Konfigurasi Wahyu, Akal dan Naluri; Ruang Lingkup Syariat
Konfigurasi Wahyu, Akal dan Naluri; Ruang Lingkup Syariat
Orang dapat menjalankan agama dengan baik, jikalau memahami ajaran agama
itu dengan baik. Supaya dapat memahami ajaran agama dengan baik, haruslah pula
dapat memahami wahyu dengan baik. Untuk dapat memahami wahyu dengan baik
haruslah pula dapat memahami informasi-informasi yang relevan dengan wahyu,
seperti Hadis Nabi, baik sabda mapun sunnahnya, dan ilmu-ilmu bantu yang
diajarkan di sekolah-sekolah umum, baik itu ilmu-ilmu eksakta maupun ilmu-ilmu
non eksakta. Artinya wahyu tidak dapat dipahami dengan baik, jika tidak
mempergunakan akal. Walhasil akal sangat berguna untuk dapat memahami wahyu.
Akallah yang membedakan antara manusia dengan binatang. Pada binatang
tidak ada kekuatan lain dalam dirinya di atas nalurinya, sedangkan pada manusia
ada akal di atas nalurinya. Akal manusia tidak mampu membunuh naluri, namun akal
mampu menundukkan, mengarahkan dan mengendalikan nalurinya itu. Sungguhpun
manusia itu diciptakan Allah dengan sebaik-baik kejadian, karena diberi
perlengkapan akal, akan tetapi kalau akalnya tidak dapat mengendalikan
nalurinya, maka akan jatuhlah ia ke tempat yang serendah-rendahnya, lebih rendah
dari binatang. Konfigurasi Jibril, Rasulullah dan buraq pada waktu Isra, Jibril
yang menuntun Rasulullah yang mengendarai buraq, adalah suatu ibarat yang sangat
relevan bagi konfigurasi antara wahyu, akal dengan naluri, yaitu wahyu menuntun
akal dan akal mengendalikan naluri.
Karena manusia mempunyai naluri mempertahankan diri, maka manusia di
dorong oleh nalurinya itu untuk menonjolkan keakuannya, menonjolkan identitas
dirinya. Manusia adalah makhluk pribadi. Syariat Islam mengatur tatacara
peribadatan yang 'ubudiyyaat (mufrad, singular: 'ubudiyyah) untuk manusia
sebagai makhluk pribadi, yakni hubungan langsung antara manusia dengan Allah.
Peribadatan yang ubudiyyaat ini sangat pribadi sifatnya. Pelaksanaanya tidak
boleh mewakili atau diwakilkan kepada orang lain. Peribadatan yang ubudiyyaat
inilah yang identik dengan pengertian religion, religie, godsdienst dalam
bahasa-bahasa barat. Peribadatan yang 'ubudiyyaat ini sangat ketat: semua tidak
boleh, kecuali yang diperintahkan oleh Nash (Al Qur'an dan Hadits Shahih),
mengenai cara, waktu dan jumlah, bahkan ada yang mengenai tempat (ibadah Haji).
Peribadatan yang 'ubudiyyaat ini dalam istilah populernya ialah ibadah yang
ritual. Shalat Maghrib misalnya sudah ditetapkan tiga rakaat. Akal tidak boleh
berpikir demikian: Empat lebih besar dari tiga. Jadi empat rakaat pahalanya
lebih banyak dari tiga rakaat. Maka lebih baik shalat Maghrib empat rakaat
supaya pahalanya lebih banyak. Dalam Syariat yang ketat ini, akal dibatasi
kebebasannya. Akal hanya dapat digunakan secara deskriptif, yaitu hanya boleh
dipakai untuk menjawab pertanyan: bagaimana, bilamana, berapa dan di mana, tidak
boleh dipakai untuk melayani pertanyaan: mengapa, misalnya pertanyaan seperti
berikut: Mengapa puasa wajib diperintahkan dalam bulan Ramadhan?
Walaupun manusia itu makhluk pribadi, namun manusia itu tidak dapat hidup
nafsi-nafsi. Cerita tentang Si Buta dan Si Lumpuh, Si Buta memikul Si Lumpuh di
atas bahunya, menunjukkan ibarat kerjasama yang baik. Saling mengisi di antara
keduanya, memakai kaki Si Buta untuk berjalan dan mempergunakan mata Si Lumpuh
untuk melihat. Manusia itu masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan,
jadi tidak dapat hidup sendiri-sendiri, manusia itu saling membutuhkan di antara
sesamanya manusia. Manusia adalah makhluk bermasyarakat.
Syariat Islam juga mengatur pokok-pokok peribadatan yang mu'amalaat
(mufrad: mu'amalah) untuk manusia sebagai makhluk bermasyarakat. (Ibadah adalah
segenap aktivitas kita untuk mewujudkan nilai-nilai kebenaran utama yang mutlak
menurut Al Quran dalam kehidupan kita sehari-hari, berlandaskan aqiedah yang
benar, dikerjakan dengan ikhlas, mengharapkan ridha Allah SWT semata, lebih luas
pengertiannya dari bahasa-bahasa barat: religion, religie, godsdienst). Seperti
misalnya membuang beling dari jalanan itu adalah ibadah yang mu'amalah, jika
diniatkan ikhlas karena Allah, bukan karena penampilan, berbuat baik kepada
sesama manusia supaya mereka yang tidak bersepatu terhindar dari bencana luka
akibat menginjaknya. Peribadatan yang muamalaat ini adalah Syariat yang tidak
ketat, sifatnya terbuka: semua boleh, kecuali yang dilarang dan tidak
bertentangan dengan Nash. Dalam istilah populernya 'ibadah yang mu'amalaat
disebut 'ibadah yang non-ritual, yaitu cara, waktu, jumlah dan tempat tidak
ditentukan oleh Nash.
Sebagai contoh adalah pemakaian bedug di masjid. Kalau pemakaian bedug
itu diniatkan sebagai persyaratan untuk azan, maka ia menjadi sub sistem dari
peribadatan ubudiyyaat yang ketat. Jadi tidak boleh, karena Rasulullah tidak
pernah menyuruh pukul bedug di mesjid. Akan tetapi jika pemukulan bedug itu
diniatkan hanya sebagai sarana untuk interaksi sosial, yang fungsinya seperti
loud speaker, maka ini masuk dalam Syariat muamalah yang tidak ketat, semua
boleh kecuali yang dilarang dan tidak bertentangan dengan Nash. Nabi hanya
pernah melarang pemakaian lonceng di mesjid, sedangkan bedug tidak pernah
dilarang, jadi bedug boleh dipakai.*) Karena Syari'at yang
mu'amalaat ini hanya diberikan pokok-pokoknya saja, maka hal-hal yang mendetail
dipikirkan oleh akal manusia. Tentu saja hal yang mendetail ini sifatnya
situasional, akibat hasil pekerjaan akal yang relatif. Namun hasil akal yang
situasional itu merupakan rahmat Allah, jika akal itu penggunaannya dibatasi
oleh aturan-aturan pokok Syari'at Islam yang muamalaat. Dalam Syariat yang
mu'amalaat ini akal lebih bebas, yaitu boleh dipakai untuk melayani pertanyaan:
mengapa, apa hikmahnya, sepanjang masalah itu terletak di luar ruang lingkup
aturan-aturan pokok Syari'at. WaLlahu a'lamu bishshawab.
Post a Comment