Istilah, Rasa Bahasa, dan Menyambut 'Iedu lQurban
Istilah, Rasa Bahasa, dan Menyambut 'Iedu lQurban
Ada
sebuah anekdot. Di dalam sebuah rumah makan di sebuah kota di Amerika Serikat,
seorang pengunjung, mahasiswa asing, untuk menikamti hidangan di situ tentunya,
matanya kelihatan bersinar kegirangan setelah membaca menu. Pasalnya ialah di
situ tercantum makanan/daging kegemarannya. Setelah pelayan mengantarkan makanan
kegemarannya itu, langsung dia protes: No, no, no, I want the whole dog, not
only the tail. Makanan yang dipesan itu adalah hot dog sejenis nyuknyang
atau bakso yang bentuknya seperti buntut. Anekdot di atas itu menunjukkan
bagaimana gampangnya terjadi kesalah-pahaman dalam berkomunikasi yang menyangkut
penggunaan istilah yang di dalamnya tidak terdapat lagi identitas benda yang
sebenarnya, yang ditunjukkan oleh istilah itu. Contoh-contoh lain banyak.
Butterbrot dalam bahsa Jerman bukan hanya sekadar roti (= Brot) dan
mentega (= Butter) seperti yang ditunjukkan oleh istilah itu. Walaupun di
antara kedua iris roti itu diselipkan daging dan sayuran, maka tetap namanya
Butterbrot. Yang rancu istilah roti-berlapis ini dalam bahasa Belanda,
yaitu boterham, sangat tidak menunjukkan identitas benda yang dimaksud
oleh istilah itu. Walaupun tidak ada babi (= ham), tetaplah dinamakan
boterham. Identitas roti tidak ditunjukkan oleh istilah itu. Yang
disebutkan boterham dalam bahasa Belanda itulah yang dimaksud dengan
Butterbrot oleh orang Jerman. Yang lebih rancu lagi istilah roti-berlapis
itu dalam bahasa Inggris, yaitu sandwich, yang sudah sama sekali
melenyapkan identitas roti dan berlapis, karena sand adalah homonim dapat
berarti pasir, pantai berpasir, menutup jalan dengan pasir, ampelas,
menghaluskan kayu dengan ampelas, sedangkan wich sepanjang pengetahuan saya sama
sekali tidak ada artinya. Bravo untuk orang Inggeris.
Yang
lebih celaka lagi penggunaan istilah asing yang mempunyai konotasi tersendiri.
Misalnya hostess yang dalam bahasa aslinya bermakna nyonya rumah, setelah
dijadikan bahasa Indonesia hostes sudah mempunyai konotasi yang khas, yaitu
pelayan penghibur, bahkan sudah menukik maknanya menjadi pelacur terselubung.
Dalam rasa bahasa asalnya bermakna orang terhormat, sedangkan dalam bahasa
Indonesia menunjuk kepada orang tidak terhormat.
Dalam dunia ilmiyah juga tidak luput dari kerancuan ini. Ambillah
misalnya istilah radiator, yaitu alat untuk mendinginkan mesin. Istilah itu
sebenarnya tidak menunjukkan proses yang sebenarnya yang terjadi dalam alat itu.
Panas mesin yang diserap oleh alat itu kemudian dibuang ke udara, dalam proses
pemindahan panas itu bukanlah proses radiasi, melainkan proses konveksi. Jadi
istilah yang semestinya adalah konvektor. Dan inilah tradisi dalam berbahasa,
walaupun salah, walaupun tidak menunjukkan identitas benda ataupun proses,
tetapi kalau sudah memasyarakat, ya tetaplah dipergunakan: radiator bukan
konvektor. Demikian pula istilah chlorophyl (dari bahasa Yunani: khloros =
hijau, phyllon = daun) zat hijau daun. Istilah ilmiyah ini tidaklah menunjukkan
identitas zat itu secara eksak. Zat itu terdapat pada seluruh bahagian pohon, ya
di daun, ya di ranting, ya di dahan, ya di batang, asal warna bahagian pohon
tersebut masih berwarna hijau. Walupun zat itu terdapat pada seluruh bahagian
pohon, tetap dalam dunia ilmiyah disebut zat hijau daun, bukan zat hijau pohon.
Walaupun dalam Al Quran S. Yasin 80 disebut Asysyajaru lAkhdhar, zat hijau pohon
(lihat Seri 003, Interaksi Iman dan Ilmu, Pencemaran Thermal), para pakar
Muslimpun tetap menamakannya chlorophyl.
