"Keyakinan dan Kegigihan Nabi Ibrahim a.s."
"Keyakinan dan Kegigihan Nabi Ibrahim a.s." |
Setiap merayakan hari Raya Idul Adha,
umat Islam senantiasa diingatkan akan keteladanan seorang Nabi Allah yang sangat
agung dan mulia, yaitu Nabiyullah Ibrahim a.s. Beliau adalah teladan umat
manusia, yang memiliki pribadi yang agung, mulia, yang memberikan keteladanan
dalam menegakkan kalimah tauhid dalam situasi yang sangat sulit. Beliau hidup di
tengah masyarakat penyembah berhala, penyembah dan pengagung batu.
Sebagai seorang yang cerdas, jujur,
berani, dan telah menemukan kebenaran Tauhid, Ibrahim a.s., tidak dapat berdiam
diri dengan tradisi dan kebobrokan masyarakatnya seperti itu. Sebab, memang
tugas para Nabi yang utama, adalah menegakkan kalimah tauhid, dan menjauhi
thaghut. “Dan sungguh telah kami utus Rasul kepada tiap-tiap kaum, (untuk
menyeru umatnya), agar mereka menyembah Allah dan menjauhi thaghut.” (QS
al-Nahl:36).
Oleh karena itu, semua utusan Allah
mendapatkan tugas untuk menegakkan kalimah tauhid, bahwa hanya Allah-lah
satu-satunya Tuhan yang berhak disembah dan ditaati. Tidak ada Tuhan selain
Allah. Karena itu, kisah-kisah para Nabi Allah senantiasa merupakan kisah
pemberantasan kemuysrikan. Sebab, dalam pandangan Allah SWT, syirik adalah dosa
besar, dan merupakan kezaliman yang besar. Lukman menitipkan pesan kepada
anaknya: “Wahai anakku, janganlah kamu menyekutukan Allah. Sesungguhnya
syirik (itu) (mempersekutukan Allah) adalah kezaliman yang besar.” (QS.
Lukman: 13)
Jadi, kezaliman bukan hanya kezaliman
terhadap manusia. Tetapi, ada jenis kezaliman yang sangat besar, yaitu kezaliman
terhadap Allah, dengan menyekutukan Allah dengan yang lain. Nabi Musa a.s.
begitu murka dikhianati kaumnya yang menyembah patung sapi. Karena menyekutukan
Allah dengan menyembah patung sapi itulah, maka orang-orang itu dihukum dengan
cara membunuh diri mereka sendiri. Nabi Musa a.s. diturunkan Allah untuk melawan
Fir’aun yang sudah menjadikan dirinya sebagai Tuhan. Itulah tindakan syirik yang
mebawa kehancuran kepada Fir’aun.
Setiap Nabi dibebani misi untuk
mengingatkan manusia, agar jangan menyembah dan beribadah kepada selain Allah.
Jangan menyembah batu, jangan menjadikan hawa nafsu sebagai tuhan, jangan
menjadikan harta, jabatan, dan manusia lain, sebagai tuhan, yang lebih dicintai,
dihormati, diagungkan, dan ditaati, selain dari Allah SWT.
Dengan membawa misi seperti itu, maka
dengan tegas, lembut, dan tulus, Nabi Ibrahim menasehati ayah dan kaumnya, agar
mereka meninggalkan sesembahan batunya, meninggalkan tuhannya yang lama, dan
beralih menyembah Tuhan yang sejati, Allah SWT.
Dikisahkan dalam Al-Quran: ”Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata
kepada ayahnya, Azar, pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala ini sebagai
tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaum engkau dalam kesesatan
yang nyata.” (Al-An’am: 74).
