Muzara'ah yang Tidak Dibenarkan
Muzara'ah yang Tidak Dibenarkan
Ada suatu bentuk muzara'ah yang sudah biasa berlaku di
zaman Nabi, tetapi oleh beliau dilarangnya karena terdapat unsur-unsur penipuan
dan kesamaran yang berakibat kepada persengketaan; dan bertentangan dengan jiwa
keadilan yang sangat dijunjung tinggi oleh Islam dalam seluruh lapangan.
Banyak para sahabat
yang memberikan persyaratan kepada orang yang mengerjakan tanahnya; yaitu
dengan ditentukan tanah dan sewanya dari hasil tanah baik berupa takaran
ataupun timbangan. Sedang sisa daripada hasil itu untuk yang mengerjakannya
atau masih dibagi dua lagi, misalnya.
Rasulullah s.a.w.
melihat, bahwa apa yang disebut keadilan, yaitu kedua belah pihak bersekutu
dalam hasil tanah itu, sedikit ataupun banyak. Tidak layak kalau di satu pihak
mendapat bagian tertentu yang kadang-kadang suatu tanah tidak menghasilkan
lebih dari yang ditentukan itu. Dalam keadaan demikian, maka pemilik tanah
berarti akan mengambil semua hasil, sedang di lain pihak menderita kerugian
besar. Dan kadang-kadang pula, suatu tanah yang ditentukan itu tidak
menghasilkan apa-apa, sehingga dengan demikian dia samasekali tidak mendapat
apa-apa, sedang di lain pihak (penyewa) memonopoli hasil.
Oleh karena itu
seharusnya masing-masing pihak mengambil bagiannya itu dari hasil tanah dengan
suatu perbandingan yang disetujui bersama. Jika hasilnya itu banyak, maka kedua
belah pihak akan ikut merasakannya, dan jika hasilnya sedikit, kedua-duanya pun
akan mendapat sedikit pula. Dan kalau samasekali tidak menghasilkan
apa-apa, maka kedua-duanya akan menderita kerugian. Cara ini lebih menyenangkan
jiwa kedua belah pihak.
Diriwayatkan dari jalan Rafi' bin Khadij, ia berkata:
"Kami kebanyakan pemilik tanah di Madinah melakukan muzara'ah, kami
menyewakan tanah, satu bagian daripadanya ditentukan untuk pemilik tanah ...
maka kadang-kadang si pemilik tanah itu ditimpa suatu musibah sedang tanah yang
lain selamat, dan kadang-kadang tanah yang lain itu ditimpa suatu musibah,
sedang dia selamat, oleh karenanya kami dilarang. (Riwayat Bukhari)
Di lain riwayat Rafi' bin Khadij berkata:
"Di zaman Nabi orang-orang biasa menyewakan tanah yang dekat sumber
dan yang berhadapan dengan parit-parit dan beberapa macam tanaman, maka yang
ini rusak dan yang itu selamat; yang ini selamat dan yang itu rusak, sedang
orang-orang tidak melakukan penyewaan tanah kecuali demikian, oleh karena itu
kemudian dilarangnya." (Riwayat Muslim)
Rasulullah s.a.w. bertanya kepada para sahabat:
"Apa yang kamu perbuat terhadap tanam-tanamanmu itu?" Mereka
menjawab: "Kami sewakan dia dengan 1/4 dan beberapa wasag dari korma dan
gandum." Maka jawab Nabi, "Jangan kamu berbuat demikian."
(Riwayat Bukhari)
Maksud hadis ini, yaitu mereka menetapkan ukuran tertentu yang mereka
ambilnya dari hasil tanah itu, kemudian membagi sisanya bersama orang-orang
yang menanaminya, untuk ini 1/4 dan untuk itu 3/4 misalnya.
Dari sini pula kita dapat mengetahui, bahwa Nabi sangat berkeinginan untuk
mewujudkan keadilan secara merata dalam masyarakatnya, serta menjauhkan semua
hal yang menyebabkan pertentangan dan perkelahian di kalangan masyarakat Islam.
Zaid bin Tsabit meriwayatkan, bahwa ada dua orang yang sedang bertengkar
tentang masalah tanah, kemudian mengadukannya kepada Nabi, maka jawab Nabi:
"Kalau ini persoalanmu, maka janganlah kamu menyewakan tanah." (RiwayatAbu
Daud)
Jadi masing-masing dari pemilik tanah dan penyewa, harus ada sikap
toleransi (tasamuh) yang tinggi. Misalnya si pemilik tanah jangan minta terlalu
tinggi dari hasil tanahnya itu. Begitu juga sebaliknya si penyewa jangan
merugikan pihak pemilik tanah.
