Kemanusiaan, Kebangsaan dan Keetnikan
Kemanusiaan, Kebangsaan dan Keetnikan
Baiklah kita mulai dengan yang ringan-ringan dahulu, yaitu cerita silat.
Tokohnya seorang pendekar pedang yang buta Zato Ichi. Film ini terdiri atas
beberapa seri. Ilmu silat pendekar buta ini lain dari yang lain. Caranya
memegang pedang seperti memegang pisau, lebih banyak menusuk ketimbang menebas.
Dalam salah satu seri Zato Ichi berkerja sama dengan dengan seorang samurai,
yang tentu saja pendekar pedang juga, ya pendekar samurai. Keduanya mencari
seorang pelukis yang diculik oleh sekelompok pengacau. Walaupun keduanya bekerja
sama tetapi dengan motif sendiri-sendiri. Motivasi Zato Ichi adalah kemanusiaan,
mempertemukan seorang balita dengan ayahnya, si pelukis itu. Balita itu anak
yatim, ibunya meninggal, ayahnya diculik. Pendekar samurai itu adalah petugas
kerajaan, mencari pelukis itu karena melanggar ketertiban. Lukisannya yang porno
menyebar diperjual-belikan.
Setelah keduanya berhasil melumpuhkan kelompok pengacau itu, terjadi
pertikaian antara Zato Ichi dengan petugas itu. Zato Ichi ingin agar pelukis itu
bebas. Alasannya ia melukis yang porno karena dipaksa. Lagi pula ada anaknya
yang masih balita yang mesti dipelihara. Petugas kerajaan ingin menangkap
pelukis itu untuk diadili, karena sudah melanggar hukum. Pertikaian diselesaikan
dengan pedang. Akhirnya petugas kerajaan mengalah, walaupun keduanya sama-sama
unggul bermain pedang.
Dalam cerita silat itu terjadi pertentangan antara kemanusiaan dengan
rule of law, bagian dari disiplin nasional, salah satu unsur dari kesadaran
berbangsa. Ringkasnya pengarang mempertentangkan kemanusiaan dengan kebangsaan,
walaupun aklhirnya pengarang memenangkan kemanusiaan.
Sebuah cerita lagi, Taras Bulba, seorang pemimpin dan panglima perang
dari etnik Kazak. Yang berperang untuk membebaskan etniknya dari Kerajaan
Polandia. Cerita ini difokuskan pada pengepungan sebuah benteng Polandia oleh
Taras Bulba. Seperti lazimnya waktu itu benteng tidak hanya dihuni oleh para
serdadu, tetapi juga orang-orang sipil bermukim di dalamnya. Anak
Taras
Bulba yang ditugaskan menyusup ke dalam benteng tidak tahan melihat penderitaan, anak-anak, perempuan, orang-orang jompo yang memperebutkan tikus yang baru berhasil ditangkap, untuk dimakan. Mereka itu kelaparan, korban perang, yang mereka tidak tahu menahu tentang perang itu. Lalu tanpa memberitahu ayahnya, ia menghalau sekawan ternak mendekati benteng keesokan harinya. Orang-orang Polandia di dalam benteng berhasil mendapatkan ternak potong itu. Akhir cerita Taras Bulba mengeksekusi anaknya karena pengkhianatan. Dalam cerita Taras Bulba ini kemanusiaan dipertentangkan dengan keetnikan, dan yang dimenangkan adalah keetnikan.
Bulba yang ditugaskan menyusup ke dalam benteng tidak tahan melihat penderitaan, anak-anak, perempuan, orang-orang jompo yang memperebutkan tikus yang baru berhasil ditangkap, untuk dimakan. Mereka itu kelaparan, korban perang, yang mereka tidak tahu menahu tentang perang itu. Lalu tanpa memberitahu ayahnya, ia menghalau sekawan ternak mendekati benteng keesokan harinya. Orang-orang Polandia di dalam benteng berhasil mendapatkan ternak potong itu. Akhir cerita Taras Bulba mengeksekusi anaknya karena pengkhianatan. Dalam cerita Taras Bulba ini kemanusiaan dipertentangkan dengan keetnikan, dan yang dimenangkan adalah keetnikan.
Dalam cerita Ramayana lain lagi. Rahwana menculik Shita, isteri Rama.
Terjadi perang. Adik Rahwana yang bernama Kumbakarna, walaupun tahu dan mengakui
kakaknya salah, ia tetap membela kakaknya. Prinsip Kumbakarna, right or wrong my
country. Tidak sama dengan adik yang paling bungsu Wibiksana. Ia mengkhianati
kakaknya dan memihak Rama. Ya untuk membela keadilan dan kebenaran, unsur
penting dalam kemanusiaan. Dalam Ramayana ini kemanusiaan dipertentangkan dengan
kebangsaan.
