IBADAH HORISONTAL
Dalam masalah ibadah horizontal yang
diajarkan oleh para nabi, khususnya Rasulullah, pembahasan dibatasi pada
permasalahan yang dihujat oleh Dr.
Robert Morey.
Namun demikian ajaran-ajaran sosial lainnya, dapat kita temui dalam bab-bab
lain yang menyinggung
masalah ini, seperti bahasan tentang al-Qur'an dan al-Hadits.
Hukum Islam dikenal dengan nama Syariah
yang mencakup setiap aspek kehidupan manusia -persoalan-persoalan hukum, moral,
ritual bahkan masalah kesehatan. Awalnya, kaum muslim memang bertindak
berdasarkan kebiasaan masyarakat Arab, tetapi pembentukan masyarakat
politico-religius di Madinah mengharuskan mereka berhadapan dengan
persoalanpersoalan baru, secara perlahan Al-Quran menetapkan aturanaturan
tentang hal tersebut. Bagaimanapun juga, peraturanperaturan ini tidak
berhubungan dengan seluruh persoalan yang mungkin timbul. Dan, di masa setelah
Rasulullah saw. wafat, mereka melengkapinya berdasarkan Sunnah atau praktik yang
biasa dilakukan Nabi.
Pengkajian Syariah dikenal dengan
nama fiqh, 'yurisprudensi' dan
praktisinya dekenal sebagai fuqaha,'
hakim Selain kata tersebut digunakan kata ulama' untuk menyatakan
orang yang mengetahui'.
Akan tetapi istilah ini lebih dimaknai sebagai "ilmuwan" atau "ahli hukum".
Beberapa saat sepeninggal Rasulullah SAW, orang-orang saleh yang biasa berkumpul
dimasjid mengumpulkan orang-orang yang tertarik mendiskusikan
interpretasi aturan Al Quran dan persoalan-persoalan sejenis. Perlahan-lahan
kelompok-kelompok ini menjadi aliran yang lebih terorganisir dan dari sinilah
fuqaha'dan ulama'dilahirkan. Pada akhirnya dikenal empat mazhab.
Kemudian empat Mazhab ini dengan
status mufti, yakni
orang-orang yang berkualifikasi untuk mengeluarkan "opini" resmi mengenai hukum
(fatwa). Mereka memang diangkat, namun tidak memperoleh gaji sekalipun mereka
dapat meminta bayaran atas fatwa yang dikeluarkannya itu. Dengan demikian,
institusi keagamaan yang berada dibawah Syaikh Al-Islam itu mengawasi seluruh
pendidikan tinggi, pelaksanaan hukum, dan yang dalam hal tertentu, harus
memperjelas perumusan undangundang. Namun demikian, opini seorang mufti,
sekalipun memegang posisi resmi, bukanlah opini akhir, melainkan dapat ditentang
oleh mufti lain asalkan dia memang mampu menandingi argumen-argumen mufti
pertama. Jadi tidak benar bila dikatakan : "Pimpinan suku yang memutuskan apakah
anda perlu hidup atau harus mati."25
Para fuqaha' generasi pertama
dikenal sangat tegas pendiriannya dalam menyatakan bahwa administrasi negara
Islam dan system
yudisialnya wajib dilandasi prinsip-prinsip Islam, bukan didasari adat istiadat
Arab, sebagaimana yang dituduhkan oleh Dr. Robert Morey.
Karakter syariah juga mempengaruhi
penentuan fungsi hakim di pengadilan syariah. Karena tak ada teks yang otoritatif, dalam pembuatan
keputusan, sang hakim memiliki tingkat fleksibilitas tertentu, dan dia dapat
memasukkan modifikasimodifikasi ringan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
kondisi-kondisi setempat dengan menyeleksi teks-teks yang pas sebagai dasarnya.