Justru itu dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, ia
mengatakan:
"Sesungguhnya Nabi s.a.w. tidak mengharamkan menyewakan tanah
(muzara'ah), tetapi ia memerintahkan supaya satu sama lain bersikap lemah-lembut."
(Riwayat Tarmizi)
Dan justru itu pula, ketika Thawus ditanya, maka dia menjawab: Hai Abu
Abdirrahman! Kalau kamu tinggalkan penyewaan tanah (mukhabarah) niscaya mereka
akan beranggapan, bahwa Rasulullah s.a.w. melarangnya, padahal ia berkata:
"Bahwa saya akan menolong mereka dan akan memberi mereka." (Riwayat
Ibnu Majah)
Jadi tidak seluruh keinginannya Nabi akan mengerjakan tanahnya sekalipun di
situ ada orang yang sangat ingin untuk mengerjakannya. Tetapi Nabi akan
memberikan pertolongan kepada mereka dan akan memberinya. Dan inilah corak
masyarakat Islam.
Kadang-kadang ada juga pemilik tanah yang lebih suka tanahnya itu dibiarkan
gundul, tidak ditanami dan tidak ditaburi benih, daripada dia serahkan kepada
orang yang mampu mengurusnya dengan prosentase yang tidak menyenangkan. Oleh
karena itu Umar bin Abdul Aziz mengutus orang yang berkepentingan: supaya
pemilik tanah itu menyerahkan tanahnya dengan pembagian 1/4, 1/3, atau 1/5
sampai 1/10 dan jangan dibiarkan tanah itu dalam keadaan gundul.
Cara keempat, yaitu: menyewakan tanahnya tersebut dengan uang, misalnya si
pemilik tanah menyerahkan tanahnya itu kepada orang yang sanggup mengurusnya
dengan penyewaan berupa uang dengan jumlah tertentu.
Cara ini oleh kebanyakan ahli fiqih yang masyhur dibolehkannya. Tetapi
sementara ada yang melarangnya dengan dalil hadis sahih yang menerangkan, bahwa
Nabi s.a.w. melarang menyewakan tanah dengan penyewaan atau bagian tertentu,
yaitu hadis yang diriwayatkan dari Nabi oleh dua orang peserta Perang Badar,
Rafi' bin Khadij, Jabir, Abu Said, Abu Hurairah dan Ibnu Umar, semuanya
meriwayatkan dari Nabi, bahwa ia melarang menyewakan semua tanahnya.20
Dapat dikecualikan dari
penyewaan yang bernama kira' yaitu bentuk muzara'ah, karena tegas Nabi sendiri
selalu melakukannya bersama penduduk Khaibar semasa hidup beliau dan kemudian
dilanjutkannya oleh para Khulafaur Rasyidin.
Bagi orang yang mau
memperhatikan perkembangan perundang-undangan Islam dalam persoalan ini,
kiranya akan jelas baginya apa yang diterangkan oleh Ibnu Hazm dalam Muhalla:
"Bahwa Rasulullah s.a.w. datang di tengah-tengah masyarakat yang biasa
menyewakan tanah ladangnya --sebagaimana riwayat Rafi'dan lain-lain-- sedang
tanah ladang tidak dapat disangkal lagi adalah disewakan sebelum Muhammad
diangkat sebagai Rasul dan sesudahnya. Ini suatu hal yang tidak mungkin dapat
diragukan lagi oleh setiap orang yang berakal. Kemudian tegas riwayat Jabir,
Abu Said, Rafi', peserta Perang Badar dan dua orang peserta Perang Badar lagi
dan Ibnu Umar, yang menerangkan bahwa Rasulullah s.a.w. melarang kira' secara
keseluruhannya. Maka perkenan yang dahulu itu dibatalkan dengan yakin, tidak
diragukan lagi. Oleh karena itu barangsiapa beranggapan, bahwa mansukhnya
perkenan kira' itu telah ditarik kembali, dan kepastian mansukh itu telah
batal, maka dia adalah berdusta dan mendustakan; berkata sesuatu yang tidak
diketahuinya. Cara semacam ini jelas haram dengan nas al-Ouran, kecuali apabila
dia dapat membawakan dalil, sedang dalil untuk itu samasekali tidak ada,
melainkan disewanya tanah itu dengan suatu bagian yang ditentukan dari hasil
tanah tersebut misalnya 1/3 atau 1/4, dan ini tegas dilakukan sendiri oleh
Rasulullah s.a.w. terhadap penduduk Khaibar sesudah dilarangnya bertahun-tahun
lamanya. Dan penyewaan seperti ini terus berlangsung sampai beliau wafat."21
Yang berpendirian
seperti ini ialah sejumlah ulama salaf.
