Mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala Dan Hukum Orang Yang Mencela-Nya
Muqodimah
Segala puji hanya untuk Allah
Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam beserta keluarga
dan seluruh sahabatnya.
Aku memuji hanya untuk Allah subhanahu
wa ta’ala dengan pujian yang layak atas kekuasaan-Nya. Aku
bersyukur kepada -Nya karena menjunjung perintah -Nya. Aku mengakui bahwa
makhluk tidak akan mampu mengagungkan -Nya dengan sebenar-benarnya karena
mereka tidak mengetahui -Nya secara menyeluruh.
Nikmat-nikmat Allah subhanahu wa
ta’ala tidak terhingga dan mensyukurinya tidak bisa disempurnakan.
Bagi -Nya akhirat dan dunia, dan
hanya kepada –Nya lah kita semua kembali. Tidak ada Ilah (yang berhak
disembah) selain Allah subhanahu wa ta’ala, Yang Maha Esa, tiada sekutu
bagi -Nya, dan tidak ada yang disembah dengan sebenarnya selain Allah subhanahu
wa ta’ala.
Aku mengucap shalawat dan salam kepada
seorang nabi yang ummy, Muhammad bin Abdullah.
Amma ba’du:
Sesungguhnya termasuk kewajiban terbesar
secara akal dan naql (dalil) adalah mengenal keagungan Sang Maha
Pencipta yang ke Esaan -Nya diakui oleh alam semesta. Dan pada diri setiap
makhluk merupakan tanda-tanda yang nyata atas keagungan penciptanya dan Maha
Besar penciptanya. Jikalau setiap orang kembali kepada -Nya, lalu ia memandang
-Nya dan memikirkannya tentang segala kekuasaan dan karunia –Nya tentu ia
mengenal keagungan Allah subhanahu wa ta’ala yang menciptakannya.
قال الله تعالى: ﴿ وَفِي أَنفُسِكُمْ أَفَلاَ تُبْصِرُونَ﴾ [ الذاريات: 21 ]
dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu
tiada memperhatikan (QS. adz-Dzariyaat:21)
Dan nabi
Nuh ‘alaihissalam berkata kepada kaumnya:
قال الله تعالى: ﴿ مَّالَكُمْ لاَتَرْجُونَ لِلَّهِ وَقَارًا .
وَقَدْ خَلَقَكُمْ أَطْوَارًا ﴾ [نوح: 13-14]
Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah *
Padahal -Dia sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan
kejadian. (QS. Nuh:13-14)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dan
Mujahid rahimahullah berkata: ‘Kamu tidak mempercayai kebesaran Allah subhanahu
wa ta’ala.’[1]
Dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu
berkata pula: ‘Mengapa kamu tidak mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala
dengan sebenar-benarnya.’[2]
Nabi Nuh ‘alaihissalam mengajak
mereka kembali merenungkan diri mereka dan beberapa tingkatan kejadian mereka
supaya mereka mengetahui hak -Nya terhadap mereka. Maka berfikir pada diri
sendiri dan beberapa tahapan kejadian-kejadian sudah cukup dalam mengagungkan
Allah subhanahu wa ta’ala dan mengenal kebesaran-Nya. Maka bagaimana
dalam merenungkan pada semua makhluk Allah subhanahu wa ta’ala di alam
semesta, di bumi dan di langit! Sesungguhnya manusia tidak mengetahui keagungan
Allah subhanahu wa ta’ala karena mereka memandang kepada ayat-ayat -Nya
tanpa memikirkan dan mereka melewatinya dengan cepat dan menikmati, bukan
dengan mengambil pelajaran, memikirkan dan merenungkan:
قال الله تعالى: ﴿ وَكَأَيِّن مِّنْ ءَايَةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ يَمُرُّونَ
عَلَيْهَا وَهُمْ عَنْهَا مُعْرِضُونَ﴾ [ يوسف :105 ]
Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di
langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling daripadanya.
(QS.Yusuf:105)
Maka ayat-ayat tidak bisa memberi faedah
dan mukjizat tidak dapat memberi manfaat kepada akal-akal yang berpaling dan
hati yang lupa. Tidak bisa mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala
kecuali orang yang melihat -Nya, atau melihat ayat-ayat -Nya dan mengenal sifat-sifat- Nya.
Karena inilah, keagungan Allah subhanahu wa ta’ala lemah di hati orang
yang lupa lagi berpaling, lalu Allah subhanahu wa ta’ala didurhakai dan
dikufuri, dan terkadang -Dia dicela dan olok-olok! karena kejahilan terhadap
keagungan -Nya. Dikufuri dan diingkari hak
-Nya sekadar yang kurang dari keagungan -Nya dan kedudukan -Nya di dalam hati. Ditaati dengan lemah
sekadar kebodohan dan kelemahannya. Dan
Allah subhanahu wa ta’ala disembah dan diagungkan sekadar yang lebih
dari kebesaran dan kedudukan -Nya
di dalam hati.
Karena alasan inilah orang-orang musyrik
menyembah berhala dan kafir dengan (Allah subhanahu wa ta’ala) yang
menghidupkan tulang. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menjelaskan
kekurangan ini:
قال الله تعالى: ﴿ يَآأَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ
فَاسْتَمِعُوا لَهُ إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِ اللهِ لَن يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ وَإِن يَسْلُبْهُمُ
الذُّبَابُ شَيْئًا لاَّيَسْتَنقِذُوهُ مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ . مَاقَدَرُوا اللهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِنَّ اللهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ ﴾
[الحج :73 - 74]
Hai
manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu.
Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat
menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan
jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya
kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah)
yang disembah. *Mereka tidak
mengenal Allah dengan sebenar-benarnya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (QS. al-Hajj:73-74)
Dan
termasuk mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala adalah mengenal asma`
dan sifat -Nya, merenungkan ayat-ayat
-Nya, tadabbur terhadap nikmat-nikmat dan karunia -Nya, melihat dan
merenung kan dengan ilmu terhadap kondisi umat-umat di masa lalu, serta
menganalisa umat yang membenarkan dan mendustakan, sesudahnya baik yang beriman
maupun kafir.