Semestinya ketiga pengertian dalam judul di atas berjenjang turun
bertangga naik. Ruang lingkup dan kedudukan kemanusiaan harus lebih luas dan
lebih tinggi dari kebangsaan. Demikian pula kebangsaan harus lebih luas dan
lebih tinggi dari keetnikan. Inilah yang disebut berjenjang turun. Sebaliknya
keetnikan tidak boleh memecah kebangsaan dan demikian pula kebangsaan tidak
boleh menginjak-injak kemanusiaan. Inilah yang disebut dengan bertangga
naik.
Dalam Dasar Negara Republik Indonesia, Kemanusiaan yang adil dan beradab
kedudukaannya lebih tinggi dari Persatuan Indonesia. Nilai kemanusiaan lebih
tinggi dari nilai kebangsaan. Kebanggaan berbangsa dan bertanah air Indonesia
tidak boleh melampaui batas daerah ruang lingkup nilai kemanusiaan, bahwa
bangsa-bangsa di dunia ini bersaudara, bahwa bangsa Indonesia tidak lebih dan
tidak kurang dari bangsa lain. Selanjutnya nilai keetnikan diterima sebagai
suatu kenyataan. Tetapi bukan keetnikan yang liar, melainkan keetnikan dalam
ruang lingkup kebangsaan, Persatuan Indonesia. Nilai keetnikan itu dinyatakan
dalam ungkapan: Binneka Tunggal Ika. Yang dalam nilai budaya etnik Makassar
a'bulo sibatang, membuluh sebatang. Ruas-ruas dalam sebatang buluh melambangkan
etnik yang berbeda-beda, tetapi merupakan sebuah kesatuan dalam sebatang buluh.
Atau dalam ungkapan etnik Selayar: a'munte sibatu, melimau sebiji. Biji-biji
limau melambangkan etnik-etnik yang berdempet diikat kesatuan oleh kulit
limau.
Kalau dalam ketiga cerita di atas itu terjadi pertentangan antara
kemanusiaan, kebangsan dan keetnikan, ya itu hanya dalam cerita. Tapi dalam
zaman modern ini, pertentangan itu betul-betul dalam kenyataan. Etnik Serbia
menginjak-injak kemanusiaan, dan celakanya pula yang menjadi korban keganasan
etnik Serbia ini adalah ummat Islam Bosnia-Herzegovina. Hitler, Fuehrer Nazi
Jerman, menempatkan kebangsaan di atas kemanusiaan dengan kalimat terkenal:
Deutchland ueber alles. Hitler ini menginjak-injak kemanusiaan dan korbannya
adalah orang-orang Yahudi yang hidup secara eksklusif, yang mempunyai kebanggaan
etnik, yang menganggap etniknya adalah etnik pilihan Tuhan.
Semestinya Yugoslavia (baca: Serbia Monte Negro) tidak perlu diundang
untuk menghadiri KTT GNB, yang pada mulanya menyatakan tidak akan ikut KTT GNB,
yang dengan tiba-tiba pula kemudian menyatakan akan menghadirinya juga. Alasan
bahwa negara ini mempunyai hak diundang karena masih anggota GNB, sebenarnya
bertolak dari asumsi yang lemah. Hak itu didapatkan dengan memenuhi kewajiban.
Yugoslavia (baca: Serbia- Monte Negro) telah lalai melakukan kewajiban
kemanusiaan, itu berarti dia sendiri telah menggugurkan haknya.
Akhirnya ada suatu catatan sejarah yang kiranya sukar untuk dilampaui
begitu saja. Yaitu pidato Bung Karno dalam forum Sidang Majelis Umum PBB pada 1
September 1960, yang merupakan picu terbentuknya GNB setahun kemudian. Pidato
Bung Karno itu berjudul To build the world anew. Dalam permulaan pidatonya itu
Bung Karno mengutip Firman Allah, S. Al Hjuraat, 13:
-- Yaa ayyuhanaas innaa khalaqnaakum min zakarin wa untsaa wa ja'alnaakum syu'uwban wa qabaaila lita'aarafuw inna akramakum 'inda Llaahi atqaakum,....
-- Yaa ayyuhanaas innaa khalaqnaakum min zakarin wa untsaa wa ja'alnaakum syu'uwban wa qabaaila lita'aarafuw inna akramakum 'inda Llaahi atqaakum,....
artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan
perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling
mengenal. Bahwa sesungghnya yang paling mulia di antaramu ialah mereka yang
lebih taqwa,....
S.
Al Hjuraat, 13 menjelaskan ansinitas bertangga turun, paling atas nilai
Ketaqwaan, turun kebawah nilai Kemanusiaan, turun ke bawah nilai Kebangsaan,
turun ke bawah nilai Keetnikan.
Dua
hari lagi KTT GNB akan dibuka di Jakarta. Mudah-mudahan Allah berkenan, sehingga
membawa manfaat utamanya untuk kemanusiaan. WaLlahu a'lamu
bishshawab.
Post a Comment