Kaya Dan Sukses Dunia Akhirat, Mungkinkah?
Kaya Dan Sukses Dunia Akhirat, Mungkinkah?
Segala puji hanya
untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam beserta
keluarga dan seluruh sahabatnya.
Kekayaan dan
besarnya penghasilan sering diidentikkan dengan gaya hidup mewah, glamour,
cinta dunia yang berlebihan dan ambisi yang tidak pernah puas untuk terus
mengejar harta. Karena itu, ada kesan orang-orang yang berduit sangat
disibukkan dengan kekayaan mereka yang menyebabkan mereka lalai dari dzikrullah
(mengingat Allah Azza wa Jalla) dan mempersiapkan diri untuk menghadapi hari
kemudian.
Kenyataan ini
tentu saja merupakan ancaman fitnah (kerusakan) besar bagi seorang hamba yang
tidak memiliki benteng iman yang kokoh untuk menghadapi dan menangkal fitnah
harta tersebut. Bahkan Rasulullah Shalallahu
‘alihi wa sallam secara khusus
memperingatkan umat dari besarnya bahaya fitnah harta dan kedudukan duniawi
dalam merusak agama dan keimanan seseorang dalam sabda beliau:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «مَا
ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلا فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ
عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِه » [
رواه الترمذي والدارمي صحيحه الألباني ]
Tidaklah
dua ekor srigala kelaparan yang dilepaskan kepada kambing, lebih besar
kerusakan (bahaya) nya
terhadap kambing tersebut, dibandingkan dengan (sifat) rakus seorang manusia
terhadap harta dan kedudukan (dalam merusak/membahayakan) agamanya [HR. Tirmizi dan Darimi].
Timbulnya
kerusakan ini dikarenakan kerakusan terhadap harta dan kedudukan akan mendorong
orang untuk terus mengejar dunia dan menjerumuskannya kepada hal-hal yang
merusak agamanya. Sebab, umumnya sifat inilah yang membangkitkan dalam diri
seseorang sifat sombong dan keinginan berbuat kerusakan di muka bumi, yang
sangat tercela dalam agama. Allah Azza wa Jalla berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ تِلۡكَ ٱلدَّارُ ٱلۡأٓخِرَةُ نَجۡعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوّٗا
فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فَسَادٗاۚ وَٱلۡعَٰقِبَةُ لِلۡمُتَّقِينَ ٨٣ ﴾ [القصص: 83]
Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk
orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat)
di (muka) bumi, dan kesudahan (yang baik) itu (surga) adalah bagi orang-orang
yang bertakwa [al-Qashash/28:83].
Kenyataan inilah yang seharusnya
menjadikan seorang Muslim yang menghendaki kebaikan dan keselamatan dirinya,
utamanya orang-orang yang diberikan kekayaan dan rezki yang berlimpah, untuk
selalu waspada dan introspeksi diri, serta tidak terlalu percaya diri
(bersandar kepada kemampuan diri) dalam hal ini, dengan merasa imannya kuat dan
aman dari kemungkinan terjerumus ke dalam fitnah tersebut. Cukuplah sikap
percaya diri yang berlebihan seperti ini menjadi bukti rapuhnya keimanan dalam
hati dan pertanda jauhnya taufik dari Allah Azza wa Jalla kepada hamba
tersebut!
Imam Ibnul Qayyim
rahimahullah berkata: "al-‘Aarifun (orang-orang yang memiliki pengetahuan
yang dalam tentang Allah Azza wa Jalla dan agama -Nya) telah bersepakat
(mengatakan) bahwa (arti) taufik itu adalah Allah Azza wa Jalla tidak
menyerahkan (urusan) kita kepada diri kita sendiri, dan (sebaliknya arti)
al-khudzlan (berpalingnya Allah Shubhanahu
wa ta’alla dari hamba) adalah Allah membiarkan diri kita (bersandar) kepada
diri kita sendiri (tidak bersandar kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla)…” .
Inilah makna doa
Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam yang terkenal dan termasuk doa yang dianjurkan
untuk dibaca pada waktu pagi dan petang: “…(Ya Allah!) jadikanlah baik semua
urusanku dan janganlah Engkau membiarkan aku bersandar kepada diriku sendiri (meskipun
cuma) sekejap mata”. Tidakkah orang yang beriman khawatir dirinya akan ditimpa
kerusakan dalam agama dan imannya, sebagai akibat dari fitnah harta, padahal
hamba Allah Azza wa Jalla yang paling sempurna imannya, Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam, mengkhawatirkan hal ini menimpa
umatnya? sebagaimana tertuang dalam doa beliau berikut :
« وَلاَ تَجْعَلْ مُصيبَتَنَا في دِيْنِنا ، ولا تَجْعَلِ
الدُّنْيا أَكْبَرَ همِّنا » [ رواه
الترمذي وقال حديث حسن صحيح ]
(Ya Allah) janganlah Engkau jadikan malapetaka (kerusakan) yang
menimpa kami dalam agama kami, dan janganlah Engkau jadikan dunia (harta dan
kedudukan) sebagai target utama kami. [ HR. Tirmizi].