Dan
termasuk mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala adalah mengenal
syari’at-syari’at -Nya, perintah-perintah dan larangan-larangan -Nya, dan
mengagungkan -Nya dengan menjunjung -Nya dan mengamalkan -Nya. Karena hal itu
dapat menghidupkan iman di dalam hati, bagi iman hal itu laksana panas dan bara
api, panasnya bisa menjadi dingin dan bara apinya menjadi padam tatkala
seseorang mengimani –Nya, namun tidak melaksanakan perintah -Nya dan tidak
meninggalkan larangan -Nya. Karena inilah Allah subhanahu wa ta’ala berfirman
tentang keagungan syi’ar-syi’ar hadyu (hewan sembelihan dalam haji) dan ibadah
haji:
قال الله تعالى: ﴿ ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللهِ
فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ ﴾ [الحج:32]
Demikianlah
(perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka
sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati. (QS. al-Hajj:32)
Maka mengagungkan perintah dan larangan
merupakan pengagungan terhadap yang memerintah. Karena inilah, tidak nampak ilhad
terhadap hak Allah subhanahu wa ta’ala, diingkari, dikufuri dan
dicela kecuali sebelumnya telah didahului oleh ta’thil (pengingkaran)
terhadap perintah-perintah dan larangan-larangan -Nya dan meremehkan nya.
Telah masyhur mencela Allah subhanahu
wa ta’ala dari sebagian kalangan awam yang berpaling lagi jahil terhadap
Allah subhanahu wa ta’ala akan keagungan -Nya, yang sebelumnya ta’thil
terhadap segala perintah dan larangan
-Nya, terutama di negeri Syam (Siria) dan Iraq, serta sebagian negara-negara
Afrika. Mensifati -Nya dan menuduh –Nya dengan berbagai ungkapan yang mana
seorang mukmin tidak sanggup mengucapkan atau mendengarnya. Dan terkadang
diucapkan oleh beberapa golongan yang menganggap diri mereka sebagai kaum
muslimin, karena mereka mengucapkan dua kalimah syahadah.
Dan terkadang muncul dari sebagian orang
yang shalat, dan syetan mengalirkannya lewat lisan mereka, dan syetan memudahkan
kepada kebanyakan mereka (berbuat dosa) bahwa mereka tidak bermaksud makna
zhahirnya (yang nampak) dan tidak bermaksud menghina hak (Allah subhanahu wa
ta’ala) Yang Maha Pencipta.
Dan syetan memudahkan mereka (berbuat
dosa) bahwa ia termasuk ucapan sia-sia yang tidak terhenti di sisinya (tidak
mengapa dilakukan), maka mereka merasa gampang karena alasan itu.
Hal seperti ini perlu penjelasan?
–padahal sudah sangat jelas bahaya dan kerusakannya pada akal-akal yang sehat,
dan pada semua syari’at samawiyah- untuk memutuskan godaan-godaan syetan
dan jebakan-jebakannya, dan karena mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala
Yang Maha Pencipta, dan untuk mensucikan -Nya dari segala keburukan dengan cara
bagaimanapun yang diucapkan lisan dan dengan tujuan apapun yang dikehendaki
oleh jiwa.
Maka saya katakan secara ringkas:
Sesungguhnya mencela: yaitu setiap kata
atau perbuatan yang ditujukan menghina (merendahkan) atau meremehkan Allah subhanahu
wa ta’ala adalah kufur. Kaum muslimin tidak berbeda pendapat dalam hal itu.
Sama saja hal itu dengan tujuan mengolok-olok dengan serius, ataukah bermain,
bercanda dan bersenda gurau, ataukah karena lupa dan jahil! Tidak ada perbedaan
di antara tujuan manusia dalam hal itu, karena yang dipandang adalah secara
lahir.
Hakikat mencela dan maknanya
Setiap perkara yang menusia menamakannya
mencela, atau mengolok-olok, atau menghina dalam pandangan umum (‘uruf)
mereka, maka dalam syara’ juga sama seperti itu. Maka yang dipandang adalah
dengan kembali kepada pandangan umum yang ada di tengah masyarakat, seperti
mencela, menghina, ucapan yang keji ataupun isyarat yang keji dan buruk dengan
tangan. Demikian pula ungkapan-ungkapan yang dilakukan oleh penduduk negeri
tertentu dan mereka menamakannya sebagai olok-olok dan celaan, maka ia adalah
celaan, walaupun menurut pandangan penduduk negeri yang lain tidak dianggap
sebagai celaan.
Hukum mencela Allah subhanahu
wa ta’ala
Umat Islam tidak berbeda pendapat bahwa
mencela Allah subhanahu wa ta’ala adalah kufur dan orang yang mencela Allah subhanahu wa
ta’ala hukumannya adalah dibunuh. Dan sesungguhnya yang diperdebatkan
adalah apakah diterima atau tidak taubatnya. Jika ia bertaubat, apakah
taubatnya menghalanginya dari hukuman pancung atau tidak? Ada dua pendapat yang
terkenal di kalangan para ulama.
Mencela dan mengolok-olok termasuk jenis menyakiti yang paling besar. Firman
Allah subhanahu wa ta’ala:
قال الله تعالى: ﴿ إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ
لَعَنَهُمُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا
مُّهِينًا . وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَااكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا
مُّبِينًا ﴾ [الأحزاب:57-58]
Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan
Rasul-Nya. Allah akan mela'natinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan
baginya siksa yang menghinakan. * Dan orang-orang yang
menyakiti orang-orang mu'min dan mu'minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat,
maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (QS. al-Ahzab:57-58)
Dan
menyakiti Allah subhanahu wa ta’ala bukan berarti membahayakan Allah subhanahu
wa ta’ala, menyakiti itu ada dua macam: menyakiti yang membahayakan dan
menyakiti yang tidak membahayakan, dan tidak ada sesuatu pun yang bisa
membahayakan Allah subhanahu wa ta’ala.
