LAIN-LAIN
LAIN-LAIN
1. Bersalaman Setelah Shalat
Bersalaman antara kaum muslimin merupakan suatu ibadah yang dianjurkan oleh agama, bahkan hal tersebut dipraktekkan sendiri oleh baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau bertemu dengan para sahabatnya beliau tidak pernah ketinggalan untuk menyalami mereka.
# Dan suatu riwayat dijelaskan bahwa Thalhah bin Ubaidillah berdiri dari suatu halaqah (kumpulan) bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sedang berada di masjid menuju ke arah Ubay bin Ka’ab radhiallahu anhu ketika turun ayat yang menjelaskan tentang diterimanya taubat beliau oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Thalhah menyalaminya serta mengucapkan selamat padanya dengan berita gembira tersebut. (HR. Bukhari dan Muslim)
# Dari Al-Bara radhiallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
“Tidak ada dua orang muslim yang bertemu dan saling bersalaman melainkan keduanya akan diampuni sebelum keduanya berpisah.” (HR Abu Dawud)
# Dari Busyair bin Ka’ab Al-‘Adwi dari seorang laki-laki dari Anazah bahwasanya ia pernah bertanya kepada Abi Dzar radhiallahu anhu ketika beliau keluar dari negeri Syam:
“Aku ingin bertanya padamu tentang suatu hadits dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Abu Dzar berkata: “Kalau begitu aku akan memberitahukannya padamu, kecuali jika seuatu yang bersifat rahasia.” Aku berkata: “Ini bukan suatu rahasia, apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyalami kalian jika kalian bertemu dengan beliau?” Abu Dzar berkata: “Tidak pernah sekali pun aku bertemu dengannya melainkan beliau selalu menyalamiku, dan beliau pernah mengutus seseorang untuk menemuiku tetapi aku tidak berada di rumah. Setelah aku datang, aku diberitahu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin menemuiku, maka akau mendatangi beliau ketika sedang berada di atas tempat tidurnya, kemudian ia memelukku. Dan hal tersebut lebih baik (dari sekedar bersalaman dalam hal menumbuhkan rasa cinta dan persaudaraan) (HR Abu Dawud)
Oleh karena itu disunnahkan untuk bersalaman ketika kita bertemu dengan saudara kita di masjid atau ketika sudah berada dalam shaf shalat. Dan apabila kita tidak sempat bersalaman sebelum shalat, maka kita disunnahkan untuk melakukan setelahnya. Hanya saja pelaksanaan bersalaman setelah shalat dilakukan setelah membaca dzikir-dzikir ba’da shalat.
Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh sebagian besar kaum muslimin yang biasa bersalaman langsung setelah mengucapkan salam ketika shalat fardhu, merupakan suatu amalan yang tidak berlandaskan dalil. Oleh karena itu selayaknya amalan itu tidak dilakukan, karena yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah salam adalah membaca dzikir-dzikir sebagaimana yang diajarkan oleh beliau.
Sedangkan bersalaman setelah shalat sunnah, maka diperbolehkan melakukannya setelah salam jika sebelumnya kita tidak sempat melakukannya. Tetapi jika kita telah bersalaman sebelumnya maka hal tersebut sudah cukup.
2. Shalat Sendiri Atau Berjama’ah?
Kalau kepastian untuk bisa shalat berjama’ah itu jelas, maka shalat berjama’ah lebih utama meski waktunya agak mundur, tidak tepat begitu adzan selesai berkumandang.
Misalnya ada sebuah kelas yang sedang belajar dan waktu belajarnya baru selesai 30 menit setelah waktu Dzuhur masuk. Maka sebaiknya seseorang tidak keluar kelas lalu shalat sendirian, sebab nanti begitu kelas selesai akan ada shalat berjama’ah meski waktunya agak mundur sampai 30 menit.
Maka menunda shalat sendiri untuk mendapatkan shalat jama’ah adalah lebih utama, asalkan ada kepastian berkumpulnya jama’ah itu.
