Pengertian Bid’ah Dan Bahayanya Serta Celaan Bagi Pelakunya
Definisi bid’ah secara
bahasa (etimologi):
Ibnu Faris rahimahullah
berkata: bada’a: ba`, dal, dan ‘ain adalah dua
asal, salah satunya: memulai sesuatu dan membuatnya tanpa ada contoh sebelumnya. Dan makna yang lain: terputus dan keletihan. Maka contoh pertama adalah seperti
perkataan mereka: ‘Aku menciptakan sesuatu secara perkataan atau perbuatan,
apabila aku memulainya tanpa ada contoh sebelumnya’, dan ‘Allah subhanahu wa
ta’ala menciptakan langit dan bumi’. Orang Arab berkata: ...dan fulan
memulai dalam perkara ini. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
قال الله تعالي: ﴿ قُلْ مَاكُنتُ بِدْعًا مِّنَ الرُّسُلِ ﴾ [ الأحقاف: 9]
Katalanlah:"Aku bukanlah rasul yang pertama di
antara rasul-rasul. (QS. al-Ahqaf: 9)
Maksudnya: aku bukanlah yang
pertama.[1]
Makna kedua yang disebutkan
oleh Ibnu Faris kembali kepada makna pertama, sebagaimana yang disinggung oleh
Ibnul Atsir yang mengatakan: Unta abda’at apabila ia terputus dari
perjalanan karena keletihan atau pincang. Seolah-olah ia menjadikan terputusnya
dari sesuatu yang ia terus menerus atasnya berupa kebiasaan berjalan ‘ibda’aan, artinya memunculkan perkara diluar
kebiasaannya.[2]
Al-Jauhari rahimahullah berkata: abda’tu syai`a: aku menciptakannya
tanpa ada contoh, dan Allah subhanahu wa ta’ala menciptaan langit dan
bumi.[3]
Ath-Thurthusyi
rahimahullah berkata: Asal kata ini dari ikhtiraa’, yaitu sesuatu
yang muncul tanpa ada dasar sebelumnya, tanpa ada contoh yang ditiru, tidak
pernah dikarang sepertinya. Dan darinya firman Allah subhanahu wa ta’ala:
قال الله تعالي: ﴿ بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرضِ ﴾ [
البقرة: 177]
Allah
pencipta langit dan bumi, (QS. al-Baqarah:117)
قال الله تعالي: ﴿ قُلْ مَاكُنتُ بِدْعًا مِّنَ الرُّسُلِ ﴾ [ الأحقاف: 9]
Katalanlah:"Aku bukanlah rasul yang pertama di
antara rasul-rasul. (QS. al-Ahqaf:
9)
Maksudnya, aku bukan rasul
pertama di muka bumi.[4]
Definisi bid’ah secara
syara’ (terminologi):
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan
bid’ah, dan perbedaan ini kembali kepada tambahan catatan menurut sebagian
mereka yang tidak disebutkan oleh yang lain. Di antara definisi tersebut
adalah:
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: ‘Bid’ah adalah yang menyalahi
al-Qur`an atau sunnah atau ijma’ kalangan salaf dari umat ini berupa keyakinan
dan ibadah.’[5]
Ia juga berkata: ‘Bid’ah secara bahasa meliputi segala yang dilakukan pertama
kali tanpa ada contoh sebelumnya, adapun bid’ah secara syar’i yaitu sesuatu
yang tidak ada dasarnya secara syara’i.’[6]
Al-Hafizh
Ibnu Rajab rahimahullah berkata: ‘Yang dimaksud bid’ah adalah sesuatu
yang baru yang tidak ada dasarnya di dalam syari’at yang menunjukkan atasnya.
Adapun yang ada dasarnya di dalam syara’ yang menunjukkan atasnya maka ia tidak
termasuk bid’ah, sekalipun bid’ah secara bahaya.[7]
Al-Hafizh
Ibnu Hajar rahimahullah berkata: ‘Muhdatsaat adalah bentuk jama’
dari muhdats, maksudnya adalah sesuatu yang baru dan tidak ada dasarnya
di dalam syara’ dan dinamakan dalam ‘urf syara’ sebagai bid’ah. Dan sesuatu
yang ada dasar yang syara’ menunjukkan atasnya maka bukan bid’ah. Bid’ah dalam
‘urf syara’ adalah tercela, berbeda dalam pengertian bahasa, maka sesuatu yang
baru tanpa ada contoh sebelumnya dinamakan bid’ah, sama saja ia terpuji atau
tercela.[8]
Syaikh
Hafizh Hakami rahimahullah berkata: ‘Dan pengertian bid’ah: Syari’at
yang tidak diijinkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak ada
perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula perintah para
sahabatnya atasnya.[9]
Syaikh Ibnu
Utsaimin rahimahullah berkata: ‘Sesuatu yang baru dalam agama yang
berbeda dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabatnya berupa akidah atau perbuatan.’[10]
Syaikh
Albani rahimahullah berkata saat membicarakan bid’ah yang ditegaskan
sesatnya dari syari’, dan ia menyebutkan sejumlah sifat yang saya kutip darinya
yang serasi bersama definisi: ‘Setiap perkara untuk mendekatkan diri kepada
Allah subhanahu wa ta’ala dengannya dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah melarang darinya, dan setiap perkara yang tidak mungkin
disyari’atkan kecuali dengan nash atau tauqif, dan tidak ada nash atasnya maka
ia adalah bid’ah, kecuali yang bersumber dari sahabat. Dan setiap yang melekat
dengan ibadah dari kebiasaan-kebiasaan orang kafir dan yang ditegaskan
sunnahnya oleh sebagian ulama terutama kalangan mutaakhkhirin dan tidak
ada dalil atasnya, dan setiap ibadah yang tidak ada petunjuk tentang tata
caranya kecuali dalam hadits dha’if atau maudhu’, dan setiap
ibadah yang dimuthlaqkan oleh syara’ dan diqayidkan oleh manusia
dengan beberapa qaid seperti tempat atau waktu atau sifat atau jumlah.[11]
Syaikh
Ahmad bin Hajar Alu Buthami al-Ban’ali rahimahullah berkata: ‘Bid’ah
secara syara’ adalah yang diciptakan setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala
dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya,
tidak pernah menyuruhnya, tidak pernah menetapkannya, dan para sahabat tidak
pernah melakukannya.’[12]
Dan
definisi yang paling lengkap tentang bid’ah adalah yang disebutkan oleh imam
asy-Syathibi rahimahullah[13],
di mana ia berkata: ‘Bid’ah adalah ungkapan tentang cara beragama yang
diciptakan menyerupai syari’at, ditujukan dalam menjalaninya untuk
bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.’ Ia
berkata: Dan ini menurut pendapat orang yang tidak memasukkan a’daat (tradisi,
keseharian) dalam makna bid’ah dan hanya mengkhususkan dengan ibadah. Adapun
menurut pendapat yang memasukkan perbuatan rutinitas dalam makna bid’ah, maka
ia berkata: ‘Bid’ah adalah jalan dalam agama yang diciptakan (dibuat) menyerupai
syari’at, ditujukan dengan menjalaninya seperti yang ditujukan dengan jalan
yang syar’i.