Dan dalam hadits qudsi, firman Allah subhanahu
wa ta’ala:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « يَا عِبَادِي, إِنَّكُمْ لَنْ
تَبْلُغُوْا ضُرِّي فَتَضُرُّوْنِي...» [ أخرجه مسلم ]
“Wahai hamba-hamba -Ku, sesungguhnya
kalian tidak akan bisa membahayakan -Ku lalu kamu membahayakan -Ku...”[3]
Dan Allah subhanahu wa ta’ala
mengutuk orang yang menyakiti -Nya di dunia dan akhirat. La’n (kutukan)
adalah pengusiran hamba dari rahmat, dan ayat tersebut menunjukkan atas
dijauhkannya dia dari dua rahmat; rahmat di dunia dan di akhirat, dan tidak
terusir dari dua rahmat tersebut kecuali orang yang kafir kepada Allah subhanahu
wa ta’ala. Dan hal ini sangat jelas bahwa Allah subhanahu wa ta’ala
menyebutkan setelah itu orang yang menyakiti orang-orang beriman, laki-laki dan
perempuan, dan tidak menyebutkan kutukan -Nya di dunia dan akhirat, karena
manusia tidak dianggap kafir karena saling menyakiti di antara mereka satu sama
lain dengan cara mencela, mengutuk dan menuduh berzinah. Sesungguhnya ia adalah
tuduhan palsu (fitnah) dan dosa yang nyata, apabila tidak ada bukti atas hal itu.
Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala
menyebutkan bahwa ia menyebutkan bagi siapa yang menyakiti -Nya (siksa
yang menghinakan) dan Allah subhanahu wa ta’ala tidak
menyebutkan (siksa
yang menghinakan) kecuali kepada orang-orang yang kafir kepada -Nya.
Mencela Allah subhanahu wa ta’ala
adalah kufur di atas kekufuran. Ia berada di atas kekafiran para penyembah
berhala, karena para penyembah berhala mengagungkan batu-batu (berhala, patung)
karena mereka mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka tidak
menurunkan keagungan Allah subhanahu wa ta’ala sehingga mereka
menyamakan -Nya dengan batu, dan sesungguhnya mereka meninggikan derajat batu
sehingga menyamai Allah subhanahu wa ta’ala. Karena inilah orang-orang
kafir berkata setelah mereka masuk neraka:
قال الله تعالى: ﴿ تَاللهِ إِن كُنَّا
لَفِي ضَلاَلٍ مُّبِينٍ .إِذْ نُسَوِّيكُم بِرَبِّ الْعَالَمِينَ ﴾
[الشعراء:97-98]
"demi
Allah: sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, * karena
kita mempersamakan kamu dengan Rabb semesta alam". (QS.asy-Syu’ara:97-98)
Mereka meninggikan derajat batu sehingga
menyamai derajat Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak menurunkan derajat
Allah subhanahu wa ta’ala sehingga menyamai batu. Maka mengagungkan batu
termasuk mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala, menurut sangkaan
mereka! Siapa yang mencela Allah subhanahu wa ta’ala berarti ia
menempatkan Allah subhanahu wa ta’ala berada di bawah derajat batu
dengan mencela -Nya. Sementara orang-orang musyrik tidak pernah mencela
sembahan-sembahan mereka sekalipun sambil bermain, karena mereka
mengagungkannya, dan karena alasan inilah mereka mencela orang yang mencelanya.
Dan Allah subhanahu wa ta’ala
menurunkan kepada nabi-Nya ayat:
قال الله تعالى: ﴿ وَلاَتَسُبُّوا
الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللهِ فَيَسُبُّوا اللهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ ﴾
[الأنعام : 108]
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang
mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan.. (QS. al-An’aam:108)
Padahal orang orang musyrik adalah
kafir, namun Allah subhanahu wa ta’ala melarang nabi -Nya mencela
berhala-berhala mereka, sehingga mereka tidak melakukan karena pengingkaran
mereka kufur di atas kekufuran, yaitu mencela Ilah Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam (Allah subhanahu wa ta’ala).
Dan sebagian lafazh mencela Allah subhanahu
wa ta’ala lebih kufur dari pada ilhad (pengingkaran), karena seorang
mulhid mengingkari adanya Yang Maha Pencipta dan Rabb, dan lisan hanya
mengatakan: jika aku mengakui adanya Rabb niscaya aku akan mengagungkan -Nya.
Adapun orang yang mengaku beriman kepada
Allah subhanahu wa ta’ala, yaitu menetapkan rububiyah -Nya dan mencela
-Nya, ini adalah pengingkaran dan tantangan yang paling jelas!
Memasang patung-patung di beberapa
negara dan berkeliling di sekitarnya, sujud dan mengambil berkah dengannya
lebih mudah bagi Allah subhanahu wa ta’ala dari pada mendeklarasikan
mencela Allah subhanahu wa ta’ala di gedung-gedung di negeri tersebut,
di jalan-jalan, pasar-pasar dan majelis-majelisnya; karena mendeklarasikan
mencela Allah subhanahu wa ta’ala lebih besar dari pada menyekutukan
berhala bersama -Nya, kendati kedua perbuatan itu adalah kufur. Namun orang
yang musyrik mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala dan orang yang
mencela adalah menghina Allah subhanahu wa ta’ala. Maha Suci Allah subhanahu
wa ta’ala dari semua itu.
