WANITA SEBAGAI ANAK
WANITA SEBAGAI ANAK
Bangsa Arab di masa
jahiliyah pesimis dengan kelahiran anak-anak wanita dan mereka merasa hina,
sehingga ada salah seorang bapak yang berkata ketika dikaruniai anak wanita,
"Demi Allah, ia bukan sebaik-baik anak, pertolongannya
adalah hanya membuat tangis dan berbuat baiknya adalah pencurian."
Ia bermaksud bahwa anak
wanita tidak bisa menolong ayahnya dan keluarganya kecuali dengan jeritan dan
tangis belaka, tidak dengan peperangan dan senjata, dan tidak bisa berbuat baik
kepada keluarganya kecuali mengambil harta suaminya untuk keluarganya.
Tradisi yang mereka
wariskan memperbolehkan bagi seorang ayah untuk mengubur hidup-hidup anak
puterinya, karena takut miskin atau menganggapnya sebagai aib besar di mata
kaumnya. Sebagaimana dijelaskan oleh Al Qur'an yang mengingkari
perbuatan buruk itu:
"Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena
dosa apakah dia dibunuh." (At-Takwir: 8-9)
Al Qur'an juga menggambarkan sikap para bapak ketika menyambut kelahiran
anak-anak wanitanya:
"Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran)
anak perempuan, hitam (merah padamlah) mukannya, dan dia sangat marah. Ia
menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang
disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan
ataukah akan menguburnya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alanglah
buruknya apa yang mereka tetapkan itu. (An-Nahl:
58-59)
Sebagian syari'at lama memberikan wewenang kepada seorang bapak untuk
menjual anak perempuannya apabila ia berkeinginan. Seperti aturan
"Hamurabi" yang memperbolehkan seorang ayah untuk menyerahkan anak
perempuannya kepada orang lain untuk membunuhnya atau memilikinya, maka seorang
ayah itu telah membunuh puteri orang lain.
Islam datang dengan menganggap anak wanita seperti anak laki-laki yaitu
merupakan pemberian dan karunia Allah yang diberikan kepada siapa saja yang
dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya, Allah berfirman:
"Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa
yang Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa saja yang
Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa saja yang Dia
kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada
siapa yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia
kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa." (Asy Syura: 49-50)
Al Qur'an juga menjelaskan di dalam kisah-kisahnya bahwa sesungguhnya
sebagian anak-anak perempuan itu lebih besar pengaruhuya dan lebih kekal
kenangannya daripada kebanyakan anak laki-laki. Seperti dalam kisah Maryam
puteri Imran yang telah dipilih oleh Allah SWT dan disucikan melebihi para
wanita di seluruh alam semesta padahal ketika sang ibu mengandungnya, ia
menginginkan agar anaknya lahir laki-laki sehingga bisa berkhidmah di Baitil
Maqdis dan agar termasuk orang-orang shalih. Allah SWT berfirman:
"(Ingatlah), ketika isteri Imran berkata, "Ya Tuhanku,
sesungguhnya aku menadzarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi
hamba yang shalih dan berkhidmad (di Baitil Maqdis). Karena itu terimalah
(nadzar) itu dariku. Sesungguhnya Engkau Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. Maka tatkala isteri Imran melahirkan anaknya, dia pun berkata,
"Ya Tuhanku, sesungguhnnya aku melahirkan seorang anak perempuan; dan
Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannnya itu; dan anak laki-laki tidaklah
seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon
perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannnya kepada (pemeliharaan)
Engkau dari syetan yang terkutuk . Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nadzar)
dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik
..." (Ali 'Imran: 35-37)
Al Qur'an mengecam dengan keras terhadap orang-orang yang berkeras hati dan
membunuh anak-anak mereka, baik anak laki-laki atau perempuan, Allah SWT
berfirman:
"Sesungguhnya rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka karena
kebodohan lagi tidak mengetahui" (Al An'am:
140)
"Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah
yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh
mereka adalah suatu dosa yang besar." (Al
Isra': 31)
Rasulullah SAW telah menjadikan surga sebagai balasan untuk setiap bapak
yang baik dalam memperlakukan anak wanitanya dan bersabar untuk mendidik mereka
dan baik dalam mendidiknya. Memelihara hak Allah atas mereka, hingga mereka
dewasa atau mati karena membela mereka. Nabi SAW juga menjadikan kedudukan
orang itu di sisinya SAW di surga yang penuh kenikmatan dan kekal abadi.