Pada masa Khalifah Abbasiyah (750-1258), selain mahkamah syariah terdapat pula
yuridiksi lainnya. Karena terdapat kelemahan tertentu dalam pemfungsian
pengadilanpengadilan syariah, Khalifah Abbasiyah mengangkat seorang petugas
yang disebut muhtasib yang diberi yuridiksi dalam urusan-urusan sehari-hari dan
sebagai juru sensor bagi moral rakyat. Para perwira polisi tertentu juga
diberi kekuasaan yuridiksial, dan di Baghdad untuk menangani kasus-kasus
pidana dan perdata yang serius, didirikan sebuah mahkamah tinggi yang disebut
mazalim.
Pelembagaan peradilan-peradilan
seperti itu tidak bertentangan dengan syariah sebab urusan-urusan kriminal
(keputusan) diserahkan pada kebijakan luas sang penguasa. Jadi jelas disini
bahwa yang memutuskan apakah anda perlu hidup atau harus mati adalah
bukan pimpinari suku sebagaimana yang ditulis Dr. Robert Morey. 26
Hukum Islam pada hakikarnya berbeda dari
hukum Barat dalam hal sumber hukumnya, dan juga dalam hal area yang dapat
diperkarakan: dalam Islam praktis tidak ada aspek kehidupan manusia yang tidak
tersentuh hukum. Hukum Islam merupakan tatanan yang mengatur segala segi
kehidupan, di mana, yang hanya terdapat dalam hukum Musa, bahkan aturanaturan
protokoler dan etiket ditetapkan dalam hukum. Akibatnya, mustahil untuk menarik
perbedaan yang jelas antara ahli teologi dan ahli hukum Muslim. Kenyataan bahwa
teologi dan yurisprudensi itu disamakan mengandung arti bahwa Islam sebagai
suatu kepercayaan dan peradaban, agama dan budaya, tidak dapat dipahami tanpa
memahami yurisprudensi Islam.
Boleh dikatakan bahwa Islam telah banyak memperbaiki (adat
jahat) Jahiliyyah. Di Arabia pra-Islam individu tak memiliki hak-hak sebagai
individu, melainkan hanya sebagai anggota dari suatu kelompok kerabat. Apabila
ada yang menjumpai seseorang di padang pasir dan tak menyukai penampilannya, maka
tak ada yang dapat melarangnya untuk membunuh orang tersebut selain dari rasa
takut retaliasi dari sukunya. Tegasnya, hak untuk hidup bergantung pada
"perlindungan" (kemampuan untuk melakukan balas dendam) dari kelompok kerabat.
Ketika ummah Islam mengganti (system) kelompok kerabat itu, hak ini seperti
hak-hak lainnya juga jelas ditegaskan secara lebih terjamin.27
Berdasarkan al-Quran, hak dasar
berikut ini sudah dijamin secara hukum selama 1400 tahun sampai sekarang: hak
hidup,
hak jasmaniah untuk tidak diganggu,
hak untuk mendapatkan perlakuan setara/non-diskriminasi, hak atas kekayaan, hak
mempertahankan kebebasan hati nurani, hak perkawinan, hak mendapat pengadilan
hukum, hak untuk dinyatakan tidak bersalah sebelum terbukti sebaliknya hak untuk
tidak mendapatkan hukuman tanpa ancaman hukuman sebelumnya, hak perlindungan
dari siksaan, dan hak suaka.28
Dr. Robert Morey menganggap bahwa hukum dunia Islam,
sebagai sejarah hukum barbar, meskipun anggapan tersebut tentu saja berlawanan
dengan fakta yang telah kita bahas di atas. Hal ini menunjukkan bahwa mereka
berupaya menunjukkan Islam dalam bentuk yang paling mengerikan, atau tidak punya
pengetahuan sedikitpun mengenainya.