Cobalah kita refleksikan ungkapan
Nabi Ibrahim itu dalam kondisi masyarakat saat ini, dimana berbagai tindakan
syirik dan menyepelekan Allah sedang merajalela dalam berbagai bentuknya. Suatu
tradisi yang dianggap sudah mapan dan dianggap sebagai kebenaran oleh mayoritas
masyarakatnya, digugat dengan satu perkataan yang tajam dan berani. Ibrahim
tidak gentar dengan resiko yang dihadapinya. Ia sangat serius dalam menggugat
tradisi penyembahan berhala. Nabi Ibrahim juga berdoa kepada Allah, agar anak
keturunannya dijauhkan dari menyembah berhala. (QS Ibrahim: 35-36)
Al-Quran menggambarkan sosok Ibrahim
dengan gambaran yang berbeda dengan konsep Yahudi, yang menekankan pada aspek
“darah” atau “garis keturunan”. Ibrahim diklaim kaum Yahudi sebagai nenek moyang
bangsa Yahudi. Klaim Yahudi adalah klaim rasialis, karena Yahudi memang bangsa
yang sangat rasialis. Tuhan mereka, yang sebagian Yahudi menyebutnya dengan nama
‘Yahweh’ adalah Tuhan yang dikhususkan untuk bangsa Yahudi
(henoteisme).
Berbeda dengan Yahudi, Al-Quran lebih
menekankan sosok Ibrahim sebagai tokoh pembela dan penegak Tauhid, dan
menekankan aspek “keimanan” dan “kesalehan” kepada Allah sebagai jalan menuju
keselamatan, tanpa pandang bulu, apakah ia bangsa Yahudi atau Arab. Bahkan,
untuk orang-orang yang sudah secara formal mengaku beragama Islam pun tidak
dijamin keselamatannya jika tidak benar-benar beriman kepada Allah, Hari akhir,
dan melakukan amal shalih. Kriteria iman yang sejati, bukanlah sekedar
‘ngaku-ngaku’, tetapi harus benar-benar diyakini dan diamalkan. (QS 2:62).
Karena itulah, dalam Al-Quran disebutkan, ada orang-orang yang
mengaku-aku beriman tetapi sejatinya mereka tidak beriman. (QS 2:8).
Al-Quran melawan paham rasialis
Yahudi dengan mendasarkan keselamatan seseorang hanya semata-mata karena faktor
iman dan amal shaleh. Islam adalah agama yang menghapus tuntas problema
rasialisme yang hingga kini masih bercokol di belahan dunia Barat. Jika Yahudi
mengklaim bahwa Ibrahim adalah Bapak bangsa Yahudi, maka
Al-Quran menegaskan, bahwa: “Ibrahim
bukanlah Yahudi atau Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang hanif dan Muslim,
dan dia bukanlah orang musyrik.” (Ali ‘Imran: 67).
Al-Quran begitu jelas menempatkan
posisi dan sosok Ibrahim sebagai sosok pembela Tauhid dan penentang keras
kemusyrikan. Kata Nabi Ibrahim, seperti disebutkan dalam Al-Quran: “Sesungguhnya
aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, dengan
cenderung kepada agama yang benar (hanif), dan aku bukanlah termasuk orang-orang
musyrik.” (Al-An’am:79).
Menyongsong Idul Adha 1427 Hijriah
ini, satu makna penting yang perlu kita ambil adalah meneladani kegigihan Nabi
Ibrahim dalam menegakkan agama Tauhid dan melawan kemusyrikan. Nabiyullah
Ibrahim tidak gentar menghadapi hegemoni paganisme di tengah masyarakatnya. Ia
tampil sebagai manusia merdeka yang bertauhid, yang hanya menyandarkan dirinya
kepada Allah SWT, meskipun harus berhadapan dengan tradisi pagan. Bahkan, karena
perbuatannya melawan kemusyrikan, beliau akhirnya harus menghadapi ujian yang
sangat berat, terutama yang datang dari tengah keluarganya sendiri. Ia harus
berhadapan dengan ayah dan kaumnya sendiri yang bertahan dalam kemusyrikan dan
menentang ketauhidan.
