TALAK (PERCERAIAN)
TALAK (PERCERAIAN)
Para Misionaris dan Orientalis dewasa ini memusatkan serangannya pada dua
permasalahan yang berkaitan dengan wanita, yaitu masalah perceraian (talak) dan
poligami.
Sungguh sangat disayangkan ghazwul fikri yang disebarkan oleh mereka itu sudah
mendapat sambutan Iuas dari kaum Muslimin. Sehingga mereka ikut-ikutan
menganggap kedua masalah tersebut sebagai problematika rumah tangga dan
masyarakat.
Padahal sesungguhnya Islam tidak mensyari'atkan kedua masalah tersebut
kecuali untuk menyelesaikan problematika yang cukup banyak dalam kehidupan
lelaki, wanita, rumah tangga dan masyarakat. Dan problem yang sebenarnya adalah
terletak pada kesalahfahaman terhadap syari'at Allah atau salah dalam
penerapannya. Dan segala sesuatu, apabila tidak benar dalam penerapannya maka
akan menimbulkan bahaya yang lebih besar.
Mengapa Islam Memperbolehkan Talak?
Tidak setiap perceraian itu dibolehkan dalam Islam, karena ada talak yang
dimakruhkan, bahkan diharamkan. Karena hal itu dapat merobohkan bangunan rumah
tangga yang sangat ditekankan Islam agar kita membina dan membangunnya. Oleh
karena itu Rasulullah SAW bersabda, "Perkara halal yang paling dibenci
oleh Allah adalah perceraian."
Sehingga perceraian yang disyari'atkan oleh Islam itu mirip dengan operasi
menyakitkan yang dirasakan oleh seseorang yang menjalani sakitnya. Bahkan
terkadang salah satu anggota tubuhnya harus dipotong demi menjaga seluruh
anggota tubuhnya yang tersisa, atau karena menghindarkan bahaya yang lebih
besar.
Apabila sampai diputuskan untuk bercerai antara dua pasangan dan tidak
berhasil segala sarana perbaikan dan upaya mempertemukan kembali di antara
kedua belah pihak, maka perceraian dalam keadaan seperti ini merupakan obat
yang sangat pahit yang tidak ada obat yang lainnya. Oleh karena itu dikatakan
dalam pepatah, "Jika tidak mungkin bertemu, maka ya berpisah." Al
Qur'an Al Karim juga mengatakan:
"Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada
masing-rnasing dari limpahan karunia-Nya..." (An-Nisa':
130)
Apa yang telah disyari'atkan oleh Islam, itulah yang sesuai dengan akal,
hikmah dan kemaslahatan. Karena termasuk sesuatu yang jauh dari logika akal
sehat dan fithrah, jika dipaksakan dengan kekuatan hukum suatu pabrik yang
merusak dua penanam saham yang keduanya tidak saling bertemu dan tidak saling
mempercayai.
Sesungguhnya memaksakan kehidupan ini dengan kekuasaan hukum adalah siksaan
yang keras. Manusia tidak tahan, karena itu lebih buruk daripada penjara
sepanjang masa. Bahkan menjadi neraka yang kita tidak kuat menahannya. Seorang
ahli hikmah mengatakan, "Sesungguhnya bahaya yang terbesar adalah
mempergauli orang yang tidak menyetujui kamu dan tidak menentang kamu."
Mempersempit Lingkup Perceraian
Islam telah meletakkan sejumlah kaidah (prinsip-prinsip) dan ajaran-ajaran
yang seandainya manusia mau mengikuti dengan baik dan melaksanakannya, maka
sedikit sekali kita menemukan perceraian dan niscaya semakin minim perceraian
itu. Di antara prinsip-prinsip itu adalah:
1. Memilih isteri dengan baik dengan cara memusatkan perhatian pada agama
dan akhlaq sebelum harta, pangkat (jabatan) dan kecantikan.
Rasulullah SAW bersabda:
"Wanita itu dinikahi karena empat perkara. Karena hartanya,
keturunannya, kecantikannya dan karena agama, maka beruntunglah orang yang
memperoleh wanita yang kuat agama-nya, maka tanganmu akan penuh debu (rugi)
jika tidak kamu ikuti." (HR. Muttafaqun 'Alaih)
2. Melihat wanita yang dikhitbah sebelum terlaksananya aqad, agar
memperoleh kemantapan dan kepuasan hati. Karena melihat sejak dini itu
merupakan langkah menuju kerukunan dan cinta kasih.