Konsep Barat mengenai hak asasi
manusia dianggap sebagai tuntutan Negara. Seperti yang telah diketahui secara
luas, perumusan hak asasi menusia yang klasik di abad-abad sebelumnya ditujukan
untuk membatasi kekuasaan Negara saja, dengan memberikan kepada warga negara
kebebasan dari sesuatu atau keleluasaan untuk melakukan sesuatu. Negara, yang
dikendalikan dengan undang-undang hak asasi, dicegah agar tidak menarik pajak,
menahan, merampas atau menjatuhkan hukuman mati semau-maunya. Tekanannya bukan
pada apa yang harus dilakukan Negara, melainkan apa yang seharusnya tidak
dilakukan oleh negara. Namun, balakangan ini, hak asasi manudia telah dirumuskan
dalam pengertian tuntutan akan aksi kesejahteraan Negara. Negara harus menjamin
lapangan kerja, perumahan, perawatan kesehatan, bahkan hak untuk menikmati alam
dan kebahagiaan individu. Ini telah mendorong pada turunnya nilai "hak asasi
manusia" dan turunnya nilai sektor negara. Penyimpangan-penyimpangan ini
sama-sama dapat membahayakan kelangsungan hidup cita-cita yang mulia dari hak
asasi manusia karena hilangnya kaitan transendental.
Sedangkan bagi ummat Muslim, setiap
hak harus bersumber dari ilahi -Al-Quran dan Sunnah Nabi-. Dan hak dasar tidak
mungkin diciptakan oleh manusia melainkan hanya dapat ditampilkan kembali
olehnya.
Lebih jauh lagi, hukum Islam berbeda
dari barat karena mempertimbangkan bahwa semua hak, termasuk hak asasi manusia,
hanya terjamin dengan sungguh-sungguh jika seluruh sistem sosial clan hukum
berada dalam kondisi yang baik, yaitu bahwa tujuan mulia keadilan hanya bisa
diwujudkan sebagai produk sampingan dari system sosial yang komprehensif clan
adil, dan bukan secara terpisah.29
Menurut hukum Islam, hak untuk
beralih agama tanpa menimbulkan kerugian hukum tidak berlaku bagi seorang
Muslim. Paling-paling, peralihannya ke agama lain akan mendatangkan konsekuensi
menyangkut warisan dan kemungkinan perkawinannya (batalnya keabsahan
perkawinannya dengan seorangwanita Muslim), meskipun jelas tidak ada perintah
Al-Quran untuk menghukum mati orang yang murtad tersebut. Sedangkan ayat 5:33
adalah hukuman mati bagi pengkhianat di masa perang, karena kebanyakan yang
murtad adalah orang yang berkhianat. Situasi ini akan dapat dipahami dengan
mudah jika menjadi seorang Muslim disamakan dengan mendapatkan kewarganegaraan
di sebuah negara Barat. Tidak ada yang menyangkal bahwa hak istimewa atau
kewajiban tertentu ada kaitannya dengan pemilikan kewarganegaraan.
Pada kenyataannya, demokrasi yang
berkembang di dunia saat ini, adalah demokrasi berdasar suara mayoritas. Negara
yang berpenduduk mayoritas Kristen tentu risih dipimpin seorang Muslim, begitu
sebaliknya. Hanya bedanya, minoritas nonmuslim di negara muslim lebih aman
ketimbang minoritas muslim di negara non-muslim. Berita penganiayaan atas mereka
tidak berhenti hingga sekarang. Berita yang masih hangat, Perancis ingin
melarang pemakaian jilbab oleh pelajar muslim dengan alasan sekulerisasi,
dipihak lain mereka menuduh Saudi yang mewajibkan jilbab sebagai negara yang
tidak demokratis. lantas apa arti demokrasi yang sebenarnya? Apa yang diterapkan
dengan setandar ganda?
Sistem hukum di seluruh dunia
dihadapkan pada masalah: apa yang harus dilakukan jika ada pasangan suami-istri
tidak sepakat tentang cara mengatasi urusan keluarga dalam berbagai hal.
