Qissah Nabi Nuh AS dan Epos Gilgamesy
Qissah Nabi Nuh AS dan Epos Gilgamesy
Seperti telah dikemukakan dalam seri 003 bahwa ilmu pengetahuan yang
dipelajari di sekolah-sekolah umum dibangun di atas landasan filsafat
positivisme. Artinya ilmu pengetahuan itu tidaklah polos melainkan sudah
dijerumuskan berpihak kepada yang atheis, tidak percaya akan Tuhan, yang
agnostik, acuh tak acuh tentang Tuhan, dan yang deist, tidak percaya akan wahyu
walaupun percaya akan adanya Tuhan. Ilmu pengetahuan yang demikian itu hanya
mempunyai dua sumber yaitu alam dan sejarah.
Para
pakar yang atheist, agnotik dan deist dalam menganalisa pergelutan pandangan,
benak dan alam pikiran manusia, tentu saja hanya memakai pendekatan historis.
Sayangnya para pakar yang beragama Islam turut pula terperangkap ke dalam jaring
filsafat positivisme, sebab kalau tidak demikian hasil analisa mereka itu akan
dicap tidak ilmiyah: melanggar rambu-rambu dan tatacara keilmuan. Demikianlah
para pakar dari ketiga golongan itu yang tergabung dalam filsafat positivisme
bersama-sama dengan para pakar yang beragama Islam yang ikut terseret secara
sadar ataupun tidak sadar menempatkan semua agama sebagai komponen atau bagian
dari kebudayaan. Maka mereka itu dalam mencari hubungan antara agama dengan
agama, antara agama dengan dongeng-dongeng hasil imajinasi dan sastra
bangsa-bangsa dahulu kala, akan memakai pendekatan historis itulah.
Ilmu
pengetahuan harus dibina atas landasan Tawhid. Dengan demikian sumber ilmu
pengetahuan itu adalah wahyu, alam dan sejarah. Wahyu berwujud Ayat Qawliyah,
alam dan sejarah disebut Ayat Kawniyah. Para pakar orang-orang Islam akan
terpelihara aqidahnya dalam berilmu. Mereka akan memilah-milah agama, mana agama
yang bersumber dari wahyu yang disebut agama wahyu, mana agama yang akarnya dari
kebudayaan yang disebut dengan agama kebudayaan, mana agama wahyu yang
mendapatkan polusi dari kebudayaan, dan mana agama kebudayaan yang mendapat
imbas dari agama wahyu. Pendekatan yang dipakai dalam berilmu adalah kombinasi
antara pendekatan non-historis yaitu bersumber dari Ayat Qawliyah dengan
pendekatan historis yang bersumber dari Ayat Kawniyah.
***
Epos
Gilgamesy adalah sebuah epos yang didapatkan dalam perpustakaan di Niniveh,
milik seorang raja Assyria yang bernama Assurbanipal (669 - 626 seb.M.). Epos
itu bertuliskan tulisan paku di atas tanah liat dalam bahasa Akkadia. Di dalam
Epos Gilgamesy itu diceritakan pengalaman Utnapisytim yang mirip dengan
pengalaman Nabi Nuh AS, seperti yang dikisahkan dalam Tawrah (Pentateuch, The
Books of Moses) dan Al Quran. Yaitu tentang bagaimana Utnapisytim diberitahu
oleh dewa-dewa tentang akan datangnya banjir. Tentang bagaimana dewa-dewa
menyuruh Utnapisytim membuat perahu untuk menyelamatkan keluarga dan binatang
ternaknya. Tentang burung merpati yang dilepaskan dan tentang mendaratnya perahu
Utnapisytim di sebuah gunung ketika air bah telah surut.
Dengan metode pendekatan historis para pakar yang atheist, agnostik, dan
deist akan menjelaskan dengan sederhana tentang kontak budaya bangsa Assyria,
Sumaria yang berkebudayaan tulisan paku dengan bangsa Mesir Kuno yang
berkebudayaan tulisan ideogram yang disebut hieroglyph. Kontak budaya itu
terjadi terutama oleh karena Mesir Kuno takluk atau menjadi bagian dari Kerajaan
Assyria. Bahkan walaupun Mesir Kuno memakai tulisan hieroglyph, juga
mempergunakan tulisan paku. Bahwa kebudayaan Mesir Kuno juga mempergunakan
tulisan paku ini dapat dilihat dari penggalian arkheologis di situs
Tell-el-Amarna pada tahun 1894 . Di situ didapatkan alwah (keping-keping atau
tablet) tanah liat bertuliskan tulisan paku yang dikenal dalam sejarah sebagai
Alwah Tell-el-Amarna, atau Dokumen Amarna. Sesungguhnya penemu awal dari alwah
bertulisan paku itu bukanlah seorang pakar arkeologi, bukan pula oleh pakar
sejarah, melainkan seorang perempuan petani Mesir. Di situs itu didapatkan
sekitar 300 alwah Dokumen Amarna, yaitu sejumlah arsip surat-menyurat diplomatik
antara Fir'aun dengan kerajaan-kerajaan Asyiria, Babylonia, Anatolia, Palestina
dan Syria. Patut dicatat, yang tak kurang menariknya pula seperti Epos
Gilgamesy, ialah di antara Dokumen Amarna itu terdapat Nyanyi Pujian Fir'aun
Akhenaton yang mirip-mirip dengan Mazmur 104:24-27 dari Nabi Daud AS. Insya
Allah hal ini akan dibahas dalam kesempatan yang lain.
