Mengikuti Syari'at Allah Tiang Keimanan
Mengikuti Syari'at Allah Tiang
Keimanan
Segala puji hanya untuk Allah
Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam beserta
keluarga dan seluruh sahabatnya.
عن أَبِـيْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ
الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَـا قَالَ : قَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّم : ( لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا
لِمَا جِئْتُ بِهِ ) [حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ ، رَوَيْنَاهُ فِيْ كِتَابِ (الحُجَّة) بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ]
Dari Abu Muhammad ‘Abdullah bin
‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian
sehingga keinginannya mengikuti apa yang aku bawa.’” [Hadits hasan shahih yang
kami riwayatkan dalam kitab al-Hujjah[1] dengan sanad shahih]
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini diriwayatkan oleh
al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, no.104; Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah, no.15; Hadits ini didha’ifkan
(dilemahkan) oleh Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah fii Takhrijis Sunnah,
no.15 dan Hidayatur Ruwat ila Takhriji Ahaditsil Mashabih wal Misykat, I/131,
no. 166.
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah
berkata, “Menganggap hadits ini shahih merupakan anggapan yang jauh (dari
kebenaran) karena beberapa alasan :
Hadits ini hanya diriwayatkan
oleh Nu’aim bin Hammad al-Marwazi rahimahullah. Kendati Nu’aim bin Hammad ini
dianggap sebagai perawi terpercaya oleh sejumlah imam dan haditsnya
diriwayatkan imam Bukhari, karena para ulama hadits berbaik sangka kepadanya
disebabkan keteguhannya diatas sunnah dan ketegasannya dalam menentang para pengikut hawa nafsu (ahlul bid’ah).
Karenanya, para Ulama hadits mengatakan bahwa Nu’aim keliru dan ragu pada
sebagian hadits. Mereka menemukan beberapa haditsnya yang mungkar, maka mereka
memvonis Nu’aim sebagai perawi dha’if.
Shalih bin Muhammad al-Hafizh
rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Ma’in rahimahullah yang pernah ditanya
tentang Nu’aim kemudian beliau rahimahullah menjawab, “Ia tidak ada apa-apanya,
namun ia pengikut sunnah.” Shalih berkata, “Nu’aim bin Hammad al-Marwazi
menceritakan hadits dari hafalannya dan mempunyai banyak hadits mungkar yang
belum disetujui.” Abu Dawud rahimahullah berkata, “Nu’aim mempunyai dua puluh
hadits yang tidak ada asalnya.”
An-Nasa-i rahimahullah
berkata, “Ia perawi dha’if.” Di lain waktu beliau mengatakan, “Ia bukan perawi
terpercaya.” Imam an-Nasa'i juga pernah berkata, “Ia banyak meriwayatkan beberapa
hadits seorang diri dari para imam terkenal, sehingga ia masuk dalam kategori
perawi yang tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.” Abu Zur’ah ad-Dimasyqi
rahimahullah berkata, “Ia menyambungkan sanad hadits, padahal hadits tersebut
dianggap mauquf oleh para ulama.” Maksudnya, ia menjadikan hadits mauquf
menjadi marfu’. Abu Arubah al-Harrani rahimahullah berkata, “Masalah orang ini
tidak jelas.” Abu Sa’id bin Yunus rahimahullah berkata, “Ia meriwayatkan
hadits-hadits mungkar dari para perawi terpercaya.” Ulama lain berkata bahwa
Nu’aim bin Hammad al-Marwazi membuat hadits-hadits palsu.[2]
Sanad Nu’aim bin Hammad
al-Marwazi diperdebatkan. Hadits tersebut diriwayatkan darinya dari ats-Tsaqafi
dari Hisyam. Hadits tersebut juga diriwayatkan darinya dari ats-Tsaqafi yang
berkata, sebagian guru-guru kami, Hisyam dan lain-lain, berkata kepada kami.
