WANITA SEBAGAI ANGGOTA MASYARAKAT
WANITA SEBAGAI ANGGOTA MASYARAKAT
Tersebar
di kalangan orang-orang yang tidak suka terhadap Islam bahwa Islam telah
memenjarakan wanita di dalam rumah, sehingga ia tidak boleh keluar dari rumah
kecuali ke kubur. Apakah ini mempunyai sandaran yang shahih dari Al Qur'an dan
As-Sunnah? Atau dari sejarah muslimat pada tiga kurun yang pertama yang
merupakan sebaik-baik kurun? Tidak!, sama sekali tidak!..., karena Al Qur'an
telah menjadikan laki-laki dan wanita sebagai partner dalam memikul tanggung
jawab yang terbesar dalam kehidupan, yaitu tanggung jawab untuk beramar ma'ruf
dan nahi munkar.
Allah
SWT berfirman:
"Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka meryuruh (mengerjakan) yang
ma'ruf mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zatat, dan
mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya..." (At-Taubah:
71)
Untuk
menerapkan prinsip ini kita dapatkan seorang wanita di masjid memprotes Amirul
Mu'minin Umar Al Faruq ketika berpidato di atas mimbar di hadapan masyarakat.
Maka begitu mendengar, beliau pun berbalik mengikuti pendapat wanita itu dan
Umar berkata dengan lantang, "Wanita itu benar dan Umar salah.
Rasulullah
SAW juga bersabda, "Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim." (HR.
Ibnu Majah)
Para ulama sepakat bahwa
wanita muslimah juga termasuk di dalam makna hadits ini, maka wajib bagi wanita
untuk mencari ilmu yang dapat meluruskan aqidahnya dan meluruskan ibadahnya
serta menentukan perilakunya dengan tata cara yang Islami. Baik dalam
berpakaian dan yang lainnya dan mengikuti ketentuan Allah dalam hal yang halal
dan yang haram serta hak-hak dan kewajiban. Sehingga memungkinkan dirinya untuk
meningkat dalam ilmu dan sampai pada tingkatan ijtihad. Suaminya tidak berhak untuk
melarangnya dari mencari ilmu yang wajib baginya, apabila suaminya tidak mampu
untuk mengajarinya atau tidak mau mengajarinya.
Para isteri sahabat dahulu
pergi menghadap Rasulullah SAW untuk bertanya mengenai berbagai persoalan yang
mereka hadapi, dan mereka tidak merasa malu untuk ber-tafaqquh dalam bidang
agama.
Shalat
berjamaah bukanlah merupakan suatu keharusan bagi kaum wanita sebagaimana itu
dituntut bagi kaum pria. Karena shalat di rumahnya boleh jadi lebih utama
sesuai dengan kondisi dan risalahnya. Akan tetapi tidak boleh bagi laki-laki
untuk melarangnya jika ternyata ia suka shalat berjamaah di masjid. Nabi SAW
bersabda, "Janganlah melarang hamba-hamba Allah (wanita) ke masjid-masjid
Allah." (HR. Muslim)
Diperbolehkan
bagi wanita keluar dari rumahnya untuk memenuhi keperluan suaminya,
keperluannya atau keperluan anak-anaknya, baik di kebun atau di pasar.
Sebagaimana dilakukan oleh Asma' binti Abu
Bakar, ia pernah
berkata, "Saya pernah memindahkan biji kurma di atas kepala saya dari
daerahnya Zubair (suaminya) yaitu Madinah dalam jarak dua pertiga pos."
Wanita
juga diperbolehkan keluar bersama tentara untuk melakukan tugas pengobatan dan
perawatan dan lain sebagainya, yaitu berupa pelayanan yang sesuai dengan
fithrah dan kemampuannya.
Imam
Ahmad dan Bukhari meriwayatkan dari Rubayyi' binti Mu'awwidz Al Anshariyah, ia
berkata, "Kita dahulu pernah berperang bersama Rasulullah SAW, kita
memberi minuman kepada kaum dan memberi pelayanan dan mengembalikan orang-orang
yang terbunuh dan terluka ke Madinah."