Mencela Allah subhanahu wa ta’ala
dan mendeklarasikannya di suatu negeri lebih besar (dosanya) dari pada
menghalalkan perzinahan dan mensyari’atkannya, lebih berat (dosanya) dari
menghalalkan perbuatan keji kaum nabi Luth ‘alaihissalam (homo seksual),
karena kufur menghalalkan perbuatan keji adalah kufur yang penyebabnya adalah
pengingkaran terhadap syari’at dari syari’at-syari’at Allah subhanahu wa
ta’ala dan meremehkan salah satu perintah dari perintah-perintah Allah subhanahu
wa ta’ala. Adapun mencela, maka ia adalah kekufuran dengan Dzat (Allah subhanahu
wa ta’ala) yang mensyari’atkan yang konsekuensinya adalah kufur dengan
semua syari’at -Nya dan meremehkannya. Ini lebih besar dan lebih berat, kendati
keduanya adalah kufur, namun kufur juga terdiri dari beberapa tingkatan,
sebagaimana iman juga terdiri dari beberapa tingkatan.
Tatkala Allah subhanahu wa ta’ala
menyebutkan kekufuran kaum Nashrani dan pencelaan mereka terhadap -Nya dengan
mengatakan bahwa ia mempunyai anak, Allah subhanahu wa ta’ala
menyebutkan jarimah (kejahatan) mereka dan mensifatkan dampaknya lebih
besar dari pada penjelasan -Nya bagi kesyirikan para penyembah berhala dan
penyembah bintang. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
قال الله تعالى: ﴿ وَقَالُوا اتَّخَذَ
الرَّحْمَنُ وَلَدًا . لَّقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا . تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنشَقُّ اْلأَرْضُ
وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا . أَن دَعَوْا
لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا . وَمَايَنبَغِي
لِلرَّحْمَنِ أَن يَتَّخِذَ وَلَدًا . إِن كُلُّ مَن فِي السَّمَاوَاتِ
وَاْلأَرْضِ إِلآ ءَاتِي الرَّحْمَنِ عَبْدًا . لَّقَدْ أَحْصَاهُمْ وَعَدَّهُمْ عَدًّا . وَكُلُّهُمْ ءَاتِيهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَرْدًا﴾ [مريم: 88-95]
Dan mereka berkata:"Yang Maha Pemurah
mengambil (mempunyai) anak". (QS. 19:88)
Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu
perkara yang sangat mungkar, (QS. 19:89)
hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan
bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh, (QS. 19:90)
karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Penurah
mempunyai anak. (QS. 19:91)
Dan tidak layak lagi Yang Maha Pemurah mengambil
(mempunyai) anak. (QS. 19:92)
Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali
akan datang kepada Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. (QS. 19:93)
Sesungguhnya Allah telah menentukan jumlah mereka
dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. (QS. 19:94)
Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada
hari kiamat dengan sendiri-sendiri. (QS. Maryam:88-95)
Karena dengan menyebutkan mempunyai anak
merupakan penghinaan terhadap Allah subhanahu wa ta’ala dan mencela
-Nya. Ia lebih besar daripada sesuatu jika mereka menyembah Allah subhanahu
wa ta’ala dan menyekutukan sesuatu dengan -Nya, maka mereka mengangkat
makhluk dan mengagungkannya seperti pengagungan terhadap Allah subhanahu wa
ta’ala. Karena menyandarkan anak adalah menurunkan keagungan Yang Maha
Pencipta agar sama seperti makhluk dan menyembah berhala adalah meninggikan
makhluk agar sama seperti Yang Maha Pencipta. Menurunkan keagungan Yang Maha
Pencipta lebih besar dosanya dari pada meninggikan derajat makhluk dan lebih
kufur.
Mencela adalah menafikan iman secara
lahir dan batin; menafikan ucapan hati, yaitu mempercayai Allah subhanahu wa
ta’ala dan beriman dengan keberadaan -Nya serta beriman dengan hak -Nya
dengan beribadah. Demikian pula menafikan amal hati, yaitu mencintai Allah subhanahu
wa ta’ala, mengagungkan dan menghormati -Nya. Maka tidak diterima pengakuan
pengagungan sementara engkau mencelanya, seperti mengagungkan Allah subhanahu
wa ta’ala dan menghormati kedua orang tua. Maka siapa yang mengaku
menghormati kedua orang tuanya, sedangkan ia mencela dan mengolok-olok
keduanya, maka ia adalah pembohong dalam pengakuannya.
Demikian itulah, sesungguhnya mencela
Allah subhanahu wa ta’ala membatalkan iman secara lahir, yaitu ucapan
dan perbuatan.
Ijma’ (konsensus) para ulama: orang yang
mencela Allah subhanahu wa ta’ala adalah kufur
Para ulama sepakat dari setiap mazhab
yang mengatakan: ‘iman adalah ucapan dan perbuatan’, bahwa mencela Allah subhanahu
wa ta’ala adalah kufur. Tidak ada alasan bagi orang yang mencela Allah subhanahu
wa ta’ala pada setiap celaan atau penghinaan yang nyata dengan kesepakatan
mereka.