Menurut riwayat tersebut, guru ats-Tsaqafi tidak dikenal. Hadits tersebut juga
diriwayatkan dari Nu’aim bin Hammad al-Marwazi dari ats-Tsaqafi yang berkata,
sebagian guru-guru kami berkata kepada kami, Hisyam dan lain-lain berkata
kepada kami. Menurut riwayat ini, ats-Tsaqafi meriwayatkan hadits tersebut dari
guru yang tidak diketahui namanya dan gurunya meriwayatkannya dari perawi yang
tidak dikenal. Jadi, ketidakjelasan perawi semakin bertambah dalam sanad hadits
ini. Dalam sanad
hadits tersebut terdapat perawi ‘Uqbah bin Aus as-Sadusi al-Bashri. Ada yang
mengatakan, Ya’qub bin Aus. Abu Dawud, an-Nasa-i, dan Ibnu Majah rahimaullah
meriwayatkan haditsnya dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu dan ada yang
mengatakan ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahun anhuma. Jadi, ada kerancuan dalam
sanadnya. Ia dianggap sebagai perawi terpercaya oleh al-‘Ijli, Ibnu Sa’ad, dan
Ibnu Hibban rahimahullah. Ibnu Khuzaimah berkata, “Ibnu Sirin kendati mulia
meriwayatkan hadis darinya.” Ibnu ‘Abdil Barr berkata, “Ia Majhul (tidak
diketahui identitasnya).” Al-Ghullabi berkata dalam Tarikh-nya, “Para ulama
menduga bahwa ‘Uqbah bin Aus tidak mendengar hadits tersebut dari ‘Abdullah bin
‘Amr, namun ia mengatakan mendengarnya dari ‘Abdullah bin ‘Amr.” Jika demikian,
riwayat ‘Uqbah bin Aus dari ‘Abdullah bin ‘Amr terputus. Wallaahu a’lam.”[3]
Syaikh al-Albani rahimahullah
berkata tentang hadits ini:
“Ini adalah kesalahan, sanadnya dha’if karena ada Nu’aim bin Hammad, dia adalah perawi yang dha’if. Al-Hafizh Ibnu Rajab memberinya ‘illat (cacat) bukan dengan ‘illat ini saja (tapi juga dengan ‘illat yang lain) karena mengomentari an-Nawawi yang menshahih-kannya. Silahkan lihat kitabnya Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam, kemudian penyandaran riwayat yang disebutkan oleh penulis al-Misykaat kepada yang beliau sebutkan membuat sebuah opini bahwa tidak ada perawi yang lebih tinggi tingkatannya yang meriwayatkan hadits ini daripada Imam an-Nawawi dan al-Baghawi. Dan kenyataannya tidak seperti itu, al-Hasan bin Sufyan telah meriwayatkan dalam al-Arba’iin dan dia termasuk yang mengambil dari Ahmad dan Ibnu Ma’in. Dan al-Qasim Ibnu Asakir juga meriwayatkannya dalam Arba’iin, dan dia berkata: Hadits ini gharib.”[4]
“Ini adalah kesalahan, sanadnya dha’if karena ada Nu’aim bin Hammad, dia adalah perawi yang dha’if. Al-Hafizh Ibnu Rajab memberinya ‘illat (cacat) bukan dengan ‘illat ini saja (tapi juga dengan ‘illat yang lain) karena mengomentari an-Nawawi yang menshahih-kannya. Silahkan lihat kitabnya Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam, kemudian penyandaran riwayat yang disebutkan oleh penulis al-Misykaat kepada yang beliau sebutkan membuat sebuah opini bahwa tidak ada perawi yang lebih tinggi tingkatannya yang meriwayatkan hadits ini daripada Imam an-Nawawi dan al-Baghawi. Dan kenyataannya tidak seperti itu, al-Hasan bin Sufyan telah meriwayatkan dalam al-Arba’iin dan dia termasuk yang mengambil dari Ahmad dan Ibnu Ma’in. Dan al-Qasim Ibnu Asakir juga meriwayatkannya dalam Arba’iin, dan dia berkata: Hadits ini gharib.”[4]
Imam an-Nawawi rahimahullah
berkata, “Hadits hasan shahih dan kami riwayatkannya dari kitab al-Hujjah
dengan sanad yang shahih.” Ibnu Rajab rahimahullah mengomentari penilaian Imam
an-Nawawi ini dengan mengatakan, “Hadits ini tidak shahih.” Syaikh al-‘Utsaimin
rahimahullah menganjurkan agar kaum Muslimin membaca syarah Ibnu Rajab dan
komentarnya terhadap derajat hadits ini dalam kitab al-Arba’iin. Sebab Ibnu
Rajab rahimahullah termasuk pakar hadits. Apabila ia menilai beberapa hadits
yang disebutkan Imam an-Nawawi rahimahullah itu cacat, maka kita akan
mengetahui alasan beliau rahimahullah melemahkannya. Jadi kesimpulannya, HADITS
INI DHA’IF (LEMAH).