Bagaimanapun juga, keputusan berdasarkan suara terbanyak mustahil diambil. Hanya
ada dua solusi yang
mungkin: Pertama Islam memberikan solusi bahwa salah satu pihak secara umum,
atau dalam kasus-kasus tertentu, menyerahkan keputusan kepada pasangannya (yang
berarti memberinya hak veto). Kedua, bahwa masalah tersebut dibawa keluar dari
lingkup keluarga untuk dicarikan pemecahan atau keputusannya dalam lingkup
keluarga besar, kantor catatan sipil atau pengadilan. Inilah cara Barat, dengan
hasil keputusan yang tidak masuk akal sehingga, pernah kejadian, para petugas
kantor catatan sipil di Jerman secara harfiah melempar dadu untuk menentukan
nama keluarga apa yang harus diberikan kepada istri jika pasangan itu berselisih
paham.
Islam lebih cenderung pada pendapat
bahwa urusan keluarga harus diputuskan oleh keluarga itu sendiri dan, secara
umum, memberi hak veto kepada suami -yang biasanya merupakan pemberi nafkah dan
pelindung. Sebagaimana firman tuhan:
"Kaum pria adalah pelindung bagi kaum
wanita, sebab Allah telah melebihkan golongannya dari golongan perempuan, dan
karena pihaknya adalah sebagai pemberi nafkah dengan hartanya. "
Ayat ini tidak bisa ditafsirkan
sebagai pernyataan bahwa pria lebih unggul daripada wanita. Ayat ini tidak
mempermasalahkan status
melainkan isu-isu praktis yang berkaitan dengan perawatan dan perlindungan.
Namun hal ini merupakan penghormatan bagi kaum wanita. Bahkan Rasulullah sendiri
mencontohkan pernah membantu istrinya memasak di dapur. Para pewaris nabi -yaitu Ulama-
banyak yang lebih
memilih memenuhi kewajiban sebagai suami ketimbang meminta haknya. Alm. Kiai
Hamid (Pasuruan) memberikan suri tauladan bagaimana beliau tidak pernah
menang-menangan (gengsi) apalagi berbuat eksploitatif terhadap istrinya, beliau
selalu diam jika sang istri sedang marah, padahal semua tahu bagaimana wibawa
Kiai Hamid yang dikenal sebagai seorang wali.30
Dalam Islam, seorang laki-laki jika hendak
mempersunting Wanita maka ia harus memiliki kesiapan mental menjadi penanggung
jawab dan pemberi nafkah atas seluruh keluarga.
Kesiapan mental untuk mengayomi dan mendidik
istri dan keluarga, serta kesiapan finansial, hal ini menjadi penetapan adanya
persyaratan kufu' dan ba'ah dalam Islam.
Perkawinan merupakan institusi
penting yang dilindungi
dalam Islam, sehingga perkawinanpun diharapkan bisa kekal. Tujuan ini
menjelaskan adanya larangan mutlak terhadap hubungan seksual di luar
pernikahan31, celaan terhadap homoseksualitas,32 dan pencegahan perceraian.
Upaya melindungi perkawinan inilah
merupakan alasan utama di balik aturan Al-Quran yang sering disalahgunakan dan paling
banyak dipahami secara keliru, yang menyatakan bahwa seorang suami boleh
"memukul" istrinya. Ayatnya berbunyi sebagai berikut:
"Sedangkan wanita-wanita yang kamu khawatirkan kedurhakaannya,
berilah pengajaran yang baik, hukumlah dengan berpisah tidur, dan pukullah
mereka. "33
Tradisi Islam menyepakati bahwa aturan ini
dimaksudkan untuk menyelamatkan perkawinan yang bermasalah, dan dengan cara itu
mencegah terjadinya perceraian yang tidak bisa diperbaiki lagi. Dengan mengingat
ini, ada persetujuan umum di kalangan Muslim dari masa paling awal bahwa
"memukul" hanya boleh dilakukan dalam gerakan isyarat saja, dan jelas tanpa
maksud untuk melukai secara fisik. Jika reaksi yang diberikan lain justru akan
sia-sia -menghancurkan, bukannya melestarikan ikatan perkawinan yang terancam.
