Mengatasi Problematika Remaja
Setiap
manusia pasti melalui jenjang-jenjang usia dalam rentang waktu kehidupannya.
Mulai dari bayi neonatus (baru lahir), lalu memasuki masa batita, balita,
kanak-kanak, remaja, dewasa, kemudian masa tua. Hal ini sebagaimana firman
Allah Shubhanahu wa ta ‘alla :
“Kemudian Kami keluarkan kalian sebagai
bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kalian sampai pada kedewasaan, di
antara kalian ada yang diwafatkan, dan (ada pula) di antara kalian yang
dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun
yang dahulunya telah diketahuinya.” (al-Hajj: 5)
Saat
seseorang beranjak dari masa kanak-kanak menuju dewasa, tepatnya pada masa
remaja, banyak perubahan yang terjadi pada dirinya, baik fisik maupun psikis.
Ini semua ditetapkan oleh Allah Shubhanahu wa ta ‘alla sebagai
persiapan bagi dirinya untuk memasuki dunia dewasa. Di antaranya, mulai tumbuh
kecenderungan jiwanya untuk tertarik terhadap
lawan jenis.
Ironinya,
masih banyak orang tua yang belum mengerti apa yang harus dilakukan ketika
menghadapi hal ini. Apalagi, pergaulan yang bebas antara anak laki-laki dan
perempuan makin dianggap sesuatu yang lumrah. Ikhtilath (campur baur lelaki dan
perempuan), bahkan khalwat (berduaan dengan lawan jenis) tidak lagi menjadi
sesuatu yang perlu dikhawatirkan menurut mereka. Toh cuma sekadar teman biasa,
begitu pikir mereka.
Lebih-lebih
lagi berbagai teori psikologi Barat turut melegalkan pergaulan semacam ini.
Bahkan, hal ini dianggap sebagai bagian dari kehidupan sosial remaja.
Akibatnya, orang tua merasa semakin ‘bisa mengerti dunia anak remajanya’ dengan
cara membebaskan mereka ber-ikhtilath. Lebih jauh lagi, mereka menjadi sponsor
dan fasilitator bagi anak mereka yang ingin berpacaran. Nas’alullah as-salamah
(kita memohon keselamatan kepada Allah Shubhanahu wa ta ‘alla).
Padahal senyatanya, dari sanalah justru
pangkal segala kerusakan. Makin berjalan waktu, pergaulan yang bebas antara
anak laki-laki dan perempuan makin dianggap wajar. Pemisahan antara laki-laki
dan perempuan dianggap sebagai gaya hidup kolot dan tempo doeloe.
Akan
tetapi, akibatnya kian memiriskan hati. Remaja adalah masa mulai bergejolak
naluri seksual. Namun, alih-alih mendapatkan sesuatu yang meredakan sehingga
tersalurkan dengan benar, situasi dan kondisi di sekeliling justru mendorong
pelampiasannya secara salah. Jika terjadi sesuatu yang tak diharapkan,
tinggallah si remaja menjadi kambing hitam. Sementara itu, orang tua seringkali
tak merasa bersalah sama sekali.
Alangkah
baiknya jika kita mendengar dan tunduk kepada syariat Allah Shubhanahu
wa ta ‘alla. Allah Shubhanahu wa ta ‘alla dan Rasul -Nya telah mengabarkan tentang haramnya
ikhtilath dan khalwat. Bukankah sesuatu yang haram pasti berujung pada
kejelekan, kerusakan, dan kebinasaan? Bukankah lebih baik mencegah kejelekan,
kerusakan, dan kebinasaan dengan melaksanakan syariat -Nya daripada di belakang hari
menuai penyesalan?
Untuk
itu, alangkah baiknya jika kita simak bimbingan seorang alim yang telah puluhan
tahun menghabiskan hidupnya sebagai seorang pendidik. Beliau memberikan arahan
kepada kita—orang tua—tentang cara menghadapi problematika remaja yang tengah
bergejolak naluri seksualnya.
Beliau,
asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu
radiyallahu ‘anhu, menuliskan hal ini di tengah lembaran-lembaran
kitab kecil yang beliau susun, Kaifa Nurabbi Auladana. Beliau katakan,
“Sesungguhnya solusi paling utama bagi problematika remaja ini adalah menikah,
jika memang hal ini memungkinkan dan jalannya pun mudah, seperti tersedianya
mahar. Hal ini sebagai pengamalan sabda Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « يَا
مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَة فَلْيَتَزَوَّجْ،
فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَر وَأَحْصَنُ لِلْفَرْج، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ» [ رواه البخاري ومسلم ]
“Wahai para pemuda, barang siapa di antara
kalian mampu, hendaknya dia menikah, karena hal itu akan lebih menundukkan
pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang siapa belum mampu, hendaknya
dia berpuasa, karena puasa itu tameng baginya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Tameng di sini maksudnya meredakan syahwat (keinginan)
untuk jima’.
Jangan sampai
pernikahan terhalang oleh keinginan menyelesaikan pendidikan, jika memang si
pemuda itu dari keluarga kaya dan memiliki orang tua yang dapat mencukupi kebutuhannya,
atau dia sendiri memiliki kekayaan/pekerjaan.
Begitu pun orang tua. Seyogianya mereka tidak menunda
pernikahan anaknya ketika telah mencapai usia baligh, apabila memang mereka ini
kaya. Ini lebih baik daripada membiarkan anaknya membujang sehingga terseret
untuk berbuat keji dan merusak nama baik atau kehormatan orang tuanya.