3. Perhatian wanita dan wali-walinya untuk memilih suami yang mulia (baik)
dan mengutamakan yang baik agama dan akhlaqnya, sebagaimana petunjuk dalam
Sunnah.
4. Disyaratkan pihak wanita harus ridha untuk menikah dengan calon suami
yang ditawarkan kepadanya. Tidak boleh ada pemaksaan untuk menikah dengan orang
yang tidak dicintainya.
5. Mendapat ridha (memperoleh persetujuan) dari wali wanita, baik yang
wajib atau sunnah.
6. Bermusyawarah dengan ibu dari calon pengantin putri, agar pernikahan itu
disetujui oleh semua pihak. Karena Rasulullah SAW bersabda, "Ajaklah para
wanita untuk bermusyawarah tentang anak-anak wanitanya."
7. Diwajibkannya mempergauli (bergaul) dengan baik dan melaksanakan hak-hak
dan kewajiban antara suami isteri, serta membangkitkan semangat keimanan untuk
berpegang teguh pada ketentuan-ketentuan Allah serta bertaqwa kepada Allah SWT.
8. Mendorong suami agar hidup secara realistis, karena tidak mungkin ia
menginginkan kesempurnaan mutlak pada isterinya. Tetapi hendaknya ia melihat
yang baik-baik (kebaikan-kebaikan), selain kekurangan-kekurangannya. Jika ia
tidak suka kepada suatu sikap tertentu dari isterinya ia juga merasa senang
dengan sikapnya yang lain.
9. Mengajak para suami untuk berfikir dengan akal dan kemaslahatan. Jika ia
merasa tidak suka terhadap isterinya, maka jangan sampai ia cepat memperturuti
perasaannya, dengan mengharap semoga Allah merubah sikapnya dengan yang lebih
baik. Allah berfirman:
"Dan pergaulilah mereka (isterimu) dengan baik. Kemudian bila kamu
tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai
sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." (An-Nisa': 19)
10. Memerintahkan kepada suami untuk menghibur dan menasehati isterinya
yang sedang nusyuz dengan bijaksana dan bertahap. Dari lemah lembut yang tidak
lemah, sampai pada yang keras namun tidak kasar. Allah berfirman:
"Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian
jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesunggahnnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar." (An-Nisa': 34)
11. Memerintahkan masyarakat untuk ikut menyelesaikan ketika terjadi perselisihan
antara suami isteri, yaitu dengan membentuk "Majlis Keluarga." Majlis
ini terdiri dari orang-orang yang bisa dipercaya dari keluarga kedua belah
pihak, untuk berupaya mengishlah dan merukunkan serta memecahkan krisis yang
menimpa dengan baik, Allah SWT berfirman:
"Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam (juru damai)
dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami isteri itu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (An-Nisa':
35)
Inilah beberapa ajaran Islam, yang seandainya kaum Muslimin mau
mengikutinya dan memeliharanya dengan sungguh-sungguh maka kasus perceraian itu
akan berkurang.
Kapan dan Bagaimana Perceraian itu Dilakukan?
Islam tidak mensyari'atkan talak (perceraian) pada setiap waktu dan setiap
keadaan. Sesungguhnya talak yang diperbolehkan sesuai dengan petunjuk Al Qur'an
dan As-Sunnah adalah hendaknya seseorang itu pelan-pelan dan memilih waktu yang
sesuai. Maka tidak boleh mencerai istrinya ketika haid, dan tidak boleh pula
dalam keadaan suci sedangkan ia mempergaulinya. Jika ia melakukan hal itu maka
talaknya adalah talak yang bid'ah dan diharamkan. Bahkan sebagian fuqaha'
berpendapat talaknya tidak sah, karena dijatuhkan tidak sesuai dengan perintah
Nabi SAW Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang melakukan perbuatan
tanpa dilandasi perintah kami maka itu tertolak (tidak diterima)."
Dan wajib bagi seseorang yang mentalak bahwa dia dalam keadaan sadar. Apabila
ia kehilangan kesadaran, terpaksa, atau dalam keadaan marah yang menutup
ingatannya sehingga ia berbicara yang tidak ia inginkan, maka menurut pendapat
yang shahih itu tidak sah. Berdasarkan hadits, "Tidak sah talak dalam
ketidaksadaran." Abu Dawud menafsirkan hadits ini dengan 'marah', dan yang
lain mengartikan karena 'terpaksa'. Kedua-duanya benar.