Imam Muslim meriwayatkan dari Anas RA, dari Rasulullah SAW, beliau
bersabda, "Barangsiapa yang merawat dua anak gadis hingga aqil baligh maka
ia datang pada hari kiamat, sedangkan saya dan dia seperti ini." Kemudian
Nabi merapatkan telunjuknya (artinya, saling berdekatan)."
Ibnu Abbas RA meriwayatkan dari Nabi SAW beliau bersabda:
"Tidaklah seorang Muslim yang mempunyai dua anak puteri, kemudian
berbuat baik kepada keduanya kecuali keduannya akan memasukkannya ke dalam
surga." (HR. Ibnu Majah)
Sebagian hadits menjelaskan bahwa pembalasan masuk surga itu diperuntukkan
bagi seseorang (saudara laki-laki) yang memelihara saudara-saudara perempuannya
atau dua saudara perempuannya juga.
Sebagian riwayat yang lain menjelaskan bahwa pembalasan llahi ini
diperuntukkan juga bagi orang yang berbuat baik kepada anak wanitanya walaupun
hanya satu.
Di dalam haditsnya Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda:
"Barangsiapa yang mempunyai tiga anak wanita, kemudian bersabar atas
tinggal mereka, kesusahan mereka dan kesenangan mereka, maka Allah akan
memasukkannya ke dalam surga dengan rahmat-Nya kepada mereka," ada
seseorang yang bertanya, "Bagaimana jika dua anak wahai Rasulullah?" Nabi
SAW bersabda, "(ia) dua anak wanita juga," orang itu bertanya lagi,
"Wahai Rasulullah, bagaimana jika satu anak wanita?" Nabi menjawab, "Satu juga"
(HR. Hakim)
Ibnu Abbas meriwayatkan hadits marfu':
"Barangsiapa yang mempunyai anak wanita, kemudian tidak ditanam
hidup-hidup, tidak dihina dan tidak berpengaruh (mengutamakan) anak laki-laki
atas anak wanita maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga." (HR. Abu
Dawud dan Hakim)
Di dalam hadits Aisyah RA yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim, bahwa
sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:
"Barangsiapa yang diuji dengan dikaruniai anak-anak wanita, kemudian
ia berbuat baik kepada mereka, maka mereka itu akan menjadi penangkal dan api
neraka."
Dengan keterangan nash-nash yang sharih ini dan khabar gembira yang terus
diulang-ulang dengan meyakinkan ini, maka kelahiran anak wanita bukanlah beban
yang mesti ditakuti (dikhawatirkan). Bukan pula merupakan kenistaan yang
dihindari, akan tetapi merupakan kenikmatan yang harus disyukuri dan rahmat
yang diharapkan dan dicari. Karena dia merupakan karunia Allah SWT dan
pahala-Nya yang besar.
Dengan demikian maka Islam telah meniadakan tradisi mengubur anak wanita
secara hidup-hidup untuk selamanya. Seorang anak perempuan di hati ayahnya
telah memiliki posisi yang terhormat sebagaimana diungkapkan oleh Rasulullah
SAW terhadap puterinya Fathimah RA, "Fathimah adalah bagian dari diriku,
meragukan aku apa-apa yang meragukannya."
Adapun kekuasaan ayah terhadap anak wanitanya maka tidak boleh melampaui
batas dari kerangka pendidikan, pemeliharaan, pelurusan nilai-nilai agama dan
moralitas anak. Sehingga di sini anak wanita itu diperlakukan seperti anak
laki-laki, di mana orang tua memerintahkan kepada anak wanitanya itu untuk
melakukan shalat apabila telah mencapai usia tujuh tahun, dan memukulnya karena
meninggalkan shalat apabila telah berumur sepuluh tahun. Orang tua juga
memisahkan tempat tidur anak wanitanya itu dari saudara laki-lakinya dan
menekankan untuk berperilaku Islami, baik dalam berpakaian, berhias, ketika
keluar rumah dan pada waktu berbicara.
Pemberian nafkah orang tua kepada anak wanitanya itu hukumnya wajib hingga
ia menikah. Sejak itu orang tua tidak lagi punya wevvenang untuk menjualnya
atau menyerahkannya kepada orang lain untuk dimiliki dalam keadaan apa pun. Islam
telah meniadakan jualbeli orang yang merdeka baik laki-laki maupun wanita dalam
keadaan apa pun.