Maka
perkataannya: ‘Jalan dalam agama’: thariqah dan thariq
maknanya sama, yaitu sesuatu yang digambarkan untuk dijalani. Dikaitkan dengan
‘agama’ karena agama itulah ia diciptakan dan kepadanya pelakunya
menyandarkannya. Juga, jika diciptakan dalam urusan dunia tentu tidak dinamakan
bid’ah seperti menciptakan industri dan kota yang tidak pernah ada sebelumnya.
Perkataannya:
‘diciptakan’ inilah yang dimaksudnya dengan definisi, karena jalan-jalan
dalam agama, di antaranya ada yang ada dasarnya dalam syari’at dan di antaranya
tidak ada dasarnya dalam syari’at, dan inilah yang masuk dalam bid’ah. Dan
dengan qaid ini ia terpisah dari semua yang nampak bagi orang yang punya
pikiran ia diciptakan dari sesuatu yang berkaitan dengan agama, seperti ilmu
nawhu, lughah (bahasa), ushul fiqh, dan semua ilmu pendukung. Maka
sesungguhnya ia, sekalipun tidak pernah ada di masa pertama, akan tetapi
dasar-dasarnya sudah ada dalam syara’.
Perkataannya
‘Menyerupai syari’at’: maksudnya mirip dengan jalan syari’at padahal
hakikatnya tidak seperti itu, akan tetapi ia menyerupainya dari berbagai sisi,
seperti mengharuskan cara dan bentuk tertentu yang syara’ tidak menyuruh
seperti itu.
Perkataannya
‘ditujukan dengan menjalaninya seperti yang ditujukan dengan jalan yang
syar’i’: ini mengeluarkan bid’ah secara bahasa (etemologi) yang tidak
tercela, seperti penemuan-penemuan baru dan semisalnya yang tidak ditujukan
sebagai ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak ada larangan
padanya.
Dari
penjelasan definisi pertama jel’alaihissalamah pengertian definisi kedua
yang disebutkan oleh imam Syathibi rahimahullah, kecuali perkataannya ‘ditujukan
dengan jalan yang syar’i’ dan maksudnya: bahwa syari’at datang untuk
kebaikan hamba di dunia dan akhirat mereka, untuk mendapatkan keduanya
sebaik-baiknya. Inilah yang ditujukan oleh pelaku bid’ah dengan bid’ahnya.
Karena bid’ah jika bergantung dengan ibadah, pelakunya ingin melaksanakannya sebaik mungkin
menurun dugaannya agar beruntung mendapatkan tempat tertinggi di akhirat. Dan
jika berkaitan dengan kebiasaan juga demikian karena ia meletakkannya agar
perkara dunianya datang sebaik mungkin.[14]
Bahaya bid’ah dan peringatan
darinya:
Imam Syathibi rahimahullah membuat satu bab
dalam kitabnya ‘al-I’tisham’ dalam mencela bid’ah dan akibat buruk
pelakunya. Ia menjelaskan bahaya bid’ah dan celaannya dari naql (al-Qur`an dan
hadits) dan akal.
Adapun dari sisi naql, maka dari beberapa
sisi, salah satunya yang terdapat dalam al-Qur`an yang menunjukkan celaan para
pelaku bid’ah dalam agama Allah subhanahu wa ta’ala secara jumlah, di
antaranya firman Allah subhanahu wa ta’ala:
قال الله تعالي: ﴿ هُوَ الَّذِي أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتُُ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتُُ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغُُ فَيَتَّبِعُونَ مَاتَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَآءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَآءَ تَأْوِيلِهِ وَمَايَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِ كُلُُّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا وَمَايَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُوا اْلأَلْبَابِ ﴾ [ آل عمران: 7 ]
Dia-lah
yang menurunkan Al-Kitab (al-Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada
ayat-ayat yang muhkamat itulah pokok-pokok isi al-Qur'an dan yang lain
(ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong
kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat
untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada
yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam
ilmunya berkata:"Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya
itu dari sisi Rabb kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran
(daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS. Ali Imran:7)
Ayat ini merupakan dalil
paling kuat dan penjelasannya diriwayatkan dalam hadits shahih dari Aisyah radhiyallahu
‘anha bahwa ia berkata: ‘Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tentang firman Allah subhanahu wa ta’ala:
قال الله تعالي: ﴿ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغُُ فَيَتَّبِعُونَ مَاتَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَآءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَآءَ تَأْوِيلِهِ ﴾ [ آل عمران: 7 ]
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong
kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat
untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya,
Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Apabila engkau melihat mereka maka
kenalilah mereka.’[15]
Dan dalam hadits yang shahih, ia berkata: ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam ditanya tentang ayat ini:
قال الله تعالي: ﴿ هُوَ الَّذِي أَنزَلَ
عَلَيْكَ الْكِتَابَ ﴾ [ آل عمران: 7 ]
Dia-lah
yang menurunkan Al-Kitab (al-Qur'an) kepada kamu. (QS. Ali Imran:7)
Hingga akhir ayat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إِذَا
رَأَيْتُمُ الَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُولَئِكَ الَّذِيْنَ
سَمَّى اللّه فَاحْذَرُوْهُمْ)) [ متفق عليه ]
‘Apabila engkau melihat orang-orang yang
mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat darinya, maka merekah itulah yang disebutkan
oleh Allah subhanahu wa ta’ala, maka berhati-hatilah terhadap mereka.”[16]
Diriwayatkan dari Abu Ghalib dan namanya Hazur[17],
ia berkata: ‘Aku berada di Syam (Siria), Muhallab mengirim 70 kepala dari kaum
Khawarij, lalu dipasang di jalan Damaskus. Aku sedang berada di atas rumahku.
Lalu Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu lewat, maka aku turun lalu
mengikutinya. Tatkala ia berdiri di hadapan mereka, air matanya menetes seraya
berkata: ‘Subhanallah, apakah yang dilakukan syetan terhadap anak cucu Adam ‘alaihissalam
(manusia) –ia mengatakannya tiga kali- anjing-anjing neraka jahanam,
anjing-anjing neraka jahanam, seburuk-seburuk yang terbunuh di bawah kolong
langit –tiga kali-, sebaik-baik pembunuh adalah yang membunuh mereka,
beruntunglah bagi orang yang membunuh mereka atau mereka yang membunuhnya.’
Kemudian ia menoleh kepadaku
lalu berkata: ‘Wahai Abu Ghalib, sesungguhnya engkau berada di bumi (wilayah)
yang mereka banyak di sana, semoga Allah subhanahu wa ta’ala melidungi
engkau dari mereka.’
Aku berkata: ‘Aku melihat
engkau menangis ketika melihat mereka? Ia menjawab: ‘Aku menangis karena
kasihan melihat mereka, mereka dari kaum muslimin.[18]
Apakah engkau membaca surah Ali Imran? Aku menjawab: ‘Ya.’ Lalu ia membaca:
﴿ هُوَ الَّذِي أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتُُ
مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ﴾
hingga sampai ﴿وَمَايَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللهُ ﴾ sesungguhnya di hati mereka ada condong kepada kesesatan
maka mereka tersesat.