FITNAH HARTA DAN DUNIA
Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةَ أُمَّتِي الْمَالُ » [رواه البخاري]
Sesungguhnya
pada setiap umat (kaum) ada fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah
(pada) umatku adalah harta [HR.
Bukhari]
Maksudnya: menyibukkan diri dengan harta secara berlebihan adalah fitnah (yang merusak agama seseorang) karena harta dapat melalaikan pikiran manusia dari melaksanakan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla dan membuatnya lupa kepada akhirat, sebagaimana firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿ إِنَّمَآ أَمۡوَٰلُكُمۡ وَأَوۡلَٰدُكُمۡ فِتۡنَةٞۚ وَٱللَّهُ عِندَهُۥٓ أَجۡرٌ
عَظِيمٞ ١٥﴾ [التغابن: 15]
Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu merupakan fitnah
(bagimu), dan di sisi Allah lah pahala yang besar [at-Taghabun/ 64:15].
Dalam hadits
lain, Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa
sallam bersabda:"Demi Allah,
bukanlah kemiskinan yang aku takutkan (akan merusak agama) kalian, akan tetapi
yang aku takutkan bagi kalian adalah jika (perhiasan) dunia dibentangkan
(dijadikan berlimpah) bagi kalian sebagaimana (perhiasan) dunia dibentangkan
bagi umat (terdahulu) sebelum kalian, maka kalian pun berambisi dan
berlomba-lomba mengejar dunia sebagaimana mereka berambisi dan berlomba-lomba
mengejarnya, sehingga (akibatnya) dunia itu membinasakan kalian sebagaimana
dunia membinasakan mereka".
Arti sabda beliau "…sehingga (akibatnya)
dunia itu membinasakan kalian": dunia menjerumuskan kalian ke dalam
(jurang) kebinasaan, disebabkan persaingan yang tidak sehat untuk
mendapatkannya, kecintaan yang berlebihan terhadapnya dan kesibukan dalam
mengejarnya sehingga melalaikan dari mengingat Allah Azza wa Jalla dan balasan
di akhirat. Dalam hadits ini terdapat nasehat berharga bagi orang yang dibukakan
baginya pintu-pintu harta (orang-orang kaya) supaya mereka bersikap waspada
dari keburukan fitnah dan kerusakan harta, dengan tidak berlebihan dalam
mencintainya dan terlalu berambisi dalam berlomba-lomba mengejarnya.
Kerusakan lain
yang ditimbulkan dari kecintaan yang berlebihan terhadap harta adalah kerakusan
dan ambisi untuk mengejar dunia, karena secara tabiat nafsu manusia tidak akan
pernah merasa puas/cukup dengan harta dan kemewahan dunia yang dimilikinya,
bagaimanapun berlimpahnya, kecuali orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah
Azza wa Jalla. Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa
sallam mengingatkan hal ini dalam
sabda beliau: “Seandainya seorang manusia memiliki dua lembah (yang penuh
berisi) harta/emas maka dia pasti akan menginginkan lembah (harta) yang ketiga”. Sifat rakus inilah yang akan
terus menyeretnya untuk terus mengejar harta dan mengumpulkannya siang dan
malam, dengan mengorbankan apapun untuk tujuan tersebut. Sehingga tenaga dan
pikirannya akan terus terkuras untuk mengejar ambisi tersebut, dan ini
merupakan kerusakan sekaligus siksaan besar bagi dirinya di dunia.
Imam Ibnul Qayyim
rahimahullah berkata: “Orang yang mencintai dunia/harta (secara berlebihan)
tidak akan lepas dari tiga (kerusakan dan penderitaan): Kekalutan (pikiran)
yang tidak pernah hilang, keletihan yang berkepanjangan dan penyesalan yang
tiada akhirnya”. Dalam hal ini, salah seorang ulama Salaf berkata: “Barangsiapa yang
mencintai dunia/harta (secara berlebihan), hendaknya dia mempersiapkan dirinya
untuk menanggung berbagai macam penderitaan”.