Dari
kontak budaya tersebut para pakar yang atheist, yang agnostik dan yang deist
berkesimpulan bahwa penulis Pentateuch yang hidup lebih kemudian dari Epos
Gilgamesy, mendengar epos tersebut dari cerita-cerita rakyat lalu dituliskannya
dan menjadi bagian dari Pentateuch. Demikian pula penulis Al Quran mendengar
cerita air bah itu dari para pendeta Yahudi, lalu dimasukkannya pula dalam Al
Quran, demikian menurut kesimpulan para atheist, agnostik dan deist
itu.
***
Akan
tetapi jika ilmu pengetahuan itu sudah di-Islamkan, artinya Ilmu Pengetahuan itu
berlandaskan Tawhid, maka dalam hal Qissah Nabi Nuh AS dan Epos Gilgamesy ini
cara pendekatannya ada dua.
Pertama, metode pendekatan kombinasi non-historis dan historis
dipergunakan dalam menganalisis proses penulisan Epos Gilgamesy bertulisan paku
di atas tanah liat itu. Cerita air bah diteruskan dari mulut ke mulut mulai dari
keluarga Nabi Nuh AS yang ikut berlayar bersama Nabi Nuh AS di atas perahu.
Demikianlah secara turun-temurun dari ayah ke anak, ke cucu, ke cicit dan
seterusnya hingga pada zaman Kerajaan Assyria. Orang Akkadia yang
dilatarbelakangi oleh agama polytheist, penyembah dewa-dewa menuliskan cerita
yang turun-temurun itu di atas tanah liat dengan tulisan paku. Karena
dilatarbelakangi dengan budaya menyembah dewa-dewa itulah, maka Allah Yang
memberitahu akan datangnya banjir berubah menjadi dewa-dewa yang memberitahu
akan datangnya banjir.
Kedua, pendekatan non-historis dipakai mengenai adanya cerita air bah itu
dalam Tawrah dan Al Quran. Nabi Musa AS mengetahui cerita air bah itu bukan dari
cerita turun-temurun melainkan langsung mendapatkan informasi dari Sumber
Informasi, yaitu Allah SWT dengan perantaraan wahyu. Demikian pula Nabi Muhammad
SAW mengetahui peristiwa air bah itu bukan dari pendeta Yahudi melainkan dari
Sumber Yang Satu, yaitu Allah SWA melalui wahyu. Nahnu Naqushshu 'alayka Ahsana
lQashashi bima- Awhayna- ilayka Ha-dza lQura-na wa in Kunta min qablihi lamina
lGha-filiyna (S.Yusuf,3). Kuceritakan kepadamu (hai Muhammad) qissah-qissah yang
terbaik dengan mewahyukan Al Quran ini kepadamu, dan sesungguhnya sebelumnya
(engkau mendapatkan wahyu itu) engkau belum mengetahuinya (12:3).
Demikianlah dari penyajian di atas itu makin jelaslah bahwa ilmu
pengetahuan itu tidak mungkin otonom, tidak mungkin polos, tidak mungkin tidak
memihak, tidak mungkin tanpa nilai. Sebab yang dimaksud selama ini dengan
otonom, tanpa nilai, adalah pemihakan kepada para atheist, agnostik dan deist
yang bergabung dalam filsafat positivisme. Artinya pernyataan yang membiuskan
para pakar yang beragama Islam tentang polosnya ilmu pengetahuan itu adalah
pernyataan yang palsu.
Coba
bayangkan, betapa parah akibatnya jika seorang pakar Muslim yang taat asas pada
pernyataan otonomi ilmu pengetahuan itu lalu hanya mengadakan pendekatan
historis saja terhadap Epos Gilgamesy, memasukkan agama ke dalam disiplin
ilmu-ilmu kebudayaan, berarti ia mengingkari wahyu, yang berarti pula menolak
AlQuran itu sebagai kumpulan wahyu yang akhirnya berarti mengingkari kenabian
RasuluLlah SAW, maka murtadlah ia demi taat asas kepada ilmu pengetahuan yang
berlandaskan filsafat positivisme itu. Na'uwdzu bi Lla-hi min dzalik. WaLlahu
a'lamu bishshawab.
Post a Comment