Nabi secara pribadi menolak hukuman badan apa pun terhadap
istri-istrinya.
Dalam mengulas masalah wanita ini
sekali lagi Dr. Robert
Morey bersikap
tidak tahu-menahu tentang sejarah Pra Islam dan sejarah setelah datangnya
Islam. Setelah menyitir perkataan Ali Dashti tentang perlakuan masyarakat
sebelum Islam terhadap wanita34 kemudian ia menampilkan ayat Al-Quran tentang
kepemimpinan pria atas wanita dalam Surah 4:34. Sehingga gambaran perlakuan
Islam terhadap wanita terlihat sampai pada puncak sadisme.
Hukum Islam tidak menunjukkan diskriminasi
terhadap kaum wanita jika dibandingkan dengan kaum pria, selama apa yang sama
diperlakukan sama. Dan inilah inti masalahnya: sebab teori Barat semata-mata
menolak relevansi perbedaan hukum antara pria dan wanita, sementara Islam
menolak untuk menuruti fiksi tersebut.
Demikian juga ajaran Islam tentang kewajiban istri untuk
izin kepada suami sebelum meninggalkan rumah, adalah untuk mengembalikan
martabat sebagai seorang istri, yang mempersembahkan dirinya hanya untuk
suaminya dan tidak ingin kelihatan seakan-akan dia masih mencari-cari suami.
Dengan izin kepada suami maka akan terjaga dari kecurigaankecurigaan, sehingga
kesucian keluarga masih tetap terjaga. Jadi tujuan aturan ini bukan berarti
merendahkan perempuan dan meniadakan hak-hak sipil kaum wanita.35
Dalam situasi perkawinan dimana tidak
ada jalan keluar lain,
perceraian tetap diizinkan sebagai pintu darurat yang dibutuhkan dan boleh
dilakukan oleh suami maupun istri. Yang membedakan hanyalah prosedurnya.
Perceraian yang diusulkan oleh pria (thalaq) lebih mudah prosedurnya. Perceraian
sudah final jika secara sepihak diucapkan oleh suami dalam jangka waktu tiga
bulan. Ini berarti bahwa dengan perceraian itu dia kehilangan seluruh uang yang
mungkin jumlahnya sangat besar (al-mahr) yang harus diberikannya kepada istrinya
sebelum perkawinan. Jika istri juga datang memutuslcan ikatan perkawinan dengan
cara yang begittt mudah, itu dapat mendorong timbulnya penyalahgunaan hadiah
perkawinan dengan cara sistematis. Karena alasan inilah maka pengadilanlah yang
harus memutuskan perceraian yang dimintakan oleh pihak istri (khulu'). Jadi
ajaran Islam tidak meniadakan hak wanita dalam perceraian.36
Hukum waris Al Quran menetapkan warisan diberikan
kepada anak laki-laki maupun perempuan jika orang tua mereka
meninggal,37 di mana anak perempuan mendapatkan warisan hanya
separo bagian dari yang
diterima anak laki-laki.38 Alasan di balik aturan ini adalah karena pewaris
laki-laki merupakan satu-satunya penanggung jawab keuangan -pemberi nafkah- atas
seluruh keluarga. Dengan kewajiban berbeda, maka berbeda pula hak yang diberikan.
Secara umum, hukum Islam mensyaratkan bahwa suatu fakta
harus didukung oleh kesaksian dua orang, tetapi kesaksian dari dua wanita
nilainya sama dengan kesaksian dari satu pria.39 Murad Hofman menganggap bahwa alasan dibalik peraturan
ini adalah hanya berakar pada kondisi fisik yang biasanya mempengaruhi wanita
pada waktu-waktu tertentu, yaitu, siklus yang sering menimbulkan sindroma
pra-menstruasi; depresi pasca-kelahiran; pengaruh menopouse). Mengakhiri bahasan
ini, ada baiknya kita simak laporan sebuah majalah hukum di Perancis "LA VIE JURIDIQUE DES POYPLES",
menyatakan:
"Dalam hukurn Islam, hak-hak kaum warrita jauh
lebih luas dari pada hak-hak kaum wanita dalam konsepsi hukum
sekarang.