MEMANFAATKAN HARTA UNTUK MERAIH TAKWA KEPADA ALLAH AZZA WA
JALLA.
Perlu dicamkan di
sini, bahwa ayat-ayat al-Qur`an dan hadits-hadits Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam yang berisi celaan terhadap harta dan dunia,
bukanlah berarti celaan terhadap dzat harta dan dunia itu sendiri. Akan tetapi,
maksudnya adalah celaan terhadap kecintaan yang berlebihan terhadapnya sehingga
melalaikan manusia dari mengingat Allah Azza wa Jalla, dan tidak menunaikan hak
Allah Azza wa Jalla padanya, sebagaimana firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿ وَٱلَّذِينَ يَكۡنِزُونَ ٱلذَّهَبَ وَٱلۡفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ
ٱللَّهِ فَبَشِّرۡهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٖ ٣٤ ﴾ [ التوبة : 34 ]
Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan
tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa
mereka akan mendapat) siksa yang pedih [at-Taubah/8:34].
Imam Ibnu Muflih al-Maqdisi rahimahullah berkata: "Dunia (harta) tidaklah dilarang (dicela) pada zatnya, tapi karena (dikhawatirkan) harta itu menghalangi (manusia) untuk mencapai (ridha) Allah Shubhanahu wa ta’alla, sebagaimana kemiskinan tidaklah dituntut (dipuji) pada dzatnya, tapi karena kemiskinan itu (umumnya) tidak menghalangi dan menyibukkan (manusia) dari (beribadah kepada) Allah Azza wa Jalla. Berapa banyak orang kaya yang kekayaannya tidak melupakannya dari (beribadah kepada) Allah Shubhanahu wa ta’alla, seperti Nabi Sulaiman Alaihissallam, demikian pula (Sahabat Nabi Muhammad Shalallahu ‘alihi wa sallam) 'Utsman (bin 'Affan) Radhiyallahu anhu dan 'Abdur Rahman bin 'Auf Radhiyallahu anhu. Dan berapa banyak orang miskin yang kemiskinannya (justru) melalaikannya dari beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dan memalingkannya dari kecintaan serta kedekatan kepada -Nya…".
Bahkan banyak ayat al-Qur`an dan
hadits Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa
sallam yang berisi pujian terhadap
orang yang memiliki harta dan menggunakannya untuk mencapai ridha Allah Azza wa
Jalla, di antaranya:
1.
Firman Allah Azza wa Jalla :
قال الله تعالى: ﴿ رِجَالٞ لَّا تُلۡهِيهِمۡ تِجَٰرَةٞ وَلَا بَيۡعٌ عَن ذِكۡرِ ٱللَّهِ وَإِقَامِ
ٱلصَّلَوٰةِ وَإِيتَآءِ ٱلزَّكَوٰةِ يَخَافُونَ يَوۡمٗا تَتَقَلَّبُ فِيهِ ٱلۡقُلُوبُ
وَٱلۡأَبۡصَٰرُ ٣٧ ﴾ [ النور: 37]
Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak
(pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan
zakat. Mereka takut pada hari (pembalasan) yang (pada saat itu) hati dan
penglihatan menjadi goncang [an-Nur/ :37]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: "Mereka
adalah orang-orang yang tidak disibukkan/dilalaikan oleh harta benda dan
perhiasan dunia, serta kesenangan berjual-beli (berbisnis) dan meraih
keuntungan (besar) dari mengingat (beribadah) kepada Rabb mereka (Allah Azza wa
Jalla ) Yang Maha Menciptakan dan Melimpahkan rezki kepada mereka, dan mereka
adalah orang-orang yang mengetahui (meyakini) bahwa (balasan kebaikan) di sisi
Allah Azza wa Jalla adalah lebih baik dan lebih utama daripada harta benda yang
ada di tangan mereka, karena apa yang ada di tangan mereka akan habis/musnah
sedangkan balasan di sisi Allah Azza wa Jalla adalah kekal abadi". Imam
al-Qurthubi rahimahullah berkata: "Dianjurkan bagi seorang pedagang
(pengusaha) untuk tidak disibukkan/dilalaikan dengan perniagaan (usaha)nya dari
menunaikan kewajiban-kewajibannya, maka ketika tiba waktu shalat fardhu hendaknya
dia (segera) meninggalkan perniagaannya (untuk menunaikan shalat), agar dia
termasuk ke dalam golongan orang-orang (yang dipuji Allah Azza wa Jalla ) dalam
ayat ini".
2.