Kalaupun seandainya masih ada orang yang menjual atau menyerahkan anak
wanitanya untuk dimiliki sehingga menjadi budak di tangan orang lain, maka anak
itu hakikatnya tetap merdeka. Dia hanya sekedar dapat dimiliki, itu pun harus
melalui pengesahan sesuai ketentuan Islam.
Apabila seorang anak wanita itu memiliki harta secara khusus, maka tidak
ada hak bagi ayahnya kecuali mempergunakan harta itu dengan baik. Dan tidak
boleh bagi seorang ayah untuk menikahkan anak wanitanya dengan orang lain,
supaya orang tersebut ganti menikahkan anak wanitanya dengan dia, inilah yang
dinamakan nikah "Shighar," yaitu pernikahan tanpa mas kawin yang
merupakan hak anak wanitanya, dan bukan hak ayahnya.
Tidak boleh bagi seorang ayah menikahkan anak wanitanya yang sudah baligh
dengan orang yang tidak disukai oleh anak tersebut. Tetapi ia harus meminta
pendapat dari anaknya apakah mau menerima atau tidak. Apabila anak wanitanya
itu seorang janda maka harus memperoleh persetujuannya dengan jelas, dan
apabila dia seorang gadis yang pada umumnya adalah pemalu maka cukup dengan
diamnya. Karena diamnya seorang gadis itu adalah tanda menerima. Akan tetapi
jika ia berkata, "tidak" maka tidak ada kekuasaan baginya untuk
memaksa anaknya agar menikah dengan orang yang tidak disukai.
Dari Abi Hurairah RA (di dalam hadits marfu') Rasullah SAW bersabda,
"Wanita janda itu tidak boleh dinikahkan sehingga dimintai pendapat dan
wanita gadis itu tidak boleh dinikahkan sehingga dimintai izin.," shahabat
bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana cara meminta izin? Nabi bersabda,
"Jika ia diam." (HR. Al Jama'ah)
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari 'Aisyah ra, ia berkata,
"Rasulullah bersabda, wanita gadis itu dimintai izin," aku berkata,
"Sesungguhnya wanita gadis itu hisa dimintai izin tetapi ia pemalu. Nabi
menjawab, "Izinnya adalah diamnya." Oleh karena itu ulama'
mengatakan." Sebaiknya wanita gadis itu diberi tahu bahwa diamnya itu
berarti izinnya."
Dari Khansa binti Khaddam Al Anshariyah, "Sesungguhnya ayahnya menikahkan
dia, sedangkan dia seorang janda maka ia tidak suka pernikahan itu, kemudian
datang kepada Rasulullah maka Rasulullah menolak pernikahannya (HR. Al Jama'ah
kecuali Muslim).
Dari Ibnu Abbas RA, "Sesungguhnya ada seorang wanita (gadis) datang
kepada Rasulullah kemudian menceritakan bahwa ayahnya telah menikahkan dia,
tetapi dia tidak suka (pernikahan itu), maka Nabi SAW menyuruh dia untuk
memilih (dilanjutkan atau tidak)." (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Ini semua membuktikan bahwa sesungguhnya seorang ayah itu tak berbeda
dengan lainnya di dalam wajibnya meminta ijin kepada wanita yang masih gadis
dan pentingnya memperoleh persetujuan darinya.
Di dalam shahih Muslim disebutkan, wanita gadis itu dimintai persetujuannya
oleh ayahnya."
Dari Aisyah ra, "Sesungguhnya ada seorang wanita gadis masuk ke
rumahnya, lalu berkata, "Sesungguhnya bapakku telah menikahkan aku dengan
anak saudaranya (saudara sepupu) dengan maksud ingin mengangkat derajatnnya,
tapi saya tidak suka." Aisyah berkata, "Duduklah hingga Nabi SAW
datang," lalu aku memberitahu kepadanya kemudian Nabi mengirimkan utusan
kepada ayahnya untuk didatangkan, lalu keputusan masalah ini diserahkan kepada
anaknya. Anak itu berkata, "Wahai Rasulullah SAW sungguh engkau telah
memberi kesempatan kepadaku terhadap apa yang dilakukan oleh ayahku, tetapi
saya ingin tahu apakah diperbolehkan bagi kaum wanita untuk memutuskan
sesuatu?" (HR. Nasa'i)
Hadits-hadits tersebut secara zhahir menunjukkan bahwa sesungguhnya meminta
ijin wanita gadis atau janda itu merupakan syarat sah aqad. Sehingga apabila
seorang ayah atau wali menikahkan wanita janda tanpa meminta ijin kepadanya
maka akadnya batal dan ditolak, sehagaimana terdapat di dalam kisah Khansa
binti Khaddam. Demikian juga berlaku pada wanita yang masih gadis ia berhak
memilih menerima atau menolak. Maka akad juga menjadi batal sebagaimana kisah
seorang gadis (di jaman Rasulullah SAW).