Thawus salah seorang
ahli fiqih dari Yaman dan seorang Tabi'in besar tidak suka menyewakan tanah
dengan emas atau perak (uang), tetapi dengan 1/3 atau 1/4.
Ketika pendapatnya ini
dibantah, dengan alasan bahwa Nabi melarang menyewakan tanah, maka Thawus
menjawab: "Mu'az bin Jabal --duta Nabi ke Yaman-- datang kepada kami,
kemudian menyewakan tanah dengan 1/3 dan 1/4 sedang kami mengetahuinya sampai
sekarang ini, yang seolah-olah menganggap, bahwa penyewaan tanah yang dilarangnya
itu ialah penyewaan dengan uang (emas dan perak). Adapun muzara'ah dipandangnya
tidak apa-apa."
Yang berpendapat
seperti ini ialah Muhammad bin Sirin dan al-Qasim bin Muhammad bin Abubakar
as-Siddiq. Keduanya berpendapat tidak salah kalau menyerahkan tanahnya kepada
orang lain dengan penyewaan 1/3, 1/4 atau 1/10 nya sedang si pemilik tanah
tidak memberikan pembelanjaan sedikitpun.
Di samping itu, kedua
ulama itupun berpendapat dilarang melakukan kira'.
Ada pula segolongan tabi'in yang tidak membolehkan penyewaan
tanah secara keseluruhannya, baik dengan uang ataupun bagi hasil. Tetapi satu
hal yang tidak diragukan lagi, bahwa mereka ini tidak mengetahui dibolehkannya
hal tersebut dengan fi'liyah Nabi sendiri, para khalifahnya dan Mu'az waktu di
Yaman. Dan inilah perundang-undangan dalam bidang pekerjaan yang ditetapkan
untuk kaum muslimin pada mass-masa permulaan.
Adapun larangan
menyewakan tanah dengan uang, sudah cocok dengan nas dan akal.
Qias yang dapat Menetapkan Dilarangnya Menyewakan dengan Uang
Qias yang benar
terhadap kaidah-kaidah Islam dan nas-nas yang sahih menetapkan tidak bolehnya
menyewakan tanah gundul dengan uang, sebagai berikut:
a) Rasulullah s.a.w.
melarang menyewakan tanah dengan satu bagian tertentu dari hasilnya, misalnya:
24 gantang, 48 gantang, 1 kwintal, atau 2 kwintal yang ditentukan untuk si
pemilik tanah.
Rasulullah s.a.w. tidak
membenarkan juga penyewaan tanah dengan bagian hasil (muzara'ah), melainkan
dengan bagian yang masih relatif misalnya 1/4, 1/3, 1/2 nya. Atau dengan kata
lain pembagian secara prosentase. Hal ini dimaksudkan supaya kedua belah pihak
sama-sama mendapat keuntungan apabila tanah tersebut menghasilkan buah dan
tidak diserang hama suatu apapun; dan juga
bersama-sama menerima kerugian apabila tanah tersebut diserang hama.
Adapun menentukan
bagian untuk salah satunya, supaya dia beroleh keuntungan besar dan di lain
pihak hanya mendapat keringat, kecapaian dan kerugian, tak ubahnya dengan
perbuatan riba dan berjudi.
Kalau kita mau
merenungkan masalah penyewaan tanah dengan uang menurut kacamata ini, maka
apakah perbedaannya dengan penyewaan bagi hasil (muzara'ah) yang dilarangnya?
Sebab pemilik tanah
sudah pasti akan menerima bahagiannya itu berupa uang, sedang pihak penyewa
akan mempertaruhkan tenaga dan kecapaiannya dengan tidak mengetahui apakah akan
beruntung atau rugi? Apakah tanahnya itu dapat menghasilkan atau tidak?
b) Orang yang
menyewakan sesuatu adalah tetap memilikinya sampai seterusnya. Oleh karena itu
dia berhak mendapat upah atas persediaan yang diberikan kepada pihak penyewa
dan persiapan guna dimanfaatkan oleh penyewa. Upah mana sebagai ganti atas
penyusutan yang dialami oleh barangnya itu sedikit demi sedikit.