Membaca kisah Nabi Ibrahim a.s. dalam
menegakkan kalimah Tauhid itu, kita tentu memahami, bahwa Nabiyulllah Ibrahim
sangat yakin dengan kebenaran Tauhid yang diyakininya. Tauhid memang
mensyaratkan keyakinan, dan menolak keraguan atau relativisme nilai. Dalam
Tauhid yang ada adalah haq dan bathil, salah dan benar. Yang benar harus
ditegakkan dan yang salah harus diruntuhkan, sebagimana dicontohkan oleh
Nabiyullah Ibrahim a.s.
Umat Islam adalah umat yang menerima
dan meyakini semua Nabi yang diutus oleh Allah SWT. Kita tidak membeda-bedakan
antara satu dengan yang lain. Kita menerima dan mengimani kenabian Ibrahim,
Musa, Isa, dan Muhammad saw. Kaum Yahudi menolak kenabian Isa dan Muhammad. Kaum
Nasrani menolak untuk mengimani kenabian Muhammad saw. Umat Islam adalah umat
yang paling konsisten dalam mengikuti sunnah Ibrahim a.s. dan paling banyak
menyebut namanya serta mendoakannya. Bukan hanya mereka yang sedang menunaikan
ibadah haji di Tanah Suci, tetapi setiap hari dalam shalat lima waktu, kita
senantiasa membaca shalawat (doa) untuk Nabiyullah Ibrahim a.s. bersama dengan
shalawat untuk Nabi Muhammad saw.
Adakah umat lain yang begitu besar
kecintaannya kepada Nabi Ibrahim selain umat Islam, yang setiap hari berulang
kali menyebut namanya dalam ibadah wajibnya?
Tidak berbeda dengan tugas Nabi-nabi
sebelumnya, Nabi Muhammad saw diperintahkan Allah SWT untuk menjelaskan tentang
konsep Tauhid dalam Islam dan mengajak kaum Yahudi dan Kristen untuk
bersama-sama menganut Tauhid dan meninggalkan tindak kemusyrikan yang sangat
dimurkai oleh Allah SWT. Rasululullah saw diperintahkan oleh Allah
SWT:
“Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah
kepada satu kalimah (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dengan
kalian, bahwa kita tidak menyembah kecuali Allah dan kita tidak menyekutukan Dia
dengan sesuatu pun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain
sebagai Tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka:
Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang Muslim.” (QS 3:64).
Dalam urusan tauhid inilah kita wajib
meneladani apa yang telah dilakukan oleh para Nabi. Tauhid tentu tidak mungkin
bersatu dengan syirik, sebab tauhid berlandaskan kepada keyakinan. Para Nabi
begitu gigih dalam memberantas kemuysrikan. Para Nabi itu tentu berangkat dari
keyakinan dan kepastian iman, bukan dari keraguan atau kenisbian iman. Keimanan
mereka kokoh, bahwa Tauhid adalah benar, dan syirik adalah salah. Tentu saja,
mereka memiliki keyakinan itu berdasarkan kepada pemahaman yang yakin pula.
Mereka sama sekali bukan penganut paham relativisme akal, relativisme iman, atau
relativisme kebenaran.
Keyakinan dalam iman inilah yang
seyogyanya ditanamkan oleh para cendekiawan dan ulama. Kita tidak habis pikir,
bagaimana mungkin ada pikiran pada sebagian cendekiawan yang menyebarkan paham
relativisme akal dan kebenaran, seperti yang dilakukan oleh Syafii Maarif
melalui artikelnya di Republika (Jumat, 29 Desember 2006) yang berjudul
“Mutlak dalam Kenisbian”.
Dia menulis: “Iman saya
mengatakan bahwa Al-Quran itu mengandung kebenaran mutlak, karena ia berhulu
dari yang Mahamutlak. Tetapi sekali ia memasuki otak dan hati manusia yang serba
nisbi, maka penafsiran yang keluar tidak pernah mencapai posisi mutlak benar,
siapa pun manusianya, termasuk mufassir yang dinilai punya otoritas tinggi,
apalagi jika yang menafsirkan itu manusia-manusia seperti saya… Jika ada orang
yang mengatakan bahwa penafsirannya mengandung kebenaran mutlak, maka ia telah
mengambil alih otoritas Tuhan.”