Imam
Ahmad dan Muslim meriwayatkan dari Ummi 'Athiyah, ia berkata, "Saya
berperang bersama Rasulullah SAW sebanyak tujuh peperangan, saya berada di
belakang mereka, untuk membuatkan makanan untuk mereka, mengobati orang-orang
yang terluka dan merawat orang yang sakit."
Inilah
aktivitas yang sesuai dengan tabiat wanita dan profesinya, adapun membawa
senjata dan berperang serta memimpin satuan tentara maka itu bukan profesinya.
Kecuali jika kebutuhan memaksa demikian, ketika itu maka ia ikut serta dengan
kaum pria dalam melawan musuh-musuh sesuai dengan kemampuannya. Seperti yang
dilakukan oleh Ummu Sulaim pada perang Hunain yaitu membawa sabit (pisau).
Ketika ditanya oleh suaminya yang bernama Abu Thalhah, maka ia mengatakan,
"Saya mengambil pisau, agar jika ada seorang musyrik mendekati aku maka
akan aku tusuk perutnya."
Ummu
'Imarah pernah teruji dengan ujian yang baik pada perang Uhud, sampai Nabi SAW
memujinya dan juga dalam perang melawan kemurtadan. Ia juga ikut di berbagai
peperangan yang lain, sehingga ketika Musailamah Al Kazzab terbunuh, ia kembali
dengan sepuluh luka dalam tubuhnya.
Jika di
suatu masa wanita telah terkungkung jauh dari ilmu pengetahuan, dan dijauhkan
dari kancah kehidupan, dibiarkan secara terus menerus tinggal di dalam rumah,
seakan-akan sepotong perkakas rumah, tidak diajari oleh suaminya, dan tidak
diberi kesempatan untuk belajar sehingga keluar ke masjid saja dianggap haram,
jika gambaran ini menjadi membudaya pada suatu masa, maka dasarnya adalah
kebodohan dan ekstrimitas serta penyimpangan dari petunjuk Islam dan mengikuti
taqlid secara berlebihan dalam ketidak berkembangan yang tidak diizinkan oleh
Allah. Islam tidak bertanggung jawab terhadap berbagai tradisi yang dibuat-buat
di masa lalu, sebagaimana Islam tidak bertanggung jawab terhadap
tradisi-tradisi lainnya yang dibuat-buat saat ini.
Sesungguhnya
tabiat Islam adalah tawazun serta adil dalam segala aturannya dan segala
seruannya, berupa hukum-hukum dan tata cara kehidupan. Ia tidak memberikan
sesuatu untuk mengharamkan yang lainnya, ia juga tidak membesar-besarkan
sesuatu atas kerugian yang lain, ia tidak berlebihan dalam memberikan
hak-haknya dan tidak pula dalam menuntut kewajiban-kewajibannya.
Oleh
karena itu bukanlah stressing yang ditekankan oleh Islam untuk memanjakan
wanita di atas kerugian laki-laki dan juga tidak menzhalimi wanita karena
kepentingan laki-laki. Tidak pula penekanan Islam itu pada memperturutkan
keinginan-keinginan wanita lebih atas perhitungan risalahnya, dan tidak pula
memperturutkan laki-laki melebihi perhitungan kehormatan wanita. Akan tetapi
kita dapatkan bahwa sikap Islam terhadap wanita itu tergambar sebagai berikut:
1.
Sesungguhnya Islam senantiasa memelihara tabiat wanita dan kewanitaannya yang
telah diciptakan oleh Allah, dan Islam memelihara wanita dari cengkeraman
orang-orang yang buas yang menginginkannya secara haram. Dan memeliharanya dari
kekerasan orang-orang yang memanfaatkan kewanitaannya untuk menjadi alat
perdagangan dan mencari keuntungan yang haram.
2.
Sesungguhnya Islam menghormati tugas wanita yang mulia yang mempunyai kesiapan
dengan fithrahnya, yang telah dipilih oleh penciptannya dan yang telah
dikhususkan dengan satu sisi yang lebih memadai daripada sisi yang dimiliki
kaum laki-laki, yaitu rasa kasih sayang dan kelembutan perasaan. Mereka sangat
respek dalam melaksanakan risalah keibuan yang penuh kasih sayang yang
mengelola pabrik yang terbesar pada ummat ini, itulah pabrik yang memproduksi
generasi masa mendatang.
3.