Kemudian ia
membaca:
قال الله تعالي: ﴿ وَلاَ تَكُونُوا
كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِن بَعْدِ مَاجَآءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ﴾ [
آل عمران: 105 ]
Dan
janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih
sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. (QS. Ali Imran:105)
Hingga
firman-Nya subhanahu wa ta’ala:
﴿فَفِي رَحْمَةِ اللهِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ ﴾
maka
mereka berada dalam rahmat Allah (surga); mereka kekal di dalamnya. (QS. Ali Imran:107)
Aku
berkata: ‘Apakah mereka (dalam ayat) itu adalah mereka (kaum Khawarij)
tersebut)? Ia menjawab: ‘Ya.’
Aku
berkata: ‘Apakah dari pemahaman engkau atau sesuatu yang engkau dengar dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Ia menjawab: ‘Kalau begitu
(bukan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) aku terlalu berani,
bahkan aku mendengarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
bukan sekali dua kali... sehingga ia menghitung tujuh kali.
Kemudian ia
berkata: ‘Sesungguhnya bani Israel bercerai berai sebanyak 71 golongan dan
sesungguhnya umat ini melebihi atasnya satu golongan, semuanya di neraka kecuali
golongan terbesar.’
Aku
bertanya: ‘Wahai Abu Umamah, apa pendapatmu terhadap perbuatan mereka? Ia
menjawab:
قال الله تعالي: ﴿ عَلَيْهِ مَاحُمِّلَ
وَعَلَيْكُم مَّاحُمِّلْتُمْ ﴾
...maka sesungguhnya kewajiban rasul hanyalah apa yang
dibebankan kepadanya, kewajiban kamu adalah apa yang dibebankan
kepadamu....". (QS. An-Nuur:54)[19]
jelaslah dengan penafsiran
ini bahwa mereka termasuk ahli bid’ah, karena Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu
menjadikan kaum Khawarij masuk dalam umumnya ayat tersebut dan sesungguhnya ia
diturunkan terhadap mereka. Dan di antara ayat tersebut adalah firman Allah subhanahu
wa ta’ala:
قال الله تعالي: ﴿ وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي
مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَتَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ
سَبِيلِهِ ذَالِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴾
dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku
yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang
lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang
demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa. (QS. al-An’am:153)
Jalan yang lurus adalah jalan Allah subhanahu wa
ta’ala yang Dia subhanahu wa ta’ala mengajak kepadanya, yaitu
sunnah. Dan jalan-jalan, yaitu jalan-jalan orang-orang yang berselisih,
yang menyimpang dari jalan yang lurus, mereka adalah ahli bid’ah. Bukanlah
maksudnya jalan-jalan maksiat, karena maksiat dari sisi maksiatnya, tidak ada
seorang pun yang menjadikan sebagai jalan yang selalu ditelusuri yang
menyerupai syari’at, namun sifat ini khusus dengan berbagai macam bid’ah.
Hal ini ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh
Abu Wail, dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Pada
suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggaris bagi kami
satu garis yang panjang, menggaris sebelah kanannya dan sebelah kirinya, beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Ini adalah jalan yang
lurus.’ Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaris
beberapa garis bagi kami dari sebelah kanan dan kirinya, dan bersabda: “Ini
adalah jalan-jalan (yang banyak), dan di atas setiap jalan darinya ada syetan
yang mengajak kepadanya...” kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam membaca:
قال الله تعالي: ﴿ وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي
مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَتَتَّبِعُوا السُّبُلَ ﴾
dan bahwa (yang Kami
perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah
kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), Maksudnya: garis-garis
﴿فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ﴾
karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari
jalan-Nya. (QS. al-An’am:153)[20]
Bakar bin ‘Ala` rahimahullah berkata: ‘Saya
menduga bahwa yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudkan adalah
syetan dari kalangan manusia, yaitu bid’ah-bid’ah. Wallahu A’lam.
Di antara ayat-ayat adalah firman Allah subhanahu wa
ta’ala:
قال الله تعالي: ﴿ وَعَلَى اللهِ قَصْدُ
السَّبِيلِ وَمِنْهَا جَآئِرٌ وَلَوْشَآءَ لَهَدَاكُمْ أَجْمَعِينَ ﴾ [ النحل: 9 ]
Dan hak
bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada yang
bengkok.Dan jikalau Dia menghendaki, tentulah Dia memimpin kamu semuanya
(kepada jalan yang benar). (QS. an-Nahl:9)
At-Tasturi rahimahullah[21]
berkata: قَصْدُ السَّبِيل Jalan sunnah, وَمِنْهَا جَآئِرٌ
maksudnya ke neraka, dan itulah agama-agama dan bid’ah-bid’ah.
Dan di antaranya firman Allah subhanahu wa ta’ala:
قال الله تعالي: ﴿ إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا
دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَىْءٍ إِنَّمَآأَمْرُهُمْ إِلَى
اللهِ ثُمَّ يُنَبِئُهُم بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ ﴾ [ النحل: 159 ]
Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan
mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung
jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah)
kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah
mereka perbuat. (QS. al-An’am:159)
Ibnu ‘Athiyah rahimahullah[22]
berkata: ‘Ayat ini berlaku umum bagi pengikut hawa nafsu, bid’ah, yang syazh
(langka) dalam furu’, dan selain yang demikian itu dari orang-orang yang suka
mendalami dalam perdebatan dan mendalami dalam ilmu kalam. Semua ini bisa
membuat tergelincir dan terkena tuduhan karena buruk keyakinan.
