Zuhaily mengatakan:
anaaba dalam ayat tersebut maksudnya kembali kepada Islam, dan mengikuti
Rasulullah SAW, kembali kepada Allah dengan bertauhid, bersikap ikhlas dalam
menjalankan segala bentuk ketaatan. Bukan mengikuti jalan kedua orangtua yang
mengantarkan kepada kemusyrikan. Perintah untuk mengikuti jejak orang-orang
saleh ini –lanjut wahbah- menunjukan bahwa ijma’ul ummah adalah benar. Wallhu
a’lam bishshawab.
Post a Comment