Sesungguhnya Islam menganggap rumah sebagai kerajaan besar bagi wanita. Di sini
wanita sebagai pengelolanya, ia sebagai isteri suaminya, partner hidupnya,
pelipur laranya, dan ibu bagi anak-anaknya. Islam mempersiapkan profesi wanita
untuk mengatur rumah dan memelihara urusan suami dan mendidik anak-anak dengan
baik dalam masalah ibadah dan jihadnya. Oleh karena itu Islam memerangi setiap
aliran atau sistem yang menghalang-halangi wanita untuk melaksanakan risalahnya
atau membahayakan bagi pelaksanaan risalah itu atau menghancurkan kehidupannya.
Sesungguhnya
setiap aliran atau sistem yang berupaya mencabut wanita dari kerajaannya dan
merampasnya dari suaminya dan mencabutnya dari buah hatinya atas nama kebebasan
atau dengan alasan bekerja atau seni atau alasan-alasan lainnya, itu sebenarnya
merupakan musuh bagi wanita yang merampas segala sesuatu yang ada padanya dan
tidak memberikan kesempatan kepadanya sedikit pun, maka wajar jika Islam
menolak itu semua.
4.
Sesungguhnya Islam ingin membangun rumah tangga bahagia yang itu merupakan asas
masyarakat yang bahagia pula. Rumah tangga bahagia hanya bisa dibangun atas
dasar tsiqaf (kepercayaan) dan keyakinan, bukan atas dasar keraguan. Rumah
tangga yang pilarnya adalah suami isteri yang saling meragukan dan
mengkhawatirkan adalah rumah tangga yang dibangun di pinggir jurang, sedangkan
hidup di dalamnya adalah neraka yang orang tidak akan tahan.
5.
Sesungguhnya Islam mengizinkan kepada wanita untuk bekerja di luar rumah,
selama pekerjaan yang ia lakukan itu sesuai dengan tabiatnya, spealisasinya dan
kemampuannya dan tidak menghilangkan naluri kewanitaannya. Maka kerjanya
diperbolehkan selama dalam batas-batas dan persyaratan-persyaratan yang ada,
terutama jika keluarganya atau dia sendiri membutuhkan ia bekeria di luar rumah
atau masyarakat itu sendiri memerlukan kerjanya secara khusus. Dan bukanlah
kebutuhan kerja itu hanya terpusat pada sisi materi saja, tetapi kadang-kadang
juga kebutuhan secara kejiwaan (psikologis), seperti kebutuhan akan seorang
pengajar secara khusus yang belum menikah atau yang sudah menikah tetapi belum
mempunyai anak, dan sebagainya.
Para Pendukung Ekstrimitas dalam Profesi Wanita
Sebagaimana
penyebar ghazwul fikri yang menyerukan pergaulan bebas antara wanita dan pria
dan menghilangkan sekat di antara keduanya, maka kita juga melihat mereka
menyerukan untuk mempekerjakan wanita di segala bidang, tanpa memandang apakah
itu diperlukan atau tidak. Ini adalah merupakan tindak lanjut dari usaha mereka
yang pertama. Propaganda ini mendukung adanya ikhtilath (pergaulan bebas) dan
yang menghilangkan batas-batas serta bebas dari kezhaliman abad pertengahan dan
kegelapannya sebagaimana mereka katakan.
Di
antara makar mereka adalah bahwa mereka itu seringkali tidak berterus-terang
bahwa mereka menginginkan wanita untuk keluar dari fithrahnya dan keluar dari
batas-batas kewanitaannya. Mereka seakan tidak ingin memanfaatkan kewanitaannya
untuk kenikmatan yang diharamkan atau kerja yang haram, bahkan mereka
menampilkan dalam bentuk orang-orang yang bersih dan ikhlas, yaitu orang-orang
yang tidak menginginkan sesuatu selain kemaslahatan. Mereka memperkuat pendapat
mereka untuk mempekerjakan wanita dengan berbagai alasan sebagai berikut:
1.
Sesungguhnya Barat itu lebih maju dan lebih berkembang daripada kita dalam
kancah peradaban. Barat telah mendahului kita dalam mempekerjakan wanita, maka
jika kita ingin maju seperti Barat maka kita harus mencontohnya dalam segala
sesuatu karena peradaban itu tidak terpisah-pisah.