Terakhir sebuah contoh lagi sebelum masuk ke dalam pembahasan istilah
'Iedu lQurban. Istilah energi dalam bahasa Belanda ialah levende kracht, (leven
= hidup, kracht = gaya), gaya yang hidup. Ini banyak menyeret membuat kesalahan
bagi para pelajar, juga mahasiswa yang berpikir dan bahkan dalam sedang tidur
dan bermimpi dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Kita semua tahu bahwa
energi itu bukan besaran vektor. Tetapi dengan istilah levende kracht itu, maka
para mahasiswa dan pelajar itu terjerumus memperbuat kesalahan, yaitu
memperlakukan energi sebagai vektor. Energi itu dijumlahkan secara vektor, atau
bahkan energi itu diuraikan secara vektor dalam sumbu-sumbu x, y, z. Ini bukan
perbualan. Menurut seorang mahasisa dari Faculteit der Technische Wetenashappen
Universiteit van Indonesie (sekarang yang sudah lama menyendiri dengan identitas
Institut Teknologi Bandung), seorang dosen Belanda (umumnya berasal dari
Technische Hoge School, Delft, Nederland) bernama Ir J.G. Boersma, yang
memberikan kuliah fisika di fakultas tersebut (yang tentu saja dengan bahasa
pengantar dalam bahasa Belanda), berucap demikian: "Mijne heren ik wil niet en
zal nooit de term levende kracht gebruiken." (Tuan, tuan, saya tidak mau dan
tidak akan pernah mempergunakan istilah levende kracht). Ucapan ini ditekankan
betul oleh Boersma, berhubung banyak mahasiswa yang tidak lulus karena membuat
domme fout, kesalahan yang bodoh, memperlakukan energi sebagai vektor.
Kalau dalam konteks kehidupan berbudaya, kerancuan penggunaan istilah itu
kalau sudah memasyarakat, sudah kesepakatan komunitas, maka itu maa- fi lmasalah
(no problem). Lain halnya dalam pemakaian istilah dalam kehidupan beragama,
khususnya agama Islam. Istilah yang sudah memasyarakat tetapi maknanya tidak
sesuai dengan bahasa Al Quran, menyebabkan ibadah yang dilakukan tidak akan
mendapatkan nilai ibadah, tidak memperoleh nilai ukhrawi. Antara lain mengenai
istilah Qurban. Istilah korban atau kurban dalam bahasa Indonesia mempunyai
konotasi yang khas, diwarnai oleh rasa bahasa Inggeris (baca: kepercayaan
paganism): offering dan sacrifice. Kurban dalam bahasa Indonesia diadopsi dari
bahasa Al Quran, namun "rasa-bahasanya" dipengaruhi oleh paganism, yaitu erat
hubungannya dengan darah dan daging, yang diwarnai oleh offering dan sacrifice:
suatu persembahan yang sakral. Oleh sebab itu sangat penting bagi ummat Islam
yang sekarang ini sudah bersiap-siap untuk menyambut 'Iedu lQurban dengan
menyembelih hewan kurban. Adapun darah dan daging hewan kurban itu bukanlah
offering dan bukan pula sacrifice, tegasnya bukanlah persembahan yang sakral.
Dengarlah firman Allah dalam Al Quran S. Al Hajj 37: Lan yanaala Lla-ha
luhuwmuhaa wa laa dimaauhaa wala-kin yanaaluhu ttaqwa- minkum, yang artinya
Tidak akan sampai kepada Allah daging-dagingnya dan tidak pula darah-darahnya,
akan tetapi yang sampai kepadaNya ialah ketaqwaan kamu.
Jadi
menurut Al Quran daging dan darah tidak ada relevansinya dengan upacara kurban.
Ajaran Islam menolak pemahaman kurban sebagai persembahan yang sakral. Kurban
harus diresapkan artinya dalam rasa bahasa asalnya, bahasa Al Quran, yang
dibentuk oleh akar kata yang terdiri dari 3 huruf: qaf, ra, ba, artinya dekat.
Menyembelih binatang kurban, dagingnya untuk dimakan sendiri dan untuk dimakan
fakir miskin sebagai fungsi sosial, darahnya dibuang, karena haram dimakan. Dan
arti spiritualnya mendekatkan diri, taqarrub kepada Allah SWT sebagai tanda
berbakti kepadaNya, melaksanakan perintahNya dengan semangat taqwa. Yaitu
menapak tilas secara ruhaniyah dari Nabi Ibrahim dan Nabi 'Isma'il
'alayhimassalam. Marilah kita sambut 'Iedu lQurban: Allahu Akbar, Allahu Akbar,
la ilaha illaLlahu, Allahu Akbar, Allahu Akbar wa liLlahi lHamd. WaLlahu a'lamu
bishshawab.
Post a Comment