Akan tetapi makna hadits ini
benar, sebab hawa nafsu manusia harus mengikuti risalah yang dibawa oleh Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa sallam.[5]
Hadits shahih yang semakna dengan hadits di atas yaitu sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ
إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ » [6]
Tidak beriman (dengan sempuna)
salah seorang dari kalian hingga aku lebih dicintai daripada orang tuanya,
anaknya dan semua manusia[6]
SYARAH HADITS.
Makna hadits di muka yaitu
seseorang tidak akan bisa meraih keimanan yang sempurna kecuali kalau
kesukaannya sudah sejalan dengan syari'at yang dibawa oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Artinya,
ia suka atau mencintai semua perintah Nabi dan membenci semua larangan
beliau. Kandungan makna seperti ini
disebutkan dibanyak tempat dalam al-Qur'an. Allah Azza wa Jalla berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيۡنَهُمۡ
ثُمَّ لَا يَجِدُواْ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ حَرَجٗا مِّمَّا قَضَيۡتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسۡلِيمٗا
٦٥ ﴾ [النساء:65]
Demi
Rabb-mu, mereka tidak (disebut) beriman hingga mereka menjadikan engkau
(Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau
berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [an-Nisa’/4: 65]
قال الله تعالى: ﴿ وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٖ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ
أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ
فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلٗا مُّبِينٗا ٣٦﴾ [الأحزاب: 36]
Dan
tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila
Allah dan Rasul -Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka [al-Ahzab/33: 36]
Allah Shubhanahu wa ta’alla mengecam orang-orang yang membenci apa yang
Allah Azza wa Jalla cintai dan mencintai apa yang Allah Azza wa Jalla benci.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
قال الله تعالى: ﴿ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ كَرِهُواْ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأَحۡبَطَ أَعۡمَٰلَهُمۡ
٩ ﴾ [محمد:9]
Yang
demikian itu karena mereka membenci al-Qur'an yang diturunkan Allah, maka Allah
menghapus segala amal mereka [Muhammad/47: 9]
Juga firman-Nya:
قال الله تعالى: ﴿ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمُ
ٱتَّبَعُواْ مَآ أَسۡخَطَ ٱللَّهَ وَكَرِهُواْ رِضۡوَٰنَهُۥ فَأَحۡبَطَ أَعۡمَٰلَهُمۡ
٢٨﴾ [محمد:28]
"Yang demikian itu,
karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan
membenci (apa yang menimbulkan) keridhaan -Nya, sebab itu
Allah menghapus segala amal mereka.” [Muhammad/47:28].
