JAMA’AH SHALAT KHUSUS WANITA
JAMA’AH SHALAT KHUSUS WANITA
1. Posisi Imam Dan Makmum Wanita Dalam Jama’ah Wanita
Hadits yang menjelaskan tentang posisi imam dan makmum bila jama’ah shalat itu khusus para wanita, adalah:
# Dari Atha’ bahwa,
“Aisyah pernah beradzan, berqamat dan mengimami para wanita dan berdiri di tengah mereka.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak)
# Dari Mujahid dari ayahnya dan Atha’ bahwa,
"Wanita menjadi imam para wanita dalam shalat wajib dan shalat sunnah dengan berdiri di tengah-tengah mereka.” (HR. Abdurrazzaq dalam Mushannafnya)
# Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta ditanya:
“Jika beberapa orang wanita berkumpul di suatu rumah dan mereka ingin melaksanakan shalat sunnah seperti shalat Tarawih atau shalat fardhu, apakah seseorang diantara mereka harus maju untuk menjadi imam sebagaimana dilakukan oleh kaum pria?”
Jawaban: “Hendaknya salah seorang di antara mereka menjadi imam, baik untuk melaksanakan shalat wajib maupun shalat sunnah, akan tetapi imam wanita itu tidak maju di depan shaf sebagaimana seorang pria mengimami kaum pria dalam shalat berjama’ah, melainkan cukup bagi imam wanita itu untuk berdiri di tengah-tengah shaf pertama.”
[Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta VII/390, fatwa nomor 3907]
2. Bacaan Imam Wanita Dengan Jama’ah Wanita
Jika seorang wanita menjadi imam, maka ia disunnahkan untuk menjaharkan bacaan di waktu shalat jahriyyah, yaitu shalat Shubuh, dua raka’at pertama shalat Maghrib dan Isya, kecuali jika ada laki-laki. Dan disunnahkan untuk mensirkan bacaan pada waktu shalat Dzuhur, Ashar dan satu raka’at shalat Maghrib serta dua raka’at terakhir shalat Isya.
Ibnu Qudamah berkata: “Dan hendaklah wanita tersebut menjaharkan bacaan pada shalat jahriyyah, dan jika ternyata ada laki-laki hendaklah ia tidak menjahrkannya kecuali jika laki-laki tersebut adalah mahramnya maka hal tersebut tidak mengapa” (Al-Mughni II/202)
Syeikh Mustahfa Al-Adwi dalam Jami’ An-Nisa ketika mengomentari pendapat Ibnu Qudamah tersebut berkata: “Ini adalah pendapat yang baik karena bertumpu kepada hukum asal dalam melaksanakan shalat berjama’ah yaitu menjaharkan bacaan pada waktu shalat jahriyyah, kemudian beliau mengecualikan satu hal yaitu jika ada laki-laki atau jika ada laki-laki yang mendengarnya. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah besabda: ‘Bagi wanita adalah bertepuk tangan’. Ini semua dilakukan agar terjauh dari fitnah. (Jami’ Ahkam An-Nisa I/352)
1. Posisi Imam Dan Makmum Wanita Dalam Jama’ah Wanita
Hadits yang menjelaskan tentang posisi imam dan makmum bila jama’ah shalat itu khusus para wanita, adalah:
# Dari Atha’ bahwa,
“Aisyah pernah beradzan, berqamat dan mengimami para wanita dan berdiri di tengah mereka.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak)
# Dari Mujahid dari ayahnya dan Atha’ bahwa,
"Wanita menjadi imam para wanita dalam shalat wajib dan shalat sunnah dengan berdiri di tengah-tengah mereka.” (HR. Abdurrazzaq dalam Mushannafnya)
# Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta ditanya:
“Jika beberapa orang wanita berkumpul di suatu rumah dan mereka ingin melaksanakan shalat sunnah seperti shalat Tarawih atau shalat fardhu, apakah seseorang diantara mereka harus maju untuk menjadi imam sebagaimana dilakukan oleh kaum pria?”
Jawaban: “Hendaknya salah seorang di antara mereka menjadi imam, baik untuk melaksanakan shalat wajib maupun shalat sunnah, akan tetapi imam wanita itu tidak maju di depan shaf sebagaimana seorang pria mengimami kaum pria dalam shalat berjama’ah, melainkan cukup bagi imam wanita itu untuk berdiri di tengah-tengah shaf pertama.”
[Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta VII/390, fatwa nomor 3907]
2. Bacaan Imam Wanita Dengan Jama’ah Wanita
Jika seorang wanita menjadi imam, maka ia disunnahkan untuk menjaharkan bacaan di waktu shalat jahriyyah, yaitu shalat Shubuh, dua raka’at pertama shalat Maghrib dan Isya, kecuali jika ada laki-laki. Dan disunnahkan untuk mensirkan bacaan pada waktu shalat Dzuhur, Ashar dan satu raka’at shalat Maghrib serta dua raka’at terakhir shalat Isya.
Ibnu Qudamah berkata: “Dan hendaklah wanita tersebut menjaharkan bacaan pada shalat jahriyyah, dan jika ternyata ada laki-laki hendaklah ia tidak menjahrkannya kecuali jika laki-laki tersebut adalah mahramnya maka hal tersebut tidak mengapa” (Al-Mughni II/202)
Syeikh Mustahfa Al-Adwi dalam Jami’ An-Nisa ketika mengomentari pendapat Ibnu Qudamah tersebut berkata: “Ini adalah pendapat yang baik karena bertumpu kepada hukum asal dalam melaksanakan shalat berjama’ah yaitu menjaharkan bacaan pada waktu shalat jahriyyah, kemudian beliau mengecualikan satu hal yaitu jika ada laki-laki atau jika ada laki-laki yang mendengarnya. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah besabda: ‘Bagi wanita adalah bertepuk tangan’. Ini semua dilakukan agar terjauh dari fitnah. (Jami’ Ahkam An-Nisa I/352)
Post a Comment