Dan hendaklah orang yang mencerai itu bermaksud untuk mencerai dan berpisah
dari isterinya. Adapun menjadikan talak itu sebagai sumpah atau sekedar
menakut-nakuti, maka tidak sah menurut pendapat yang Shahih sebagaimana
dikatakan oleh sebagian ulama salaf dan ditarjih oleh Al 'Allamah lbnul Qayyim
dan gurunya Ibnu Taimiyah.
Jika semua bentuk talak ini tidak sah maka tetaplah talak yang diniati dan
dimaksudkan yang berdasarkan pemikiran dan yang sudah dipelajari sebelumnya. Dan
ia melihat itulah satu-satu jalan penyelesaian untuk keselamatan dari kehidupan
yang ia tidak lagi mampu bertahan. Inilah yang dikatakan Ibnu Abbas,
"Sesungguhnya talak itu harena diperlukan."
Yang Dilakukan Setelah Talak
Perceraian yang terjadi tidak harus memutuskan hubungan suami isteri sama
sekali, yang kemudian tidak ada jalan menuju perbaikan. Karena talak seperti
dijelaskan dalam Al Qur'an memberikan bagi setiap orang yang bercerai untuk
mengevaluasi dan mempelajari kembali. Oleh karena itu talak terjadi satu kali,
satu kali. Apabila kedua kalinya tidak juga bermanfaat maka terjadilah talak
ketiga yang memutuskan hubungan selamanya, sehingga tidak halal baginya setelah
itu.
Maka mengumpulkan tiga talak dalam satu ucapan itu bertentangan dengan
syari at Al Qur'an. Inilah yang dijelaskan dan diambil oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dan muridnya Ibnu Qayyim dan yang dipakai Mahkamah Syar'iyah di
negara-negara Arab.
Perceraian tidak mengharamkan bagi wanita untuk memperoleh nafkah selama
masa iddah, dan tidak boleh bagi suami mengeluarkan isterinya dari rumah. Bahkan
wajib atas suami untuk membiarkan sang istri tinggal di rumahnya dekat dengan
dia, barangkali dengan begitu kerukunan akan kembali dan hati menjadi jernih. Allah
SWT berfirman:
"Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu
hal yang baru." (At-Thalaq: 1)
Perceraian tidak memperbolehkan bagi seseorang untuk memakan mahar
(maskawin) yang telah diberikan kepada isterinya atau meminta kembali mahar
atau segala sesuatu yang telah diberikan kepada isterinya sebelum perceraian,
Allah SWT berfirman:
"Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu
berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah." (Al Baqarah:
229)
Begitu pula isteri yang ditalak itu berhak memperoleh mut'ah sebagaimana
ditetapkan oleh kebiasaan. Allah SWT berfirman:
"Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh
suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kuwajiban bagi orang-orang
yang bertaqwa" (Al Baqarah: 241)
Selain itu tidak halal bagi suami (yang mentalak) bersikap keras terhadap
isterinya atau menyebarkan keburukannya atau menyakiti dirinya dan keluarganya.
Allah SWT berfirman:
"Talak (yang dapat dirujuki) itu dua kali. Setelah itu boleh rujuk
lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik." (Al Baqarah: 229)
"Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu." (Al Baqarah: 237)
Inilah talak yang disyari'atkan oleh Islam. Sungguh itu merupakan terapi
yang diperlukan pada saat dan alasan yang tepat, dengan tujuan dan cara yang
benar.
Agama Masehi Katolik mengharamkan talak secara mutlak kecuali dengan alasan
zina menurut Katolik Ortodox, sehingga mayoritas kaum Masehi Kristen keluar
dari hukum yang mereka yakini yaitu haramnya talak. Itulah yang membuat
sebagian besar negara-negara Kristen memberlakukan hukum buatan mereka sendiri
yang memperbolehkan cerai tanpa memakai persyaratan-persyaratan sebagaimana
hukum Islam dengan segala ketentuan-ketentuan serta adab-adabnya. Maka tidak
heran jika mereka itu bisa bercerai dengan sebab-sebab yang sepele (ringan) dan
akhirnya kehidupan rumah tangga mereka terancam berantakan dan hancur.