2.
Sesungguhnya wanita adalah separuh dari masyarakat dan membiarkan wanita di
rumah tanpa kerja adalah merusak separuh masyarakat dan membahayakan ekonomi
ummat, maka kemaslahatan masyarakat menuntut wanita untuk bekerja.
3.
Kemaslahatan keluarga (rumah tangga) juga menuntut kerja wanita. karena
kebebasan hidup semakin meningkat dewasa ini, dan kerja wanita itu bisa
menambah income keluarga serta dapat membantu suaminya untuk memikul beban
kehidupan. Terutama di dalam lingkungan yang terbatas pemasukannya.
4.
Kepentingan wanita itu sendiri juga menuntut ia untuk bekerja, karena
berinteraksi dengan manusia dalam kehidupan dan dengan masyarakat di luar rumah
itu dapat membuat cemerlang kepribadiannya dan menambah pengetahuan dan
pengalaman, yang semua itu tidak dapat diperoleh ketika ia masih berada di
antara empat dinding.
5.
Sebagaimana kerja adalah senjata di tangannya untuk menghadapi berbagai
peristiwa zaman, mungkin ayahnya meninggal atau dia dicerai oleh suaminya atau
ditelantarkan oleh anak-anaknya, maka dengan bekerja dia tidak akan menjadi
miskin dan terlantar. Terutama di zaman yang sifat egois telah mendominasi
kehidupan manusia, banyak perlakuan anak yang menyakitkan orang tua, tidak mau
tahu dengan sanak famili sehingga setiap orang mengatakan, "Yang penting
diriku."
Beberapa Sanggahan terhadap Syubhat Argumen Barat
Berhujjah
(beralasan) dengan argumen versi Barat itu keliru, berdasarkan sebab-sebab
sebagai berikut:
1.
Karena Barat bukanlah hujjah (alasan) bagi kita, dan kita tidak diperintahkan
untuk menjadikan Barat sebagai ilah (tuhan) yang disembah, tidak pula sebagai
qudwah yang diikuti, "Lakum diinukum waliya diin."
2.
Wanita di Barat itu keluar ke pabrik-pabrik dan ke super market dan
tempat-tempat lainnya karena terpaksa, bukan karena atas kesadaran. Mereka
memerlukan makan yang ini seharusnya menjadi tanggungan suaminya, mereka hidup
di masyarakat yang keras, tidak memiliki kasih sayang terhadap anak kecil
karena kekecilannya, dan tidak pula mempunyai rasa kasih sayang pada wanita
karena kewanitaannya. Sedang Allah telah memberi kecukupan kepada kita yaitu
dengan sistem nafaqat di dalam syari'at kita.
Ustadz
Muhammad Yusuf pernah mengungkapkan dalam kitabnya, "Islam dan kebutuhan
manusia kepadanya" tentang perhatian Islam terhadap rumah tangga, ia
berkata, "Barangkali ada baiknya jika kita sebutkan di sini bahwa ketika
saya tinggal di Perancis ada seorang gadis wanita yang menjadi pembantu rumah
tangga yang aku tinggal sementara di keluarga itu. Nampaknya gadis itu dari
keluarga baik-baik, maka aku bertanya kepada tuan rumah, "Kenapa gadis ini
menjadi pembantu, apakah ia tidak memiliki keluarga yang dapat menjauhkan ia
dari kerja seperti ini dan memenuhi kebutuhannya?" Maka jawabnya, "la
berasal dari keluarga baik-baik di negara ini, pamannya orang yang kaya raya,
tetapi pamannya tidak memperhatikan dan tidak mau tahu dengan urusannya."
Maka saya bertanya, "Mengapa tidak melaporkan permasalahannya ke
pengadilan, agar mendapat dukungan hukum supaya ia memberi nafkah?" Maka
tuan rumah itu terkejut dengan kata-kata itu, dan memberitahu aku bahwa itu
tidak boleh secara hukum. Ketika itu, saya memahamkan kepadanya mengenai hukum
Islam dalam masalah ini, maka tuan rumah itu berkata, "Siapakah yang
melindungi kami dengan aturan seperti itu? Seandainya ini boleh secara hukum di
negara kami niscaya kamu tidak mendapatkan wanita keluar dari rumahnya untuk bekerja
di PT, pabrik, laborat, atau salah satu instansi pemerintahan."31)
Ini
berarti, kekhawatiran mereka akan kelaparan dan kepunahan itulah yang mendorong
kaum wanita untuk bekerja dengan alasan darurat (terpaksa).