Di antaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
قال الله تعالي: ﴿ وَلاَتَكُونُوا مِنَ
الْمُشْرِكِينَ . مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ
حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ ﴾ [
الروم: 31-32] قرئ: فارقوا دينهم
...janganlah kamu termasuk
orang-orang yang mempersekutukan Allah, * yaitu orang-orang yang memecah belah
agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan.Tiap-tiap golongan merasa
bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. (QS. ar-Rum:31-32)
Ditafsirkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
bahwa mereka adalah kaum Khawarij, dan Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu
meriwayatkannya secara marfu’. Ada yang mengatakan: Mereka adalah pengikut hawa
nafsu dan ahli bid’ah. Diriwayatkan dari Sufyan bin ‘Uyaynah rahimahullah[23],
Abu Qilabah rahimahullah[24]
dan selain mereka bahwa mereka berkata: ‘Setiap pelaku bid’ah atau
mengada-ada (dalam agama) adalah hina,
mereka berdalil dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
قال الله تعالي: ﴿ إِنَّ الَّذِينَ
اتَّخَذُوا الْعِجْلَ سَيَنَالُهُمْ غَضَبٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَذِلَّةٌ فِي
اْلَحَياةِ الدُّنْيَا وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُفْتَرِينَ ﴾ [ الأعراف: 152 ]
Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan anak lembu
(sebagai sembahannya), kelak akan menimpa mereka kemurkaan dari Rabb mereka dan
kehinaan dalam kehidupan di dunia. Demikianlah
Kami memberi balasan kepada orang-orang yang membuat-buat kebohongan. (QS. al-A’raaf:152)
Ibnu ‘Aun rahimahullah[25]
berkata: Ibnu Sirin rahimahullah berpendapat bahwa ayat ini adalah pada
orang-orang yang mengikuti hawa nafsu:
قال الله تعالي: ﴿ وَإِذَا رَأَيْتَ
الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي ءَايَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي
حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلاَ تَقْعُدْ بَعْدَ
الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
﴾ [ الأنعام: 68 ]
Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan
ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan
pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), janganlah kamu duduk
bersama orang. orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu). (QS. al-An’aam: 68)[26]
Sisi kedua dari naql: yang datang dari
hadits-hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
Di antara hal itu adalah yang diriwayatkan dalam shahih,
dari hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, beliau bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((مَنْ
أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ)) [ متفق عليه ]
“Barangsiapa yang membuat-buat dalam perkara kami ini
yang bukan bagian darinya maka ia ditolak.”[27]
Dan dalam riwayat Muslim:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((مَنْ
عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ)) [ رواه مسلم ]
“Barangsiapa yang melakukan satu amal ibadah yang
tidak ada perintah kami atasnya maka ia ditolak.”[28]
Muslim meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu
‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam
khutbahnya:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((أَمَّا
بَعْدُ, فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ
مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ)) [ رواه مسلم ]
“Amma ba’du: maka sesungguhnya sebaik-baik ucapan
adalah kitabullah (al-Qur`an), sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan seburuk-buruk perkara adalah yang
baru-barunya (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.”[29]
Dan dalam satu riwayat, ia berkata: ‘Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berkhutbah kepada manusia, memuji Allah subhanahu wa
ta’ala dan menyanjung-Nya yang Dia berhak mendapat sanjungan itu, kemudian
beliau bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((مَنْ
يَهْدِهِ اللّه فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَخَيْرَ
الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه
وسلم وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ)) [ رواه
مسلم ]
“Barangsiapa yang Allah subhanahu wa ta’ala memberi
petunjuk kepadanya maka tidak ada yang bisa menyesatkannya, dan siapa yang
Allah subhanahu wa ta’ala menyesatkannya maka tidak ada yang bisa memberi
petunjuk kepadanya. Dan sebaik-baik ucapan adalah kitabullah (al-Qur`an),
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
seburuk-buruk perkara adalah yang baru-baru (dalam agama) dan setiap yang
baru-baru adalah bid’ah.”[30]
Dan dalam riwayat an-Nasa`i:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((وَكُلَّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ))
[ رواه النسائي ]
“Dan setiap yang baru-baru (dalam agama) adalah
bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan adalah (tempatnya)
di neraka.”[31]
Dan dalam shahih, dari hadits Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: ‘
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((مَنْ
دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْل أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ
لَايَنْقُصُ ذلِكَ مِن أُجُوْرِهِم شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلىَ ضَلاَلَةٍ كَانَ
عَلَيْهِ مِنَ اْلإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَيَنْقُصُ ذلِكَ مِنْ
آثَامِهِمْ شَيْئًا)) [ رواه مسلم وأبو داود و الترمذي]
“Barangsiapa yang mengajak (berdakwah) kepada petunjuk
niscaya baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi
pahala mereka sedikit juapun dan siapa yang mengajak kepada kesesatan adalah
baginya dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya, hal itu tanpa
mengurangi dosa mereka sedikitpun juga. .”[32]
At-Tirmidzi meriwayatkan pula dan ia menshahihkannya, Abu
Daud dan selain mereka dari ‘Irbath bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata: ‘Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
shalat dengan kami, kemudian menghadap kepada kami, memberi nasihat kepada kami
dengan nasihat yang sangat menyentuh hati, air mata berlinang karenanya dan
hati menjadi takut darinya. Ada yang berkata: ‘Ya Rasulullah, seolah-olah hal
ini adalah nasihat perantunan (perpisahan), apakah yang engkau nasihatkan
kepada kami? Beliau bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
((أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللّهِ ,وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا
حَبَشِيًّا. فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا
كَثِيْرًا, فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ
الْمَهْدِيِيْنَ, تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا باِلنَّوَاجِذِ
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ, فَإِنَّ كُلِّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ)) [ روا ه أبو داود و الترمذي]
“Aku berpesan
kepada kalian agar bertaqwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala, mendengar dan
taat (kepada pemimpin) sekalipun ia seorang budak dari Habasyah (Etheopia).
Maka sesungguhnya siapa yang masih hidup dari kamu setelah aku (wafat) maka ia
akan melihat perbedaan yang sangat banyak. Maka hendaklah kamu berpegang teguh
dengan sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk, berpegang
teguhlah dengannya, gigitlah atasnya dengan gigi geraham. Dan jauhilah
perkara-perkara baru, maka sesungguhnya setiap yang baru-baru (dalam agama)
adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”[33]
Dan dalam shahih, dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu,
ia berkata: ‘Ya Rasulullah, apakah setelah kebaikan datang keburukan? Beliau
menjawab: ‘Ya.’ Aku bertanya: ‘Apakah setelah keburukan itu akan datang
kebaikan lagi? Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Ya,
dan padanya ada asap.’ Aku bertanya: ‘Apakah asapnya? Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Kaum yang mengambil sunnah dengan selain
sunnahku, mengambil petunjuk selain petunjukku, engkau mengenal dari mereka dan
mengingkari.”
Aku bertanya: ‘Apakah setelah kebaikan itu akan datang
keburukan?
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Ya,
para penyeru kepada pintu-pintu neraka Jahanam, siapa yang memenuhi panggilan
mereka kepadanya mereka akan melemparkannya di dalamnya.’
Aku bertanya: ‘Wahai Rasulullah, jelaskanlah kepada kami
tentang mereka.’
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Ya,
kaum dari golongan kita dan berbicara dengan bahasa kita.’
Aku berkata: ‘Apakah yang engkau perintahkan kepadaku
jika aku menemui hal itu?
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Engkau
tetap bersama jama’ah kaum muslimin dan imam mereka.’
Aku berkata: ‘Jika mereka tidak mempunyai jama’ah dan
imam?