Sabda Rasulullah Shalallahu
‘alihi wa sallam : "Tidak ada hasad/iri (yang terpuji) kecuali kepada
dua orang: (yang pertama) orang yang Allah anugerahkan kepadanya harta lalu dia
menginfakkan hartanya di (jalan) yang benar (di jalan Allah), (yang kedua)
orang yang Allah anugerahkan kepadanya ilmu lalu dia mengamalkannya dan
mengajarkannya (kepada orang lain)".
3.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu dia berkata, “Ibuku
(Ummu Sulaim) pernah berkata, “ (Wahai Rasulullah), berdoalah kepada Allah
untuk (kebaikan) pelayan kecilmu ini (Anas bin Malik)”. Anas berkata, “Maka Rasulullah
pun berdoa (meminta kepada Allah) segala kebaikan untukku. Dan doa kebaikan
untukku yang terakhir beliau ucapkan: "Ya Allah, perbanyaklah harta dan
keturunannya, serta berkahilah harta dan keturunan yang Engkau berikan
kepadanya". Anas berkata, “Demi Allah, sungguh aku memiliki harta yang
sangat banyak, dan sungguh anak dan cucuku saat ini (berjumlah) lebih dari
seratus orang”.
Hadits ini menunjukkan keutamaan memiliki banyak harta dan
keturunan yang diberkahi Allah Azza wa Jalla dan tidak melalaikan manusia dari
ketaatan kepada -Nya, karena Rasulullah Shalallahu
‘alihi wa sallam tidak mungkin
mendoakan keburukan untuk Sahabatnya, dan Anas bin Malik Radhiyallahu anhu
sendiri menyebutkan ini sebagai doa kebaikan. Oleh karena itulah, Imam
an-Nawawi mencantumkan hadits ini dalam bab ‘keutamaan Anas bin Malik
Radhiyallahu anhu‘.
4.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dia berkata, “Orang-orang
miskin (dari para Sahabat Rasulullah Shalallahu
‘alihi wa sallam ) pernah datang
menemui beliau, lalu mereka berkata: "Wahai Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam ,
orang-orang (kaya) yang memiliki harta yang berlimpah bisa mendapatkan pahala
(dari harta mereka), kedudukan yang tinggi (di sisi Allah Azza wa Jalla) dan
kenikmatan yang abadi (di surga), karena mereka melaksanakan shalat seperti
kami melaksanakan shalat dan mereka juga berpuasa seperti kami berpuasa, tapi
mereka memiliki kelebihan harta yang mereka gunakan untuk menunaikan ibadah
haji, umrah, jihad dan sedekah, sedangkan kami tidak memiliki harta…".
Dalam riwayat Imam Muslim, di akhir hadits ini Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam bersabda: "Itu adalah karunia (dari)
Allah yang diberikan -Nya kepada siapa yang dikehendaki -Nya".
Dalam hadits ini Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam tidak mengingkari ucapan para sahabat tersebut
tentang pahala dan keutamaan besar yang diraih oleh orang-orang kaya pemilik
harta yang menginfakkannya di jalan Allah Azza wa Jalla. Bahkan di akhir hadits
ini, Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa
sallam memuji perbuatan mereka. Oleh
karena itu, Imam Ibnu Hajar ketika menjelaskan hadits ini, beliau berkata:
"Dalam hadits ini (terdapat dalil yang menunjukkan) lebih utamanya orang
kaya yang menunaikan hak-hak (Allah Azza wa Jalla ) pada (harta) kekayaannya
dibandingkan orang miskin, karena berinfak di jalan Allah Azza wa Jalla
(seperti yang disebutkan dalam hadits di atas) hanya bisa dilakukan oleh orang
kaya".
ANTARA KAYA DAN MISKIN.
Muncul pertanyaan, siapakah yang
lebih utama di sisi Allah Azza wa Jalla, orang kaya yang bersyukur dengan
kekayaannya atau orang miskin yang bersabar dengan kemiskinannya? Para ulama berbeda pendapat
dalam masalah ini, ada yang lebih mengutamakan orang kaya yang bersyukur dan
ada yang lebih mengutamakan orang miskin yang bersabar. Kedua pendapat ini juga
dinukil dari ucapan Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah.