3.
Sesungguhnya Barat saat ini yang dijadikan idola telah berubah dan mengeluhkan
adanya wanita yang bekerja dan pengaruh-pengaruhnya. Dan wanita itu sendiri
merasa sakit dari cobaan ini, namun tidak menemukan pilihan lain. Ada seorang penulis
terkenal -Ana Roud- mengatakan dalam suatu makalah yang diedarkan oleh surat kabar Eastern Mill,
"Jika anak-anak perempuan kita itu bekerja di rumah-rumah seperti
pembantu, itu lebih baik dan lebih ringan cobaannya daripada mereka bekerja di
pabrik-pabrik, di mana wanita telah tercemari dengan polusi yang menghilangkan
keindahan hidup mereka untuk selama-lamanya. Mengapa negara kami tidak seperti
negara kaum Muslimin yang penuh dengan kesucian dan kebersihan, di mana
pembantu dan budak bisa menikmati kehidupan dengan sebaik-baiknya dan
diperlakukan seperti anak-anak putrinya sendiri dan tidak dikotori
kehormatannya? Sesungguhnya ini merupakan cacat bagi negara Inggris jika kita
menjadikan anak-anak wanita sebagai umpan kenistaan yaitu dengan banyaknya
bergaul dengan kaum pria. Maka mengapa kita tidak berusaha untuk menjadikan
wanita bekerja sesuai dengan fithrahnya seperti mengurusi rumah tangga dan
meninggalkan pekerjaan laki-laki untuk laki-laki demi keselamatan
kehormatannya?"32)
4.
Sesungguhnya kemaslahatan masyarakat itu bukanlah wanita harus meninggalkan
risalahnya yang utama yaitu di dalam rumah, untuk beralih bekerja sebagai
insinyur atau pengacara atau menjadi anggota DPR atau hakim atau buruh di
pabrik. Tetapi kemaslahatan itu adalah hendaknya wanita bekerja sesuai dengan
bidang kekhususannya yang terkait dengan fitrahnya yaitu sebagai isteri dan ibu
yang tidak kalah pentingnya, bahkan lebih penting daripada bekerja di super
market pabrik-pabrik dan kantor-kantor.
Napoleon
pernah ditanya, "Benteng manakah di Perancis yang paling kuat?" Ia
menjawab, "Para ibu yang baik."
Orang-orang
yang mengatakan bahwa sesungguhnya wanita yang tinggal di rumah itu menganggur
adalah bodoh atau berpura-pura bodoh sebagaimana dikatakan oleh para wanita
mulia. Karena begitu banyaknya pekerjaan rumah tangga yang menyita seluruh
waktunya, bahkan hampir tidak cukup. Maka jika ada sebagian wanita yang
memiliki waktu lebih, hendaklah kita beri tahu agar digunakan untuk menjahit
atau membordir atau pekerjaan lain yang tidak bertentangan dengan kewajibannya
di rumah. Mungkin juga dengan bekerja sama dengan perusahaan atau instansi
tertentu dengan memperoleh upah dari mereka sedang ia menyelesaikan
pekerjaannya di rumah. Atau berkhidmah kepada masyarakatnya dan orang-orang
wanita sejenisnya, serta ikut andil dalam memerangi kemiskinan, kebodohan,
penyakit dan kerendahan. Kenyataannya banyak dari kalangan wanita yang bekerja
mempergunakan wanita lainnya untuk bekerja sebagai pembantu yang merawat
anak-anaknya. Artinya bahwa rumah memerlukan seorang wanita yang merawatnya dan
yang paling mulia adalah pemiliknya sendiri, daripada wanita lain yang sering
berbeda akhlaqnya, agamanya, bahasanya, pemikiran dan tradisinya. Sebagaimana
umumnya di negara-negara teluk yang mendatangkan para pembantu rumah tangga
dari timur jauh yang tentunya membawa dampak negatif bagi anak-anak mereka.