Sekarang manakah
persediaan yang harus diberikan oleh si pemilik tanah untuk dipersiapkan buat
pihak penyewa? Padahal Allah menyediakan tanah untuk kita semua untuk ditanami,
bukan untuk dimiliki. Sekarang manakah penyusutan yang dialami oleh tanah
karena ditanami, sedang tanah tidak termakan dan tidak tergerak karena
ditanami, seperti halnya bangunan dan alat?!
c) Seseorang yang
menyewa rumah, secara langsung dapat memanfaatkan rumah itu dengan ditempati,
misalnya, tanpa ada yang menghalangi sedikitpun. Begitu juga orang yang menyewa
alat. Adapun penyewa tanah tidak dapat memanfaatkannya secara langsung. Ketika
dia menyewa tidak sekaligus dapat memanfaatkannya seperti halnya menyewa rumah,
bahkan dia harus berusaha dan mencurahkan fikiran guna memanfaatkannya, yang
kadang-kadang berhasil dan kadang-kadang tidak. Oleh karena itu setiap qias
(analogi) untuk menyamakan persewaan tanah dengan rumah, adalah suatu qias yang
tidak benar.
d) Dalam hadis Bukhari
diterangkan, bahwa Rasulullah s.a.w. melarang menjual buah-buahan yang masih
dalam kebun (baca: pohonnya) sebelum nampak jelas baiknya, padahal waktu itu
sudah diketahui selamat dari hama.
Kemudian Rasulullah s.a.w. dalam memberikan alasan larangannya itu sebagai
berikut:
"Apakah kamu akan
beranggapan, bahwa jika Allah melarang buah-buahan, kemudian salah seorang di
antara kamu itu halal mengambil harta saudaranya?" (Riwayat Bukhari)
Kalau demikian halnya
tentang orang yang menjual buah-buahan yang sudah nampak baiknya tetapi belum
dapat diyakinkan keselamatannya, yang kadang-kadang diserang oleh hama yang
menghalang kesempurnaan masaknya buah-buahan tersebut, maka bagaimana halnya
orang yang menyerahkan sebidang tanah gundul yang tidak dapat dipukul dengan
kayak dan tidak patut ditaburi benih. Apakah kepada orang semacam ini tidak
sepatutnya kita ajukan suatu pertanyaan: Apakah kamu akan beranggapan, jika
Allah melarang tentang buah-buahan, berarti kamu halal mengambil harta
saudaramu?!
Saya pernah menyaksikan
dengan mata-kepala sendiri, ada beberapa kebun kapas yang dimakan ulat,
sehingga tinggal pohonnya dalam keadaan kering tidak lagi menghasilkan apa-apa,
sedang si pemilik tanah tetap menuntut sewa, dan si penyewa tidak ada jalan
lain hanya menyerah bulat di bawah kekejaman belenggu yang melilit. Maka di
manakah letaknya tolong-menolong (ta'awun)? Dan di mana letaknya keadilan yang
selalu dicanangkan oleh Islam?
Keadilan tidak akan
terwujud, kecuali dengan muzara'ah (penyewaan bagi hasil menurut prosentase) di
mana keuntungan dan kerugian akan dipikul bersama oleh kedua belah pihak.22
Sekalipun Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah membolehkan menyewakan tanah, tetapi beliau sendiri
menyebutkan, bahwa muzara'ah adalah lebih sesuai dengan keadilan dan prinsip
syariah Islamiah. Beliau berkata: "Muzara'ah lebih halal daripada kira',
dan lebih mendekati kepada keadilan dan pokok ajaran Agama Islam. Sebab dalam
Muzara'ah itu kedua belah pihak bersekutu dalam keuntungan dan kerugian,
Berbeda dengan kira', maka pemilik tanah sudah pasti menerima keuntungan,
sedang pihak penyewa kadang-kadang dapat dan kadang-kadang tidak dapat."23
Al-Muhaqqiq Ibnul Qayim
dalam komentarnya terhadap kezaliman yang dilakukan oleh para penguasa dan
militer terhadap kaum petani di masa itu, ia mengatakan: "Kalau militer
dan penguasa mau mendukung kaum petani menurut syariat yang telah ditentukan
Allah dan RasulNya serta perbuatan para Khulafaur Rasyidin, niscaya mereka akan
memperoleh rezeki dari atas dan dari bawah, dan niscaya Allah akan membukakan
pintu-pintu barakahNya dari langit dan bumi. Namun penghasilan yang berlipat
sekarang ini mereka dapat dengan kezaliman dan permusuhan.