Harb rahimahullah meriwaytkan
dalam ‘Masail’nya, dari Mujahid rahimahullah, dari Umar radhiyallahu
‘anhu, ia berkata: ‘Barangsiapa yang mencela Allah subhanahu wa ta’ala
atau mencela salah seorang nabi maka bunuhlah ia.”[4]
Al-Lats rahimahullah meriwayatkan
dari Mujahid rahimahullah, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata: ‘Muslim manapun yang mencela Allah subhanahu wa ta’ala atau
seseorang dari pada nabi berarti ia mendustakan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, ia menjadi murtad maka harus disuruh bertaubat. Jika ia
kembali (maka taubatnya diterima) dan jika ia tidak mau bertaubat maka
bunuhlah. Seorang kafir mu’ahad (yang terikat perjanjian damai dengan
kaum muslimin) yang ingkar mencela Allah subhanahu wa ta’ala atau salah
seorang nabi atau terang-terangan dengannya, maka sungguh ia telah melanggar
perjanjian maka bunuhlah ia.’[5]
Imam Ahmad rahimahullah ditanya
tentang orang yang mencela Allah subhanahu wa ta’ala? Ia menjawab: ‘Ini
murtad, harus dipotong lehernya.’ Sebagaimana diriwayatkan oleh anaknya,
Abdullah, dalam ‘Masail’nya.[6]
Banyak para ulama yang meriwayatkan
kufurnya (orang yang mencela Allah subhanahu wa ta’ala) dan ia harus
dibunuh:
Ibnu Rahawaihi rahimahullah
berkata: ‘Kaum muslimin ijma’ (konsensus) bahwa siapa yang mencela Allah subhanahu
wa ta’ala, atau mencela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
atau menolak sesuatu yang diturunkan Allah subhanahu wa ta’ala, atau
membunuh seorang nabi dari para nabi, maka ia kafir dengan hal itu, sekalipun
ia mengakui dengan yang diturunkan Allah subhanahu wa ta’ala.’[7]
Qadhi ‘Iyadh rahimahullah
berkata: ‘Tidak ada perbedaan pendapat bahwa orang yang mencela Allah subhanahu
wa ta’ala dari kaum muslimin adalah kafir, darahnya halal.’[8]
Ibnu Hazm rahimahullah dan yang
lainnya juga meriwayatkan ijma’. Dan para imam menegaskan kufurnya, seperti
Ibnu Abi Zaid al-Qairawany rahimahullah, Ibnu Quddamah rahimahullah
dan yang lainnya.[9]
Demikianlah, semua menegaskan kufur
orang yang mencela Allah subhanahu wa ta’ala dan mereka tidak menerima
alasan darinya, karena selama manusia masih punya akal sehat ia bisa membedakan
celaan dari yang lainnya, mengenal yang mana pujian dan yang mana celaan, akan
tetapi mereka menggampangkan dalam kelancangan (ketidak sopanan) terhadap -Nya.
Ibnu Abi Zaid al-Qairawany al-Maliky rahimahullah
ditanya tentang seseorang yang mencela seorang laki-laki dan mencela Allah subhanahu
wa ta’ala bersamanya, lalu laki-laki itu berkata: ‘Sebenarnya saya
bermaksud mencela syetan, tapi saya salah ngomong.’ Ibnu Abi Zaid rahimahullah
menjawab: ‘Ia dibunuh sesuai ucapannya yang nampak dan tidak diterima
alasannya, sama saja ia bercanda atau serius.’[10]
Seperti demikianlah para ulama dan qadhi
memberikan fatwa dan memutuskan di semua mazhab fiqih –seperti imam empat dan
ahli zhahir- hukum sesuai yang nampak dan tidak memandang yang batin (dalam
hati), sekalipun orang yang mencela mengaku bahwa maksudnya bukan hal itu.
Jikalau para ulama mengembalikan
pelanggaran-pelanggaran yang nyata kepada pengakuan batin yang berbeda dengan
yang nampak niscaya gugurlah nama-nama syari’at, hukum-hukum, hukuman, dan
hudud, dan tersia-sialah hak-hak dan kemuliaan. Maka tidak bisa dibedakan
muslim dan kafir, mukmin dan munafik, dan jadilah agama dan dunia menjadi bahan
mainan lewat lisan orang-orang bodoh dan di tangan orang-orang yang hatinya
sakit.
Mencela (Allah subhanahu wa ta’ala
) adalah kufur, sekalipun tanpa tujuan kufur
Mencela Allah subhanahu wa ta’ala
akan kufur, tidak ada perbedaan dalam hal itu, dan tidak diperdulikan
kegampangan kalangan awam mengucapkannya dengan alasan tidak ada maksud, dan
sesungguhnya ucapan mereka mencela terucap di lisan tanpa ada maksud buruk pada
hak Allah subhanahu wa ta’ala.
Alasan ini adalah kebodohan dari
pelakunya dan tidak ada yang menerima alasan ini kecuali Jahm bin Shafwan dan
ghulat Murji`ah yang mengatakan bahwa iman adalah membenarkan dan mengenal
secara hati. Ini penyebabnya adalah ketidak tahuan bahwa iman adalah ucapan dan
perbuatan, artinya ucapan lisan dan hati, dan amal hati dan anggota tubuh.
Ghulat Murji`ah berpendapat bahwa amal
lahiriyah tidak menetapkan iman, dan atas dasar ini ia tidak menafikannya
kecuali dengan kembali kepada hatinya.
Yang haq bahwa iman adalah lahir dan
batin, dan satu sama lain dari keduanya menetapkan iman, dan dengan tiadanya
satu dari keduanya niscaya tiadalah iman secara keseluruhan.
Sebagaimana orang kafir, ia kafir apabila
ia bermaksud kufur dan menghendakinya, sekalipun ia belum mengatakannya dengan
lisan dan belum melakukannya dengan anggota tubuhnya. Demikian pula ia menjadi
kufur dengan ucapannya, sekalipun ia belum berniat dalam hatinya dan belum
melakukannya dengan anggota tubuhnya. Demikian pula menjadi kafir orang yang
melakukan perbuatan kufur, sekalipun ia tidak bermaksud kufur dalam hatinya dan
tidak mengatakannya dengan lisannya.
Apabila anggota tubuh melakukan
perbuatan haram ia dihukum dengan perbuatannya dan urusan hatinya diserahkan
kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dan tidaklah semua yang diputuskan
kufurnya –karena nampak kufurnya secara lahiriyah- ia menjadi kafir di sisi Allah subhanahu
wa ta’ala secara batin. Urusan batin diserahkan kepada Allah subhanahu
wa ta’ala dan urusan lahiriyah, hamba dihukum dengannya di dunia.