5.
Sebagaimana kebahagiaan berumah tangga bukanlah sekedar tambahnya pemasukan
yang sebagian besar dipergunakan untuk membeli peralatan dan hiasan rumah, baju
untuk keluar dan beban hidup yang beraneka ragam yang cenderung dibuat-buat
untuk berlomba dari sisi materi. Selain bertambahnya fasilitas rumah telah
kehilangan ketenangan dan keharmonisan yang sering dirasakan oleh wanita di
tengah-tengah hidup berumah tangga. Adapun wanita yang bekerja, badannya lelah,
perasaannya stress, karena dirinya sendiri memerlukan seseorang yang dapat
menghiburnya. Padahal orang yang kehilangan sesuatu tidak mungkin bisa memberi
sesuatu itu.
6.
Sesungguhnya kemaslahatan wanita bukanlah terletak pada keluarnya wanita itu
dari fitrahnya dan tugas khususnya atau mengharuskan wanita untuk bekerja seperti
laki-laki, karena Allah telah menciptakan ia sebagai wanita. Ini berarti
membohongi wanita dan realita, padahal wanita telah kehilangan kewanitaannya
secara bertahap, sampai diistilahkan oleh sebagian penulis dari lnggris dengan
istilah "Seks yang ketiga." Inilah yang diakui oleh kebanyakan wanita
dari para pemberani di bidang sastra.
7. Suatu
anggapan bahwa bekerja merupakan senjata di tangan wanita! ini tidak benar
menurut kita ummat Islam. Karena wanita dalam Islam dicukupi kebutuhannya
dengan aturan nafkah yang wajib secara syar'i bagi ayahnya atau suaminya, atau
anak-anaknya atau saudaranya atau kerabat lainnya. Dan taqlid terhadap Barat
itu mulai menjauhkan kita dari karakter kita sedikit demi sedikit.
Bahaya Mempekerjakan Wanita dengan Pekerjaan Laki-laki.
Dengan
demikian kita mengetahui bahwa sesungguhnya bekerjanya wanita di dalam profesi
kaum lelaki dengan tanpa ikatan dan batas-batas itu tidak diragukan sangat
berbahaya dari berbagai segi sebagai herikut:
1.
Berbahaya bagi diri wanita itu sendiri, karena ia kehilangan kewanitaannya dan
karakternya dan ia jauh dari rumah dan anak-anaknya. Sehingga banyak dari kaum
wanita yang mandul, bahkan ada yang mengatakan bahwa mereka itu "jenis
manusia ketiga," artinya tidak laki-laki dan tidak perempuan.
2.
Berbahaya bagi suaminya, karena suaminya kehilangan sumber kebahagiaan dan
kemesraan, karena yang banyak diperbincangkan adalah permusuhan, pengaduan
problem kerja, perlombaan dengan kawan-kawan seprofesi isterinya. Terutama
suami akan kehilangan sifat kepemimpinannya dalam keluarga, karena perasaan
isterinya yang sudah merasa tercukupi dengan pekerjaannya bahkan mungkin gaji
isterinya lebih besar daripada gaji suaminya, sehingga isterinya merasa berada
di atasnya. Ini belum lagi dengan perasaan cemburu dan ragu dari suaminya yang
sering terjadi.
3.
Berbahaya bagi anak-anaknya, karena kasih sayang ibu, hati ibu dan pemeliharaan
ibu tidak bisa diganti dengan pembantu atau pelayanan di sekolah. Maka
bagaimana mungkin anak-anak bisa memperoleh itu semua dari seorang ibu yang
menghabiskan hari-harinya di tempat kerja, dan ketika pulang ke rumah ia sudah
lelah, capek dan pusing. Karena itu kondisi fisik maupun kejiwaannya tidak
memungkinkan untuk memberikan tarbiyah dengan baik terhadap anak-anaknya.
4.
Berbahaya terhadap pekerjaan itu sendiri, karena wanita itu akan banyak
terlambat dan absen dari kerjanya, karena banyaknya halangan-halangan yang
tidak bisa dielakkan, seperti datang bulan, hamil, melahirkan dan menyusui dan
lain sebagainya. Ini semuanya ditinjau menurut disiplin kerja dan perhitungan
produktivitas yang baik.