Di antara keindahan syariat islam adalah, bahwa Islam memerintahkan kepada
kita untuk meminta pendapat ibu dalam menikahkan anak wanitanya, sehingga
pernikahan itu bisa berjalan dengan memperoleh ridha (persetujuan) dari semua
pihak yang terkait.
Dari Ibnu Umar RA, sesungguhnya Nabi SAW bersabda, "Ajaklah kaum
wanita itu untuk bermusyawarah mengenai anak-anak wanitanya." (HR. Ahmad
dan Abu Dawud)
Apabila seorang ayah tidak berhak untuk menikahkan anak perempuannya dengan
orang yang tidak disukai, maka merupakan kewajiban anak tersebut untuk tidak
menikahkan dirinya kecuali dengan ijin ayahnya. Sebagaimana dijelaskan dalam
hadits Rasulullah SAW, "Tidak ada (tidak sah) pernikahan kecuali dengan
wali." (HR. Al Khamsah, kecuali Nasa'i)
Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya berpendapat bahwa diperbolehkan bagi
seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa seijin ayahnya atau walinya, dengan
syarat suaminya itu sekufu dengan dia. Pendapat ini tidak ada landasan dari
hadits.
Yang paling baik pernikahan itu harus melalui persetujuan ayah, ibu dan
anaknya, sehingga tidak ada peluang untuk menjadi pembicaraan di sana sini atau
menimbulkan permusuhan dan kebencian karena Allah SWT mensyariatkan pernikahan
itu untuk memperoleh mawadah wa rahmah.
Idealnya seorang ayah memilihkan untuk anak putrinya lelaki shalih yang
dapat membahagiakan semua pihak. Dan hendaknya yang menjadi perhatian utama
adalah akhlaq dan agamanya, bukan materi dan harta. Juga hendaknya orang tua
tidak mempersulit proses pernikahan apabila ada seseorang yang melamar anaknya.
Di dalam hadits Rasulullah SAW dikatakan, "Apabila datang kepadamu
orang yang kamu ridhai akhlaq dan agamanya maka nikahkan ia (dengan putrimu),
jika tidak kamu laksanakan maka akan terjadi fitnah di bumi ini dan kerusakan
yang merata." (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim)
Dengan demikian maka Islam mengajarkan kepada setiap orang tua bahwa
sesungguhnya anak wanita itu adalah "manusia" sebelum yang lainnya. Dia
bukanlah benda mati yang diperjual-belikan atau ditukar dengan materi
sebagaimana yang sering dilakukan oleh para orang tua di masa jahiliyah.
Rasulullah SAW bersabda:
"Pernikahan yang paling besar berkahnya adalah yang paling ringan
(mudah biayanya)." (HR. Ahmad)
WANITA SEBAGAI ISTRI
<< Kembali ke Daftar Isi
>>
Sebagian agama dan sistem menganggap wanita sebagai barang yang najis atau
sesuatu yang menjijikkan dari perbuatan syetan yang harus dijauhi dan lebih
baik hidup menyendiri.
Sebagian yang lainnya menganggap bahwa kedudukan seorang istri sekedar
sebagai alat pemuas nafsu bagi suaminya atau yang meladeni makanannya dan
menjadi pelayan di dalam rumah tangganya.