Di Dunia Islam, seksualitas dan percintaan
tidak dipamerkan dijalan jalan. Pornografi tidak bisa diterima. Gadisgadis yang
ingin menikah lazimnya tidak mau melakukan hubungan seks sebelum menikah. Anak
haram merupakan sesuatu yang amat langka. Kebanyakan mempelai wanita masih
perawan saat mereka menikah. Iklan-iklan yang menawarkan pertukaran istri, pesta
nudis di pantai, bar homoseks, komune mahasiswa jarang ditemui di negara-negara
Muslim pada umumnya.
Pakaian pria dan wanita, termasuk apa
yang dinamakan kerudung
(hijab), mencerminkan ini; sebab dari sudut pandang Islam, logis saja bahwa kita
tidak berusaha memancing sesuatu hal yang tidak kita inginkan untuk
terjadi.
Sepanjang menyangkut tubuh manusia,
ada satu consensus dasar
antara Timur dan Barat: kedua peradaban ini tidak mengizinkan orang, kecuali
bayi, untuk berjalan telanjang ke Sana kemari dalam kehidupan
sehari-hari. Tetapi, ada banyak perbedaan menyangkut sejauh
mana pakaian dibutuhkan di muka umum.
Di dunia Islam sendiri, tidak ada pandangan
yang seragam mengenai masalah ini, seperti yang dapat kita lihat dari pakaian
wanita di Maroko, Aljazair, Tunisia, Anatolia, Mesir, Yordania.
Negara-negara Teluk,
Saudi Arabia, Pakistan,
Malaysia, dan Indonesia.
Di dalam al Quran, ini hanya protokoler yang
diterapkan bagi istri-istri Nabi. Sedangkan untuk Perempuan Muslim di Mesir
diartikan dengan pakaian dengan tangan dan muka saja yang terbuka, sedangkan di
Iran diinterprestasikan dengan Chador (cadar). Sedangkan laki-laki
diwajibkan untuk berpakaian pantas, namun perempuan tidak disuruh mencadari diri
dari pandangan, atau memencilkan diri dari laki-laki dalam bagian terpisah di
rumah. Ini merupakan perkembangan kemudian, dan tidak menyebar di kerajaan Islam
sampai tiga atau empat generasi setelah kematian Rasulullah SAW Terlihat bahwa
adat pencadaran dan pemisahan perempuan memasuki dunia Muslim dari Persia dan
Byzantium, dimana perempuan sudah lama diperlakukan demikian.
Kenyataannya, cadar atau hijab tidak
dirancang untuk merendahkan istri-istri Rasulullah SAW melainkan sebagai symbol status
tertinggi. Setelah kematian Rasulullah SAW, istriI strinya menjadi orang-orang
yang amat berpengaruh. Mereka memiliki otoritas dalam hal agama dan kerap
dimintai konsultasi tentang praktik (sunnah) dan pendapat-pendapat Rasulullah
SAW Aisyah menjadi amat penting di dunia politik. Tampak bahwa kelak
perempuan-perempuan lain iri akan status istriistri Rasulullah SAW dan menuntut
agar mereka diizinkan memakai cadar juga. Kebudayaan Islam sangat egaliter dan
tampak tidak pantas bahwa istri-istri Nabi harus dibedakan dan dihormati dengan
cara ini. Maka banyak perempuan Muslim yang mula-mula memakai cadar memandangnya
sebagai simbol kekuatan dan pengaruh, bukan sebagai tanda tekanan laki-laki.