# Dari Ubay bin Ka'ab radhiallaahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Shalat seseorang bersama orang lain (berdua) lebih besar pahalanya dan lebih mensucikan daripada shalat sendirian, dan shalat seseorang ditemani oleh dua orang lain (bertiga) lebih besar pahalanya dan lebih menyucikan daripada shalat dengan ditemani satu orang (berdua), dan semakin banyak (jumlah jama'ah) semakin disukai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala”. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan An-Nasai, hadits hasan)
3. Berdiri Ketika Mendengar Adzan
Berdiri ketika mendengar adzan bagi orang yang baru masuk masjid merupakan peng-amalan dua ibadah sunnah yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Yang pertama adalah mendengarkan dan menjawab adzan, sedangkan yang kedua adalah melaksanakan shalat Tahiyyatul Masjid.
Menjawab adzan bisa dilakukan dalam posisi apapun, sedangkan shalat tahiyyatul masjid diperintahkan untuk dilaksanakan sebelum duduk di masjid. Oleh karena itu, mereka yang baru masuk ke masjid dan mendengarkan adzan, biasanya berdiri terlebih dahulu sampai adzannya selesai, kemudian melaksanakan shalat sunnah tahiyyatul masjid.
Kecuali pada hari Jum'at, kalau seandainya kita masuk masjid sedangkan adzan sedang dikumandangkan, maka shalatlah langsung, karena mendengarkan dan menjawab adzan hukumnya sunnah sedangkan mendengarkan khotbah hukumnya wajib. Maka kita mendahulukan yang wajib di atas yang sunnah.
4. Mendengarkan Dan Menjawab Adzan
# Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jika kamu mendengar adzan, maka ucapkanlah seperti apa diucapkan oleh muadzin.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)
Namun khusus ketika mendengar bacaan hayya ’alatain, yaitu bacaan Hayya ‘alash Shalah dan Hayya ‘alal Falah, maka disunnahkan untuk membaca lafal Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah, sebagaimana yang diriwayatkan dari hadits Umar radhiallahu anhu berikut ini:
# Dari Umar radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bila muadzin mengucapkan Allahu Akbar 2x, maka ucapkanlah Allahu Akbar 2x, namun bila muadzin mengucapkan Hayya ‘alash Shalah, maka ucapkan Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah, dan bila muadzin mengucapkan Hayya ‘alal Falah, maka ucapkan Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)
Di dalam hadits lainnya ada disebutkan bahwa ucapan Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah itu merupakan harta terpendam yang ada di surga.
# Dari Abi Musa Al-Asy’ari radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah adalah kanzun (harta terpendam) dari harta-harta yang ada di surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
5. Shalat Sunnah Tahiyyatul Masjid
# Dari Abu Qatadah As-Sulami radhiallahu anhu sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
“Apabila salah seorang diantara kalian masuk masjid, hendaklah dia melaksanakan shalat dua raka’at sebelum duduk.” (HR Bukhari dan Muslim)
6. Shalat Sunnah Ketika Iqamah Dikumandangkan
Berkaitan dengan persoalan mengenai shalat sunnah ketika iqamah dikumandangkan, ada beberapa riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berkaitan dengan hal tersebut:
# Dari Abu Hurairah radhiallaahu anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Apabila iqamah telah dikumandangkan maka tidak ada shalat selain shalat fardhu” (HR Muslim)
Sebagian ulama mengatakan, kalau seandainya kita sudah di tasyahud, maka selesaikanlah shalatnya, kemudian ikut berjama’ah.
# Dari Ibnu Buhainah radhiallaahu anhu, ia berkata:
“Shalat Shubuh akan segera dilaksanakan kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seseorang sedang shalat dan muadzin sedang iqamah, maka beliau berkata: Apakah kamu melaksanakan shalat Shubuh empat raka’at?” (HR. Bukhari dan Muslim)
# Dari Abdullah bin Sarjis radhiallaahu anhu, ia berkata:
“Seorang laki-laki memasuki masjid sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya sedang melaksanakan shalat Shubuh, maka laki-laki tersebut shalat dua raka’at di pinggir masjid kemudian ikut shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai mengucapkan salam beliau berkata : Wahai fulan! Diantara dua shalatmu mana yang kamu hitung? Apakah shalatmu yang sendirian atau shalatmu bersama kami?” (HR. Muslim)
Akan tetapi hadits-hadits diatas dan yang semakna dengannya, tidak dapat dijadikan dalil bahwa setiap orang yang sedang shalat sunnah harus membatalkan shalatnya tersebut ketika mendengar iqamah. Semuanya tergantung imam yang akan memimpin shalat dan sudah sampai dimana ia melaksanakan shalat sunnahnya.