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Maka
hendaklah engkau menghindarkan diri dari semua golongan tersebut, sekalipun
engkau menggigit batang pohon sampai kematian menjemputmu dan engkau dalam
kondisi seperti itu.”[34]
Dalam hadits shahifah:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
((اَلْمَدِيْنَةُ حَرَمٌ مَا بَيْنَ عِيْرٍ وَثَوْرٍ, وَمَنْ أَحْدَثَ فِيْهَا
حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللّهِ وَالْمَلاَئِكَةِ
وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ)) [ متفق عليه ]
“Madinah haram jarak di antara ‘iir dan tsaur (nama
dua gunung di Madinah), barangsiapa yang menciptakan yang baru padanya atau
menampung yang muhdits (pelakunya) maka atasnya kutukan Allah subhanahu wa
ta’ala, malaikat dan semua manusia. Di hari qiamat, Allah subhanahu wa ta’ala
tidak menerima darinya taubat/ibadah sunnah dan tidak pula tebusan/ibadah wajib.”[35]
Hadits ini dalam bentuk umum, meliputi setiap peristiwa
yang dimunculkan padanya yang bertentangan dengan syara’, dan bid’ah merupakan
peristiwa yang paling buruk. Ia, sekalipun khusus untuk kota Madinah maka yang
lainnya juga masuk dalam maknanya.[36]
Dalam al-Muwaththa`, dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju
pemakaman lalu bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((السَّلاَمُ
عَلَيْكُمْ دَاَر قَوْمٍ مُؤْمِنِيْنَ, وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللّه بِكُمْ
لاَحِقُوْنَ ...إلى أن قال: فَلْيُذَادَنَّ رِجَالٌ عَنْ حَوْضِي كَمَا يُذَادُ
الْبَعِيْرُ الضَّالُ, أُنَادِيْهِمْ: أَلاَ هَلُمَّ! أَلاَ هَلُمَّ! أَلاَ
هَلُمَّ! فَيُقَالُ: إِنَّهُمْ قَدْ بَدَّلُوْا بَعْدَكَ. فَأَقُوْلُ: فَسُحْقًا
فَسُحْقًا فَسُحْقًا)) [ رواه مالك في الموطأ ]
“Assalamu ‘alaikum, wahai negeri orang-orang beriman,
dan sesungguhnya kami insya Allah, akan menyusul kalian...dst hingga beliau
bersabda: ...akan diusir beberapa orang dari telagaku sebagaimana diusir
unta yang tersesat. Aku memanggil mereka: ‘Ayo ke sini, ayo ke sini, ayo ke
sini! Maka dikatakan: ‘Sesungguhnya mereka telah mengganti sesudahmu.’ Maka
kukatakan: ‘Maka jauhlah, jauhlah, jauhlah.’[37]
Sebagian ulama menjelaskan bahwa mereka adalah
orang-orang yang menyalahi Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan yang lain menyatakan
bahwa mereka adalah orang-orang yang murtad dari agama Islam.
Dan yang menunjukkan makna yang pertama adalah yang
diriwayatkan oleh Khaitsamah bin Sulaiman rahimahullah[38]
dari Yazid bin Raqqasy rahimahullah[39],
ia berkata: ‘Aku bertanya kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, aku
berkata: ‘Ada satu kaum yang bersaksi terhadap kita dengan kekufuran dan
kesyirikan, mendustakan telaga dan syafa’at, apakah engkau pernah mendengar
sesuatu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Ia menjawab: ‘Ya. Aku
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((بَيْنَ
الْعَبْدِ وَاْلكُفْرِ أَوِ الشّرْكِ تَرْكُ الصَّلاَةِ, فَإِذَا تَركَهَا فَقَدْ
أَشْرَكَ, وَحَوْضِي كَمَا بَيْنَ اْلأَيْلَةِ إِلَى مَكَّةَ, أَبَارِيْقُهُ
كَنُجُوْمِ السَّماَءِ –أو قال: كَعَدَدِ نُجُوْمِ السَّمَاءِ, لَهُ مِيْزَابَانِ
مِنَ الْجَنَّةِ, كُلَّمَا نَضبَ أَمَدَّاهُ, مَنْ شَرِبَ مِنْهُ شَرْبَةً لَمْ
يَظْمَأْ بَعْدَهَا أَبَدًا. وَسَيَرِدُهُ أَقْوَامٌ ذَابِلَةٌ شِفَاهُهُمْ, فَلاَ
يَطْعَمُوْنَ مِنْهُ قَطْرَةً وَاحِدَةً, مَنْ كَذبَ بِهِ الْيَوْمَ لَمْ يُصِبْ مِنْهُ
يَوْمَئِذٍ)) [ رواه ابن ماجة ]
“Sesungguhnya di antara hamba dan kekufuran atau
kesyirikan adalah meninggalkan shalat, maka apabila ia meninggalkannya berarti
ia syirik. Telagaku sebagaimana antara
Ailah hingga Makkah, tekonya sejumlah bintang di langit –atau beliau bersabda: ‘Seperti bilangan bintang di
langit, baginya ada dua pancoran dari surga, setiap kali berkurang keduanya
menambahnya. Siapa yang minum darinya satu kali minuman niscaya tidak pernah
haus lagi sesudahnya untuk selamanya. Dan akan mendatanginya satu kaum, kering
bibir mereka, maka mereka tidak bisa minum darinya setetes jua pun. Siapa yang
mendustakannya pada hari ini niscaya tidak mendapat minuman darinya pada hari
itu.”[40]
Dan padanya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إِنِّي
تَارِكٌ فِيْكُمْ ثَقَلَيْنِ: أَوَّلُهَا كِتَابُ اللّه فِيْهِ الْهُدَى
وَالنُّوْرُ –وفى رواية- مَنِ اتَّبَعَهُ كَانَ عَلَى الْهُدَى وَمَنْ تَرَكَهُ
كَانَ عَلَى ضَلاَلَةٍ)) [ رواه ابن ماجة ]
“Sesungguhnya aku meninggalkan padamu dua perkara,
yang pertamanya adalah Kitabullah (al-Qur`an), di dalamnya ada petunjuk dan
cahaya –dalam satu riwayat- di dalamnya ada petunjuk, siapa yang
berpegang dengannya dan mengambil dengannya niscaya ia berada di atas petunjuk,
dan siapa yang tidak mengambilnya niscaya ia tersesat. Dan pada satu
riwayat: Siapa yang mengikutinya niscaya ia berada di atas petunjuk dan
siapa yang meninggalkannya ia berada di atas kesesatan.”[41]
Ath-Thahawi rahimahullah meriwayatkan bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إِنَّ
لِكُلِّ عَابِدٍ شِرَّةً وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةً, فَإِمَّا إِلَى سُنَّةٍ
وَإِمَّا إِلَى بِدْعَةٍ. فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّتِي فَقَد
اهْتَدَى وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى غَيْرِ ذلِكَ فَقَدْ هَلَك)) [ رواه أحمد
]
“Sesungguhnya bagi setiap ‘abid (ahli ibadah) ada
keinginan/semangat, dan dan bagi setiap semangat ada kemalasan (kurang dalam
ibadah). Maka bisa jadi kepada sunnah dan bisa jadi kepada bid’ah, maka siapa yang
malas lalu kembali kepada sunnahku berarti ia mendapat petunjuk dan siapa yang
malasnya kepada selain yang demikian itu berarti ia binasa.”[42]
Sisi ketiga dari naql: yang datang dari salafus shalih dari kalangan sahabat
dan tabi’in dalam mencela orang-orang menyalahi Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Di antara yang datang dari para sahabat:
Yang
diriwayatkan dalam riwayat yang shahih dari Umar bin Khathab radhiyallahu
‘anhu, bahwa ia berkhutbah kepada manusia dan berkata: ‘Wahai sekalian
manusia, telah disunnahkan bagimu sunnah-sunnah, dan diwajibkan kepadamu
kewajiban-kewajiban, serta ditinggalkan atas yang sudah jelas, kecuali kamu
tersesat dengan manusia kanan dan kiri.”