Tetapi kebodohan dan
kekejaman mereka itu tetap membantahnya, sehingga mereka hanya berbuat
kezaliman dan dosa. Mereka tidak mau menerima barakah dan keluasan rezeki. Oleh
karena itu kelak di akhirat mereka akan mendapat siksa dan dicabutnya barakah
itu di dunia ini."
Kalau ditanyakan:
"Bagaimanakah syariat yang telah ditentukan Allah dan Rasul serta
perbuatan para khalifah, sehingga orang dapat menirunya dan memperoleh taufik
dari Allah?"
Jawabnya: Penyewaan
dengan bagi hasil (mazara'ah) dengan adil, itulah yang harus lama-lama
dilakukan oleh pemilik tanah dan petani. Tidak ada keistimewaan untuk satu
pihak terhadap pihak lain dari ketentuan ini, menurut hukum Allah.
Mengistimewakan seseorang terhadap orang lain inilah yang menyebabkan hancurnya
negara, rusaknya masyarakat, terhalangnya hujan, hilangnya barakah dan menyebabkan
para militer dan pembesar berani makan barang haram. Padahal kalau sesuatu
tubuh tumbuh dari barang haram, maka nerakalah tempatnya.
Muzara'ah yang adil
adalah cara yang dilakukan oleh kaum muslimin di zaman Rasulullah. s.a.w., para
Khulafaur Rasyidin, keluarga Abubakar, keluarga Umar, keluarga Usman, keluarga
Ali dan kaum muhajirin. Dan ini pulalah yang menjadi pendirian kebanyakan para
sahabat, seperti: Ibnu Mas'ud, Ubai bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit dan lain-lain
lagi. Dan ini pula yang menjadi pendirian ulama ahli hadis, seperti: Imam
Ahmad, Ishak bin Rahawih, Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Daud bin Ali,
Muhammad bin Ishak bin Khuzaimah, Abubakar bin al-Mundzir, Muhammad bin Nasr
al-Maruzi. Dan ini juga yang menjadi pendirian kebanyakan ulama Islam seperti:
Al-Laits bin Sa'ad, Ibnu Abi Laila, Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan dan lain-lainnya.
Rasulullah s.a.w.
sendiri telah melakukan hal tersebut dengan penduduk Khaibar, yaitu dengan
separuh dari hasil tanah. Begitulah sampai beliau meninggal dunia.
Mu'amalah seperti ini
terus berlangsung sampai penduduk Khaibar itu dikeluarkan oleh Khalifah Umar
dari Khaibar. Nabi memberi persyaratan kepada mereka dengan biaya dan bibit
dari mereka, bukan dari Nabi.
Oleh karena itu
pendapat yang paling benar, ialah bahwa bibit boleh dari pihak penyewa,
sebagaimana nas hadis, dan boleh juga dari kedua belah pihak.
Al-Bukhari menyebutkan
dalam kitab Sahihnya, bahwa Umar Ibnul-Khattab menyewakan tanah dengan
perjanjian bibit dari Umar dan dia akan mendapat lebih dari separuh. Kalau
bibit dari mereka, maka mereka dapat lebih dari separuh juga.24
Seluruh riwayat yang
menerangkan tentang muzara'ah, sedikitpun tidak dikenal, bahwa bagian penyewa
tanah kurang dari separuh, bahkan kadang-kadang lebih dari separuh.
Memang yang cukup dapat
menyenangkan hati, ialah bagian penyewa tidak kurang dari separuh, sebagaimana
yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. dan para khalifahnya bersama orang-orang
Yahudi Khaibar.
Tidak layak kalau
bagian pemilik tanah lebih tinggi daripada bagian penyewa.
Syirkah dalam Memelihara Binatang
Ada satu macam mu'amalah yang berlaku di negeri kita ini
(Arab), khususnya di desa-desa, yaitu apa yang disebut syirkah dalam memelihara
hewan dan binatang ternak. Salah satu pihak membayar semua harga atau
sebagiannya, sedang di pihak lain memelihara. Sesudah itu antara kedua belah
pihak membagi hasil dan keuntungannya.
Supaya jelas, maka kami
akan menjelaskan beberapa macam bentuk syirkah ini, yaitu sebagai berikut:
BENTUK PERTAMA: Syirkah
semata-mata untuk tujuan dagang. Misalnya syirkah dalam memelihara anak lembu
supaya gemuk, atau memelihara sapi dan kerbau untuk menghasilkan susu.