5.
Berbahaya bagi kaum laki-laki, karena setiap wanita yang bekerja selalu
mengambil posisi kaum lelaki yang lebih layak bekerja di dalamnya. Selama di
masyarakat masih ada kaum lelaki yang menganggur, maka kerja wanita
membahayakan bagi mereka.
6.
Berbahaya terhadap moral, karena wanita telah kehilangan rasa malu dan bahaya
bagi akhlaq laki-laki, karena kehilangan rasa cemburu. Dan membahayakan akhlaq
generasi, karena mereka kehilangan pendidikan yang baik sejak kecil serta
membahayakan akhlaq masyarakat semuanya ketika mencari harta dan menambah
income itu menjadi tujuan utama yang dikejar oleh manusia meskipun harus
mengorbankan nilai-nilai akhlaq dan moral.
7.
Berbahaya terhadap kehidupan sosial, karena wanita keluar dari fitrahnya dan
meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Ini bisa merusak kehidupan dan membuat
kegoncangan jiwa.
Kapan Diperbolehkan bagi Wanita untuk Bekerja
Apakah
dengan demikian berarti wanita diharamkan atau dilarang bekerja secara syar'i
dalam keadaan apapun? Tidak! Karena itu ada baiknya jika kita jelaskan di sini
sampai batas manakah syari'at memperbolehkan wanita untuk bekerja.
Di sini
ingin saya jelaskan dengan ringkas dan jelas masalah batas-batas bolehnya wanita
bekerja, agar tidak kabur antara yang haq dan yang batil dalam masalah yang
sensitif ini.
Sesungguhnya
tugas wanita yang pertama dan yang paling besar yang tidak ada pertentangan
padanya adalah mentarbiyah generasi yang telah dipersiapkan oleh Allah, baik
secara fisik maupun jiwa. Wajib bagi wanita untuk tidak melupakan risalah yang
mulia ini disebabkan karena pengaruh materi atau modernisasi apa pun adanya,
karena tidak ada seorang pun yang mampu melakukan tugas agung ini yang sangat
menentukan masa depan ummat kecuali dia. Dengan demikian maka kekayaan ummat
akan semakin baik, itulah kekayaan sumber daya manusia.
Semoga
Allah merahmati seorang penyair yang bemama Hafidz Ibrahim yang mengatakan:
"Seorang
ibu bagaikan sekolah yang apabila engkau persiapkan (dengan baik) maka berarti
engkau telah mempersiapkan generasi yang harum namanya."
Ini
bukan berarti profesi wanita di luar rumahnya itu diharamkan menurut syari'at,
karena tidak ada wewenang bagi seseorang mengharamkan tanpa ada keterangan dari
syara' yang benar-benar ada dan jelas maknanya. Karena pada dasarya asal segala
sesuatu dan tindakan itu diperbolehkan sebagaimana dimaklumi.
Atas
dasar inilah maka kita katakan bahwa sesungguhnya profesi wanita pada dasarnya
diperbolehkan, bahkan bisa jadi diperlukan, terutama bagi wanita janda, dicerai
atau belum dikaruniai suami sementara dia tidak mempunyai pemasukan dan tidak
pula ada yang menanggungnya, sedang dia mampu bekerja untuk mencukupi
keperluannya sehingga tidak meminta-minta.
Dan
kadang-kadang justru keluarga yang membutuhkan ia bekerja, seakan-akan ia
membantu suaminya, atau mendidik anak-anaknya dan saudara-saudaranya yang masih
kecil, atau membantu bapaknya yang sudah tua, seperti dalam kisah dua putri
orang tua yaitu Nabi Syu'aib yang disebutkan oleh Al Qur'an di dalam surat Al
Qashash, yang keduanya merawat kambing ayahnya.
Allah
SWT berfirman, "Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan ia
menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia
menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat
(ternaknya). Musa berkata, "Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?"
