PRINSIP DA’WAH DALAM AL QUR’AN
PRINSIP DA’WAH DALAM AL QUR’AN
Pengertian dan Tujuan Da’wah
Da’wah Secara lughawi berasal dari bahasa Arab, da’wah
yang artinya seruan, panggilan, undangan. Secara istilah, kata da’wah berarti
menyeru atau mengajak manusia untuk melakukan kebaikan dan menuruti petunjuk,
menyuruh berbuat kebajikan dan melarang perbuatan munkar yang dilarang oleh
Allah Swt. dan rasul-Nya agar manusia mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di
akhirat.
Syaikh Ali Mahfuzh -murid Syaikh Muhammad Abduh- sebagai
pencetus gagasan dan penyusunan pola ilmiah ilmu da’wah memberi batasan
mengenai da’wah sebagai: “Membangkitkan kesadaran manusia di atas kebaikan dan
bimbingan, menyuruh berbuat ma’ruf dan maencegah dari perbuatan yang munkar,
supaya mereka memperoleh keberuntungan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.”
Da’wah adalah usaha penyebaran pemerataan ajaran agama di samping amar
ma’ruf dan nahi munkar. Terhadap umat Islam yang telah melaksanakan risalah
Nabi lewat tiga macam metode yang paling pokok yakni da’wah, amar ma’ruf, dan nahi
munkar, Allah memberi mereka predikat sebagai umat yang berbahagia atau umat
yang menang . Adapun mengenai tujuan da’wah, yaitu: pertama, mengubah pandangan
hidup. Dalam QS. Al Anfal: 24 di sana di siratkan bahwa yang menjadi maksud dari da’wah adalah menyadarkan manusia akan arti hidup yang sebenarnya. Hidup bukanlah makan, minum dan tidur saja. Manusia dituntut untuk mampu memaknai hidup yang dijalaninya.
Kedua, mengeluarkan manusia dari gelap-gulita menuju
terang-benderang. Ini diterangkan dalam firman Allah: “Inilah kitab yang kami
turunkan kepadamu untuk mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada
terang-benderang dengan izin Tuhan mereka kepada jalan yang perkasa, lagi
terpuji.” (QS. Ibrahim: 1)
Urgensi
dan Strategi Amar ma’ruf Nahi munkar
Dalam Al-Qur’an dijumpai lafadz “amar ma’ruf nahi munkar”
pada beberapa tempat. Sebagai contoh dalam QS. Ali Imran: 104: “Hendaklah ada
di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada
yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang
beruntung”. Hasbi Ash
Siddieqy menafsirkan ayat ini: “Hendaklah ada di antara kamu suatu golongan
yang menyelesaikan urusan dawah, menyuruh ma’ruf (segala yang dipandang baik
oleh syara` dan akal) dan mencegah yang munkar (segala yang dipandang tidak
baik oleh syara` dan akal) mereka itulah orang yang beruntung.”
Dalam ayat lain disebutkan “Kalian adalah umat terbaik
yang dilahirkan bagi umat manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah
dari yang munkar dan beriman kepada Allah” (QS. Ali Imran: 110). Lafadz amar
ma’ruf dan nahi munkar tersebut juga bisa ditemukan dalam QS. At Taubah: 71, Al
Hajj: 41, Al-A’raf: 165, Al Maidah: 78-79 serta masih banyak lagi dalam
surat yang lain.
Bila dicermati,
ayat-ayat di atas menyiratkan bahwa amar ma’ruf nahi munkar merupakan perkara
yang benar-benar urgen dan harus diimplementasikan dalam realitas kehidupan
masyarakat. Secara global ayat-ayat tersebut menganjurkan terbentuknya suatu
kelompok atau segolongan umat yang intens mengajak kepada kebaikan dan mencegah
dari kejelekan. Kelompok tersebut bisa berupa sebuah organisasi, badan hukum,
partai ataupun hanya sekedar kumpulan individu-individu yang sevisi. Anjuran
tersebut juga dikuatkan dengan hadits Rasulullah: “Jika kamu melihat umatku
takut berkata kepada orang dzhalim, ‘Hai dzhalim!’, maka ucapkan selamat
tinggal untuknya.”surat yang lain.