Kedua pendapat ini masing-masing
memiliki dasar argumentasi dari al-Qur`an dan hadits Nabi Muhammad Shalallahu ‘alihi wa sallam yang sama kuatnya, sehingga para ulama ahli
tahqiq (yang terkenal dengan ketelitian dalam berpendapat) tidak menguatkan
salah satu di antara dua pendapat tersebut, tapi mereka memilih pendapat yang
menggabungkan keduanya, yaitu: yang lebih utama di antara keduanya adalah yang
paling besar ketakwaannya kepada Allah Azza wa Jalla , berdasarkan keumuman
makna firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ ﴾ [ الحجرات : 13]
Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa di antara kamu [al-Hujurat/ : 13]
Maka orang kaya yang lebih besar rasa
syukurnya lebih utama dibanding orang miskin yang lebih sedikit kesabarannya
dan sebaliknya. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah dan dua murid beliau, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dan Ibnu Muflih rahimahullah.
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah rahimauhllah berkata, "Telah terjadi perbedaan pendapat di
kalangan kebanyakan (ulama) zaman sekarang tentang siapakah yang lebih utama,
orang kaya yang bersyukur atau orang miskin yang bersabar? Sebagian dari Ulama
dan ahli ibadah menguatkan pendapat pertama (orang kaya yang bersyukur lebih
utama), sementara Ulama dan ahli ibadah yang lain menguatkan pendapat kedua
(orang miskin yang bersabar lebih utama). Kedua pendapat ini (juga) dinukil
dari Imam Ahmad rahimahullah.
Adapun para
Sahabat dan Tabi'in, tidak ada satu pun nukilan dari mereka (tentang) keutamaan
salah satu dari dua golongan tersebut di atas yang lain. Sejumlah Ulama lain berkata:
"Masing-masing dari keduanya tidak ada yang lebih utama dibandingkan yang
lain kecuali dengan ketakwaan. Maka yang paling kuat iman dan takwanya itulah
yang paling utama, kalau iman dan takwa keduanya sama, maka keutamaan keduanya
pun sama. Inilah pendapat yang paling benar, karena dalil-dalil dari al-Qur`an dan
hadits Nabi Muhammad Shalallahu ‘alihi wa sallam menunjukkan (bahwa) keutamaan (manusia di sisi
Allah Azza wa Jalla dicapai) dengan keimanan dan ketakwaan. Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ إِن يَكُنۡ غَنِيًّا أَوۡ فَقِيرٗا فَٱللَّهُ أَوۡلَىٰ بِهِمَاۖ ١٣٥ ﴾ [ النساء :135 ]
Jika ia kaya
ataupun miskin, maka Allah lebih tahu (keadaan) keduanya [an-Nisa/4:135].
Di antara para
Nabi dan para Sahabat Radhiyallahu anhum yang terdahulu dan pertama (masuk
Islam) ada orang-orang kaya yang keutamaannya (di sisi Allah Azza wa Jalla)
lebih besar dibandingkan kebanyakan orang-orang miskin (setelah mereka),
sebagaimana di antara mereka ada orang-orang miskin yang keutamaannya (di sisi
Allah Azza wa Jalla) lebih besar dibandingkan kebanyakan orang-orang kaya
(setelah mereka).
Orang-orang yang sempurna (keimanan dan ketakwaannya) mampu menegakkan dua sifat agung tersebut (syukur dan sabar) secara sempurna (dalam semua kondisi), seperti gambaran yang ada pada diri Nabi Muhammad Shalallahu ‘alihi wa sallam, dan pada diri (dua Sahabat) Abu Bakar Radhiyallahu anhu dan ‘Umar Radhiyallahu anhu. Akan tetapi. Terkadang seseorang lebih baik baginya (dalam keimanan) jika diberi kemiskinan, sementara orang lain lebih baik baginya jika mendapatkan kekayaan, sebagaimana kesehatan lebih baik bagi sebagian manusia dan penyakit lebih baik bagi yang lain…”.
Orang-orang yang sempurna (keimanan dan ketakwaannya) mampu menegakkan dua sifat agung tersebut (syukur dan sabar) secara sempurna (dalam semua kondisi), seperti gambaran yang ada pada diri Nabi Muhammad Shalallahu ‘alihi wa sallam, dan pada diri (dua Sahabat) Abu Bakar Radhiyallahu anhu dan ‘Umar Radhiyallahu anhu. Akan tetapi. Terkadang seseorang lebih baik baginya (dalam keimanan) jika diberi kemiskinan, sementara orang lain lebih baik baginya jika mendapatkan kekayaan, sebagaimana kesehatan lebih baik bagi sebagian manusia dan penyakit lebih baik bagi yang lain…”.
TELADAN SEMPURNA DARI ULAMA SALAF.