Terhadap pernyataan Syafii itu kita
perlu lakukan klarifikasi dan koreksi. Banyak sekali kalangan cendekiawan yang
terjebak oleh logika dikotomis semacam ini. Yang perlu ditekankan, adalah bahwa
Al-Quran memang Kalamullah, tetapi Al-Quran diturunkan untuk manusia. Allah
tidak menuntut manusia menjadi Tuhan dan tidak mungkin manusia memahami Al-Quran
sama dengan Allah memahaminya. Tidak mungkin manusia menjadi Tuhan. Karena itu,
jika seorang mufassir atau seorang Muslim memahami dan meyakini pemahamannya
bahwa Allah itu satu, bahwa Nabi Isa tidak disalib, bahwa babi itu haram, tidak
bisa dikatakan, bahwa sang mufassir itu sedang menggantikan posisi Tuhan karena
telah memutlakkan pendapatnya. Sebab, memang, di luar pemahaman (kebenaran) yang
satu itu, tidak ada kebenaran lain. Dalam hal-hal yang pasti (qath’iy),
memang hanya ada satu penafsiran yang benar. Tidak mungkin ada dua pemahaman
yang berlawanan. Misalnya, tidak mungkin dipahami, bahwa Nabi Isa tidak disalib
sekaligus juga disalib. Tidak mungkin ada pemahaman bahwa Allah itu satu, tetapi
sekaligus juga banyak. Tidak mungkin kita memahami bahwa babi itu haram
sekaligus juga halal. Jika kita memahami bahwa Muhammad saw adalah seorang nabi,
maka tidak mungkin pada saat yang sama kita juga menisbikan pendapat kita bahwa
ada kemungkinan beliau saw juga bukan nabi. Na’udzubillah. Dalam hal ini,
keyakinan bahwa Muhammad saw adalah seorang nabi memang bersifat mutlak, tidak
ada keraguan sedikit pun dan tidak ada kenisbian sedikit pun. Tentu,
‘kemutlakan’ di sini adalah dalam batas-batas manusia, karena kita memang tidak
mungkin menggantikan posisi Tuhan.
Dalam hal sederhana, kita bisa
bertanya, apakah Pak Syafii Maarif berani membuat pernyataan: “Karena pemikiran
saya bersifat nisbi, maka kelelakian saya adalah nisbi dan tidak mutlak.” Begitu
juga, apakah beliau berani membuat pernyataan: “Karena pemahaman akal saya
terhadap Allah adalah nisbi, maka keimanan saya kepada Allah juga bersifat nisbi
dan tidak mutlak.” Apakah Pak Syafii Maarif berani membuat pernyataan seperti
itu? Jika berani, maka kita tidak bisa berbuat apa-apa. Cukup mengelus dada dan
menyerahkan semuanya kepada Allah. Kita tunggu saja apa yang terjadi
kemudian.
Kenyataannya, Syafii Maarif juga
tidak konsisten. Jika ia menyatakan semua pemikiran manusia adalah nisbi, maka
pemikiran dia pun nisbi. Sebab itu, dia tidak perlu menyalahkan atau mengecam
orang yang berpendapat lain dengan pendapatnya, serta memaksa manusia lain untuk
menisbikan pendapatnya, seperti dia. Ketika dia menyalahkan orang lain, maka dia
sendiri pun sudah memutlakkan pendapatnya.
Yang jelas, keberanian Nabi Ibrahim
a.s. dalam meruntuhkan berhala-berhala kaumnya tidak mungkin muncul dari sebuah
keimanan yang nisbi dan relatif; tetapi muncul dari pemikiran dan keyakinan yang
mutlak, bahwa menyembah berhala adalah tindakan syirik dan salah sampai kapan
pun! Wallahu a’lam
bis-shawab.
|
Post a Comment