Ujungnya, si anak berbuat dosa, baik pada dirinya maupun orang tuanya.
Di sisi lain, si anak hendaknya meminta dengan lemah
lembut kepada orang tuanya agar diizinkan menikah, jika memang orang tuanya
adalah ‘orang yang berada’. Dia pun hendaknya bersemangat mencari ridha orang
tuanya dan senantiasa bersikap baik kepada mereka. Sebaliknya, sang ayah
hendaknya membantu sejauh kemampuannya agar hal ini terwujud.
Hendaknya setiap orang menyadari bahwa Allah Shubhanahu wa ta ‘alla tidaklah
mengharamkan sesuatu melainkan pasti menghalalkan hal lain yang dapat
menggantikannya. Contohnya, Allah Shubhanahu
wa ta ‘alla mengharamkan riba dan menghalalkan jual beli, Allah Shubhanahu wa ta ‘alla mengharamkan zina
dan menghalalkan pernikahan. Menikah adalah solusi terbaik bagi problematika
para pemuda.
Namun, jika belum ada kemudahan untuk menikah, mungkin
karena fakir sehingga tak memiliki sesuatu untuk mahar atau nafkah, solusi yang
terbaik adalah:
Melaksanakan Puasa
Sesuai Ajaran Syariat
Hal ini sebagai
pengamalan hadits di atas:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ » [ رواه
البخاري ومسلم ]
“Barang siapa belum mampu, hendaknya ia
berpuasa karena puasa itu tameng baginya.”
Maksudnya, puasa itu
akan menjaga si pemuda karena akan meredakan syahwatnya.
Puasa tidak hanya menahan diri dari makan dan minum,
namun mencakup pula menahan diri dari melihat segala yang haram, bercampur
dengan wanita, menyaksikan film-film porno, bacaan-bacaan cabul, dan
berinteraksi dengan lawan jenis.
Hendaknya seorang
pemuda juga bisa menjaga pandangannya untuk tidak melihat wanita. Allah Shubhanahu wa ta ‘alla menjadikan
kesehatan dengan sebab menjaga diri. Allah Shubhanahu
wa ta ‘alla menjadikan sakit dan berbagai musibah lain dengan sebab
mengikuti syahwat yang tak bisa dia kendalikan. Tidak boleh syahwat itu
disalurkan melainkan melalui jalan yang dibenarkan baginya, dan jalannya adalah
menikah. Pernikahan itu akan menjaga kehormatannya dan memberi pengaruh yang
baik kepadanya.
Ø Melakukan Aktivitas Rohani
Para ahli jiwa menyatakan bahwa gejolak seksual dalam
diri seseorang dapat diredakan. Jika seseorang belum mampu menikah, hendaknya
jangan sampai mendekati perbuatan keji. Hendaknya dia berlomba dengan dirinya
sendiri untuk melaksanakan berbagai aktivitas rohani, seperti shalat, puasa,
membaca al-Qur’an, hadits nabawi, biografi, dan sebagainya. Bisa pula dia
menyibukkan diri bekerja, sibuk mengadakan penelitian, mengisi waktu dengan membaca
dan berbagai kesibukan, seperti menggambar.
Ø Olahraga
Ini adalah aktivitas jasmani. Melakukan olahraga, memperhatikan
latihan tubuh, bergabung dengan klub-klub yang bebas ikhtilath, semua ini akan
mengalihkan pikirannya dari gejolak seksualnya. Selain itu, hal-hal ini juga
akan menjauhkannya dari zina yang akan membahayakan fisik, akhlak, dan
agamanya.
Saat seorang pemuda merasakan gejolak seksual, dia harus
melakukan aktivitas jasmani untuk menyalurkan energinya. Ia bisa melakukan lari
jarak jauh, angkat berat, gulat, berlomba, belajar memanah, berenang, mengikuti
perlombaan ilmiah, dan sebagainya yang dapat meredakan syahwatnya.
Ø Membaca Buku-Buku Agama
Yang terpenting adalah membaca al-Qur’anul Karim dan
hadits-hadits nabawi serta kitab-kitab tafsir. Kemudian berusaha menghafal
al-Qur’an dan hadits, membaca sejarah hidup para Nabi, biografi al-Khulafa
ar-Rasyidin dan para ulama, mendengarkan ceramah ilmiah dan keagamaan, serta
mendengarkan bacaan al-Qur’an dari Idza’atul Qur’anil Karim (radio siaran milik
pemerintah Saudi Arabia, pen.) atau yang lainnya.
Singkatnya, solusi yang paling bermanfaat bagi para
pemuda adalah menikah. Jika ternyata belum mampu, bisa dengan berpuasa,
melakukan aktivitas rohani, olahraga, menekuni ilmu yang bermanfaat—yang
merupakan penenang dan sesuatu yang kuat yang dapat memberi manfaat tanpa
merugikan—kemudian menjaga pandangan dari segala sesuatu yang dilarang oleh
Allah Shubhanahu wa ta ‘alla, dan
memohon hanya kepada -Nya terutama di malam hari agar Allah Shubhanahu wa ta ‘alla memudahkan mereka
untuk menikah.” (Dinukil dari Kaifa Nurabbi Auladana hlm. 30—32)
Wallahu ta’ala a’lam.
Post a Comment