Maka Islam datang untuk mengumumkan batalnya kerahiban dan melarang hidup
menyendiri (tak mau menikah selamanya). Sebaliknya, Islam mengajarkan kepada
kita bahwa pernikahan adalah salah satu dari tanda-tanda kekuasaan Allah dalam
kehidupan ini. Allah SWT berfirman:
"Dan di antara tanda-tanda kekuasann-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhrya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir." (Ar-Rum: 21)
Ada sebagian sahabat Rasulullah SAW yang ingin memusatkan perhatiannya
untuk beribadah dengan cara berpuasa sepanjang siang dan shalat sepanjang malam
serta menjauh dari wanita. Maka Rasulullah SAW mengingkari hal itu dengan
mengatakan:
"Adapun saya, berpuasa dan makan, shalat dan tidur dan menikahi
wanita, maka barangsiapa yang tidak suka dengan sunnahku, maka tidak termasuk
golonganku." (HR. Bukhari)
Islam telah menjadikan istri yang shalihah merupakan kekayaan paling
berharga bagi suaminya setelah beriman kepada Allah dan bertaqwa kepada-Nya. Islam
menganggap istri yang shalihah itu sebagai salah satu sebab kebahagiaan.
Rasulullah SAW bersabda, "Seorang mukmin tidak memperoleh kemanfaatan
setelah bertaqwa kepada Allah Azza wa jalla yang lebih baik selain istri yang
shalihah, jika suami menyuruhnya dia taat, jika dipandang dia menyenangkan,
jika ia bersumpah kepadanya dia mengiyakan, dan jika Suami pergi (jauh dari
pandangan) maka dia memelihara diri dan harta (suami)nya" (HR. Ibnu Majah)
Rasulullah SAW bersabda, "Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik
perhiasan dunia adalah wanita shalihah." (HR. Muslim)
Rasulullah SAW bersabda, "Di antara kebahagiaan anak Adam (adalah)
istri shalihah, tempat tinggal yang baik, dan kendaraan yang baik. (HR. Ahmad)
Islam mengangkat nilai wanita sebagai istri dan menjadikan pelaksanaan
hak-hak suami-istri itu sebagai jihad di jalan Allah.
Ada seorang wanita datang kepada Nabi SAW bertanya, "Wahai RasuIullah,
sesungguhnya aku adalah delegasi wanita yang diutus kepadamu dan tidak ada satu
wanita pun kecuali agar aku keluar untuk menemui engkau." Kemudian wanita
itu mengemukakan permasalahannya dengan mengatakan, "Allah adalah Rabb-nya
laki-laki dan wanita dan ilah mereka. Dan engkau adalah utusan Allah untuk
laki-laki dan wanita, Allah telah mewajibkan jihad kepada kaum laki-laki
sehingga apabila mereka memperoleh kemenangan akan mendapat pahala, dan apabila
mati syahid mereka akan tetap hidup di sisi Rabb-nya dan diberi rizki. Amal
perbuatan apakah yang bisa menyamai perbuatan mereka dari ketaatan? Nabi SAW
menjawab, "Taat kepada suami dan memenuhi hak-haknya tetapi sedikit dari
kaum yang bisa melaksanakannya." (HR. Tabrani)
Islam telah menetapkan untuk istri hak-hak yang wajib dipenuhi oleh
suaminya. Hak-hak itu tak sekedar tinta di atas kertas, akan tetapi Islam
menjadikan lebih dari itu yaitu yang mampu memelihara dan mengawasi. Pertama,
keimanan dan ketaqwaan seorang Muslim, kedua, hati nurani masyarakat dan
kesadarannya, dan ketiga keterikatan dengan hukum Islam.
Pertama kali hak yang wajib dipenuhi seorang suami terhadap istrinya adalah
mas kawin yang telah diwajibkan oleh Islam sebagai tanda kecintaan seorang
suami terhadap istrinya. Allah SWT berfirman,
"Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika: mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari maskawin itu dengan senang hati; maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya." (An-Nisa': 4)
Maka di manakah letak wanita dalam peradaban selain Islam yang memberikan
sebagian hartanya kepada kaum lelaki, padahal fithrah Allah telah menjadikan
wanita itu menuntut dan tidak dituntut (untuk memberi harta).
Hak yang kedua yang harus dipenuhi seorang suami terhadap istrinya adalah
nafkah. Seorang suami diwajibkan untuk mencukupi makanan, pakaian, tempat
tinggal dan pengobatan kepada istrinya.
Rasulullah SAW menjelaskan hak-hak wanita yang harus dipenuhi oleh seorang
suami dalam sabdanya, "Dan bagi wanita (yang diwajibkan) atas kamu (kaum
lelaki) rizki mereka dan pakaian mereka dengan ma'ruf (baik)." Yang
dimaksud dengan ma'ruf adalah sesuatu yang dianggap baik oleh ahli agama tanpa
berlebihan dan tanpa mengurangi. Allah berfirman:
"Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannnya. Dan
orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang
diberikan Allah kepadannya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kesanggupan kepadanya. Allah kelak akan memberikan
kelapangan sesudah kesempitan." (At-Thalaq:7)
Hak yang ketiga adalah
mempergauli dengan baik. Allah SWT berfirman, "Dan pergaulilah mereka
(istri-istrimu), baik dalam berbicara, wajah yang berseri-seri, menghibur
dengan bersendagurau dan mesra dalam hubungan.