Allah subhanahu wa ta’ala
memutuskan kufur orang yang mengolok-olok terhadap -Nya, terhadap kitab -Nya, dan rasul -Nya serta tidak menerima alasannya karena
tidak serius. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
قال الله تعالى: ﴿وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنّا نَخُوضُ
وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ . لاَتَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِن نَّعْفُ
عَن طَائِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ ﴾
[التوبة: 65-66]
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa
yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab:"Sesungguhnya kami
hanya bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah:"Apakah
dengan Allah, ayat-ayat -Nya dan Rasul -Nya kamu selalu berolok-olok?". * Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami
mema'afkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan
mengazab golongan (yang lain) di sebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu
berbuat dosa. (QS. at-Taubah:65-66)
Dan akal sehat menunjukkan bahwa manusia
dihukum dengan sesuatu yang nampak darinya, maka tidak bisa diterima tuduhan
sebagian mereka (terhadap yang lain) dengan zina. Demikian pula pemerintah
tidak menerima celaan dan kutukan terhadapnya, sekalipun orang-orang beralasan
bahwa mereka tidak sengaja (tidak ada maksud). Maka Allah subhanahu wa
ta’ala memerintahkan hukuman had terhadap orang yang menuduh berzinah tanpa
maksud sebanyak delapan puluh cambuk, dan tidak diterima alasan pelaku bahwa ia
hanya bercanda dan main-main.
Demikian pula wibawa pemerintah akan
gugur apabila membiarkan manusia bercanda dan bermain dengan kehormatannya.
Maka engkau melihatnya menghukum dan memberi pelajaran kepada manusia: yang
serius dan bercanda dari mereka.
Sangat banyak nash-nash dalam menghukum
manusia karena tindakan kriminal dan kezalimannya yang menggampangkan dalam
mengenal keagungan -Nya dan kedudukan -Nya yang dikenal jelas secara akal dan
naql (nash, dalil), dan tidak diterima alasannya dalam hal itu.
Dalam ash-Shahih, dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ
بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ الله لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاًيَهْوِيْ بِهَا فِى
جَهَنَّمَ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا » [ أخرجه البخاري ومسلم ]
“Sesungguhnya hamba berbicara dengan
satu kalimah dari kemurkaan Allah subhanahu wa ta’ala yang ia tidak
memperdulikannya, ia terjerumus karenanya di neraka tujuh puluh tahun.’[11]
Sungguh Allah subhanahu wa ta’ala mengharuskan
siksaan baginya dan tidak menerima alasannya, padahal ia tidak
memperdulikannya, maksudnya ia tidak memikirkan nilai ucapannya dan tidak pula
timbangan perkataannya, karena ia mempergampang dalam merenungkan ucapannya.
Maka jika ia merenungkan ucapannya walau hanya sedikit niscaya jelaslah baginya
keburukan ucapannya dan kejahatan perkataannya.
Dan diriwayatkan pula dalam hadits Bilal
bin Harits radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam, beliau bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَتَكَلَّمُ
بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ مَا يَظُنُّ أَنْ تَبْلُغَ مَابَلَغَتْ
فَيَكْتُبُ الله عَلَيْهِ بِهَا سَخَطَهُ إِلَى يَوْمِ يَلْقَاهُ » [ أخرجه أحمد
وابن حبان ]
“Dan
sesungguhnya seseorang darimu berbicara dengan satu kalimat dari kemurkaan Allah subhanahu
wa ta’ala, ia tidak menduga akan terlalu jauh, maka Allah subhanahu wa ta’ala
menulis atasnya kemurkaan -Nya karena kalimat itu hingga hari bertemu -Nya.”[12]
Maka alasan manusia bahwa mencela Allah subhanahu
wa ta’ala dan mengutuk -Nya terucap di lisan tanpa ada maksud merendahkan
atau sengaja menghina; adalah alasan yang dimudahkan Iblis bagi manusia
sehingga menetapkan dia dalam kekufuran, dan menentramkannya dalam
kezhalimannya bagi dirinya terhadap hak Rabb-nya. Syetan tidak memudahkan
kekufuran terhadap manusia kecuali ia mendapatkan baginya sesuatu yang
menentramkannya berupa syubhat-syubhat akal yang lemah dan syubat-syubhat
syara’ yang lemah yang tidak berdiri di
atas timbangan pemahaman yang shahih, yang bersih dari hawa nafsu.
Dan di antara rayuan syetan dan
syubhatnya terhadap manusia: bahwa ia memudahkan baginya kekufuran dan dosanya dengan menghadirkan
ketaatan kepada manusia yang memadamkan dengannya kerugian dosa dan kepedihan
maksiat di hati manusia yang berdosa, seperti godaannya bagi orang yang mencela
Allah subhanahu wa ta’ala dari kalangan awam bahwa ia mengucapkan dua
kalimah syahadat dan berbakti kepada kedua orang tua, dan terkadang menunaikan
shalat.
Dan seperti inilah sesatnya kaum musyrik
arab di Makkah. Di mana mereka menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala
dan menyembah berhala dari selain -Nya, dan menghadirkan di hati mereka memberi
minuman kepada jama’ah haji dan memakmurkan Masjidil Haram serta kiswah
(kelambu) Ka’bah, dan ini semua tidak bermanfaat di sisi Allah subhanahu wa
ta’ala. Karena penyekutuan mereka kepada Allah subhanahu wa ta’ala
bersama yang lain meniadakan pengagungan kepada -Nya. Mereka mengagungkan Baitullah namun
kufur dengan Rabb Ka’bah. Bait diagungkan hanya karena Rabb-nya dan tidaklah
Rabb diagungkan karena Bait-Nya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
قال الله تعالى: ﴿ أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَآجِّ
وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ ءَامَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ
وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللهِ لاَيَسْتَوُونَ عِندَ اللهِ وَاللهُ لاَيَهْدِي
الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ ﴾ [التوبة:19]
Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada
orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil haram, kamu samakan
dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad
di jalan Allah. Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberikan
petunjuk kepada kaum yang zalim. (QS. at-Taubah:19)
Banyak sekali
iman manusia kepada Allah subhanahu wa ta’ala hanya pengakuan belaka,
karena sangat bertentangan dengan realitas perbuatannya. Firman Allah subhanahu
wa ta’ala:
قال الله تعالى: ﴿وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ ءَامَنَّا بِاللَّهِ
وَاليَوْمِ الأَخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ ﴾ [البقرة:8]
Di antara manusia ada yang mengatakan:"Kami
beriman kepada Allah dan Hari Kemudian", padahal mereka itu sesungguhnya
bukan orang-orang yang beriman. (QS. al-Baqarah:8)
Maka tidak
mungkin pengakuan mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala dan mengucapkan
dua kalimah syahadat disertai mencela dan mengolok-olok Allah subhanahu wa
ta’ala.