Alasan Hak Cerai di Tangan Lelaki
Mereka bertanya mengapa hak cerai itu di tangan lelaki dan
mempermasalahkannya, maka kita jawab, "Sesungguhnya lelaki adalah sebagai
kepala rumah tangga, yang bertanggungjawab pertama kali dan yang memikul beban
di dalam rumah tangganya. Dialah yang harus memberikan mahar dan
kewajiban-kewajiban lain setelahnya, sehingga dia dapat membangun rumah tangga
di atas tanggung jawabnya. Barangsiapa dapat berbuat demikian maka ia menjadi
mulia dan tidak mungkin merusak bangunan rumah tangga itu kecuali karena ada
tujuan-tujuan tertentu, atau karena kebutuhan yang memaksa yang menjadikan ia
berkorban dengan menanggung seluruh kerugian karenanya.
Kemudian laki-laki itu pada umumnya lebih mengetahui tentang akibatnya dan
lebih banyak bertahan, serta lebih sedikit terpengaruh daripada wanita,
sehingga lebih baik jika wewenang itu berada di tangannya.
Adapun wanita, ia cepat terpengaruh, mudah emosi dan selalu hangat perasaannya.
Kalau seandainya talak itu berada dalam kekuasaannya, pasti akan sering terjadi
perceraian dengan alasan-alasan yang ringan dan perselisihan kecil.
Bukan pula suatu kemaslahatan jika talak itu diserahkan kepada Peradilan
(Mahkamah), karena tidak setiap sebab talak itu boleh diumumkan di peradilan
yang kemudian menjadi permainan para pengacara dan para penulis serta menjadi
bahan perbincangan.
Orang-orang Barat telah menjadikan talak melalui peradilan, maka tidak
sedikit perceraian di kalangan mereka dan peradilan tidak henti-hentinya
mengurus suami-istri yang ingin bercerai.
Bagaimana Seorang Istri yang tidak Suka Pada Suami Itu Bisa Melepaskan Dirinya?
Ada pertanyaan yang menghantui kebanyakan orang, yaitu, "Jika talak
itu berada di tangan laki-laki sebagaimana yang kita ketahui alasan-alasannya,
maka apa wewenang yang diberikan oleh syari'at Islam kepada wanita? Dan
bagaimana cara menyelamatkan dirinya dari cengkeraman suaminya jika ia tidak
suka hidup bersama karena tabi'atnya yang kasar, atau akhlaqnya yang buruk,
atau karena suami tidak memenuhi hak-haknya atau karena lemah fisiknya,
hartanya, sehingga tidak bisa memenuhi hak-haknya atau karena sebab-sebab
lainnya."
Sebagai jawabannya adalah, "Sesungguhnya Allah SWT Yang Bijaksana
telah memberikan kepada wanita beberapa jalan keluar yang dapat membantu wanita
untuk menyelamatkan dirinya, antara lain sebagai berikut:
1. Wanita membuat persyaratan ketika aqad bahwa hendaknya ia diberikan
wewenang untuk bercerai. Ini boleh menurut Imam Abu Hanifah dan Ahmad. Dalam
hadits shahih dikatakan, "Persyaratan yang benar adalah hendaknya kamu
memenuhinya selama kamu menginginkan halal kemaluannya."
2. Khulu', wanita yang tidak suka terhadap suaminya boleh menebus dirinya,
yaitu dengan mengembalikan maskawin yang pernah ia terima atau pemberian
lainnya. Karena tidaklah adil jika wanita yang cenderung untuk cerai dan
merusak mahligai rumah tangga, sementara suaminya yang menanggung dan yang
dirugikan. Allah SWT berfirman,
"Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus diri. . ." (Al Baqarah: 229)
Di dalam hadits
diceritakan bahwa isteri Tsabit bin Qais pernah mengadu kepada Rasulullah SAW
tentang kebenciannya kepada suaminya. Maka Nabi SAW bersabda kepadanya,
"Apakah kamu sanggup menggembalikan kebunnya, yang dijadikan sebagai
mahar" maka wanita itu berkata, "Ya." Maka Nabi SAW
memerintahkan Tsabit untuk mengambil kebunnya dan Tidak lebih dari itu.
3. Berpisahnya dua hakam (dari kedua belah pihak) ketika terjadi
perselisihan. Allah SWT berfirman:
"Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka
kirimkanlah seorang hakam dan keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan,
niscanya Allah memberi taufik kepada suami isteri ini."