Rasulullah SAW
bersabda, "Mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik
akhlaqnya, dan yang paling bersikap lemah lembut terhadap keluarganya."
(HR. Tirmidzi)
Ibnu Hibban berkata
dari Aisyah ra, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, "Sebaik-baik kamu
adalah yang paling baik terhadap keluarganya dan saya adalah sebaik-baik
(perlakuan) terhadap keluarga saya."
Sirah Nabawiyah secara
aplikatif telah membuktikan kelembutan RasuIullah SAW terhadap keluarganya dan
akhlaq beliau sangat mulia terhadap para istrinya. Sampai-sampai Rasulullah SAW
sering membantu para istrinya untuk menyelesaikan tugas-tugas di rumah dan di
antara kelembutan Rasulullah SAW adalah bahwa beliau pernah mendahului Aisyah
berlomba lari dua kali, lalu Aisyah mengalahkan beliau sekali dan sekali lagi
dalam kesempatan yang lainnya. Maka beliau berkata kepada Aisyah "Ini
dengan itu (skor sama)."
Sebagai timbal balik
dari pelaksanaan hak-hak yang wajib dipenuhi seorang suami terhadap istrinya,
maka Islam mewajibkan kepada istri untuk mentaati suami di luar perkara
maksiat. Serta memelihara hartanya, sehingga seorang istri tidak boleh
mempergunakan harta tersebut kecuali dengan izinnya. Demikian juga seorang
istri wajib memelihara rumahnya sehingga tidak boleh memasukkan orang ke dalam
rumahnya kecuali atas seizin suaminya, walaupun itu keluarganya.
Kewajiban-kewajiban ini
tidak banyak dan tidak bersifat menzhalimi seorang istri, jika dibandingkan
dengan kewajiban yang harus dipenuhi oleh suaminya. Oleh karena itu setiap hak
selalu diimbangi dengan kewajiban, dan di antara keadilan Islam bahwa Islam
tidak menjadikan kewajiban itu hanya dibebankan pada wanita saja atau laki-laki
saja.
Diriwayatkan bahwa
sesungguhnya Ibnu Abbas pernah berdiri di depan cermin untuk memperbagus
penampilannya. Ketika ditanya beliau menjawab, "Aku berhias untuk istriku
sebagaimana istriku berhias untukku," kemudian membacakan ayat yang
artinya:
"Dan para wanita
mernpunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya ." (Al Bagarah: 228)
Ini adalah bukti yang
nyata tentang dalamnya pemahaman Rasul dan sahabat terhadap Al Qur'an.
Kemandirian Seorang Istri
Islam tidak membiarkan
kepribadian wanita itu larut untuk mengikuti kepribadian suaminya sebagaimana
tradisi barat. Mereka menjadikan wanita mengikuti suaminya, sehingga nama sang
istri tidak begitu dikenal. Demikian juga nasab dan marganya, tetapi cukup
dikatakan "fulanah istrinya si fulan."
Adapun Islam telah
menempatkan kepribadian wanita secara mandiri. Oleh karena itu kita mengenal
istri-istri Rasul SAW dengan nama-nama dan nasabnya seperti: Khadijah binti
Khuwailid, Aisyah binti Abu Bakar, Hafshah binti Umar, Maimunah binti Al
Harits, dan Shafiyah binti Huyyai yang bapaknya adalah seorang Yahudi yang
pernah memerangi Rasulullah SAW.
Sebagaimana kepribadian
wanita saat ini tak akan terkurangi dengan ia menikah dan tidak akan kehilangan
kemampuannya dalam hal perjanjian jual beli dan muamalah. Dia berhak menjual
dan membeli, dia berhak memberi upah, dia berhak memberikan hartanya, bershadaqah,
memberi makan dan sebagainya.
Pemahaman seperti ini
belum sampai pada wanita Barat kecuali baru-baru ini saja. Dan di sebagian
negara, wanita masih sangat terikat dengan keinginan suaminya.
Post a Comment