Jelas ketika para istri prajurit Perang Salib melihat penghormatan yang didapat
oleh perempuan Muslim, mereka juga mengenakan cadar dengan harapan mengajari
laki-laki mereka untuk memperlakukan mereka dengan lebih baik. Selalu sulit
untuk mengerti simbol-simbol dan praktik-praktik kebudayaan lain. Maka sulit
dimengerti bila Dr. Robert Morey menguraikan bahwa kerudung dianggap sebagai
memaksakan busana gurun kepada para wanita di manapun mereka berada, dan hal itu
merupakan suatu bentuk imperialisme budaya.41 Hal ini menunjukkan kurangnya
pengetahuan dia terhadap sejarah. Di Eropa, orang barat mulai menyadari bahwa
mereka kerap salah interprestasi dan memandang rendah kebudayaan
tradisi lain di koloni-koloni dan protektoriat mereka. Banyak perempuan Muslim
hari ini, bahkan mereka yang dibesarkan di Barat, merasa tersinggung ketika kaum
feminis Barat mengutuk kebudayaan mereka sebagai kebencian terhadap perempuan.
Kebanyakan agama berisikan hal-hal (bersifat) laki-laki dan memiliki bias
patriarki. Namun salah bila memandang Islam sebagai yang lebih buruk dalam hal
ini dibanding dengan tradisi lainnya. Di Abad Pertengahan, posisinya adalah
kebalikannya: pada masa itu kaum Muslim terperangah melihat cara-cara orang
Kristen Barat memperlakukan perempuan-perempuan mereka di negara-negara Perang
Salib. Kaum terpelajar Kristen mencela Islam karena memberikan terlalu banyak
kekuatan kepada makhluk yang mereka pandang rendah seperti para budak dan
perempuan.42
Kini ketika sebagian perempuan Muslim kembali pada busana
tradisional mereka, ini tidak selalu berarti bahwa otak mereka telah dicuci oleh
agama yang sovinis, melainkan karena mereka menemukan bahwa kembali ke akar
budaya sangat memberikan kepuasan. Jika kita simak Bibel, ternyata ada kewajiban
bagi umat Kristiani yang perempuan untuk berkerudung.
"Sebab jika perempuan tidak mau
menudungi kepalanya, maka haruslah ia juga menggunting rambutnya. Tetapi jika
bagi perempuan adalah penghinaan, bahwa rambutnya digunting atau dicukur, maka
haruslah ia rnenudungi kepalanya."43
Ini merupakan bantahan pada sikap
imperialis Barat yang
mengaku lebih memahami tradisi-tradisi dari pada mereka sendiri.
NOTES
25. Robert Morey, Ibid.
26. W Montgomery Watt, Fundamentalis dan
Modernitas dalam Islam, terj. Kurnia Sastrapraja & Badri Khoiruman, CV
Pustaka Setia, Bandung, 2003, hal 141
27. Murad VV Hofman, Menengok kembali
Islam kita, terj. Rahmani Astuti, Pustaka Hidayah, Bandung, 2002, hal
207.
28. Murad W Hofman, lok.
cit.
29. Hamid Ahmad, KIAI HAMID Pasuruan,
LISLam-Pasuruan, cetakan V, tahun 2003, hal. 40.
33.Lihat Robert Morey, op. cit. hal
32,
Ali Dashti, seorang ahli mengenai
Islam yang sangat terkenal, menyatakan:
"Dalam Masyarakat Arab sebelum Islam,
para wanita tidak mempunyai status sebagai seorang merdeka, mereka dianggap
menjadi milik kaum laki-laki. Segala macam perlakuan tidak manusiawi terhadap
wanita masa itu sudah menjadi pemandangan yang biasa dan memang
diijinkan."
39. LA VIE JURIDIQUE DES POYPLES :
(majalah hukum di Perancis), terbitan tahun 1949, volume VII, hal.
154.
41. Karen Armstrong, Muhammad sang nabi,
terj. Sirikit Syah, Risalah Gusti, Surabaya, 2003, ha1-284
42. I Korintus, 11:6
43. Robert Morey, op. cit., hal
24
Post a Comment