Had orang yang
mencela Allah subhanahu wa ta’ala
Para ulama
sepakat bahwa orang yang mencela Allah subhanahu wa ta’ala dihukum bunuh
karena kufur dan ia tidak
bisa mengambil hukum-hukum sebagai seorang muslim setelah dibunuh seperti
dishalatkan, dimandikan, dikafani, dikuburkan, dan dido’akan. Mereka berpendapat
bahwa ia tidak boleh dishalatkan, tidak dimandikan, tidak dikafani dan tidak
dikuburkan di kuburan kaum muslimin, dan tidak boleh dido’akan karena tidak
termasuk kaum muslimin.
Sesungguhnya
para ulama hanya berbeda pendapat dalam masalah; apakah diterima taubatnya
setelah ia mengatakan ucapannya atau melakukan perbuatannya yang buruk terhadap
Allah subhanahu wa ta’ala. Apakah ia terlebih dulu diminta bertaubat
atau ia dibunuh dan tidak diterima taubatnya di dunia, dan Allah subhanahu
wa ta’ala mengurus perkara batinnya di akhirat? Mereka berbeda pendapat
dalam hal itu atas dua pendapat yang masyhur:
Pendapat
pertama: tidak diterima taubatnya dan
harus dibunuh tanpa harus diminta bertaubat, dan urusan taubatnya diserahkan
kepada Allah subhanahu wa ta’ala di akhirat kelak. Ini adalah pendapat
yang masyhur menurut Hanabilah (para ulama mazhab Hanbaly) dan segolongan
fuqaha selain mereka, dan itulah pendapat Umar bin Khathab radhiyallahu
‘anhu dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu serta selain mereka, seperti
yang sudah dijelaskan. Dan itulah nampaknya ucapan Imam Ahmad yang terkenal.
Penyebabnya
adalah: bahwa sesungguhnya taubat tidak bisa menggugurkan kesalahan dosa
(kriminal) yang nampak dan tidak bisa menolak kerusakan menggampangkan mencela
Allah subhanahu wa ta’ala dan mengolok-olok -Nya di hadapan manusia.
Maka dengan penerimaan taubatnya, manusia akan meremehkan melakukan dosa besar
ini. Apabila mereka dibawa ke hadapan pemerintah dan hukum, mereka menampakkan
taubat kemudian ia dilepas. Dan ini menyebabkan keberanian terhadap kufur dan
menggampangkan perkaranya di dalam jiwa. Hukuman disyari’atkan untuk memberi
pelajaran terhadap pelakukan tindakan kriminal dan membersihkannya, serta
pencegah bagi yang lain dari orang yang mengatakan atau melakukan seperti
ucapan dan perbuatannya, dan penerimaan taubatnya menggugurkan dua tujuan
tersebut.
Pendapat
kedua: mereka berpendapat agar ia
disuruh bertaubat terlebih dahulu dan diterima taubatnya jika nampak kejujuran
darinya dan tidak mengulangi lagi perbuatan dosanya, dan inilah pendapat
mayoritas fuqaha.
Dan penyebab
penerimaan taubat mereka adalah: sesungguhnya mencela Allah subhanahu wa
ta’ala adalah kufur dan taubat orang kafir dari semua kekafiran adalah
diterima seperti orang-orang musyrik, penyembah berhala dan orang-orang yang
ingkar yang masuk Islam. Masuknya mereka ke dalam Islam menghapus kekufuran
mereka yang terdahulu. Allah subhanahu wa ta’ala menerima taubat orang
yang bertaubat dan memaafkannya. Dan tindakan melampaui batas terhadap Allah subhanahu
wa ta’ala dengan mencela adalah hak Allah subhanahu wa ta’ala, dan
Allah subhanahu wa ta’ala memaafkan orang yang menganiaya dirinya dengan
mencela –Nya dan menerima taubat setiap orang musyrik.
Ini berbeda
dengan mencela Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia
adalah hak yang harus diambil, karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak bisa memaafkan setiap orang yang mencelanya karena beliau
sudah wafat.
Dasar dalam hal
itu adalah hak beliau yang agung dan mencela Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah kufur, dan pelakunya harus dibunuh.
Kemudian,
sesungguhnya mencela Nabi muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi
pengaruh dalam wibawanya dalam pandangan manusia dan melemahkan kedudukannya di
dalam hati. Berbeda mencela Allah subhanahu wa ta’ala. Maka orang yang
mencela -Nya tidak memberikan mudharat kecuali terhadap dirinya sendiri.
Yang
benar: bahwa orang yang mencela Allah subhanahu
wa ta’ala harus dibunuh dan tidak diterima taubatnya. Dan taubatnya kepada
Allah subhanahu wa ta’ala ditemukannya di batinnya, dan Allah subhanahu
wa ta’ala memperlakukannya dengan keadilan -Nya atau memaafkannya.
Siapa yang
mencela Allah subhanahu wa ta’ala dan bertaubat serta menampakkan
taubatnya sebelum ditanya dan diadili niscaya diterima taubat karena jelas
kejujurannya. Maka hukumnya sama seperti hukum orang kafir yang masuk Islam
secara suka rela, sekalipun mereka mengaku mencela Allah subhanahu wa ta’ala sebelum masuk Islam.