Dari ayat-ayat di muka dapat ditangkap bahwa amar ma’ruf
dan nahi munkar merupakan salah satu parameter yang digunakan oleh Allah dalam
menilai kualitas suatu umat. Ketika mengangkat kualitas derajat suatu kaum ke
dalam tingkatan yang tertinggi Allah berfirman: “Kalian adalah umat terbaik
yang dilahirkan untuk umat manusia.” Kemudian Allah menjelaskan alasan kebaikan
itu pada kelanjutan ayat: “Menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
munkar.” (QS. Ali Imran: 110). Demikian juga dalam mengklasifikasikan suatu
umat ke dalam derajat yang serendah-rendahnya, Allah menggunakan eksistensi
amar ma’ruf nahi munkar sebagai parameter utama. Allah Swt. berfirman: “Telah
dila’nati orang-orang kafir dari Bani Isra’il melalui lisan Daud dan Isa putera
Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu tidak melarang
tindakan munkar yang mereka perbuat.” (QS. Al Maidah 78-79). Dari sinipun
sebenarnya sudah bisa dipahami sejauh mana tingkat urgensitas amar ma’ruf nahi
munkar.
Bila kandungan
ayat-ayat amar ma’ruf nahi munkar dicermati, -terutama ayat 104 dari QS. Ali
Imran- dapat diketahui bahwa lafadz amar ma’ruf dan nahi munkar lebih
didahulukan dari lafadz iman, padahal iman adalah sumber dari segala rupa taat.
Hal ini dikarenakan amar ma’ruf nahi munkar adalah bentengnya iman, dan hanya
dengannya iman akan terpelihara. Di samping itu, keimanan adalah perbuatan
individual yang akibat langsungnya hanya kembali kepada diri si pelaku,
sedangkan amar ma’ruf nahi munkar adalah perbuatan yang berdimensi sosial yang
dampaknya akan mengenai seluruh masyarakat dan juga merupakan hak bagi seluruh
masyarakat.
Hamka berpendapat bahwa pokok dari amar ma’ruf adalah
mentauhidkan Allah, Tuhan semesta alam. Sedangkan pokok dari nahi munkar adalah
mencegah syirik kepada Allah. Implementasi amar ma’ruf nahi munkar ini pada
dasarnya sejalan dengan pendapat khalayak yang dalam bahasa umumnya disebut
dengan public opinion, sebab al ma’ruf adalah apa-apa yang disukai dan diingini
oleh khalayak, sedang al munkar adalah segala apa yang tidak diingini oleh
khalayak. Namun kelalaian dalam ber-amar ma’ruf telah memberikan kesempatan
bagi timbulnya opini yang salah, sehingga yang ma’ruf terlihat sebagai
kemunkaran dan yang munkar tampak sebagai hal yang ma’ruf.
Konsisnten dalam ber-amar ma’ruf nahi munkar adalah
sangat penting dan merupakan suatu keharusan, sebab jika ditinggalkan oleh
semua individu dalam sebuah masyarakat akan berakibat fatal yang ujung-ujungnya
berakhir dengan hancurnya sistem dan tatanan masyarakat itu sendiri. Harus
disadari bahwa masyarakat itu layaknya sebuah bangunan. Jika ada gangguan yang
muncul di salah satu bagian, amar ma’ruf nahi munkar harus senantiasa diterapkan
sebagai tindakan preventif melawan kerusakan. Mengenai hal ini Rasulullah Saw.
memberikan tamsil: “Permisalan orang-orang yang mematuhi larangan Allah dan
yang melanggar, ibarat suatu kaum yang berundi di dalam kapal. Di antara mereka
ada yang di bawah. Orang-orang yang ada di bawah jika hendak mengambil air
harus melawati orang-orang yang ada di atas meraka. Akhirnya mereka berkata
‘Jika kita melubangi kapal bagian kita, niscaya kita tidak akan mengganggu
orang yang di atas kita’. Jika orang yang di atas membiarkan mereka melubangi
kapal, niscaya semua akan binasa. Tetapi jika orang yang di atas mencegah, maka
mereka dan semuannya akan selamat.”
Suatu kaum yang senantiasa berpegang teguh pada prinsip
ber-amar ma’ruf nahi munkar akan mendapatkan balasan dan pahala dari Allah Swt.
yang antara lain berupa:
1.
Ditinggikan derajatnya
ke tingkatan yang setinggi-tingginya (QS. Ali Imran: 110). 2. Terhindar dari kebinasaan sebagaimana
dibinasakannya Fir’aun beserta orang-orang yang berdiam diri ketika melihat
kedzalimannya. 3.
Mendapatkan pahala
berlipat dari Allah sebagaimana sabda Nabi Saw.: “Barangsiapa yang mengajak
kepada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang
mengamalkannya sampai hari kiamat, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun”.
4.
Terhindar dari laknat
Allah sebagai mana yang terjadi pada Bani Isra’il karena keengganan mereka
dalam mencegah kemunkaran. (QS. Al-Maidah: 78-79).
