Mana yang Lebih Utama, Naik Haji atau Menyantuni Anak Miskin?
Mana yang Lebih Utama, Naik Haji atau Menyantuni Anak Miskin?
Assalamualaikum
wr. wb.
Pak ustadz,
Manakah yang harus kita dahulukan, bila kita mempunyai cukup uang untuk naik haji, namun tetangga kita banyak anak-anak yang menderita busung lapar dan tidak sekolah, apakah uang itu untuk menyantuni anak miskin di sekitar kita, misal dengan mengangkat banyak anak asuh, atau membuka usaha kecil untuk lapangan kerja orang tua anak-anak tersebut yang tidak punya pekerjaan tetap, namun uang itu tidak cukup bila untuk keduanya. Mohon jawaban dan penjelasan pak ustadz.
Manakah yang harus kita dahulukan, bila kita mempunyai cukup uang untuk naik haji, namun tetangga kita banyak anak-anak yang menderita busung lapar dan tidak sekolah, apakah uang itu untuk menyantuni anak miskin di sekitar kita, misal dengan mengangkat banyak anak asuh, atau membuka usaha kecil untuk lapangan kerja orang tua anak-anak tersebut yang tidak punya pekerjaan tetap, namun uang itu tidak cukup bila untuk keduanya. Mohon jawaban dan penjelasan pak ustadz.
Wassalamualaikum
wr. wb.
Agus
Hidayatullah
Jawaban
Assalamu
'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Apa yang anda
tanyakan ini sesungguhnya masuk dalam wilayah fiqih prioritas. Yaitu sebuah
teknik menganalisa prioritas-prioritas dalam beribadah. Kajian ini banyak
dibicarakan oleh para ulama dan ditulis dalam banyak kitab. Salah satu icon
yang bisa kita sebut dalam Dr. Yusuf Al-Qaradawi yang telah menulis satu kitab
khusus dengan judul Fiqih Prioritas.
Kajian ini
mencoba menggugah perasaan dan pemikiran yang selama ini dianggap agak kurang
seimbang dan kurang adil. Salah satunya tentang kebiasaan ibadah haji yang
dilakukan oleh berjuta umat Islam, di mana mereka sebenarnya sudah pernah
berhaji wajib sebelumnya, namun bertekad tiap tahun untuk berhaji lagi.
Niat untuk
berhaji tiap tahun sebenarnya tidak salah. Sebab ibadah haji memang boleh
dibilang sebagai puncak rasa cinta dan ketundukan kita kepada Allah SWT.
Namun yang
mengusik rasa keadilan dan rasa solidaritas para ulama adalah ketimpangan
sosial yang sangat mencolok. Salah satu fenomenanya demikian: pada saat berjuta
orang mengejar pahala ibadah haji sunnah yang bukan wajib dengan biaya yang
bermilyar, di belahan bumi lain kita menyaksikan dengan mata telanjang
bagaimana sebagian umat Islam mati kelaparan, baik karena bencana atau pun
korban perang.
Saat
orang-orang kaya dengan ringannya bolak balik ke tanah suci untuk beri'tikaf
Ramadhan, masih banyak anak-anak umat Islam yang tidak sekolah karena tidak ada
biaya. Mereka akan segera menjadi sampah masyarakat bila dibiarkan tumbuh tanpa
pendidikan.
Saat orang
kaya muslim berlomba mendirikan banguan masjid yang megah, berhias marmer tak
ternilai harganya, jutaan umat Islam sedang dimurtadkan oleh para misionaris
palangis.
Perbandingan
fenomena yang timpang ini tentu sangat mengusik rasa keadilan dan rasa sosial
para ulama. Sehingga sebagian mereka menghimbau agar lebih memperhatikan
masalah ini.
Bukankah haji
yang mereka kerjakan itu bukan haji wajib? Bukankah kewajiban haji mereka sudah
gugur? Bukankah biaya haji itu tiap tahun itu akan jauh lebih bermanfaat dan
berbekas bila digunakan untuk memberi makan korban bencana alam dan korban
perang, yang hukumnya fardhu?
Bukankah
biaya umrah Ramadhan tiap tahun itu sangat besar, padahal hukumnya hanya sunnah
dan berdimensi sangat pribadi? Seandainya uang jutaan mu'tamirin untuk sekali
bulan Ramadhan itu sepakat dikumpulkan untuk membangun proyek sekolah gratis di
dunia Islam, sudah lebih dari cukup?
Bukankah
masjid di banyak kota
di negeri ini sudah sangat banyak? Bahkan tidak jarang dalam jarak yang sangat
dekat terdapat beberapa masjid sekaligus, sehingga jumlah jamaah yang shalat di
masing-masing masjid jadi sedikit?
Mengapa dana
membangun masjid yang bermilyar itu tidak digunakan untuk melindungi
saudara-sudara kita yang sedang mengalami proses pemurtadan? Bukankah
melindungi iman jauh lebih penting dari sekedar bermegahan dan berlomba
membangun masjid yang sudah terlalu penuh?
Semua
pemikiran kritis ini sama sekali tidak berniat untuk mengecilkan nilai ibadah
haji, umrah dan membangun masjid. Akan tetapi perlu diketahui bahwa haji
berkali-kali tiap tahun, demikian juga dengan umrah serta kemegahan masjid,
bukanlah amal yang bersifat wajib. Sementara memberi makan korban bencara alam,
memberikan pendidikan serta melindungi iman dari kemurtadan, hukum fardhu.
Maka sesuatu
yang fardhu dan bersifat massal harus lebih dipriorotaskan dari ibadha
yanghukumnya sunnah lagi berdimensi individual.
Sayangnya
kesadaran akan hal seperti ini masih kurang di tengah umat Islam, terutama di
kalangn orang-orang kaya di antara mereka. Buktinya, jamaha haji yang sudah
gugur kewajiban hajinya masih tetap memaksa berangkat haji tiap tahun. Umrah
Ramadhan tiap tahun pun tidak kalau berjejalnya dengan musim haji.
Semua ini
tentu sangat menggugah rasa keadilan, bahkan sangat tidak memenuhi kaidah fiqih
prioritas, lantara ada sejumlah orang yang ngotot mengejar pahala sunnah dan
indvidual dengan meninggalkan kewajiban yang lebih asasi dan bersifat jama'i.
Karena itu
kampanye dan sosialisasi fiqih proritas perlu terus digalakkan, terutama oleh
kalangan ustadz dan para penceramah, yang punya akses penuh kepada khalayak
umat Islam.
Wallahu
a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Post a Comment