Jika dia baru takbiratul ihram atau masih dipermulaan raka’at pertama kemudian mendengar iqamah dikumandangkan serta kemungkinan besar akan ketinggalan berjama’ah dengan imam (ikut takbirutul ihram bersama imam) maka dia harus membatalkan shalatnya. Tetapi jika ketika mendengar iqamah tersebut ketika ia sedang sujud raka’at kedua atau sedang ruku’ raka’at kedua dan ia yakin tidak akan ketinggalan berjama’ah bersama imam maka ia tidak perlu membatalkan shalat sunnahnya tersebut. Hanya saja ia diharuskan menyegerakan pelaksanaan shalat sunnahnya tersebut
7. Melintas Di Depan Orang Yang Sedang Shalat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang melintas di depan orang yang sedang shalat.
# Dari Abi Juhaim radhiallaahu anhu, ia berkata: bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Seandainya orang yang melintas di depan orang shalat tahu dosa apa yang menimpanya, pastilah ia menunggu (hingga shalat selesai) meski selama 40 tahun karena lebih baik baginya daripada melintas di depan orang shalat. (HR. Muttafaq 'Alaih)
# Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika orang yang berjalan di depan orang yang tengah mendirikan shalat mengetahui dosa apa yang diterimanya, maka alangkah lebih baik baginya i’tikaf empat puluh daripada ia berjalan di depan orang mereka. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Hadits ini menjelaskan tentang larangan melintas di depan orang shalat yang batasnya adalah jarak antara orang itu berdiri dan titik tempat sujudnya. Baik shalat itu shalat wajib atau shalat sunnah. Juga baik shalat itu shalat sendirian atau shalat berjama’ah.
Menurut Asy-Syaukani, “Hadits di atas menjelaskan bahwasanya berjalan di depan orang yang sedang mendirikan shalat merupakan dosa besar dan dapat mengiring pelakunya masuk neraka, baik orang yang shalat itu tengah mendirikan shalat fardhu atau sunnah tanpa terkecuali.”
Namun bila melintas di luar batas (sutrah), maka hukumnya boleh. Batas itu sendiri disunnahkan untuk dibuat bagi tiap orang yang akan melaksanakan shalat. Bisa berbentuk tongkat, garis, batu, tanah atau barang bawaan seperti tas, dompet, kacamata dan lainnya. Intinya, dia meletakkan sesuatu di depannya agar orang jangan melintas di tengahnya.
# Dari Sabrah bin Ma'bad al-Juhani, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Hendaknya setiap kamu membuat batas (untuk shalat) meski hanya dengan panah.” (HR. Al-Hakim)
Adanya sutrah atau batas ini bisa dijadikan patokan bahwa bila akan melintas di depan orang yang sedang shalat, maka dibolehkan bila diluar area sujudnya yang dibatasi dengan benda-benda tertentu yang sengaja diletakkan oleh orang itu sebelum memulai shalatnya.
Dengan demikian, shalatnya itu tidak mengganggu lalu lintas orang lain yang akan masuk dan keluar masjid. Hal ini menjadi penting terutama bila ada orang yang shalat di masjid, namun posisinya di daerah dimana banyak orang lalu-lalang untuk masuk atau keluar masjid.
Bila sutrah sudah dibuat, maka haram hukumnya bagi orang lain untuk melintas di tangahnya. Dan bagi orang yang shalat, bila ada yang akan melintasi batas itu, dia berhak untuk mencegahnya.
