Kajian Masa Lalu Untuk Orientasi Masa Depan
Kajian Masa Lalu Untuk Orientasi Masa Depan
Kalau kita berdiri di titik akhir ujung tahun 1991 yang berimpit dengan
titik awal tahun 1992, maka tahun 1991 adalah masa lalu dan tahun 1992 adalah
masa depan. Tempat kita berdiri itu dalam dimensi ruang-waktu sangatlah singkat,
hanya berupa titik. Dan masa lalu, tahun 1991, dan masa depan, tahun 1992, juga
termasuk singkat, hanya berupa garis pendek. Dalam tulisan ini kita tidaklah
berdiri dalam dimensi ruang-waktu yang sesingkat demikian itu, melainkan dalam
cakrawala yang lebih melebar.
Dalam waktu-waktu tertentu, artinya secara berkala, kita perlu mengkaji
masa lalu. Kita itu siapa dan yang dikaji itu apa. Kemudian masa lalu itu berupa
apa? Kita dapat berupa perorangan atau kelompok, dan yang diakaji itu dapat
berupa diri kita sendiri, dan organisasi. Organisasi itu dapat berupa organisasi
kecil seperti rumah tangga, organisasi sedang berupa lembaga kenegaraan atau
kemasyarakatan, dan organisasi besar, seperti negara dan kumpulan negara.
Kemudian masa lalu itu adalah informasi, termasuk informasi yang berupa hasil
kajian pula.
Kita
kenal dalam ilmu manajemen yang disebut SWOT. Itu adalah kependekan dari 4 kata:
strength, weakness, opportunity, dan threat, kekuatan, kelemahan, kesempatan dan
tantangan. Adapun kekuatan dan kelemahan dipihak yang satu dengan kesempatan dan
tantangan pada pihak yang lain merupakan dua sisi mata uang yang tak dapat
dipisahkan. Kekuatan masa lalu membuahkan kesempatan masa depan. Kelemahan masa
lalu membuahkan tantangan masa depan. Kekuatan dan kelemahan adalah kajian masa
lalu sedangkan, kesempatan dan tantangan adalah orientasi masa depan. Masa lalu
erat kaitannya dengan masa depan, ibarat dua sisi mata uang seperti dikatakan di
atas itulah.
Yang
menjadi pokok pembicaraan ialah mengkaji masa lalu berupa hasil kajian para
pakar analis tentang Iran dan Uni Sovyet/komunisme, yaitu di masa puncak
kekuasaan Syah Iran, Reza Pahlevi Syah-in-Syah Arya Mehr, dan Uni
Sovyet/komunisme pada waktu masih tergolong salah satu negara adi kuasa.
Mengenai Iran, angkatan perangnya kuat, sistem organisasi pemerintahannya
rapi menurut cara organisasi barat, westernized oriented system. Pokoknya serba
rapi. Kesimpulan kajian Iran kuat, kelemahan hampir tidak ada. Apa yang terjadi
sesudah Syah Iran? Imam Khomeini dengan mudah menggulingkan Pahlevi. Para analis
tercengang-cengang. Bagaimana mungkin, para mullah yang begitu lemah
organisasinya tidak ada kekuatan senjatanya, tidak disupport, bahkan dikeroyok,
kok bisa menang. Bahkan semua para analis yang mengkaji pergolakan di Iran itu
mempunyai kesimpulan yang naif. Bahwa kemenangan Imam Khomeini itu tidak akan
lama. Sesudah Negara Islam Iran itu terbentuk yang menunjukkan ramalan para
analis itu meleset, mereka belum kapok. Mereka berkesimpulan selanjutnya, bahwa
negara para mullah itu (ini istilah mereka) sekurang-kurangnya hanya mampu
bertahan hingga meninggalnya Khomeini. Mereka meramalkan pula bahwa sesudah
meninggalnya Imam Khomeini akan terjadi perebutan kekuasaan. Kenyataanya hingga
saat ini Negara Islam Iran makin mantap. Bahkan telah menunjukkan kedewasaan dan
ketelitiannya pada waktu perang teluk. Tetap netral. Semua hasil analisis mereka
para pakar itu meleset. Demikian pula mengenai Uni Sovyet/komunisme pada zaman
jaya-jayanya. Para analis tidak ada yang sampai pada pada hasil kajiannya pada
waktu itu bahwa Uni Sovyet/komunisme akan ambruk demikian cepatnya, yakni titik
matinya akhir tahun 1991.
Nah
inilah kajian masa lalu berupa hasil pengkajian tentang Iran dan Uni
Sovyet/komunisme. Kelihatan Syah Iran kuat pada hal kenyataannya lemah;
kelihatannya Imam Khomeini dan para mullah lemah, pada hal kenyataannya kuat.
Demikian pula Uni Sovyet/komunisme, kelihatannya kuat, adi kuasa pada hal
kenyataannya lemah. Walhasil kita telah memperoleh informasi tentang hasil
kajian Iran dan Uni Sovyet/komunisme yang kesimpulannya seperti berikut:
Kelemahan (Iran yang westernized dan Uni Sovyet yang komunis) dilihat sebagai
kekuatan, dan kekuatan (Imam Khomeini) dilihat sebagai kelemahan.
Lalu
di mana letak salahnya? Bukankah mereka itu para analis yang pakar? Jawabannya
bacalah Firman Allah dalam S. Al Hasyr ayat 18: Yaa ayyuhalladziena aamanuu
ittaquLaaha waltandzur nafsun maa qaddamat ligadin, wattaquLlaah, innaLlaaha
khabierun bi maa ta'maluun, artinya: Hai orang-orang beriman, taqwalah pada
Allah dan mestilah setiap diri manusia itu mengkaji masa lalu untuk orientasi
masa depan, dan taqwalah pada Allah, sesungguhnya Allah meliput semua apa yang
kamu kerjakan.
Jadi
mengkaji kekuatan dan kelemahan masa lalu, untuk orientasi kesempatan dan
tantangan masa depan, harus dimulai dengan taqwa, dikunci dengan taqwa. Dengan
pengkajian yang mengacu kepada nilai taqwa ini akan membuahkan hasil: kekuatan
akan dilihat sebagai kekuatan dan kelemahan akan dilihat sebagai kelemahan.
Mengapa? Pengkajian dengan metode ini di samping melihat dengan mata kasar,
pengolahan pikiran yang rasionel, ditopang pula dengan penglihatan qalb. Mata
kasar dan penglihatan qalb yang menjadi satu sistem ini menghasilkan kemampuan
untuk melihat apakah rencana manusia itu sebagai rencana mikro akan sinkron
dengan Rencana Makro dari Allah SWT.
Dan
itulah bedanya dengan hasil kajian para analis yang pakar itu. Yang berpegang
pada otonomi ilmu yang tidak mau tahu tentang Tuhan yang mencuekkan nilai taqwa.
Yang tak pernah terlintas dalam hati nuraninya doa seperti berikut: Allahumma
arina lhaqqa haqqan, ....... wa arina lbaathila baathilan, ....... Ya Allah
perlihatkanlah pada kami yang benar itu benar, ....... dan perlihatkanlah pada
kami yang salah itu salah, ....... WaLlahu a'lamu bishshawab
Post a Comment