Dan
ia menepukkan dengan salah satu tangannya kepada yang lain, kemudian berkata:
‘Janganlah kamu binasa karena ayat rajam, yaitu yang berkata: ‘kami tidak
menemukan ayat tentang rajam dalam al-Qur`an’, maka sungguhnya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah merajam dan kami telah merajam[43]....’hingga
akhir pembicaraannya.
Dalam Shahih dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata: ‘Wahai sekalian ahli al-Qur`an (Qurra), luruslah, maka sungguh kamu
telah mendahului dengan jauh, dan jika kamu mengambil kanan dan kiri maka
sungguhnya kamu tersesat yang sangat jauh.’[44]
Dan darinya juga: ‘Yang paling aku khawatirkan terhadap
manusia ada dua: bahwa mereka lebih mengutamakan sesuatu yang mereka lihat dari
pada sesuatu yang mereka ketahui dan mereka tersesat sedang mereka tidak
mengetahui.’[45]
Sufyan berkata: Ia adalah pelaku bid’ah.
Ibnu
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Ikutilah atsar kami dan janganlah
kamu melakukan bid’ah, maka sungguh kamu sudah dicukupkan.’[46]
Ibnu
Wahb rahimahullah meriwayatkan pula, ia berkata: ‘Kamu harus menuntut
ilmu sebelum diambil, dan diambilnya ilmu dengan wafatnya ulama. Kamu harus
menuntut ilmu, sesungguhnya seseorang darimu tidak mengetahui kapan ia
membutuhkan apa yang ada di sisinya. Dan kamu akan menemukan beberapa kaum yang
mengaku bahwa mereka mengajak kepada Kitabullah (al-Qur`an) padahal mereka
telah melemparkannya di belakang punggung mereka. Kamu harus menuntut ilmu dan
jauhilah bid’ah dan berlebih-lebihan dalam agama, dan tekunilah yang lama
(sunnah).’[47]
Dan darinya pula: ‘Sederhana dalam sunnah lebih baik dari
pada bersungguh-sungguh dalam bid’ah.’[48]
Dari
Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Aku tidak
meninggalkan sesuatu yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengamalkannya kecuali aku mengamalkannya dan sesungguhnya aku khawatir jika
meninggalkan sesuatu dari perkara beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
akan menjadi tersesat.’[49]
Dari
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Shalat dalam safar adalah dua
rekaat, siapa yang menyalahi sunnah ia kufur.’[50]
Dari
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Kamu harus istiqamah dan mengikuti
atsar, dan hindarilah bid’ah.’
Dan
Ibnu Wahb rahimahullah meriwayatkan darinya, ia berkata: ‘Siapa yang
memunculkan satu pendapat dalam Kitabullah (al-Qur`an) dan tidak pernah ada
sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam padanya, niscaya ia
tidak tahu apa yang akan menimpanya apabila bertemu Allah subhanahu wa
ta’ala.’[51]
Dan di antara yang datang dari generasi setelah sahabat:
Yang
disebutkan oleh Ibnu Wadhdhah rahimahullah, dari Hasan rahimahullah,
ia berkata: ‘Pelaku bid’ah tidaklah bertambah kesungguhan, baik puasa maupun
shalat- kecuali bertambah jauh dari Allah subhanahu wa ta’ala.’[52]
Ibnu
Wahb rahimahullah meriwayatkan dari Idris al-Khaulani rahimahullah:
‘Sungguh aku melihat api di masjid yang aku tidak bisa memadamkannya lebih
kusukai dari pada melihat bid’ah padanya yang aku tidak bisa merubahnya.’[53]
Dari
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah: ‘Ikutilah jalan-jalan petunjuk dan
tidak membahayakanmu sedikitnya orang-orang yang menjalani (jalan akhirat), dan
jauhilah jalan-jalan kesesatan dan janganlah tertipu dengan banyaknya
orang-orang yang binasa.’[54]
Dari
‘Amar bin Qais rahimahullah: ‘Janganlah engkau duduk bersama orang-orang
yang menyimpang, maka akan menyimpang hatimu.’[55]
Dari
Abu Qilabah rahimahullah: ‘Janganlah kamu duduk bersama pengikut hawa
nafsu, janganlah berdebat dengan mereka, sesungguhnya aku tidak merasa aman bahwa mereka akan
menenggelamkan kamu dalam kesesatan mereka dan menyamarkan kepadamu sesuatu
yang sudah kamu kenal.’[56]
Al-Ajury
rahimahullah menyebutkan bahwa Ibnu Sirin rahimahullah
berpendapat bahwa manusia yang paling cepat murtad adalah pengikut hawa nafsu (ahlul
ahwaa`).[57]
Dari
Ibrahim rahimahullah: ‘Janganlah engkau berbicara dengan mereka,
sesungguhnya aku khawatir hati kalian akan murtad.
Dari
Hisyam bin Hassan rahimahullah, ia berkata: ‘Allah subhanahu wa
ta’ala tidak menerima puasa, shalat, haji, jihad, umrah, sedakah,
memerdekakan budak, dan tidak pula tebusan dari ahli bid’ah.
Dari
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, ia menulis di dalam buku-bukunya:
‘Sesungguhnya aku memperingatkan kalian sesuatu yang dicondongi (disukai) oleh
hawa nafsu dan kesesatan yang jauh.’
Di
antara ucapannya yang sangat diperhatikan dan diingat oleh para ulama, dan imam
Malik rahimahullah sangat mengaguminya adalah ucapannya: ‘Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para pemimpin sesudahnya[58]
telah menjelaskan sunnah, mengambilnya adalah membenarkan Kitabullah,
menyempurnakan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan kuat
terhadap agama Allah subhanahu wa ta’ala. Tidak ada seorang pun yang
punya hak merubah dan menggantinya. Siapa yang mengamalkannya ia mendapat
petunjuk dan siapa yang membelanya ia akan mendapat pertolongan, dan siapa yang
menyalahinya berarti ia mengikuti jalan selain jalan orang-orang yang beriman
dan Allah subhanahu wa ta’ala memalingkannya kepada sesuatu yang dia
berpaling, dan memasukkannya ke neraka jahanam, dan seburuk-buruk tempat
kembali.’[59][60]
Akan
tetapi atsar-atsar ini, dalam melarang duduk bersama ahli bid’ah dan pengikut
hawa nafsu, hanya bagi orang yang dikhawatirkan terpengaruh dengan mereka, atau
tujuannya bukan berdakwah kepada mereka, atau bukan mengingkari mereka,
menyuruh mereka berbuat ma’ruf dan melarang mereka berbuat mungkar.