# Dari Abi Said Al-Khudri radhiallaahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila salah seorang di antara kamu shalat dan telah membuat suatu pembatas (sutrah) yang menghalangi dari orang yang lewat, lalu jika ada orang yang ingin melintas (di dalam batas itu), maka hendaklah ia mencegahnya. Bila orang itu tetap melintas, maka perangilah dia karena dia itu (hakikatnya) adalah syetan.” (HR. Mutafaq 'Alaih)
Hadits ini memberi pengertian kepada kita bahwa seorang yang shalat harus mencegah orang melintas di depannya bila dia telah memasang batas. Bagaimana bila dia tidak memasang batas itu?
Al-Qurthubi mengatakan dalam hal ini cukup orang itu memberi isyarat dengan tangan untuk mencegah orang melintas di depannya. Bila tidak mau, maka boleh diperangi. Maksudnya boleh mencegah dengan lebih keras dari sebelumnya.
Sedangkan hikmah mengapa orang yang melintas harus dicegah, para ulama ada yang mengatakan bahwa hal itu demi kebaikan orang yang shalat agar tetap khusyu'. Selain itu juga untuk mencegah agar orang yang ingin melintas itu tidak sampai melakukan dosa akibat perbuatannya.
Balita bukanlah orang yang terkena kewajiban dan larangan dalam agama. Karena dia belum akil balihg, maka apa yang dikerjakannya berada di luar aturan-aturan syariat. Menjadi kewajiban orang tuanya untuk mengajarkan untuk tidak melanggar larangan seperti lewat di depan orang shalat. Tapi bila masih balita, satu atau dua tahun, memang belum masanya untuk diajarkan hal terlalu jauh. Bahkan sementara riwayat mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membiarkan Hasan dan Husein cucunya menungganginya saat sujud sehingga beliau sujud cukup lama untuk menunggu keduanya turun dari punggung beliau. Meski tidak langsung berkaitan dengan lewat di depan orang shalat, namun hadits-hadits seperti di atas menunjukkan adanya sikaf rifq terhadap anak kecil (balita), termasuk dalam shalat.
1. Bersalaman Setelah Shalat
Bersalaman antara kaum muslimin merupakan suatu ibadah yang dianjurkan oleh agama, bahkan hal tersebut dipraktekkan sendiri oleh baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau bertemu dengan para sahabatnya beliau tidak pernah ketinggalan untuk menyalami mereka.
# Dan suatu riwayat dijelaskan bahwa Thalhah bin Ubaidillah berdiri dari suatu halaqah (kumpulan) bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sedang berada di masjid menuju ke arah Ubay bin Ka’ab radhiallahu anhu ketika turun ayat yang menjelaskan tentang diterimanya taubat beliau oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Thalhah menyalaminya serta mengucapkan selamat padanya dengan berita gembira tersebut. (HR. Bukhari dan Muslim)
# Dari Al-Bara radhiallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
“Tidak ada dua orang muslim yang bertemu dan saling bersalaman melainkan keduanya akan diampuni sebelum keduanya berpisah.” (HR Abu Dawud)
# Dari Busyair bin Ka’ab Al-‘Adwi dari seorang laki-laki dari Anazah bahwasanya ia pernah bertanya kepada Abi Dzar radhiallahu anhu ketika beliau keluar dari negeri Syam:
“Aku ingin bertanya padamu tentang suatu hadits dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Abu Dzar berkata: “Kalau begitu aku akan memberitahukannya padamu, kecuali jika seuatu yang bersifat rahasia.” Aku berkata: “Ini bukan suatu rahasia, apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyalami kalian jika kalian bertemu dengan beliau?” Abu Dzar berkata: “Tidak pernah sekali pun aku bertemu dengannya melainkan beliau selalu menyalamiku, dan beliau pernah mengutus seseorang untuk menemuiku tetapi aku tidak berada di rumah. Setelah aku datang, aku diberitahu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin menemuiku, maka akau mendatangi beliau ketika sedang berada di atas tempat tidurnya, kemudian ia memelukku. Dan hal tersebut lebih baik (dari sekedar bersalaman dalam hal menumbuhkan rasa cinta dan persaudaraan) (HR Abu Dawud)
Oleh karena itu disunnahkan untuk bersalaman ketika kita bertemu dengan saudara kita di masjid atau ketika sudah berada dalam shaf shalat. Dan apabila kita tidak sempat bersalaman sebelum shalat, maka kita disunnahkan untuk melakukan setelahnya. Hanya saja pelaksanaan bersalaman setelah shalat dilakukan setelah membaca dzikir-dzikir ba’da shalat.
Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh sebagian besar kaum muslimin yang biasa bersalaman langsung setelah mengucapkan salam ketika shalat fardhu, merupakan suatu amalan yang tidak berlandaskan dalil. Oleh karena itu selayaknya amalan itu tidak dilakukan, karena yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah salam adalah membaca dzikir-dzikir sebagaimana yang diajarkan oleh beliau.
Sedangkan bersalaman setelah shalat sunnah, maka diperbolehkan melakukannya setelah salam jika sebelumnya kita tidak sempat melakukannya. Tetapi jika kita telah bersalaman sebelumnya maka hal tersebut sudah cukup.
2. Shalat Sendiri Atau Berjama’ah?
Kalau kepastian untuk bisa shalat berjama’ah itu jelas, maka shalat berjama’ah lebih utama meski waktunya agak mundur, tidak tepat begitu adzan selesai berkumandang.
Misalnya ada sebuah kelas yang sedang belajar dan waktu belajarnya baru selesai 30 menit setelah waktu Dzuhur masuk. Maka sebaiknya seseorang tidak keluar kelas lalu shalat sendirian, sebab nanti begitu kelas selesai akan ada shalat berjama’ah meski waktunya agak mundur sampai 30 menit.
Maka menunda shalat sendiri untuk mendapatkan shalat jama’ah adalah lebih utama, asalkan ada kepastian berkumpulnya jama’ah itu.
# Dari Ubay bin Ka'ab radhiallaahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Shalat seseorang bersama orang lain (berdua) lebih besar pahalanya dan lebih mensucikan daripada shalat sendirian, dan shalat seseorang ditemani oleh dua orang lain (bertiga) lebih besar pahalanya dan lebih menyucikan daripada shalat dengan ditemani satu orang (berdua), dan semakin banyak (jumlah jama'ah) semakin disukai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala”. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan An-Nasai, hadits hasan)
3. Berdiri Ketika Mendengar Adzan
Berdiri ketika mendengar adzan bagi orang yang baru masuk masjid merupakan peng-amalan dua ibadah sunnah yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Yang pertama adalah mendengarkan dan menjawab adzan, sedangkan yang kedua adalah melaksanakan shalat Tahiyyatul Masjid.
Menjawab adzan bisa dilakukan dalam posisi apapun, sedangkan shalat tahiyyatul masjid diperintahkan untuk dilaksanakan sebelum duduk di masjid. Oleh karena itu, mereka yang baru masuk ke masjid dan mendengarkan adzan, biasanya berdiri terlebih dahulu sampai adzannya selesai, kemudian melaksanakan shalat sunnah tahiyyatul masjid.
Kecuali pada hari Jum'at, kalau seandainya kita masuk masjid sedangkan adzan sedang dikumandangkan, maka shalatlah langsung, karena mendengarkan dan menjawab adzan hukumnya sunnah sedangkan mendengarkan khotbah hukumnya wajib. Maka kita mendahulukan yang wajib di atas yang sunnah.
4. Mendengarkan Dan Menjawab Adzan
# Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jika kamu mendengar adzan, maka ucapkanlah seperti apa diucapkan oleh muadzin.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)
Namun khusus ketika mendengar bacaan hayya ’alatain, yaitu bacaan Hayya ‘alash Shalah dan Hayya ‘alal Falah, maka disunnahkan untuk membaca lafal Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah, sebagaimana yang diriwayatkan dari hadits Umar radhiallahu anhu berikut ini:
# Dari Umar radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bila muadzin mengucapkan Allahu Akbar 2x, maka ucapkanlah Allahu Akbar 2x, namun bila muadzin mengucapkan Hayya ‘alash Shalah, maka ucapkan Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah, dan bila muadzin mengucapkan Hayya ‘alal Falah, maka ucapkan Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)
Di dalam hadits lainnya ada disebutkan bahwa ucapan Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah itu merupakan harta terpendam yang ada di surga.