Generasi Salaf
adalah sebaik-baik teladan dalam semua kebaikan dan keutamaan dalam agama ini,
tidak terkecuali dalam memanfaatkan harta dan kekayaan untuk meraih ridha Allah
Azza wa Jalla. Berikut ini contoh-contoh sosok yang terkenal dengan sifat ini
adalah:
·
Sahabat yang mulia 'Utsman bin 'Affan bin Abil 'Ash al-Umawi
Radhiyallahu anhu (wafat tahun 35 H), salah seorang dari Khulafaur Rasyidiin
dan sepuluh orang Sahabat yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam. Sahabat ini
sangat terkenal dengan kekayaan dan kedermawanannya. Beliaulah yang membeli sumur
Rumah dari pemiliknya seorang Yahudi, untuk air minum bagi kaum Muslimin, dan
Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam menjanjikan bagi beliau balasan air minum di
surga kelak.
Ketika Rasulullah Shalallahu
‘alihi wa sallam ingin memperluas
Masjid Nabawi, 'Utsman Radhiyallahu anhu menyumbangkan hartanya untuk membeli
tanah perluasan masjid tersebut. Beliau juga yang membiayai persiapan jihad pasukan
'Usrah dalam perang Tabuk, dengan menyumbangkan sebanyak 950 ekor unta dan 50
ekor kuda. Setelah itu, Rasulullah Shalallahu
‘alihi wa sallam bersabda
berkali-kali: "Tidak akan merugikan 'Utsman apa (pun) yang dilakukannya
setelah hari ini".
·
Sahabat yang mulia 'Abdur Rahman bin 'Auf al-Qurasyi
Radhiyallahu anhu (wafat tahun 32 H), salah seorang dari sepuluh Sahabat yang
dijamin masuk surga dan juga merupakan Sahabat yang sangat terkenal dengan
kekayaan dan kedermawanannya. Imam az-Zuhri berkata: "Di masa Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam, ‘Abdur
Rahman bin 'Auf Radhiyallahu anhu pernah bersedekah dengan separuh dari harta
beliau (yaitu sebesar) empat ribu dinar, lalu beliau bersedekah (lagi) dengan
(harta sebesar) empat puluh ribu dinar. Kemudian beliau menanggung (biaya
seharga) lima ratus ekor kuda (untuk keperluan berjihad) di jalan Allah Azza wa
Jalla, setelah itu beliau menanggung (biaya seharga) lima ratus ekor unta
(untuk keperluan berjihad) di jalan Allah Azza wa Jalla. Sebagian besar hasil
kekayaan beliau (diperolehnya) dari perdagangan.
·
Ali bin Husain bin 'Ali bin Abi
Thalib al-Hasyimi al-Madani rahimahullah (wafat tahun 94 H)[34] , putra dari
cucu Nabi Shalallahu ‘alihi wa sallam yang terkenal, Husein bin 'Ali Radhiyallahu
anhuma dan Imam besar dari kalangan Tabi’in (murid para Sahabat Radhiyallahu
anhum), serta sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits Rasulullah
Shalallahu ‘alihi wa sallam. Beliau
sangat terkenal dengan ketekunan beribadah sehingga digelari sebagai Zainul
'abidin (perhiasan bagi para ahli ibadah).
Termasuk amal ibadah agung yang sering beliau lakukan adalah
banyak bersedekah untuk orang-orang miskin penduduk Madinah, sehingga sewaktu
beliau wafat dan jenazah beliau dimandikan, terlihat di punggung beliau
bekas-bekas berwarna hitam pada kulit beliau, karena semasa hidupnya beliau
sering memikul karung berisi tepung (makanan) untuk disedekahkan kepada
orang-orang miskin, di malam hari secara sembunyi-sembunyi. Bahkan semasa hidupnya beliau
menanggung biaya seratus keluarga miskin di Madinah, sampai-sampai orang
menyangka beliau kikir dan suka menimbun harta, karena beliau selalu menyembunyikan
sedekah beliau.