Syaikh
Abdurrahman al-Barrak hafizhahullah berkata: ‘Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:
قال الله تعالي: ﴿ وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ
فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ ءَايَاتِ اللهِ يُكْفَرُ بِهَا
وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلاَ تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ
غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِّثْلُهُمْ ﴾ [ النساء: 140 ]
Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam
al-Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan
diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta
mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena
sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan
mereka., (QS. an-Nisaa`:140)
Dalam ayat ini merupakan petunjuk yang jelas bahwa orang
yang duduk di majelis yang dingkari padanya ayat-ayat Allah subhanahu wa
ta’ala dan diperolok-olokkan maka sesungguhnya ia seperti orang-orang kafir
yang mengolok-olokkan ayat-ayat Allah subhanahu wa ta’ala. Seperti ini
pula dikatakan dalam duduk bersama-sama ahli bid’ah di saat berbicara tentang
bid’ahnya dan ajakannya kepada bid’at tersebut. Maka sesungguhnya orang yang
duduk bersama, sedangkan ia berbicara dengan yang batil dan menyesatkan manusia
berarti ia sama seperti dia. Karena duduknya dia bersamanya –tanpa bertujuan
mengingkari- menunjukkan ridhanya terhadapnya dan ridhanya terhadap kebatilan.
Maka siapa yang tidak mampu menghalangi kemungkaran maka ia jangan
menghadirinya, bahkan ia berdiri dari majelis yang dilakukan maksiat kepada
Allah subhanahu wa ta’ala padanya.
Adapun
bila orang yang batil tidak sedang berbicara tentang kebatilannya berupa
kekufuran atau bid’ah atau maksiat maka duduk bersamanya ketika itu berbeda
hukumnya tergantung perbedaan tujuan, sebab dan dampak:
Bisa jadi disyari’atkan, sebagaimana bila ia bertujuan
mendekati dan berdakwah tanpa merasa khawatir mendapat bahaya terhadap
agamanya. Bisa jadi dimakruhkan, bisa
jadi dibolehkan apabila untuk tujuan yang dibolehkan. Bisa jadi duduk tersebut
adalah haram apabila hal itu memberi dampak kerusakan pada agama orang yang
ikut duduk atau orang lainnya yang mengikutinya.
Hajr (tidak
menyapa) pelaku maksiat dan ahli bid’ah terkadang bertujuan untuk menghindari
kejahatan mereka. Terkadang bertujuan untuk mengingkari dan membuat mereka jera
agar mau bertaubat. Dan peringatan yang datang dari kalangan salaf agar jangan
duduk bersama ahli bid’ah karena dikhawatirkan kejahatan mereka memberi dampak
buruk bagi yang duduk bersama mereka. Mayoritas manusia tidak mempunyai dasar
ilmu dan iman yang kuat yang bisa menjaga mereka dari kejahatan para tokoh
bid’ah dan penyeru kesesatan. Dan seperti yang dikatakan: menjaga lebih baik
dari pada mengobati. Wallahu A’lam.[61]
Dan akan datang fasal: fatwa sebagian ulama dalam dakwah
kepada orang-orang yang menyimpang, penjelasan masalah ini sangat penting.
Adapun sisi yang lain, yaitu pemikiran dan akal:
Imam asy-Syathibi rahimahullah –ia adalah yang
terbaik yang berbicara tentang bid’ah- berkata: ‘Adapun pemikiran, maka dari
beberapa sisi:
Salah satunya: Sudah diketahui dengan pengamalan dan
keahlian yang berjalan di alam semesta sejak pertama dunia hingga saat ini
bahwa akal tidak bisa berdiri sendiri dengan kepentingannya; menarik manfaat
untuknya atau menolak merusakan.
Kedua: sesungguhnya syari’at datang secara sempurna,
tidak lebih dan tidak kurang, karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman
padanya:
قال الله تعالي: ﴿ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ
لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
اْلإِسْلاَمَ دِينًا ﴾ [ المائدة: 3 ]
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan
telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi
agamamu. (QS. al-Maidah:3)
Jika sudah sempurna seperti itu, maka seolah-olah ahli
bid’ah mengatakan dengan lisan perbuatan dan ucapannya: sesungguhnya syari’at
belum sempurna dan sesungguhnya masih tersisa beberapa perkara darinya yang harus
ditemukan. Karena jika ia meyakini kesempurnaannya dari segala sisi niscaya ia
tidak melakukan bid’ah dan tidak melakukan penambahan, dan yang mengatakan ini
adalah tersesat dari jalan yang lurus.
Ibnul Majisyun rahimahullah[62]
berkata: “Aku mendengar imam Malik rahimahullah berkata: ‘Siapa yang
melakukan satu bid’ah di dalam Islam yang ia memandangnya sebagai kebaikan,
maka sungguh ia menuduh bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah berkhianat terhadap risalah, karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
قال الله تعالي: ﴿ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ
لَكُمْ دِينَكُمْ ﴾ [ المائدة: 3 ]
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu (QS. al-Maidah:3)
Maka sesuatu yang bukan bagian dari agama pada hari itu
maka ia bukan dari agama pada hari ini.
Ketiga, sesungguhnya pelaku bid’ah menentang syari’at,
karena syari’ (Allah subhanahu wa ta’ala) telah menentukan beberapa
jalan tertentu terhadap beberapa sisi khusus untuk tuntutan-tuntutan hamba,
membatasi makhluk atasnya dengan perintah, larangan, janji dan ancaman. Dan
mengabarkan bahwa kebaikan ada padanya dan sesungguhnya keburukan dalam
melewati batasnya...hingga seterusnya. Karena Allah subhanahu wa ta’ala
mengetahui dan kita tidak mengetahui, dan sesungguhnya Dia subhanahu wa
ta’ala mengutus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai
rahmat bagi semesta alam. Maka ahli bid’ah menolak semua ini. Maka sesungguhnya
ia menduga bahwa ada jalan-jalan yang lain, bukan yang dibatasi oleh syari’
dengan batasan tertentu, dan bukan yang Dia tentukan dengan yang sesuatu
tertentu. Seolah-olah Syari’ mengetahui dan kami juga mengetahui. Bahkan bisa
dipahami dari tindakannya menambah-nambah dalam syari’at bahwa ia mengetahui
yang tidak diketahui oleh Syari’. Dan ini, jika dimaksudkan oleh pelaku bid’ah
maka merupakan kekufuran terhadap syari’at dan Syari’, dan jika tidak
dimaksudkan maka ia merupakan kesesatan yang nyata.
Keempat: Sesungguhnya ahli bid’ah telah menempatkan
dirinya pada kedudukan menyerupai Syari’, karena Syari’ yang meletakkan
dasar-dasar syari’at dan mewajibkan makhluk menelusuri sunnahnya, dan jadilah
ia yang menyendiri dengan hal itu, karena ia memutuskan di antara makhluk pada
sesuatu yang mereka berbeda pendapat padanya. Dan jika tidak demikian, jikalau
penentuan syari’at bersumber dari pemahaman makhluk niscaya tidak diturunkan
syari’at-syari’at dan tidak tersisa perbedaan pendapat di antara manusia dan
tidak perlu diutus para rasul ‘alaihimus sallam.
Orang
yang melakukan bid’ah dalam agama Allah subhanahu wa ta’ala ini telah
menjadikan dirinya sebagai tandingan dan serupa dengan Syari’. Di mana ia
menentukan syari’at bersama Syari’ dan membuka pintu bagi perbedaan pendapat,
dan menolak tujuan Syari’ dalam menyendiri menetapkan syari’at, dan cukuplah
dengan hal itu.