# Dari Abi Musa Al-Asy’ari radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah adalah kanzun (harta terpendam) dari harta-harta yang ada di surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
5. Shalat Sunnah Tahiyyatul Masjid
# Dari Abu Qatadah As-Sulami radhiallahu anhu sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
“Apabila salah seorang diantara kalian masuk masjid, hendaklah dia melaksanakan shalat dua raka’at sebelum duduk.” (HR Bukhari dan Muslim)
6. Shalat Sunnah Ketika Iqamah Dikumandangkan
Berkaitan dengan persoalan mengenai shalat sunnah ketika iqamah dikumandangkan, ada beberapa riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berkaitan dengan hal tersebut:
# Dari Abu Hurairah radhiallaahu anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Apabila iqamah telah dikumandangkan maka tidak ada shalat selain shalat fardhu” (HR Muslim)
Sebagian ulama mengatakan, kalau seandainya kita sudah di tasyahud, maka selesaikanlah shalatnya, kemudian ikut berjama’ah.
# Dari Ibnu Buhainah radhiallaahu anhu, ia berkata:
“Shalat Shubuh akan segera dilaksanakan kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seseorang sedang shalat dan muadzin sedang iqamah, maka beliau berkata: Apakah kamu melaksanakan shalat Shubuh empat raka’at?” (HR. Bukhari dan Muslim)
# Dari Abdullah bin Sarjis radhiallaahu anhu, ia berkata:
“Seorang laki-laki memasuki masjid sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya sedang melaksanakan shalat Shubuh, maka laki-laki tersebut shalat dua raka’at di pinggir masjid kemudian ikut shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai mengucapkan salam beliau berkata : Wahai fulan! Diantara dua shalatmu mana yang kamu hitung? Apakah shalatmu yang sendirian atau shalatmu bersama kami?” (HR. Muslim)
Akan tetapi hadits-hadits diatas dan yang semakna dengannya, tidak dapat dijadikan dalil bahwa setiap orang yang sedang shalat sunnah harus membatalkan shalatnya tersebut ketika mendengar iqamah. Semuanya tergantung imam yang akan memimpin shalat dan sudah sampai dimana ia melaksanakan shalat sunnahnya.
Jika dia baru takbiratul ihram atau masih dipermulaan raka’at pertama kemudian mendengar iqamah dikumandangkan serta kemungkinan besar akan ketinggalan berjama’ah dengan imam (ikut takbirutul ihram bersama imam) maka dia harus membatalkan shalatnya. Tetapi jika ketika mendengar iqamah tersebut ketika ia sedang sujud raka’at kedua atau sedang ruku’ raka’at kedua dan ia yakin tidak akan ketinggalan berjama’ah bersama imam maka ia tidak perlu membatalkan shalat sunnahnya tersebut. Hanya saja ia diharuskan menyegerakan pelaksanaan shalat sunnahnya tersebut
7. Melintas Di Depan Orang Yang Sedang Shalat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang melintas di depan orang yang sedang shalat.
# Dari Abi Juhaim radhiallaahu anhu, ia berkata: bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Seandainya orang yang melintas di depan orang shalat tahu dosa apa yang menimpanya, pastilah ia menunggu (hingga shalat selesai) meski selama 40 tahun karena lebih baik baginya daripada melintas di depan orang shalat. (HR. Muttafaq 'Alaih)
# Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika orang yang berjalan di depan orang yang tengah mendirikan shalat mengetahui dosa apa yang diterimanya, maka alangkah lebih baik baginya i’tikaf empat puluh daripada ia berjalan di depan orang mereka. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Hadits ini menjelaskan tentang larangan melintas di depan orang shalat yang batasnya adalah jarak antara orang itu berdiri dan titik tempat sujudnya. Baik shalat itu shalat wajib atau shalat sunnah. Juga baik shalat itu shalat sendirian atau shalat berjama’ah.