·
Yunus bin 'Ubaid bin Dinar al-Bashri rahimahullah (wafat
tahun 139 H), seorang imam panutan yang sangat terpercaya dan teliti dalam
meriwayatkan hadits Rasulullah Shalallahu
‘alihi wa sallam, serta sangat wara’ (hati-hati dalam masalah halal dan
haram). Beliau adalah seorang pedagang kain yang sangat jujur dan selalu
menjelaskan cacat barang dagangan beliau sebelum terjadi jual-beli. Bahkan karena kejujuran, beliau pernah
mengembalikan uang seorang pembeli yang membeli kain beliau dengan harga yang
lebih tinggi, karena waktu itu yang menjualnya adalah keponakan beliau. Begitu
pula sebaliknya, jika beliau membeli barang dari seseorang, maka beliau akan
membayarnya dengan harga yang sesuai, meskipun orang tersebut pada awalnya
menawarkannya dengan harga yang lebih murah. Diriwayatkan dalam biografi
beliau, bahwa suatu saat harga kain di suatu daerah dekat Bashrah naik menjadi
lebih mahal. Menjadi kebiasaan, jika daerah tersebut harga kainnya naik, maka
harga kain di Bashrah pun nantinya ikut naik. Mengetahui hal itu, Yunus bin
'Ubaid rahimaullah segera membeli sejumlah besar kain kepada pedagang kain
lainnya dengan harga pasaran biasa. Setelah selesai membeli barang tersebut,
beliau bertanya kepada penjual tersebut, “Apakah engkau mengetahui bahwa harga
kain naik didaerah anu?” Penjual tersebut menjawab, “Tidak, kalau saja aku tahu
tentu aku tidak akan menjualnya kepadamu”. Maka Yunus bin 'Ubaid rahimahullah
berkata: “(Kalau begitu) kembalikan uangku padamu dan aku akan kembalikan
barangmu”.
·
'Abdur Rahman bin Aban bin 'Utsman bin 'Affan al-Umawi
al-Madani, cucu Sahabat yang mulia, 'Utsman bin 'Affan Radhiyallahu anhu, Imam
besar dari kalangan Atba’ut Tabi’in (murid para Tabi’in), ahli ibadah dan
terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam.
Musa bin Muhammad at-Taimi rahimahullah memuji beliau dengan
mengatakan: "Aku tidak pernah melihat (seorang lelaki) yang lebih banyak
menghimpun agama, kerajaan (kekuasaan) dan kemuliaan (nasab) melebihi 'Abdur
Raaman bin Aban. Beliau pernah membeli satu keluarga budak, kemudian memberikan pakaian
untuk mereka semua, setelah itu beliau berkata kepada mereka: "Kalian
(semua) aku bebaskan karena (mengharapkan) wajah Allah Azza wa Jalla. Aku
menjadikan kalian sebagai penolongku (menghadapi dahsyatnya) sakaratul
maut". Beliau sangat rajin beribadah, sehingga 'Ali bin 'Abdullah
bin 'Abbas mengagumi dan meneladani beliau dalam kebaikan.
·
‘Abdullah bin Mubarak al-Marwazi rahimahullah (wafat tahun
181 H), seorang imam besar yang ternama dari kalangan Atba’ut Tabi’in yang
sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam. Imam Ibnu
Hajar rahimahullah berkata: “Beliau adalah seorang yang terpercaya lagi sangat
teliti (dalam meriwayatkan hadits), orang yang memiliki ilmu dan pemahaman
(yang dalam), sangat dermawan lagi (sering) berjihad (di jalan Allah Shubhanahu wa ta’alla), terkumpul padanya
(semua) sifat-sifat baik”. Dalam biaografi beliau disebutkan bahwa Imam Fudhail
bin 'Iyadh rahimahullah pernah bertanya kepadanya tentang sebab dia memliki
perniagaan besar dengan mengekspor barang-barang dagangan dari negeri Khurasan
ke tanah haram (Mekah). ‘Abdullah bin Mubarak menjawab, “Sesungguhnya aku
melakukan itu adalah untuk menjaga mukaku (agar tidak meminta-minta kepada
orang lain), memuliakan kehormatanku, dan menggunakannya untuk membantuku dalam
ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla ”. Ucapan beliau ini benar-benar
terbukti, karena beliau sangat terkenal dengan sifat dermawan, membantu orang
miskin dengan sumbangan harta yang sangat besar setiap tahun, membiayai semua perbekalan
orang-orang yang menunaikan ibadah haji bersama beliau. Termasuk kedermawanan beliau
yang paling utama adalah menanggung biaya hidup beberapa Imam besar ahli hadits
di jamannya, seperti Imam Fudhail bin 'Iyadh rahimahullah, agar mereka bisa
lebih berkonsentrasi menyebarkan hadits Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam kepada umat. Beliau berkata,
"Sesungguhnya aku mengetahui kemuliaan suatu kaum (para ulama ahli hadits)
yang memiliki keutamaan dan kejujuran, mereka (menyibukkan diri dengan)
mempelajari hadits-hadits Rasulullah Shalallahu
‘alihi wa sallam dengan benar dan
sungguh-sungguh. Kemudian (setelah itu) kebutuhan umat Islam kepada mereka
sangat mendesak (untuk mengenal petunjuk Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam ), sedangkan mereka sendiri punya
kebutuhan (untuk membiayai kelurga mereka). Jika kami tidak membantu
(menanggung biaya hidup) mereka, maka ilmu mereka akan sia-sia (tidak tersebar
dengan baik), tapi kalau kami mencukupi (biaya hidup) mereka, maka mereka (bisa
lebih berkonsentrasi) menyebarkan ilmu kepada umat Nabi Muhammad Shalallahu ‘alihi wa sallam. Dan aku
tidak mengetahui setelah kenabian, tingkatan/kedudukan yang lebih utama daripada
menyebarkan ilmu (tentang sunnah Rasulullah Shalallahu
‘alihi wa sallam)".