Kelima: sesungguhnya ia mengikuti hawa nafsu, karena
sesungguhnya bila akal tidak mengikuti syari’at niscaya tidak tersisa lagi
baginya selain hawa nafsu dan syahwat, dan engkau mengetahui bahaya dalam
mengikuti hawa nafsu dan sesungguhnya ia adalah kesesatan yang nyata.
Dan ia berkata juga:
Sisi keenam: ia menyebutkan padanya sebagian yang ada
dalam bid’ah berupa sifat-sifat yang dikhawatirkan dan makna-makna yang dicela
serta berbagai macam kesialan:
Ia
merupakan penjelasan bagi yang telah terdahulu pertama tama, dan padanya ada
tambahan uraian dan penjelasan yang lebih terhadap yang telah lewat di antara
dalil-dalil.
Ketahuilah,
sesungguhnya ibadah yang disertai bid’ah tidak diterima berupa shalat, puasa,
sedakah dan ibadah-ibadah lainnya. Majelis-majelis pelakunya dicabut penjagaan
darinya, diserahkan kepada dirinya, dan yang berjalan kepadanya dan
menghormatinya berarti membantu meruntuhkan Islam, maka bagaimana dengan
pelakunya? Dia dikutuk lewat lisan syari’at. Bertambah jauh dari Allah subhanahu
wa ta’ala dengan ibadahnya. Ia merupakan dugaan terjadinya permusuhan dan
saling membenci. Menghalangi dari syafa’at nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Dikhawatirkan atasnya termasuk orang-orang kafir yang keluar
dari agama, su`ul khatimah saat keluar dari dunia. Hitam wajahnya di akhirat.
Disiksa di neraka jahanam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah berlepas diri darinya dan kaum muslimin berlepas diri darinya. Dan
dikhawatirkan atasnya fitnah di dunia bertambah-tambah hingga siksa akhirat.[63]
Dan dia (asy-Syathibi) telah menjelaskan secara rinci poin ini dengan panjang
lebar.
[5] Majmu’ fatawa 18/346
[13] Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Gharnathi yang
terkenal dengan nama asy-Syathibi, dari penduduk Granada, pemuka mazhab Maliki,
wafat pada tahun 790 H. Mempunyai banyak karangan, di antaranya yang
terpenting: al-Muwafaqat fi Ushulil fiqh’ dan I’tisham.
[17] Abu Ghalib al-Bashri, dikatakan al-Ashbihani, sahabat Abu
Umamah radhiyallahu ‘anhu. Ia meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu, Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, dan Ummu Darda` radhiyallahu
‘anhu. Ibnu Sa’ad menyebutkan dalam lapisan (generasi) ketiga dari penduduk
Bashrah. Lihat: Tahdzibul Kamal 34/171, Tarikh al-Kabir 3/134,Lisanul Mizan
7/478.
[18] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata
dalam bantahannya terhadap Akhnasi: ‘Ahlus sunnah waljama’ah, yang memilik ilmu
dan iman mengetahui kebenaran, mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, menyayangi makhluk, adil padanya, memberikan uzur orang
yang berijtihad dalam mengenal kebenaran namun tidak mampu mengenalnya. Mereka
hanya mencela orang yang dicela oleh Allah subhanahu wata’ala dan
rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu orang yang lalai dalam
mencari kebenaran karena meninggalkan yang wajib, dan orang yang melewati
batas, yang mengikuti hawa nafsunya tanpa dasar ilmu karena ia melakukan yang
diharamkan, maka mereka (Ahlus sunnah) mencela orang yang meninggalkan
kawajiban dan melakukan yang diharamkan, dan mereka tidak menghukumnya kecuali
setelah menegakkan hujjah kepadanya...dst (Majmu’ Fatawa 27/238).
[21] Sahal bin Yunus at-Tasturi, salah seorang pemuka kaum
sufi dan ulama mereka, ia mengarang tafsir al-Qur`an, wafat pada tahun 283 H.
[22] Abdul Haq bin Ghalib bin Abdurrahman bin ‘Athiyah
al-Muharibi, Abu Muhammad, mufassir faqih, dari Granada (Spanyol), wafat pada
tahun 542 H. Di antara karangannya yang terkenal: ‘Al-Muharrarul wajiz fi
tafsiril kitabil ‘aziz.’
[23] Sufyan bin ‘Uyaynah bin Abu ‘Imran Maimun al-Hilali, Abu
Muhammad al-Kufi, Muhaddits al-Haram al-Makky, berasal dari kalangan budak yang
dimerdekakan. Dilahirkan di Kufah tahun 107 H. Tinggal di Makkah dan wafat di
sana tahun 198. Seorang hafizh yang tsiqah, luas ilmu dan tinggi derajat. Lihat
biografinya di Tarikh Kabir 4/94, Tarikh Baghdad 9/174, A’laam 3/105.
[24] Abu Qilabah al-Jurmy: Abdullah bin Zaid bin ‘Amar
al-Jurmy, seorang yang alim dalam qadha (peradilan) dan hukum, termasuk perawi
hadits yang tsiqah. Wafat di Syam pada tahun 104. Lihat biografinya di: Tarikh
Kabir 5/92, Tadzkiratul Huffazh 1/94, A’lam 4/88.
[25] Abdullah bin ‘Aun bin Arthaban al-Muzani, Abu ‘Aun
al-Bashri, salah seorang yang ternama. Pengarang kutub sittah meriwayatkan
darinya. Wafat tahun 150 H.
[38] Khaitsamah bin Sulaiman bin Haidarah al-Qurasyi
ath-Tharablusi. Abu Hasan, termasuk huffazh hadits, ia adalah muhaddits negeri
Syam di masanya, ia termasuk penduduk Tripoli Syam (di wilayah Lebanon). Wafat
pada 343 H. Ia mengarang kitab besar tentang keutamaan sahabat. Lihat
biografinya dalam Lisanul Mizan 2/411, Tazkiratul Huffazh 3/858, A’laam 3/326
[39] Yazid bin Aban ar-Raqqasyi, Abu ‘Amar al-Bashri, termasuk
tokoh zuhud di Bashrah, termasuk generasi tabi’in yang kecil. Wafat tahun 120
H. Lihat biografinya: Tahzdzibul Kamal 32/64,
Lisan Muzan 7/439.
[40] Ibnu Majah 1080, Ibnu Nashr al-Maruzi meriwayatkannya
dalam ‘Ta’zhimu qadri shalah’ 897 di bagian pertama.
[50] Abu Nu’aim dalam Hilyah 7/185-186 dari beberapa jalur,
dari Shafwan bin Mukharriz, ia shahih. Dan pengarang Kanzul Ummal (201850)
menyandarkannya kepada Dailami dan baginya ada beberapa syahid.
[58] Mereka adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khathab,
Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhum ajma’in.
[62] Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Abdullah bin Abu Salamah
bin Majisyun at-Taimy maulahum, al-Madani al-Maliki, murid imam Malik. Wafat
pada tahun 213 H.
Post a Comment