Menurut Asy-Syaukani, “Hadits di atas menjelaskan bahwasanya berjalan di depan orang yang sedang mendirikan shalat merupakan dosa besar dan dapat mengiring pelakunya masuk neraka, baik orang yang shalat itu tengah mendirikan shalat fardhu atau sunnah tanpa terkecuali.”
Namun bila melintas di luar batas (sutrah), maka hukumnya boleh. Batas itu sendiri disunnahkan untuk dibuat bagi tiap orang yang akan melaksanakan shalat. Bisa berbentuk tongkat, garis, batu, tanah atau barang bawaan seperti tas, dompet, kacamata dan lainnya. Intinya, dia meletakkan sesuatu di depannya agar orang jangan melintas di tengahnya.
# Dari Sabrah bin Ma'bad al-Juhani, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Hendaknya setiap kamu membuat batas (untuk shalat) meski hanya dengan panah.” (HR. Al-Hakim)
Adanya sutrah atau batas ini bisa dijadikan patokan bahwa bila akan melintas di depan orang yang sedang shalat, maka dibolehkan bila diluar area sujudnya yang dibatasi dengan benda-benda tertentu yang sengaja diletakkan oleh orang itu sebelum memulai shalatnya.
Dengan demikian, shalatnya itu tidak mengganggu lalu lintas orang lain yang akan masuk dan keluar masjid. Hal ini menjadi penting terutama bila ada orang yang shalat di masjid, namun posisinya di daerah dimana banyak orang lalu-lalang untuk masuk atau keluar masjid.
Bila sutrah sudah dibuat, maka haram hukumnya bagi orang lain untuk melintas di tangahnya. Dan bagi orang yang shalat, bila ada yang akan melintasi batas itu, dia berhak untuk mencegahnya.
# Dari Abi Said Al-Khudri radhiallaahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila salah seorang di antara kamu shalat dan telah membuat suatu pembatas (sutrah) yang menghalangi dari orang yang lewat, lalu jika ada orang yang ingin melintas (di dalam batas itu), maka hendaklah ia mencegahnya. Bila orang itu tetap melintas, maka perangilah dia karena dia itu (hakikatnya) adalah syetan.” (HR. Mutafaq 'Alaih)
Hadits ini memberi pengertian kepada kita bahwa seorang yang shalat harus mencegah orang melintas di depannya bila dia telah memasang batas. Bagaimana bila dia tidak memasang batas itu?
Al-Qurthubi mengatakan dalam hal ini cukup orang itu memberi isyarat dengan tangan untuk mencegah orang melintas di depannya. Bila tidak mau, maka boleh diperangi. Maksudnya boleh mencegah dengan lebih keras dari sebelumnya.
Sedangkan hikmah mengapa orang yang melintas harus dicegah, para ulama ada yang mengatakan bahwa hal itu demi kebaikan orang yang shalat agar tetap khusyu'. Selain itu juga untuk mencegah agar orang yang ingin melintas itu tidak sampai melakukan dosa akibat perbuatannya.
Balita bukanlah orang yang terkena kewajiban dan larangan dalam agama. Karena dia belum akil balihg, maka apa yang dikerjakannya berada di luar aturan-aturan syariat. Menjadi kewajiban orang tuanya untuk mengajarkan untuk tidak melanggar larangan seperti lewat di depan orang shalat. Tapi bila masih balita, satu atau dua tahun, memang belum masanya untuk diajarkan hal terlalu jauh. Bahkan sementara riwayat mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membiarkan Hasan dan Husein cucunya menungganginya saat sujud sehingga beliau sujud cukup lama untuk menunggu keduanya turun dari punggung beliau. Meski tidak langsung berkaitan dengan lewat di depan orang shalat, namun hadits-hadits seperti di atas menunjukkan adanya sikaf rifq terhadap anak kecil (balita), termasuk dalam shalat.
Post a Comment