Kedua wanita itu menjawab, "Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami),
sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami
adalah orang tua yang telah lanjut usianya." (Al
Qashash: 23)
Kadang-kadang
masyarakat itu sendiri yang memerlukan kerja wanita, seperti tenaga dokter,
perawat, guru untuk anak-anak wanita dan yang lainnya dari setiap aktifitas
yang khusus wanita. Karena itu, utamanya seorang wanita bekerja sama dengan
sesama wanita, bukan dengan kaum pria. Meskipun terkadang bisa dimaklumi jika
harus memerlukan kaum pria karena kebutuhan, tetapi itu sekedarnya, bukan
sebagai suatu kaidah yang tetap. Sebagaimana juga apabila masyarakat
membutuhkan tangan-tangan terampil untuk pengembangan.
Apabila
kita perbolehkan wanita itu bekerja maka harus memenuhi beberapa persyaratan
sebagai berikut:
1.
Hendaknya jenis pekerjaannya memang tidak dilarang, artinya pada dasarnya kerja
itu tidak diharamkan dan tidak mengarah pada perbuatan haram. Seperti bekerja
sebagai pembantu pada seseorang yang belum menikah atau sekretaris khusus bagi
seorang direktur kemudian berduaan, atau seorang penari yang membangkitkan syahwat
dan keinginan bersifat duniawi, atau bekerja di bar-bar yang menghidangkan
khamr yang dilaknat oleh Rasulullah SAW baik yang membuat, yang membawa dan
yang menjualkan, atau menjadi pramugari di pesawat yang mengharuskan dia
berpakaian seragam yang tak syar'i, dan menghidangkan sesuatu yang tidak
diperbolehkan oleh syara' untuk para penumpang, dan terbuka peluang bahaya
disebabkan bepergian yang jauh tanpa muhrim, yang mengharuskan ia bermalam
sendirian di tempat yang terasing (negara asing) yang sebagian tidak terjamin,
atau pekerjaan lainnya yang telah diharamkan oleh Islam terhadap kaum wanita
terutama, atau terhadap laki-laki dan wanita secara bersamanya.
2.
Hendaknya wanita Muslimah tetap beradab Islami bila ia keluar dari rumahnya,
dalam berpakaian, berjalan, berbicara, dan berpenampilan. Allah SWT berfirman:
."..Dan
janganlah mereka (mu'minat) menampakkan perhiasannya, kecuali yang nampak dan
padanya. ..Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan
yang mereka sembunyikan..." (An-Nur: 31)
"Maka
janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada
penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik." (Al Ahzab: 32)
3.
Hendaknya pekerjaannya itu tidak mengorbankan kewajiban-kewajiban yang lainnya
yang tidak boleh ditelantarkan. Seperti kewajibannya terhadap suaminya dan
anak-anaknya yang merupakan kewajiban pertama dan tugasnya yang asasi.
Yang
dituntut dari masyarakat Islam adalah mengatur segala persoalan hidup dan
mempersiapkan sarananya sehingga kaum wanita bisa bekerja apabila hal itu
membawa kemaslahatan bagi dirinya, keluarganya dan masyarakatnya, tanpa
menghilangkan perasaan malunya atau bertentangan dengan keterikatannya dengan
kewajibannya terhadap Rabbnya, dirinya, dan rumahnya. Dan hendaknya lingkungan
secara umum mendukung untuk melaksanakan kewajibannya dan memperoleh haknya.
Bisa saja dengan cara wanita diberi separuh pekerjaan dengan separuh gaji (tiga
hari dalam satu minggu) umpamanya, sebagaimana sepatutnya masyarakat memberikan
kepada wanita libur yang cukup pada awal pernikahan, demikian juga pada saat
melahirkan dan menyusui.
Di
antara yang harus ditertibkan adalah membangun sekolah-sekolah
fakultas-fakultas dan perguruan tinggi khusus untuk kaum wanita yang dengan itu
mereka bisa melakukan latihan olah raga dan permainan yang sesuai dengan
mereka. Dan hendaknya mereka diberi kebebasan untuk beraktifitas dan melakukan
berbagai kegiatan.
Di
antaranya juga membangun bidang dan lahan tersendiri khusus untuk para karyawan
dan pekerja wanita dalam kementerian, kantor-kantor dan bank-bank, yang jauh
dari fitnah, dan lain sebagainya dari berbagai sarana yang beragam dan aktual
yang tidak terhitung. Allah-lah yang berkata benar dan Dia-lah yang memberi
petunjuk.
32) Darl Kitab "Al Islam wal Jins," hal.
73-74
Post a Comment