Mencela Allah subhanahu
wa ta’ala adalah dua macam:
Pertama: mencela secara langsung; seperti mengutuk -Nya, mencela -Nya dan mengolok-olok
-Nya. Maka ia sama seperti hukum-hukum yang telah dijelaskan dan itulah yang
dimaksudkan para ulama ketika menyebutkan hukum mencela Allah subhanahu wa ta’ala.
Kedua: mencela secara tidak langsung; seperti mencela
sesuatu yang Allah subhanahu wa ta’ala mengaturnya, berupa ayat-ayat dan
makhluk-makhluk -Nya yang tidak ada hak memilih baginya dan tidak ada usaha
seperti pilihan dan usaha manusia. Dan hal itu seperti mencela masa, hari, jam,
detik, bulan, bintang dan peredarannya. Maka tidak sama seperti terdahulu
berupa kufurnya orang yang mencela Allah subhanahu wa ta’ala,
membunuhnya dan yang lainnya. Kecuali bila disertai nampak tujuan kepada yang
menjalankannya dan mengedarkannya serta menyatakan dengan -Nya.
Diriwayatkan
dalam Shahihain, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «قَالَ الله: يُؤْذِيْنِي ابْنُ آدَمَ,
يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ, بِيَدِي اْلأَمْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ
وَالنَّهَارَ » [ أخرجه الشيخان ]
“Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman: ‘Manusia menyakiti -Ku, ia mencela masa dan Aku adalah masa,
di tangan -Ku perkara, Aku membolak balik malam dan siang.” [13]
وفي رواية: «قَالَ الله: يُؤذِيْنِي ابْنُ آدَمَ, يَقُوْلُ
يَاخَيْبَةَ الدَّهْرِ, فَلاَ يَقُوْلَنَّ أَحَدُكُمْ يَاخَيْبَةَ الدَّهْرِ,
فَإِنِّي أَنَا الدَّهْرُ, أُقَلِّبُ لَيْلَهُ وَنَهَارَهَ, فَإِذَا شِئْتُ
قَبَضْتُهُمَا. » [ أخرجه مسلم ]
Dalam satu
riwayat: ‘Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: ‘Manusia menyakiti -Ku, ia
berkata: ‘Wahai celakanya masa’, maka janganlah seseorang darimu mengatakan:
‘Wahai celakanya masa’. Maka sesungguhnya Aku adalah masa, Aku membolak-balikan
malam dan siangnya. Apabila Aku menghendaki, Aku meggenggam kedua.’[14]
Planet-planet
seperti matahari dan bulan serta dampak dari keduanya seperti malam dan siang
serta zaman, dijalankan (oleh Allah subhanahu wa ta’ala) tidak diberikan
pilihan (kepadanya). Tidak keluar dari kehendak Allah subhanahu wa ta’ala
semata. Tidak ada baginya pilihan, usaha dan kehendak. Tidak diperintah kecuali
dengan perintah kauni, dan ia tidak bisa keluar darinya.
Maka mencelanya
merupakan tindakan melampaui batas terhadap yang menjalankannya dan
menyuruhnya, yaitu Allah subhanahu wa ta’ala, dan penentangan terhadap
hikmah dan kehendak -Nya padanya.
Karena inilah,
Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan orang yang mencela masa adalah
mencela Allah subhanahu wa ta’ala sebagai konsekuensinya.
Allah subhanahu
wa ta’ala tidak menjadikan mencela manusia sama seperti mencela Allah subhanahu
wa ta’ala, karena manusia mempunyai hak memilih dan berkehendak yang
diberikan Allah subhanahu wa ta’ala kepadanya. Firman Allah subhanahu
wa ta’ala:
قال الله تعالى: ﴿ وَمَاتَشَآءُونَ إِلآَّ أَن يَشَآءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ ﴾
[التكويــر: 29]
Dan kamu
tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah,
Rabb semesta alam. (QS. at-Takwir:29)
Adapun planet-planet seperti matahari dan bulan, Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ لاَالشَّمْسُ يَنبَغِي لَهَآ أَن تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلاَالَّيْلُ
سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ ﴾ [يس: 40]
Tidaklah
mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului
siang.Dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (QS. Yasiin:40)
Wajib mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala dan sifat-sifat-Nya!
Di antara mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala adalah mengagungkan
pengaturan -Nya, segala perintah dan larangan -Nya, berhenti di sisinya dan
menjunjungnya, dan tidak mendalami pada sesuatu yang manusia tidak
mengetahuinya.
Di antara mengagungkan -Nya: berdzikir, berdo’a dan meminta kepada -Nya,
serta menghubungkan berbagai peristiwa alam dengan -Nya, Dia yang menciptakan
dan mengaturnya, tiada sekutu bagi -Nya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
قال الله تعالى: ﴿ وَمَاقَدَرُوا اللهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَاْلأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ
وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ ﴾ [الزمر: 67]
Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan
yang semestinya pada hal bumi seluruhnya dalam genggaman -Nya pada hari kiamat
dan langit digulung dengan tangan kanan
-Nya.Maha Suci Dia dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka
persekutukan. (QS. az-Zumar:67)
Dengan ini selesainya risalah ini dengan ringkas. Hanya Allah subhanahu
wa ta’ala semata yang menolong dan meluruskan, tiada sekutu bagi-Nya. Kami
memohon kepada-Nya niat yang baik dan manfaat yang umum.
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa memberi rahmat dan
kesejahteraan kepada nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan para
pengikut beliau hingga hari pembalasan.
[9] Al-Muhalla, Ibnu Hazm, 11/411, al-Mughny, Ibnu Quddamah,
9/33, ash-Sharimul Maslul, Ibnu Taimiyah hal. 512, al-Furu`, Ibnu
Muflih 6/162, Inshaaf, al-Mardawy 10/326, at-Taaj wal Iklil,
al-Mawaaq 6/288.
[11] Al-Bukhari 6478 dan
Muslim 2988
Post a Comment