Sebuah Pelajaran dari Sejarah: Titanic
Sebuah Pelajaran dari Sejarah: Titanic
Sejarah penuh dengan kisah orang-orang yang
mengandalkan diri pada terobosan teknologi dan sepenuhnya mengabaikan kekuasaan
Allah. Justru karena itulah banyak bencana telah terjadi sepanjang sejarah
sebagai pelajaran yang pahit bagi siapa saja. Masing-masing dari peristiwa ini
penting dalam artian mengingatkan manusia bahwa baik kekayaan ataupun kekuatan,
sains maupun teknologi tidak memiliki daya untuk menolak kehendak Allah.
Banyak contoh dari peristiwa seperti ini dapat
diberikan. Yang paling diketahui adalah Titanic yang terkenal, sebuah kapal
samudra besar dengan tinggi 55 meter dan panjang 275 meter, yang karam hampir 90
tahun yang lalu. Titanic, yang dimaksudkan sebagai "hinaan terhadap alam",
adalah projek raksasa yang melibatkan sebuah tim insinyur dan lima ribu pekerja.
Hampir semua orang benar-benar yakin bahwa kapal ini tidak akan pernah
tenggelam. Kapal samudra merupakan karya besar teknologi dengan banyak kemajuan
teknik yang meninggalkan batasan zamannya. Namun mereka yang mengandalkan
prowess teknis kapal itu tidak mempertimbangkan satu fakta yang dinyatakan dalam
ayat, "Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang
pasti berlaku," (QS. Al Ahzab, 33: 38) dan bahwa setiap orang cepat atau
lambat akan menjumpai takdirnya. Akhirnya, sebuah kekeliruan kecil menyebabkan
kapal itu tenggelam dan teknologi maju tidak dapat menyelamatkan Titanic dari
akhirnya yang pahit.
Dari apa yang diceritakan mereka yang selamat,
kebanyakan penumpangnya berkumpul di dek untuk berdoa ketika mereka menyadari
kapal itu akan segera karam. Dalam banyak bagian Al Quran, kecenderungan
perilaku manusia ini diulang-ulang. Pada saat-saat kesulitan besar dan bahaya,
manusia dengan tulus berdoa dan meminta pertolongan dari Penciptanya. Namun,
setelah diselamatkan dari bahaya, mereka segera berpaling tanpa rasa syukur:
Tuhanmu adalah yang melayarkan kapal-kapal di lautan untukmu, agar kamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyayang terhadapmu. Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia adalah selalu tidak berterima kasih. Maka apakah merasa aman (dari hukuman Tuhan) yang menjungkirba-likkan sebagian daratan bersama kamu atau Dia meniupkan (angin keras yang membawa) batu-batu kecil? Dan kamu tidak akan mendapatkan seorang penolong pun bagi kamu; atau apakah kamu merasa aman dari dikembalikan-Nya kamu ke laut sekali lagi, lalu Dia meniupkan atas kamu angin topan dan ditenggelamkan-Nya kamu disebabkan kekafiranmu. Dan kamu tidak akan mendapat seorang penolong pun dalam hal ini terhadap (siksaan) Kami. (QS. Al Isra', 17: 66-69)
Seseorang mungkin tidak pernah mengalami
bencana seperti itu, namun dia seharusnya ingat bahwa pada suatu ketika
seseorang mungkin mendapati hidup dilucuti hingga ke dasar-dasarnya. Karena itu,
manusia seharusnya selalu menyibukkan diri dengan mengingat Allah karena "kekuatan seluruhnya adalah milik Allah." (QS. Al Baqarah,
2: 165) Di lain pihak, begitu malapetaka menyerang, seseorang mungkin tidak
mempunyai kesempatan untuk mengubah kelakuannya yang tidak bersyukur kepada
Allah dan bertobat kepada-Nya. Kematian dapat datang sangat seketika:
Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan dekatnya kebiasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman selain kepada Al Quran itu? (QS. Al A'raaf, 7: 185)
Maka masing-masing Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. (QS. Al Ankabuut, 29: 40)
Pembahasan sejauh ini dimaksudkan untuk
mengingatkan mereka yang melupakan tujuan penciptaan mereka akan sebuah fakta
penting: segala sesuatu di bumi diadakan oleh Allah, Sang Pencipta semesta alam
materi. Dengan kata lain, keberadaan segala sesuatu adalah akibat dari kehendak
Allah. Karenanya, tidak ada yang memiliki keberadaan terpisah dari Allah. Al
Quran mengungkapkan kepada kita bahwa tidak ada yang berada di luar pengendalian
Allah: "Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi
kebanyakan manusia tiada mengetahuinya." (QS. Yusuf, 12: 21)
Namun begitu, sebagaimana Allah menjelaskan
dalam bagian kedua ayat tersebut, kebanyakan manusia tidak menyadari hal ini.