Secara prinsipil seorang Muslim dituntut untuk tegas
dalam menyampaikan kebenaran dan melarang dari kemunkaran. Rasul Saw. bersabda:
“Barang siapa di antara kamu menjumpai kemunkaran maka hendaklah ia rubah
dengan tangan (kekuasaan)nya, apabila tidak mampu hendaklah dengan lisannya,
dan jika masih belum mampu hendaklah ia menolak dengan hatinya. Dan (dengan
hatinya) itu adalah selemah-lemahnya iman”. Hadits ini memberikan dorongan
kepada orang Muslim untuk ber-amar ma’ruf dengan kekuasaan dalam arti kedudukan
dan kemampuan fisik dan kemampuan finansial. Amar ma’ruf dan khususnya nahi
munkar minimal diamalkan dengan lisan melalui nasihat yang baik,
ceramah-ceramah, ataupun khutbah-khutbah, sebab semua. Muslim tentunya tidak
ingin bila hanya termasuk di dalam golongan yang lemah imannya.
Da’wah dan amar ma’ruf nahi munkar dengan metode yang
tepat akan menghantarkan dan menyajikan ajaran Islam secara sempurna. Metode
yang di terapkan dalam menyampaikan amar ma’ruf nahi munkar tersebut sebenarnya
akan terus berubah-ubah sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat yang dihadapi
para da’i. Amar ma’ruf dan nahi munkar tidak bertujuan memperkosa fitrah
seseorang untuk tunduk dan senantiasa mengikuti tanpa mengetahui hujjah yang
dipakai, tetapi untuk memberikan koreksi dan membangkitkan kesadaran dalam diri
seseorang akan kesalahan dan kekurangan yang dimiliki.
Ketegasan dalam menyampaikan amar ma’ruf dan nahi munkar
bukan berarti menghalalkan cara-cara yang radikal. Implementasinya harus dengan
strategi yang halus dan menggunakan metode tadarruj (bertahap) agar tidak
menimbulkan permusuhan dan keresahan di masyarakat. Penentuan strategi dan
metode amar ma’ruf nahi munkar harus mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat
yang dihadapi. Jangan sampai hanya karena kesalahan kecil dalam menyampaikan
amar ma’ruf nahi munkar justru mengakibatkan kerusakan dalam satu umat dengan
social cost yang tinggi.
Dalam menyampaikan amar ma’ruf nahi munkar hendaknya
memperhatikan beberapa poin yang insya Allah bisa diterapkan dalam berbagai
bentuk masyarakat:
1.
Hendaknya amar ma’ruf nahi
munkar dilakukan dengan cara yang ihsan agar tidak berubah menjadi
penelanjangan aib dan menyinggung perasaan orang lain. Ingatlah ketika
Allah berfirman kepada Musa dan Harun agar berbicara dengan lembut kepada
Fir’aun (QS. Thaha: 44).
2. Islam adalah agama yang berdimensi
individual dan sosial, maka sebelum memperbaiki orang lain seorang Muslim
dituntut berintrospeksi dan berbenah diri, sebab cara amar ma’ruf yang baik
adalah yang diiringi dengan keteladanan. 3.
Menyampaikan amar ma’ruf
nahi munkar disandarkan kepada keihklasan karena mengharap ridla Allah, bukan
mencari popularitas dan dukungan politik.
4.
Amar ma’ruf nahi munkar
dilakukan menurut Al-Qur’an dan Al-Sunnah, serta diimplementasikan di dalam
masyarakat secara berkesinambungan.
Dalam
menyampaikan da’wah amar ma’ruf nahi munkar, para da’i dituntut memiliki rasa
tanggung jawab yang tinggi, baik kepada Allah maupun masyarakat dan negara. Bertanggung
jawab kepada Allah dalam arti bahwa da’wah yang ia lakukan harus benar-benar
ikhlas dan sejalan dengan apa yang telah digariskan oleh Al Qur’an dan Sunnah. Bertanggung
jawab kepada masyarakat atau umat menganduang arti bahwa da’wah Islamiyah
memberikan kontribusi positif bagi kehidupan sosial umat yang bersangkutan. Bertanggung
jawab kepada negara mengandung arti bahwa pengemban risalah senantiasa
memperhatikan kaidah hukum yang berlaku di negara dimana ia berda’wah. Jika
da’wah dilakukan tanpa mengindahkan hukum positif yang berlaku dalam sebuah
negara, maka kelancaran da’wah itu sendiri akan terhambat dan bisa kehilangan
simpati dari masyarakat.
Post a Comment