Jadi, setiap mukmin wajib mencintai apa yang dicintai Allah Shubhanahu wa ta’alla. Kecintaan ini menuntut mereka untuk melaksanakan kewajiban mereka terhadap Allah Azza wa Jalla . Jika cintanya bertambah, maka ia akan terdorong untuk mengerjakan yang sunnah. Seorang mukmin juga harus membenci apa yang dibenci Allah Shubhanahu wa ta’alla, minimal dengan kebencian yang bisa menahannya dari segala yang diharamkan Allah Shubhanahu wa ta’alla. Jika rasa benci ini bertambah hingga mampu mengerem dirinya dari segala yang makruh, maka itu merupakan nilai lebih yang harus disyukuri.
Ketika menjelaskan hadits
riwayat Imam Bukhari dan Muslim yang artinya, "Tidak sempurna iman salah
seorang dari kalian hingga aku lebih dicintai daripada orang tuanya, anaknya
dan semua manusia." Imam Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Cinta kepada
Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam merupakan pokok (prinsip) keimanan
dan ia bersanding dengan cinta kepada Allah Azza wa Jalla . Allah Shubhanahu wa ta’alla juga mengaitkan cinta kepada Nabi -Nya dengan cinta kepada -Nya serta mengancam
orang-orang yang mendahulukan cinta kepada keluarga, harta dan tanah air
daripada cinta kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul -Nya.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
قال الله تعالى: ﴿ قُلۡ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمۡ وَأَبۡنَآؤُكُمۡ وَإِخۡوَٰنُكُمۡ وَأَزۡوَٰجُكُمۡ
وَعَشِيرَتُكُمۡ وَأَمۡوَٰلٌ ٱقۡتَرَفۡتُمُوهَا وَتِجَٰرَةٞ تَخۡشَوۡنَ كَسَادَهَا
وَمَسَٰكِنُ تَرۡضَوۡنَهَآ أَحَبَّ إِلَيۡكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٖ
فِي سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّىٰ يَأۡتِيَ ٱللَّهُ بِأَمۡرِهِۦۗ وَٱللَّهُ لَا
يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡفَٰسِقِينَ ٢٤ ﴾ [التوبة:24]
Katakanlah,
‘Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu,
harta yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya serta
rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah
dan Rasul -Nya serta berjihad di jalan -Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan
keputusan -Nya...’” [at-Taubah/9:24]
Begitu juga ketika ‘Umar
Radhiyallahu anhu datang kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, "Wahai Rasulullah,
engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali diriku." Kemudian Nabi
Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Tidak wahai ‘Umar, sampai
aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Lalu ‘Umar Radhiyallahu anhu
berkata, ‘Demi Allah, sekarang engkau lebih aku cintai daripada diriku
sendiri.’ Maka Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sekarang wahai
‘Umar”[7]. Jadi, mengedepankan cinta kepada Beliau daripada cinta kepada diri,
anak, keluarga, harta, dan lainnya merupakan sebuah kewajiban. Dan cinta kepada
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak sempurna kecuali dengan
mentaati perintah beliau. Allah Azza wa Jalla berfirman :
قال الله تعالى: ﴿ قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ
وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٣١ ﴾ [آل عمران:31]
Katakanlah
(Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu
dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha pengampun, Maha penyayang.” [Ali
‘Imran/3:31]
Tanda mengedepankan cinta
kepada Rasul ialah apabila terjadi pertentangan antara perintah Rasul dengan
sesuatu yang dia cintai, kemudian dia lebih memilih taat kepada Rasul. Ini
merupakan bukti dari pengakuan cintanya kepada Rasul. Akan tetapi sebaliknya,
jika ia lebih mengedepankan kesenangan dunia yang ia cintai daripada mentaati
Rasul, maka ia belum menunaikan kewajiban iman yang dibebankan kepadanya.”[8]
Al-Hasan rahimahullah ketika
menjelaskan ayat 31 dari surat Ali ‘Imran, beliau berkata, “Para Shahabat Nabi
Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Wahai Rasulullah,
sesungguhnya kami sangat mencintai Rabb kami.’ Allah Shubhanahu wa ta’alla ingin menjadikan bukti cinta
kepada -Nya
kemudian menurunkan ayat tersebut.”[9]
Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: « ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ
حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ: أَنْ يَكُوْنَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ
مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلهِ، وَأَنْ
يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِيْ الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ كَمَا
يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِيْ النَّارِ. » [10]
Tiga perkara, apabila ada pada
diri seseorang, maka dia akan merasakan manisnya iman;(1) Allah dan Rasul -Nya lebih ia cintai daripada yang lain,(2) ia
tidak mencintai seseorang melainkan karena Allah, dan(3) ia benci kembali kepada kekafiran setelah
Allah menyelamatkannya dari kekafiran tersebut sebagaimana ia benci dilemparkan
ke neraka.[10]
Ibnu Rajab rahimahullah
berkata, “Sesungguhnya manusia akan merasakan manisnya iman apabila hatinya
bersih dari penyakit. Apabila hati bersih dari nafsu yang menyesatkan dan
syahwat yang diharamkan, maka saat itu, hati akan merasakan manisnya iman.