Mereka beranggapan, selama perjalanan hidup mereka, bahwa tidak ada kemalangan
apa pun yang akan menimpa mereka, tidak pernah memikirkan bahwa mereka pun
rentan terhadap bencana-bencana yang menghancurkan tersebut. Kita merasa bahwa
"orang lain" mengalami peristiwa yang mengerikan itu dan "kita" akan selalu
hidup dalam keselamatan. Berita tentang bencana, kecelakaan atau wabah tentu
membuat kita bersimpati terhadap mereka yang tertimpa. Kita tentu merasakan
kesedihan mereka; namun, begitu bencana menyusut di dalam ingatan, kita menjadi
kurang peduli dan perilaku sedemikian terbukti menjadi minat yang berlalu bagi
kita. Begitu kita membenamkan diri ke dalam arus kehidupan sehari-hari atau
menghadapi berbagai masalah pribadi, kita segera mengembangkan rasa apati dan
mengabaikan mereka yang telah mengalami bencana.
Namun demikian, anggapan bahwa setiap hari
dalam kehidupan seseorang akan senantiasa sama adalah keliru. Hal ini nyata dari
peringatan Allah. Sudah tentu, mereka yang tertimpa bencana tidak mengetahui
bahwa bahaya alam akan mencerai-beraikan kehidupan mereka. Mereka tentu saja
mengawali hari itu sebagaimana biasa, berpikir bahwa hari itu akan sama dengan
sebelumnya. Namun, ternyata sebaliknya yang terjadi. Kemungkinan besar, tidak
pernah terpikir oleh mereka bahwa pada hari khusus itu akan terjadi perubahan
drastis dalam kehidupan mereka, yang akan mengubah hidup mereka menjadi
perjuangan berbahaya. Pada kesempatan sedemikian, hidup menyusut kepada
kebenarannya yang paling sederhana. Tentu saja, beginilah Allah mengingatkan
manusia bahwa rasa aman di dunia ini adalah palsu.
Namun, kebanyakan manusia tidak memperhatikan
hal ini. Mereka lupa bahwa hidup itu singkat dan sementara, dan mengabaikan
bahwa mereka akan diadili di hadapan Allah. Pada keadaan lalai ini, mereka
menghabiskan hidup mereka dengan mengejar keinginan sia-sia, bukannya hidup
untuk ridha Allah.
Dipandang dari poin ini, kesulitan adalah
sebuah bentuk kasih sayang Allah. Allah menunjukkan sifat sebenarnya dari dunia
ini dan mendorong manusia bersiap untuk kehidupan selanjutnya. Karena inilah,
apa yang disebut sebagai kemalangan sebenarnya merupakan kesempatan yang
ditawarkan oleh Allah. Berbagai kemalangan ini ditimpakan kepada manusia
sehingga mereka dapat bertobat dan memperbaiki tingkah laku mereka. Pelajaran
yang hendaknya diambil dari bencana-bencana tersebut disebutkan dalam sebuah
ayat:
Dan tidaklah mereka (orang-orang munafik) memperhatikan bahwa mereka diuji sekali atau dua kali setiap tahun, dan mereka tidak (juga) bertaubat dan tidak (pula) mengambil pelajaran? (QS. At-Taubah, 9: 126)
Post a Comment