Yang harus dipenuhinya
dalam hal ini, ialah pihak pertama harus membayar harga lembu, sedang pihak
kedua memeliharanya. Sedang pembiayaannya, seperti: makannya dan minumnya, dari
kedua belah pihak, bukan dari satu pihak saja. Dan kalau dijual, nafkahnya itu
dipisahkan dari harga penjualan, sedang sisanya dari keuntungan dibagi menurut
perjanjian.
Tidak adil kalau satu
pihak dibebani nafkah, padahal dia tidak diberi imbalan, sedang keuntungannya
dibagi dua. Ini kiranya cukup jelas.
BENTUK KEDUA: Syirkah
antara pihak pertama yang membayar harga binatang dengan pihak lain yang
memberi nafkah dan memelihara, dengan imbalan dia dapat memanfaatkan air
susunya atau dipergunakan membajak, menarik air dan menanam.
Cara ini tidak apa-apa
dan dapat dipandang baik apabila hewannya itu besar dan jelas dapat
dimanfaatkan, baik air susunya ataupun tenaganya.
Betul nafkah yang
dikeluarkan oleh pihak kedua dan kemudian dapat memanfaatkannya, itu tidak
dapat diketahui keadilannya dan tidak ada persesuaiannya dibanding dengan pihak
kedua, bahkan di dalamnya terdapat unsur kesamaran. Akan tetapi kami menganggap
baik hal tersebut, dan kesamaran-kesamaran sedikit tidak kami anggap, sebab ada
dalil yang hampir ada persamaannya dengan itu dalam syariat Islam, yaitu
tentang masalah gadai, apabila barang yang digadaikan itu berupa hewan yang
mungkin dikendarai atau diambil air susunya.
Dalam hadis yang sahih
itu Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Punggung binatang
itu boleh dinaiki karena nafkahnya apabila binatang tersebut tergadaikan; dan
air susu unta dapat diminum karena nafkahnya apabila binatang tersebut
digadaikan. Sedang kewajiban yang menaiki dan meminum air susunya ialah memberi
nafkah." (Riwayat Bukhari dari jalan Abu Hurairah)
Dalam hadis ini
Rasulullah s.a.w. menetapkan: karena nafkah, maka imbalannya ialah menaiki,
apabila punggung binatang tersebut memungkinkan untuk dinaiki. Atau imbalannya
itu air susunya, apabila binatang tersebut mempunyai air susu yang dapat
diperah.
Apabila dalam masalah
gadai ini dibolehkan, demi kepentingan kerjasama dan memperkuat hubungan antara
seorang dengan yang lain, padahal nilai nafkah kadang-kadang lebih banyak dan
kadang-kadang lebih sedikit kalau dibandingkan dengan nilai menaiki atau
memerah air susunya, maka tidak salah, kalau kami membolehkan yang seperti itu
dalam hal syirkah binatang seperti yang kami sebutkan di atas, demi memenuhi
kebutuhan orang banyak juga.
Apa yang kami
istimbatkan dari hadis ini seperti tersebut, adalah semata-mata pendapat kami.
Semoga benar juga!
Adapun syirkah dalam
hal anak lembu yang belum dapat diambil manfaatnya, baik tenaga maupun air
susunya, atas dasar harga dari satu pihak sedang nafkahnya dari pihak lain, maka
menurut kaidah Islam tidak dibenarkan. Sebab pihak yang mengeluarkan nafkah
akan menderita kerugian sendirian, tanpa ada imbalan baik tenaga ataupun air
susunya. Sedang di pihak lain dapat mengambil keuntungan atas biaya pihak ke
satu.
Ini, samasekali tidak
mencerminkan keadilan yang selalu ditekankan oleh Islam dalam seluruh macam
mu'amalah.
Tetapi kalau
dimungkinkan kedua belah pihak dapat membagi masalah nafkahnya sehingga tibalah
saatnya binatang tersebut dapat dimanfaatkan, maka hal ini boleh saja, menurut
pendapat kami.
21.Muhalla 8: 224.
22.Baca Muhalla 8; al-Qawaidun Nuraniyah oleh Ibnu
Taimiyah; Mulkiyatul Ardhi fil Islam, oleh Al-Maududi; Al-Muslimun (Mesir) th.
I oleh Mahmud Abu Su'ud dalam judul "Istighialul Ardhi fil Islam".
23.Risalah "Al-Hisbah fil Islam" oleh
Ibnu Taimiyah, hal 21.
24.Ath-Thuruqul Hakimah 248-250
Post a Comment