Sebaliknya, bila hati sakit atau kotor, maka ia tidak merasakan manisnya iman,
bahkan ia merasa nyaman dengan maksiat dan hawa nafsu yang akan menyeretnya ke
lembah kebinasaan.”[11]
Barangsiapa mencintai Allah Shubhanahu wa ta’alla dan Rasul -Nya dengan tulus dari lubuk
hati, mestinya dia mencintai semua yang dicintai Allah Shubhanahu wa ta’alla dan Rasul -Nya serta membenci apa saja
yang dibenci Allah Shubhanahu wa
ta’alla dan
Rasul -Nya. Cinta
ini juga menyebabkan dia ridha terhadap semua yang diridhai Allah Shubhanahu wa ta’alla dan Rasul -Nya serta murka kepada semua
yang dimurkai Allah Shubhanahu wa
ta’alla dan
Rasul-Nya lalu rasa cinta dan rasa benci ini diwujudkan dengan amalan fisik.
Jika amalan fisiknya bertentangan dengan itu semua, misalnya ia mengerjakan
sebagian yang dibenci Allah Shubhanahu
wa ta’alla dan
Rasul -Nya, atau
meninggalkan sesuatu yang dicintai Allah Shubhanahu wa ta’alla dan Rasul -Nya padahal itu wajib dan ia mampu mengerjakannya,
maka itu menunjukkan cintanya kurang sempurna. Oleh karena itu, ia wajib
bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla dan kembali menyempurnakan cinta yang wajib. Abu Ya’qub an-Nahrajuri
rahimahullah berkata, “Siapa saja yang mengaku mencintai Allah Shubhanahu wa ta’alla, namun tidak
menyesuaikan diri dengan Allah Shubhanahu
wa ta’alla dan
perintah -Nya, maka pengakuannya tidak benar. Setiap orang (yang mengaku) cinta
Allah Shubhanahu wa
ta’alla namun
tidak takut kepada -Nya berarti dia tertipu.”[12]
Salah seorang dari generasi
salaf berkata,
Engkau bermaksiat kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, padahal engkau mengaku cinta kepada -Nya? Aku bersumpah ini buruk dalam bandingan. Jika saja cintamu benar, engkau pasti taat kepada –Nya Karena sesungguhnya pecinta itu taat kepada yang ia cintai. Semua kemaksiatan itu terjadi disebabkan cinta terhadap hawa nafsu lebih didahulukan daripada cinta Allah Shubhanahu wa ta’alla dan Rasul -Nya. Allah Shubhanahu wa ta’alla menjelaskan dalam banyak ayat bahwa sifat orang-orang kafir ialah menuruti hawa nafsu. Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman :
Engkau bermaksiat kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, padahal engkau mengaku cinta kepada -Nya? Aku bersumpah ini buruk dalam bandingan. Jika saja cintamu benar, engkau pasti taat kepada –Nya Karena sesungguhnya pecinta itu taat kepada yang ia cintai. Semua kemaksiatan itu terjadi disebabkan cinta terhadap hawa nafsu lebih didahulukan daripada cinta Allah Shubhanahu wa ta’alla dan Rasul -Nya. Allah Shubhanahu wa ta’alla menjelaskan dalam banyak ayat bahwa sifat orang-orang kafir ialah menuruti hawa nafsu. Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman :
قال الله تعالى: ﴿ فَإِن لَّمۡ يَسۡتَجِيبُواْ لَكَ فَٱعۡلَمۡ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهۡوَآءَهُمۡۚ
وَمَنۡ أَضَلُّ مِمَّنِ ٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ بِغَيۡرِ هُدٗى مِّنَ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ
لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّٰلِمِينَ ٥٠ ﴾ [القصص: 50]
Maka
jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa mereka hanyalah
mengikuti keinginan mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang
mengikuti keinginannya tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun...” [al-Qashash/28:
50]
Begitu juga bid’ah-bid’ah, ia terjadi karena cinta kepada hawa nafsu lebih didahulukan daripada kecintaan kepada syariat. Oleh karena itu, para pelaku bid’ah dinamakan juga pengekor hawa nafsu. Begitu juga mencintai figur-figur (tokoh-tokoh tertentu). Seharusnya kecintaan kepada figur itu diselaraskan dengan syari'at yang dibawa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, orang mukmin wajib mencintai Allah Azza wa Jalla dan mencintai yang dicintai -Nya, misalnya para malaikat, para rasul, para nabi, orang-orang jujur, para syuhada’ dan orang-orang shalih secara umum. Oleh karena itu, di antara indikasi seseorang sudah merasakan manisnya iman ialah ia tidak mencintai orang lain kecuali karena Allah Shubahanhu wa ta’alla, tidak menjadikan musuh-musuh -Nya sebagai teman dekat (tidak berwala kepada mereka) dan semua orang yang dibenci -Nya. Dengan demikian, dia hanya taat kepada Allah Shubahanhu wa ta’alla semata. Disebutkan dalam hadits
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: « مَنْ أَحَبَّ للهِ، وَأَبْغَضَ للهِ، وَأَعْطَى
للهِ، وَمَنَعَ للهِ، فَقَدِ اسْتَكْمَلَ الْإِيْمَانَ » [13]
Barangsiapa cinta karena Allah,
marah karena -Nya, memberi karena -Nya serta mencegah karena -Nya, maka sungguh ia telah menyempurnakan
imannya.[13]
Sebaliknya, barangsiapa mencintai, membenci, memberi atau tidak memberi dengan dilandasi hawa nafsu, berarti keimanannya yang wajib masih kurang. Oleh karena itu, ia wajib bertaubat dan kembali mengikuti syari'at yang dibawa oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan lebih mendahulukan cinta Allah Shubahanhu wa ta’alla dan Rasul -Nya, serta keridhaan Allah Shubahanhu wa ta’alla dan Rasul -Nya daripada cinta hawa nafsunya dan seluruh keinginannya. Hawa nafsu maksudnya adalah kebathilan, cinta hawa nafsunya artinya cinta atau cendrung kepada kebathilan. Seperti dalam firman Allah Azza wa Jalla :
قال الله تعالى: ﴿ وَلَا تَتَّبِعِ ٱلۡهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ ...﴾ [ص: 26]
…Dan janganlah engkau
mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan engkau dari jalan Allah... [Shad/38:26]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman :
Dan
adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabb-nya dan menahan diri dari
(keinginan) hawa nafsunya, maka sungguh, surga-lah tempat tinggal(nya).
[an-Nazi’at/79:40-41]
Hawa nafsu terkadang juga diartikan
cinta dan kecenderungan secara umum, termasuk kecenderungan kepada kebenaran
dan kebalikannya.[14]
Post a Comment