Penamaan Al Qur'an terhadap Majlis keluarga ini dengan nama
"Hakamain" menunjukkan bahwa keduanya mempunyai hak memutuskan (untuk
dilanjutkan atau tidak). Sebagian sahabat mengatakan kepada dua hakam,
"Jika kamu berdua ingin mempertemukan, pertemukan kembali, dan jika kamu
berdua ingin memisahkan maka pisahkanlah.
4. Memisahkan (menceraikan) karena lemah syahwat, artinya apabila seorang
lelaki itu lemah dalam hubungan seksual maka diperbolehkan bagi seorang wanita
untuk mengangkat permasalahannya ke hakim sehingga hakimlah yang memutuskan
pisah di antara keduanya. Hal ini untuk menghindarkan wanita itu dari bahaya,
karena tidak boleh saling membahayakan di dalam Islam.
5. Meminta cerai karena perlakuan suami yang membahayakan, seperti seorang
suami yang mengancam isterinya, menyakitinya, dan menahan infaqnya. Maka boleh
bagi isteri untuk meminta kepada qadhi untuk menceraikannya secara paksa agar
bahaya dan kezhaliman itu dapat dIhindarkan dari dirinya. Allah SWT berfirman:
"Janganlah kamu tahan mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan
demikian kamu menganiaya mereka..." (Al
Baqarah: 231)
"Maka ditahan (dirujuk) dengan baik atau menceraikan dengan cara yang
baik..." (Al Baqarah: 229)
Di antara bahaya yang mengancam adalah memukul isteri tanpa alasan yang
benar.
Bahkan sebagian imam berpendapat bolehnya menceraikan antara wanita dengan
suaminya yang kesulitan, sehingga ia tidak mampu untuk memberikan nafkah dan
isterinya meminta cerai. Karena hukum tidak membebani dia untuk bertahan dalam
kelaparan dengan suami yang fakir. Sesuatu yang ia tidak bisa menerima sebagai
realisasi kesetiaan dan akhlaq yang mulia.
Dengan solusi ini maka Islam telah membuka kesempatan bagi wanita sebagai
bekal persiapan untuk menyelamatkan dirinya dari kekerasan suami dan
penyelewengan kekuasaan suami yang tidak benar.
Sesungguhnya undang-undang yang dibuat para ahli tidak lebih hanya
menzhalimi hak-hak wanita. Adapun sistem yang dibuat Allah SWT sebagai pencipta
manusia, laki-laki atau perempuan maka tidak ada kezhaliman di dalamnya dan
tidak ada pernikahan. Itulah keadilan yang sempuma, Allah SWT berfirman:
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah
yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin. (Al Maidah: 50)
Salah Faham dan Salah Terap dalam Talak
Kebanyakan kaum Muslimin telah salah dalam menfungsikan talak. Mereka
menempatkannya bukan pada tempatnya dan mereka menggambarkan talak itu seakan
seperti pedang yang dihunus lalu diletakkan di atas leher sang isteri. Mereka
juga mempergunakan sebagai sumpah untuk sesuatu yang berat atau yang ringan. Banyak
fuqaha' yang memperluas di dalam menjatuhkan talak, sampai talaknya orang yang
mabuk dan marah, bahkan orang yang terpaksa. Padahal haditsnya mengatakan,
"Tidak sah talak yang dalam ketidaksadaran." Ibnu Abbas berkata,
"Sesungguhnya talak itu berdasarkan keperluan." Sehingga mereka juga
menjatuhkan talak tiga dengan satu perkataan ketika marah. Padahal talak itu
dimaksudkan untuk menakut-nakuti dalam pertengkaran di luar rumah, sedangkan
dengan isterinya ia sangat bahagia dan rukun.
Tetapi yang dimaksud oleh nash-nash dan tujuan dari syari'ah yang mudah di
dalam membina rumah tangga dan memeliharanya, adalah mempersempit dalam
menjatuhkan talak, maka tidak sah kecuali dengan kata-kata yang jelas, pada
saat tertentu, dan dengan maksud tertentu. Inilah yang kita berlakukan,
pendapat yang dianut oleh Imam Bukhari dan sebagian ulama salaf, Ibnu Taimiyah
dan Ibnul Qayyim dan ulama lainnya memperkuat pendapat ini dan menyetujuinya,
ini pula yang sesuai dengan ruh Islam.
Adapun kesalahfahaman dan salah penerapan hukum Islam itu adalah tanggung
jawab kaum Muslimin, bukan tanggungjawab Islam itu sendiri.
Post a Comment