JADILAH ORANG KAYA YANG ZUHUD.
Menjadi orang yang zuhud bukanlah dengan harus menjadi miskin dan menyia-nyiakan harta yang ada, juga bukan dengan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah Azza wa Jalla. Akan tetapi, bersikap zuhud adalah dengan menggunakan harta dan kekayaan yang dimiliki sesuai dengan petunjuk Allah Azza wa Jalla, tanpa adanya keterikatan hati dan kecintaan yang berlebihan kepada harta dan kekayaan tersebut. Atau dengan kata lain, bersikap zuhud adalah dengan tidak menggantungkan angan-angan yang panjang pada harta dan kekayaan yang dimiliki, dengan bersegera menggunakannya untuk hal-hal yang diridhai oleh Allah Azza wa Jalla. Inilah arti zuhud yang sesungguhnya, sebagaimana ucapan Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah ketika beliau ditanya, “Apakah makna zuhud di dunia (yang sebenarnya)?” Beliau berkata, "(Maknanya adalah) tidak panjang angan-angan, (yaitu) seorang yang ketika dia (berada) di waktu pagi dia berkata, “Aku (khawatir) tidak akan (bisa mencapai) waktu sore lagi".
Salah seorang Ulama Salaf berkata: “Zuhud di dunia bukanlah
dengan mengharamkan yang halal, dan juga bukan dengan menyia-nyiakan harta,
akan tetapi zuhud di dunia adalah dengan kamu lebih yakin dengan (balasan
kebaikan) di tangan Allah Azza wa Jalla daripada apa yang ada di tanganmu, dan
jika kamu ditimpa suatu musibah (kehilangan sesuatu yang dicintai), maka kamu
lebih mengharapkan pahala dan simpanan (kebaikannya diakhirat kelak) daripada
jika sesuatu yang hilang itu tetap ada padamu”.
Sifat ini dimiliki dengan sempurna oleh para Sahabat
Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam yang menjadikan mereka lebih mulia dan utama
di sisi Allah Azza wa Jalla dibandingkan orang-orang yang datang setelah
mereka. Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu berkata, "Kalian lebih banyak
berpuasa, (mengerjakan) shalat, dan lebih bersungguh-sungguh (dalam beribadah)
dibandingkan para Sahabat Rasulullah Shalallahu
‘alihi wa sallam, tapi mereka lebih baik (lebih utama di sisi Allah Shubhanahu wa ta’alla) daripada
kalian". Ada yang bertanya, “Kenapa (bisa demikian), wahai Abu
‘Abdirrahman? Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu berkata: "Karena mereka lebih
zuhud dalam (kehidupan) dunia dan lebih cinta kepada akhirat".
PENUTUP
Sebagai penutup, renungkanlah nasehat berharga dari Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam berikut ini: "Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya, maka Allah Shubhanahu wa ta’alla akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan (tidak pernah merasa cukup) (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah Shubhanahu wa ta’alla tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan utama) nya, maka Allah Shubhanahu wa ta’alla akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya)".
Sebagai penutup, renungkanlah nasehat berharga dari Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam berikut ini: "Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya, maka Allah Shubhanahu wa ta’alla akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan (tidak pernah merasa cukup) (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah Shubhanahu wa ta’alla tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan utama) nya, maka Allah Shubhanahu wa ta’alla akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya)".
Akhirnya, kami akhiri tulisan ini
dengan memohon kepada Allah Shubhanahu
wa ta’alla
dengan nama-nama -Nya yang maha indah dan sifat-sifat -Nya yang maha sempurna, agar
dia menganugerahkan kepada kita sifat zuhud dalam kehidupan dunia dan cinta
kepada balasan yang kekal di akhirat, serta semua sifat-sifat baik yang
diridhai -Nya, sesungguhnya -Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.
Post a Comment